Senin, 31 Maret 2014

SALWA





“Bagaimana, Nduk?”

Ibu bertanya, aku tetap membisu dengan tatapan nanar. Seolah suara ini dicolong senja dan membawanya menjauh dari kesadaran. Entahlah, tidak mungkin kujawab pertanyaan Ibu saat ini. Menikah adalah sebuah ibadah. Akan tetapi, bagaimana jika dalam ibadah itu aku harus menyakiti perasaan wanita lain? Tak kukenal, pun tak pernah berbuat kesalahan padaku. Apa pantas itu disebut sebuah ibadah?

Ah, Ibu. Tunggulah barang sejenak. Biarkan gadismu ini bersatu dengan sujud dalam tahajud nanti. Mencari sebuah jawab dari Tuhanku.

***

Foto lelaki itu masih berada di meja. Namanya Junaedi. Telah menikah delapan tahun tetapi belum mempunyai momongan. Aku sedikit menanam haru. Bukan kepada dia, tetapi lebih kepada istrinya. Aku tahu benar bagaimana perasaan yang dirasakan wanita itu. Dalam kenyataan yang menyakitkan, masih harus membuka lebar kedua tangan untuk menerima wanita lain dalam biduk rumah tangganya. Untuk apa? Hanya demi memberikan keturunan yang tidak bisa dia berikan.

Sungguh berat beban yang dipikulnya. Bahkan jikalau itu adalah diriku belum tentu akan mampu menghadapi cobaan yang sama.

Aku masih menekuk sujud dalam sajadah. Hatiku berdecap-decap memohon petunjuk terbaik kepada Sang Pemberi Ruh pada ragaku. Mampukah aku mengemban pernikahan itu nanti? Lalu, bagaimana harus kuhadapi istri Mas Jun, jika benar aku menerima pinangan itu?

Kemudian terbesit kenangan beberapa hari lalu. Saat kami berta’aruf. Mas Jun berkata dengan kelembutannya di sela hiruk pikuk keluarga yang saling bersilahturami, “aku sangat mencintai Erica. Sebenarnya hatiku ingin menolak dorongan keluarga untuk menikah lagi dengan wanita lain. Tak mungkin kusakiti istri yang telah setia mendampingi suka dukaku selama delapan tahun itu, Salwa. Hanya saja..” kalimatnya terhenti. Dia menelan ludah sebentar. Tampak kesedihan di ujung matanya yang tegas.

“Hanya saja, melihat ketulusannya mengijinkanku menikah untuk mendapatkan keturunan, sungguh aku teramat bersyukur akan keberadaan Erica di sisiku. Dia begitu pengertian. Pengorbanannya kepada keluarga besarku sangat mengagumkan.” Lanjutnya.

Mas Jun terus berceloteh indah tentang isi hatinya. Begitu menyentuh. Sangat besar penghormatannya kepada sang istri. Membuatku iri, merasa ingin pula dicintai seperti itu.

Kemudian dalam denting-denting detik yang berlalu hening di antara kami saat itu, cinta menyapa dalam hatiku. Jantungku mulai tak beraturan saat memandangnya. Menendang, lalu menendang lagi.

“Salwa, jika engkau berkenan memberi kebahagiaan kepada Erica, maukah engkau menikah denganku? Aku janji akan belajar untuk mencintaimu, agar pernikahan kita tidak menjadi sia-sia.” tanyanya tulus, yang mampu membawaku dalam kebimbangan besar, diantara jawaban mengiyakan atau menolak.

Dalam sela sujud, aku menangis. Gadis yang tidak tahu diri ini sudah berani mencintai suami wanita lain. Tuhanku yang Maha Mengetahui segalanya, katakan dalam tegur sapamu yang lembut itu, apa yang harus aku lakukan sekarang?

***

Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Mbak Rica. Dia sepuluh tahun lebih tua dariku. Guratan-guratan usia di wajah ayunya menggambarkan betapa dia memiliki kesabaran yang besar. Dia sangat ramah, senyumnyapun begitu indah, mampu menyejukan. Benar-benar istri yang anggun. Aku dibuatnya kagum, sekaligus iri dengan garis takdirnya, memiliki suami yang begitu mencintai dia.

