Senin, 27 Februari 2017

HILANGNYA KEKASIHKU, KOPER, DAN SURAT-SURAT


KEKASIHKU tiba-tiba saja hilang, padahal banyak surat yang ingin aku baca. Sebuah gulungan koran dilempar di depan pintu oleh seorang pemuda dekil. Anjing tetanggaku mengambilnya. Liurnya menetes dan menyatu dengan kertas-kertas. Aku merasai kemualan yang tidak terhentikan. Aku berlari ke samping rumah, memuntahkan hidangan makan pagi di atas rumput Ibu. Cucianku masih saja lembek dan basah, tetapi mendung berlarian di pucuk-pucuk daun kersen. Tidak ada angin pagi ini. Botol minuman mineral kesepian di atas meja. Pantat Ayah berkarat. Setiap dia melangkah, terdengar bunyi derit yang memilukan. Krek, krek, krek. Kruk, kruk, kruk.

Oh, Tuhan... Ayah sudah terlalu tua untuk jadi seoranh Napoleon!

Surat-surat bertumpuk dalam koper, belum aku baca. Beruang berbulu cokelat menangis di bawah ranjang tidur masa kanakku, manik hidungnya terbelah. Telapak kakiku lepas kebingungan, mataku berenang mencari koper berisi surat-surat.

"Ayah! Di mana koperku?!"

Pekarangan rumah tiba-tiba saja membungkam. Ayam-ayam menggiring anaknya pulang, memeluk kandang kayu. Reyot, kuyup, beku. Ayah berderit-derit sepanjang pagi dan aku berenang di daster Ibu.

"Ayah! Di mana koperku?!"

Aku ingin membuang berak. Ombak di daster Ibu semakin besar. Karang-karang mulai menjulang, mengamuk. Badai besar datang! Badai besar datang! Aku lari ketakutan. Di dalam kamar mandi Ayah masih berderit. Matanya sibuk membaca sebuah surat. Dia mendelik. Dia nampak seperti robot yang kehabisan oli.

Kutanya sekali lagi, "Ayah, di mana koperku?!"

Pantat Ayah akhirnya bungkam. Dia sudah bosan menderit-derit. Air di daster Ibu kering. Lautan tandus. Ada koper di dasarnya, berwarna hitam, surat-surat terombang-ambing di sampingnya. Kata-kata melayang satu per satu. Hei, itu koperku! Itu surat-surat kekasihku!

Di dalam koper, itu kepala kekasihku!!


Sidoarjo, 2015

SEPATU (KUMPULAN FIKSIMINI)


KISAH CINTA SEPASANG SEPATU || Mereka melarikan diri karena tidak direstui membina rumah tangga baru.

SEPIRING MAKAN MALAM YANG MEWAH || Di depan tungku kompor yang menyala, seorang ibu memotong-motong sepatu kulit yang ditemukannya.

INGIN BELAJAR TERBANG || Ia menjahit sepasang sayap merpati bapak di kedua sepatunya.

TIDAK ADA SEPATU HARI INI || Banjir di rumahnya telah melenyapkan segala-galanya.

SEBUAH PERNIKAHAN YANG KHUSYUK || Di depan sepasang sepatu mantan pacarnya, ia mengucapkan ijab-qobul dengan penuh cinta. Para undangan bertepuk tangan.

KELUARGA BAHAGIA || Menjelang sore, sepatu bapak membaca koran di teras, sepatu ibu meneteki sepatu-sepatu bayi di kamar tidur.

SEPATU-SEPATU USANG YANG DIBAKAR || Mereka semua membaca doa sambil menahan rasa panas, satu per satu roh-roh sepatu terbang, menuju surga.

KETIKA SEPATU ADIK SUDAH MENJULURKAN LIDAH || Bapak melemparkan tulang ke arahnya. Sedetik kemudian, sepatu itu menggonggong.



TIDAK INGIN LUPA INGATAN TENTANG IMPIAN || Setiap pagi, ibu menghitung jumlah sepatu di dalam kepalanya.