“Kabarnya Dek Salwa belum memberi jawaban pada Mas Jun ya?”

Aku menganggukan kepala. Melihat itu, Mbak Rica tersenyum. Dan tentu saja berhasil membuatku semakin gugup serba salah menghadapi dirinya.

“Tujuanku bertemu di sini hanya ingin meminta pertolongan padamu. Mungkin memang berat, begitu juga bagiku. Akan tetapi, ada seseorang yang ingin kubahagiakan. Jadi sebisa mungkin aku belajar untuk ikhlas menerima keadaan sekarang.” Mbak Rica berucap lagi, sambil mengaduk-aduk kopi panas di cangkir hitamnya. Setelah berhenti berkata, direguklah sebentar isinya.

Cafe tempat kami bertemu tidak begitu ramai saat ini. Hanya ada beberapa pemuda yang sedang memadu kasih sambil bercanda-canda ringan. Seorang kasir sedang menatap nerawang, entah apa yang sedang dipikirkannya. Lalu beberapa pramusaji sibuk membersihkan mesin pembuat kopi dan beberapa cangkir yang telah tercuci bersih.

“Apa yang bisa aku bantu untuk Mbak Rica? Sungguh, sebenarnya aku tidak yakin dengan perasaanku saat ini. aku takut, Mbak.”

Mbak Rica meraih tanganku, digenggamnya rapat. Dari matanya terpancar binar tulus penuh harap, seraya berkata, “aku mohon, selamatkanlah pernikahan kami. Berikanlah kebahagiaan yang tidak pernah bisa kuberikan padanya. Mungkin sebagai wanita aku bukanlah yang baik dalam menghadapi ini, tetapi sebisa mungkin kulakukan yang terbaik buat kita bertiga. Aku janji, kita akan menghadapi apapun bersama kelak. Tolonglah Salwa, hati kecil kami kesepian tanpa kehadiran seorang anak.”

Permohonan Mbak Rica membuatku terenyuh. Mataku berkaca, hampir ingin jatuh menggelinding tetapi dengan cepat kuhapus di ujungnya. Ya, Tuhan, wanita ini sungguh mencintai Mas Jun. Mereka saling mengasihi. Aku benar-benar beruntung bisa ditakdirkan ikut hadir dalam pernikahan mereka.

“Terima kasih, Mbak sudah mengijinkan aku menikah dengan Mas Jun. Sungguh besar hatimu yang cantik itu. Kelak, saat anak pertama kami lahir, dia akan menjadi anakmu, Mbak. Asuh dan bimbinglah dia seperti anak sendiri. Aku ingin berbagi kebahagiaan bersamamu, sama seperti engkau berbagi kebahagiaan bersamaku saat ini.”

Dia tersenyum bahagia, akupun juga bahagia. Senang jika kami bisa saling memahami satu sama lain sebelum menapak pernikahan nanti. Rasanya, saat ini aku ingin memeluknya sambil menumpahkan tangis hingga puas. Dan tentu saja itu tidak mungkin bukan?

***

Setelah tiga bulan menikah, aku akhirnya mengandung bayi petama kami. ini anak kami bertiga. Kukira kebahagian telah merasuk pada hati Mbak Rica juga, sama seperti Mas Jun dan aku. Tetapi ternyata aku salah besar.

Aku baru mengetahui, ternyata hati manusia itu mudah sekali rapuh dan melebur dalam kebencian. Sekuat apapun pertahanan seorang wanita memupuk sabar dalam dekapan cemburu, perasaan iri atau kemarahan, masih saja bisa terbakar hingga raib. Mungkin hatinya sudah mengeluarkan darah yang teramat kental. Mungkin juga karena pikirannya yang telah teracuni aduk-aduk muslihat setan. Sampai-sampai wanita yang kukenal begitu teguh seperti Mbak Rica mampu berbuat keji.

Janinku telah mati. Mbak Rica mendorongku hingga jatuh dari lantai atas. Aku menggelinding pada duapuluh anak tangga rumah kami. semuanya berputar, lalu menjadi gelap. Sebenarnya hatiku meradang kesakitan karena amarah, tapi juga mafhum dengan perasaannya yang tidak kuasa menahan kecemburuan. Tetapi saat ini pilihanku jatuh pada bisu. Hanya diam menatap dinding-dinding kamar ruang rawat inap rumah sakit. Sementara Mas Jun tertidur kelelahan sambil tetap menggenggam tanganku.

 Malam yang kasip. Aku terus beristighfar dengan meraba-raba tasbih, memohon pertolongan padaNya agar dibukakan pintu maafku untuk Mbak Rica. Berharap rumah tangga kami kembali bernaung dalam cinta, dan sekali lagi kesempatan untuk memeluk komitmen pernikahan.

Keesokan harinya, dalam sedu sedan, Mbak Rica datang meminta maaf. Namun Mas Jun yang sudah terlanjur marah, tidak menghiraukan dia. Bahkan saat Mbak Rica bersujudpun, suami yang dulu begitu mencintainya itu hanya membisu tak menatap. Oh Tuhan, aku tidak memperhitungakan perasaan suamiku. Dia masih tidak bisa memaafkan istri pertamanya. Lalu setelah ini, aku bisa berbuat apa? Padahal doa-doa yang kusematkan semalam adalah harapan terbaik buat kami. Aku ingin kami bertiga kembali pada perasaan yang sama dengan dua bulan lalu. Dan ini apa?

 “Mas, mengapa tak kau maafkan saja Mbak Rica? Dia hanya khilaf. Aku paham benar dengan perasaannya, Mas. Ini memang tidak mudah dilalui dengan posisi sebagai istri pertama.” kataku setelah Mbak Rica berpamit pulang.

“Tidak, Salwa. Biarkan saja dia. Aku pun juga tahu, saat ini dia bukanlah dirinya. Tetapi belum bisa kumaafkan perbuatannya kali ini.”

Mendengar jawaban Mas Jun, aku hanya bisa menghela nafas. Entahlah, mungkin sementara ini akan kubiarkan dulu perasaan kami mengalir. Aku yang masih berjuang untuk bisa memaafkan, Mas Jun yang bergulat dengan kemarahannya, lalu Mbak Rica dengan penyesalan dan sisa-sisa kecemburuan. Semoga saja masing-masing dari kami bisa belajar dari ini semua. Hanya itu harapan yang bisa kusematkan dalam setiap sholatku.

***

Hari ini hampir enam bulan telah berlalu. Rumah tangga dua istri ini mengering. Sudah tidak ada cinta pada hati Mas Jun untuk Mbak Rica. Dia masih menyimpan marah, terlebih hingga hari ini aku belum hamil lagi. Semua harapan untuk kembali normal, pupus sudah. Remuk tergerus ego.

Apalagi yang bisa aku lakukan? Tidak ada. Walaupun aku berulang-ulang meminta pada Mas Jun agar memaafkan Mbak Rica, tetap saja tidak dihiraukan. Bahkan akan menjadi marah jika kuungkit perkara itu. Menyedihkan sekali.

Mbak Rica juga menjadi lebih diam. Mengurung dirinya lama-lama dalam kamar. Saat keluar yang terlihat hanya mata yang sembab. Tidak ada lagi senyum hangatnya yang menyejukan. Bisu. Seperti boneka malang yang berjalan. Sungguh mengharukan sekali.

Kutatap lamat-lamat pintu kamar Mbak Rica. Ingin sekali mengetuk dan berbicara dengannya hari ini. sejak kejadian itu, dia selalu menghindar dariku, mungkin karena rasa malu dan sesal, atau malah semakin marah dan benci karena kehadiranku semakin merunyamkan hubungannya dengan Mas Jun. Entahlah.

“Salwa, apa wanita itu masih saja mengurung dirinya di kamar?” Mas Jun tiba-tiba datang di sampingku. Aku sedikit terkejut.

“Iya, Mas. Hari ini sudah lebih dua hari, tidak biasanya seperti ini.”

“Biarkan saja. Nanti kalau lapar pasti akan keluar juga.” Mas Jun berlalu.

“Mas, jangan begitu. Apa tidak sebaiknya kita mengetuk dan mengajaknya berbicara? Kita sudah terlalu kejam padanya karena tidak memperdulikan kehadiran dia di sini.”