DI HALAMAN MASJID, KETIKA SHOLAT JUMAT SEDANG BERLANGSUNG || Sepatu-sepatu bermusyawarah, menyusun rencana menguasai dunia. []



Sidoarjo, 2017

Minggu, 26 Februari 2017

BIBIR HALTE


Duduk. Orang-orang menunggu. Terkantuk-kantuk. Ada pengemis tertawa di telapak kaki mereka. Beri saya uang, Pak. Beri saya uang, Mbak. Perut saya kosong. Istri saya sekarat, dia kejang-kejang di amben bambu. Permisi, kepalamu terlalu besar. Geserlah sedikit, saya mau duduk. Bisakah kamu meledak? Kamu pikir aku Nazi? Otaknya itu tumpukan udang busuk! Sssttt...  Siapa presidenmu? Aku tidak punya presiden. Aku pecinta Tuhan. Ya! Lalu, siapa Tuhanmu? Lihat, kakek-kakek veteran makan arang! Permisi, hidungmu terlalu besar. Kamu mendengkur ya? Bus belum juga datang. Tunggu aku sejam lagi di rumah kita, Sayang. Jangan ungkit-ungkit tentang hidung! Hei, siapa presidenmu? Kubilang aku tidak punya presiden! Negara sudah terlalu sakit, jiwanya patah, butuh jarum-jarum nenek untuk menjahitnya kembali. Apa kamu tahu? Bus memang tidak pernah tepat waktu. Perempuan tua menarik gerobak, berisi halaman rumah. Suaminya menyimpan perempuan lain di bawah ketiak. Ladang dan gunung dan sawah dan hutan belantara di tanganku sudah gundul, isinya pecah berhamburan, telapak tanganku kosong. Negara adalah rumah yang besar. Tubuhnya bau busuk. Tidak ada cerobong asap di langit malam. Hei, ada kutu di rambutmu! Sudahlah, dewan saja otaknya penuh kutu. Ya, dan hidungmu benar-benar besar! Tuan, anak saya mau mati. Sedekah! Sedekah! Artis AA dua ratus juta? Sedekah! Sedekah! Sudah kubilang, jangan singgung tentang hidung! Kamu seorang Nazi ya?

Oh, Tuhan, kapan hujanmu ini akan berakhir? []



Sidoarjo, 2015

Sabtu, 25 Februari 2017

KAMPUNG HALAMANMU


Di kampung halamanmu buih-buih pagi pecah, matahari mulai pikun, lupa cara berdenyar. Sebuah pohon nangka roboh melintang, menghalangi langkah bocah yang hendak berak di pematang. Kamu hari itu resah merengek, menarik-narik daster Ibu, menghisapi jempol yang masih bau tajin hangat.

Ibumu kesunyian. Ia terus saja berjalan, menenteng bungkusan nasi dalam keranjang bambu; ikan asin kepala batu, urap daun pepaya dan luntas, seikat teh hangat tanpa cinta.

Di kampung halamanmu bapakmu merobek dada bumi. Menjejali benih-benih. Menjejali peluh. Menjejali mimpi. Pagi itu lurah bapakmu diseret polisi. Tangannya diborgol besi. Menangis-nangis, dengan mulut bau korupsi. Bapakmu menggeleng-nggeleng girang. Berseru: Syukur aku hanya seorang petani biasa

Dari kampung halamanmu aku telah membawamu pergi. Kuseret kakimu dengan rantai perkawinan. Kucumbui birahimu dengan cinta-cinta perempuan kota. Kamu, aku, tanpa kampung halamanmu.

Suatu malam, ketika kamu tidur, kampung halamanmu mendarat di ranjangku. Warnanya biru, itu langit, tumpukan langit. Burung-burung tidak bisa terbang, mereka berenang di sekumpulan awan berwarna kapas. Tidak ada malam, ataupun siang. Yang ada hanyalah senja. Kampung halamanmu menjerit-jerit, hujan menimpahi ranjang, kamu jadi kuyup.

Aku ingin pulang, ujarmu merengek.

Kampung halamanmu mulai menangis. Pada lempengan-lempengan kenangan yang sudah kulebur, pada sekerat rindu yang sudah kulipat-lipat. Ingat Ibu, ingat Bapak, ingat kuburan kakekmu, ingat kerbaumu yang bunting, ingat sawah bapakmu yang sudah rata, ingat gadis kecil bersepeda kuning, rambutnya dikepang dua. Tapi aku tidak ingin dia membawamu pergi. Kutikam lehernya dengan belati, berkali-kali. Kampung halamanmu berpendar-pendar, lalu redup. Bintangnya berjatuhan, awan-awan menggelinding pulang. Kau membuka mata, ada yang hilang di sana.

Tenang, Sayang. Akulah kampung halamanmu sekarang. []



Sidoarjo, 2015


Jumat, 24 Februari 2017

LANGIT TIDAK BERWARNA BIRU, SAYANG



Anakku berkata: Belikan aku baju baru
Angin berlari, melirik sejenak ke arahku
Lihatlah bajuku, Ibu, ujar anakku lagi
Apa yang butuh untuk dilihat, Sayang?
Lubang-lubang
Lumba-lumba yang kusam
Lautan surut
Ekor duyung terpotong
Sisik ikan berenang-renang

Bajumu indah
Ibu mengajariku berbohong?
Tidak. Ibu sedang menggembirakan diri Ibu sendiri.

Suatu sore, anakku merengek kembali
Balon, Ibu! Balon, Ibu!
Aku bergeming
Menghitung bintang, menghitung kegelapan
Selimut kami menggigil kedinginan, wajahnya pucat masai
Dinding-dinding mencandainya dengan kemesraan

Balon, Ibu! Balon, Ibu! Yang warna biru, seperti langit!

Langit tidak pernah berwarna biru, Sayang
Langit adalah kekosongan
Langit hanyalah cermin yang teramat besar
Kalau begitu, kenapa langit bisa menjadi biru, Ibu?
Anakku menatapku diam
Aku diam
Laron-laron diam
Tiang listrik diam
Tong sampah diam
Botol mineral diam
Jalan raya diam

Ibu...?

Aku mengedip tekun, ia menunggu

Karena dada Ibu juga biru, Sayang
Langit bercermin pada Ibu
Langit bercermin pada ibu-ibu berdada biru
Kalau dadaku?
Dadamu seputih awan
Dadamu matahari
Jangan izinkan seseorang menghantam dadamu
Hingga menjelma biru
Pilu
Bisu
Seperti Ibu



Sidoarjo, 2017

IBU DAN MIMPI-MIMPI MALAM NATAL


Orang yang berhati gelap hanya akan melihat mimpi yang gelap.
Apabila hatinya lebih gelap lagi, mimpi pun dia tidak akan bisa.

***

Setiap malam Natal tiba dan saya sadar kalau tidak ada dirinya lagi di sisi saya, saya akan selalu mendapati mimpi-mimpi yang mengelisahkan. Saya terbangun dengan napas sesak, lalu teringat akan kata-katanya pada suatu masa yang teramat jauh. Ia berkata bahwa ia telah mengutipnya dari buku si Murakami. Saya sedang benar-benar memikirkan itu saat ini, kemudian bertanya pada diri saya sendiri: Apakah hati saya telah berubah menjadi gelap karena sebuah perpisahan pedih dengannya?

Di dalam mimpi itu saya menemui diri saya berada di dalam rumah kayu musim dingin yang tengah murung. Tidak ada cahaya lilin. Tidak ada tepuk tangan kurcaci-kurcaci. Tidak ada nyanyian dan suara gemerincing lonceng kecil di leher rusa bertanduk emas. Tidak ada tawa Santa. Tidak ada dirinya yang membawa sekotak kado berwarna merah. Tidak ada adik-adik saya, juga Ayah.

Di rumah itu, sebuah pohon Natal berdiri lelah di samping perapian. Lampu-lampu kecilnya menyala redup, kemudian mati, dan pohon itu merintih dengan khidmat, meminta saya mengembalikan tubuh tuanya itu kembali ke dalam kotak kardusnya saja. Mengapa, tanya saya. Lalu pohon itu menjawab dengan bisik kepahitannya, “Sudah tidak ada lagi perayaan Natal di rumah ini, untuk apa aku berdiri di sini?” Kemudian saya merasakan kepedihan mulai melesak ke dalam dada saya yang berlubang—seperti dada miliknya.

Ia pergi meninggalkan kami bertahun-tahun yang lalu, di suatu malam Natal yang teramat hening. Ia bahkan belum membungkus kado untuk saya, juga untuk adik-adik saya. Tumpukan bola kapas di bawah pohon natal kami terlihat begitu kesepian tanpa kado-kado. Saya berduka. Adik-adik saya juga berduka, tapi Ayah tidak.

Dua hari sebelum ia pergi, saya melihat gumpalan mendung menempel terlalu lekat di halaman matanya, tapi tidak pernah luruh menjadi hujan. Ia selalu berkata pada saya, ada rumah di bola matanya. Cantik dan rindang. Di dalam rumah itu, ia, saya, dan adik-adik saya adalah penghuni abadinya. Lalu, di mana Ayah, Ibu? Kenapa Ayah tidak ikut masuk ke mata Ibu? Tanya saya ketika itu, dan ia menjawab dengan senyuman yang dipaksa: Tidak ada Ayah di dalam rumah di mata Ibu, Sayang. Sebaiknya akan terus seperti itu saja.

Ketika itu, saya tidak mampu memahami makna kata-katanya. Saya lebih memilih tidur lelap di pangkuannya daripada berpikir. Pangkuannya adalah tempat paling hangat yang pernah saya rasai. Dan saya jadi bermimpi tentang padang rumput di mana anjing-anjing beagle berwarna hitam dan cokelat berlari-lari mengitari saya dan dirinya dan adik-adik saya yang tengah menari-nari dan bertepuk tangan dengan sukacita. Matahari begitu terik, tapi tidak membakar kulit-kulit kami yang pucat. Mata sipitnya berbinar-binar. Ada air terjun yang merayap perlahan. Jangan menangis, Ibu, ujar saya menenangkannya, lalu ia memeluk saya dan adik-adik saya dengan rapat dan hangat.

Tapi mimpi itu pada akhirnya harus pergi ketika hujan turun begitu deras dan memukul-mukul atap rumah, menimbulkan suara gaduh yang sesak, tapi saya justru terbangun karena teriakan-teriakan. Ia masuk ke dalam kamar saya dengan membanting pintu. Saya menyalakan lampu meja di samping ranjang dan menemui dirinya yang terduduk di tepi kursi belajar saya. Ia mengerjab, dan saya telah melihatnya. Gumpalan mendung di halaman matanya melahirkan petir-petir dan gemuruh guntur yang menghirukkan malam. Saya menggigil ketakutan. Saya berpikir malam akan melarikan diri dan pagi yang pikuk akan memporak-porandakan ketenangan kami kembali.

“Jangan pandangi Ibu seperti itu, Yuan.”

“Kenapa, Ibu? Kenapa tidak boleh?”

“Ibu sedang berduka.”

“Jika Ibu berduka, Yuan ingin menemani Ibu.”

“Tidak, Yuan, jangan ingat Ibu yang seperti ini.”

Malam itu, ia memeluk saya sedemikian erat. Sebuah pelukan terakhir. Saya tidak menyadari hal itu.

Orang-orang dewasa pernah berkata kepada saya, bahwa ia adalah perempuan yang tidak tahu terima kasih dan suaminya adalah lelaki paling baik yang pernah ia dapatkan. Tapi saya tidak mempercayai kata-kata itu. Bagi saya, ia adalah Ibu yang terhebat.

Hidup tanpanya memaksa saya tumbuh menjadi wanita yang tidak lagi menyukai Natal. Bagi saya, Natal adalah sebuah pertanda kesialan, yang jika saya merayakan dengan sukacita—seperti kami di masa lalu—maka saya akan kehilangan orang yang saya cintai sekali lagi. Saya sekarang mengerti. Mungkin benar karena itulah, karena saya sudah tidak lagi menyentuh cahaya Natal di hati saya, hati saya berubah menjadi pekat. Mungkin karena itu jugalah saya selalu mengalami mimpi-mimpi yang menggelisahkan. Seperti apa yang telah dikatakan si tua Murakami. Tapi saya bersyukur saya masih memiliki mimpi-mimpi malam Natal walaupun itu menyakitkan, daripada saya tidak bermimpi sama sekali, bukan begitu?

Pukul sebelas malam akhirnya datang. Jam dinding tua peninggalannya berdentang dan saya tersentak. Hampir tengah malam. Kuncup Natal sebentar lagi akan merekah, dan di saat seperti ini, saya di masa lalu hanya akan menggelung diri dan menutup telinga dan mata sepanjang hari. Rumah ini telah menjadi kuburan senyap semenjak Ayah meninggal dan adik-adik saya menikah lalu pergi. Saya seorang diri. Saya tidak ingin menikah dan membangun keluarga, padahal saya sudah tiga puluh lima tahun. Saya takut kesialan yang menimpa dirinya juga akan menimpa diri saya.

Sesungguhnya, seorang pria mapan, sahabat saya, telah berkali-kali melamar, tapi saya senantiasa menolaknya. Saya tahu dia kecewa, tapi tidak pernah menyerah pada diri saya. Kemarin senja, ketika kami pulang kerja bersama-sama, dia kembali melamar saya. Lamaran yang lebih serius. Ada sekotak cincin di tangannya dan dia memandang saya dengan teduh. Saya akui dada saya berdebar, tapi ketakutan itu tetap menyertai dan sekali lagi, saya menolak dirinya.

Pernikahan Ibu dan Ayah saya yang gagal di tengah jalan, telah menanamkan nilai-nilai buruk di dalam kepala saya. Pernikahan adalah ikatan yang membuat salah satu di antaranya merasakan kepedihan sementara yang lain akan merasakan kesepian. Tidak ada yang indah dari sebuah pernikahan, itu yang saya pelajari dari kedua orangtua saya.

Semenjak Ibu pergi di malam Natal yang hening dan tidak ada kado di atas tumpukan bola-bola kapas, Ayah menjadi pria gila dan putus asa yang paling andal di dunia ini. Setiap hari hanya diisi dengan mabuk dan mengoceh. Ocehannya sangat buruk dan tidak pantas untuk didengar oleh bocah-bocah yang menangis dan mengkhawatirkan dirinya dari balik selimut tebal dengan tubuh menggigil. Ayah akan selalu melempari dinding dengan apapun yang mampu digapainya, memaki dinding itu dengan tangisan pedih seolah-olah Ibu ada di dalamnya, terperangkap dalam batu bata dan semen yang mengeras. Di mata saya, Ayah nampak menggelikan. Bagaimana bisa seorang pria menangisi hal yang tidak mampu dipertahankannya layaknya seorang pria sejati?

Sebuah ketukan kecil tiba-tiba terdengar di kaca jendela kamar saya. Suaranya seperti sebuah lemparan kerikil. Saya mengernyit, berpikir, lalu turun dari ranjang dan menghampiri jendela. Samar terlihat cahaya temaram di balik tirai jendela. Saya menyibak kain berwarna kelabu itu dan melihat sesuatu di bawah sana, di atas hamparan salju yang putih pucat: Ibu dan pria yang berkali-kali melamar diri saya. Sungguh tidak masuk akal. Saya mengucek mata dan kembali menekuni mereka. Ibu tidak lagi ada. Ia telah menghilang. Di tempat Ibu berdiri tadi, saya menemui sebuah pohon Natal berdiri tegak. Berkelap-kelip. Puluhan lilin-lilin kecil mengelilingi halaman rumah.

Pria itu tersenyum dan melambai pada saya. “Turunlah!” Dia berseru, tapi saya ragu menuruti permintaannya.

“Buat apa aku turun?”

“Mari merayakan Natal bersamaku, Yuan!”

Sebuah permintaan yang konyol, padahal dia tahu saya sudah tidak lagi merayakannya.

“Aku mengantuk!”

“Jangan tidur di malam Natal, kau akan kehilangan cahaya-Nya!”

“Sudah terlalu lama aku kehilangan itu!”

“Ayolah, Yuan. Jangan keras kepala. Menikahlah denganku dan aku akan selalu membuatmu bahagia!”

Ah, lamaran itu lagi. Saya menjadi geram dan memutuskan untuk turun ke bawah. Sepertinya benar, seorang lelaki butuh dijelaskan berkali-kali agar betul-betul mengerti. Dengan lesat saya keluar kamar, menuruni tangga dan bergegas ke pintu depan. Udara musim dingin menerpa wajah saya begitu pintu itu saya buka. Rasanya seperti diterjang kemalangan yang lama membeku. Tapi sejenak kemudian, pendar hangat itu bergoyang-goyang seolah menari di depan mata saya. Cahaya-cahaya keemasan dan dia yang berjalan menghampiri saya.

“Selamat Natal, Yuan. Semoga kau selalu diterangi cahaya cinta-Nya.”

Saya terhenyak, merasai keanehan yang menjalar. Dia segera meraih tangan saya dan menggiring saya berjalan mendekat ke arah pohon. Berkotak-kotak kado berwarna merah tergeletak di atas salju. Itu mengingatkan saya pada Ibu.

Di hari ketika Ibu mengikatkan tali di lehernya yang jenjang dan indah, dan melemparkan tubuhnya ke bawah, saya melihatnya dari halaman rumah ini. Ibu kejang-kejang sebentar, lalu berhenti. Ia mendelik, tapi rumah di dalam bola matanya tidak nampak lagi. Ayah berlari masuk rumah dengan gusar. Adik-adik saya menangis, tapi saya membeku dan diam. Hanya melihat mata Ibu yang telah kosong. Mata yang seakan ingin berkata pada saya: Tidak ada kebahagiaan sejati di dunia ini, kau harus memilih antara menerimanya dengan sukacita ataukah pergi mati.

Tiba-tiba saja air mata saya luruh. Saya limbung dan jatuh terduduk. Pria itu terhenyak dan segera memeluk saya dan berkata, “Semua akan baik-baik saja, Yuan. Aku janji padamu.”

Dan dentang jam terdengar dua belas kali. Sepertinya, Natal telah bersemi di dalam dada saya yang berlubang. Apakah setelah ini, saya akan memiliki mimpi-mimpi yang teramat indah? []



Sidoarjo, 2016






"Orang yang berhati gelap hanya akan melihat mimpi yang gelap. Apabila hatinya lebih gelap lagi, mimpi pun dia tidak akan bisa." dikutip dari buku Dengarlah Nyanyian Angin oleh Haruki Murakami (diterbitkan oleh KPG, cetakan kedua, Mei 2013)

Rabu, 22 Februari 2017

RAHIM DI SUMUR IBU


Ada rahim di dalam sumur ibuku. Sumur Ibu kusam dan dalam. Baju-baju kotor tenggelam di bak mandi, meminta pertolonganku, tapi Ibu melarang mereka merengek. Ibu berkata padaku: Jika kamu membantu yang lemah, kamu juga akan menjadi lemah. Pertolongan adalah sebuah karma.

Rahim di sumur Ibu itu mengangah. Kata ibuku dia bisa membawa kita semua masuk surga. Di surga ada Bapa, ada malaikat-malaikat, ada orang-orang saleh, bidadari-bidadari, dan jejaka yang menunggangi domba. Tapi di surga tidak ada aku, tidak ada Ibu, tidak ada Bapak. Aku, Ibu, Bapak, tidak dilahirkan untuk surga. Aku, Ibu, Bapak, dilahirkan untuk dibenamkan ke dalam tanah. Gelap dan lembab. Jika hujan datang, kami akan berenang. Di dalam tanah. Bersama ulat dan belatung-belatung.

Kompor Ibu sering menyala garang. Apinya marah dan menyumpah-nyumpah. Nasib kami bau anjing, terpanggang di atas kompor Ibu. Saku celana Bapak suka berlubang, uang-uang jatuh, uang-uang berhamburan, uang-uang menghilang. Bapak bilang bukan kesalahannya, itu salah celana yang sudah melubangi dirinya sendiri. Ibu tidak percaya, tapi dia diam. Ibu adalah kesunyian yang bernyanyi. Tek, tek, tek. Dung, dung, dung. Tek, tek, tek. Dung, dung, dung. Ibu dan kesedihan, berlomba menabuh tawa di bibir sumur. Sumur yang ada rahimnya, yang bisa membawa manusia ke surga.

"Telan tubuh kami, Sumur! Telan dosa-dosa kami!"

Bosan. Aku ingin hidup di tubuh pelangi, atau hujan, atau awan-awan. Aku ingin jadi kura-kura, atau kelinci, atau cacing di dalam bumi, atau jutaan plankton di dada lautan. Aku ingin jadi kamu, yang tidak pernah ingat aku.

Bosan. Apa aku harus ditelan rahim di dalam sumur Ibu agar aku bertemu Bapa di surga? Ah, lupa. Aku tidak dilahirkan untuk masuk surga... []




Sidoarjo, 2015

SURGA DAN KECUPAN TERAKHIR


TERKADANG, aku berpikir ingin menikahi hujan agar aku bisa lebih lama berendam di dalam tubuhnya dan melupakan ketidakwarasan dunia, tapi di antara kita telah ada kecupan selamat tidur yang mengantarkan mimpi-mimpi buruk tentang kematian dalam ubin-ubin malam. Kamu suka berlindung di bawah pohon trembesi yang telah hangus dipanggang api-api ketidakpastian. Lalu lampu-lampu taman menangisi ketidakhadiranmu di pagi yang teramat senyap itu, menggantikan air mataku yang telah surut, lesap ke bawah kaki-kaki kesepian.

Ke manakah kamu setelah kecupan terakhir itu?

Pelangi bukanlah hal yang paling indah di dunia ini, kata kamu. Aku jadi ingat ibuku. Ingat surga yang kusam di telapak kakinya. Apakah aku juga akan memiliki surga semurung itu? Kamu tidak pernah hadir di dalam surga itu, apalagi Tuhan.

Tubuhmu seperti dapur yang penuh dengan panci-panci berpantat hitam. Tapi aku tetap suka memasak pasta dengan taburan daging cincang dan parutan keju di atas dadamu. Air dalam galon telah habis, ibuku malas mengisinya kembali. Jiwa ibuku terluka di siang itu. Isi kulkas diterlantarkan hawa dingin, dan aku terkencing-kencing saat baru mengenal cinta pertama. Mengenal kamu. Mengenal kecupmu.

Ibuku pernah berkata, lelaki hanya menyukai mata yang berwarna merah. Karena itu kutuang darah di mataku, dan kamu bilang itu menjijikan. Bangku taman masih saja kesepian, tidak ada tubuhmu, tidak ada mataku yang memerah. Dia melarikan diri dari kenangan-kenangan, dan putaran Jupiter mendadak lebih cepat dari batas normalnya.

Ke manakah kamu setelah kecupan terakhir itu?

Tuhan, aku akan mencuri surgamu, menjahitnya di telapak kakiku dengan jarum-jarum Ibu yang tidak pernah berkarat.

Tuhan, mungkin esok aku juga akan mencuri tubuhmu, matamu, bibirmu, mukjizat-mukjizatmu, kalammu, dan meletakan kesemuanya di dalam surgaku. Lalu malaikat-malaikatmu, sungai mata airmu, pelangi tujuh warnamu, pasir-pasir berlianmu, juga pohon-pohon kurmamu.

Anak-anak berlari riang, berceloteh dalam rahimku tentang kegilaan dan malapetaka yang orang-orang itu sebarkan dalam pamflet-pemflet kerohanian.

"Kiamat akan datang! Kiamat akan datang! Mari kita mati bersama, bergandengan tangan!"

"Kiamat datang! Surga menunggu kita! Mari masuk agama saya!"

"Masa bodoh dengan kiamat!"

"Masa bodoh dengan agamamu, Bangsat!"

Kecupan terakhirmu lesat. Aku ingin menikahi hujan saja, bolehkah? []




Sidoarjo, 2015

BUKIT DI BUAH DADANYA


ADA sekumpulan bunga di buah dadanya. Bunga-bunga yang bersiul, bunga-bunga yang melambaikan tangan, bunga-bunga yang tertidur, bunga