Mas Jun terhenti, sebentar saja, kemudian hampir beranjak pergi lagi. Kuraih lengannya perlahan, kemudian memeluk lengan kokoh itu. “Ayolah, Mas. Aku mohon. Mari kita selesaikan kebekuan pada pernikahan kita. Aku benci harus seperti ini terus.” kataku. Tanpa terasa, air mataku mengalir pelan.

“Ah, Salwa. Sungguh aku sebenarnya malu kepada kalian,” dia memelukku, “ini salahku karena tidak bisa membimbing dua pernikahan ini dengan adil, sehingga timbul perasaan cemburu pada Ericaku. Salwa, mungkin aku terlalu kaku dengan egoku yang tidak mau meaafkannya karena menghancurkan impianku. Ah, iya sayangku. Kau benar, sudah seharusnya kita hentikan semua ini.”

Kami berpelukan cukup lama. Kutahu suamiku saat ini sedang menahan tangis. Tidak apa-apa. Itu karena dia lelaki. Aku paham benar.

“Ma,” Mas Jun mengetuk pintu kamar. “Mama tolong bukakan pintu. Ayo kita berbicara bertiga.”

Hening, tidak ada jawaban dari dalamnya.

“Mama. Papa ingin meminta maaf karena membiarkanmu terbenam sendiri dalam kesedihan. Tolong bukakan pintunya, Ma.”

“Mbak Rica.”

Masih diam. Hanya terdengar suara detik jarum jam yang menggema di atas pintu kamar.

Kami berdua berpandangan. Terbesit kecemasan di kedua mata Mas Jun. Lalu tanpa berkata lagi, dia berlari ke arah dapur, mengambil kunci cadangan kamar Mbak Rica. Berlari kembali, lalu segera secepat kilat membuka pintu.

Brak! Dibanting keras daun pintu itu. Mata kami menyapu kamar. Kosong. Tidak ada Mbak Rica. Lalu melesat ke kamar mandi. Pintunya terkunci juga. Wajah Mas Jun sudah menekuk, cemas sekali. Dan dadaku berdebar kencang, jantung seperti hendak lepas dari rongganya. Tuhan, jangan ada apa-apa, aku mohon.

Kali ini pintu didobrak kasar. Dua kali dorongan kaki baru bisa terbuka. Dan, astaghfirullohal’adzhim, tampak tubuh kaku Mbak Rica terduduk dalam lantai kamar mandi, bersandar pada dinding, dengan kepala tertunduk. Dari pergelangan tangan yang menganga, tampak gumpalan darah yang mengering dan menggenang di lantai. Lalu kulihat secarik kertas bertuliskan “maafkan aku” tenggelam dalam darah.

Mas Jun jatuh terduduk di hadapan tubuh yang tak bernyawa di depan kami. Menangis keras-keras penuh penyesalan. Kepalan tangannya menghantam lantai berkali-kali. Kutahan lengan itu, lalu kupeluk suamiku yang rapuh karena ditinggal mati istri pertama yang begitu dicintainya. Aku menemani tangis pilu Mas Jun dalam menit-menit berikutnya, dalam seguk kesedihanku. Menangis berdua, menatap pada sebuah mayat, yang ruhnya pergi dengan membawa benci dan penyesalan.

***

“Erica, Erica! Sudah mau maghrib, sayang. Ayo masuk ke dalam rumah, nak.”

Gadis kecil yang kupanggil berlari menghampiri. Dia tersenyum-senyum ceria. Wajah ayunya bahagia sekali.

“Wah, ada apa? Mengapa Erica tersenyum? Ada yang menyenangkankah, sayang?” tanyaku.

“Bunda, aku tadi betemu dengan tante yang mirip sekali dengan Mama. Dia memelukku sambil menangis,” kukerutkan alisku, berusaha memahami ceritanya barusan, “kata tante, dia berterima kasih sama Bunda dan Papa. Karena sudah memberikan anak yang cantik padanya. Tante sekarang bahagia. Aku tidak mengerti, apa tante itu temannya Bunda?”

Aku terkejut. Mataku menyapu halaman rumah. Sebuah pohon akasia yang rindang tiba-tiba membuatku merinding. Seolah ada sesuatu tersembunyi di sana. Mbak Rica, engkau kah itu?



Nda, 020114




1 komentar: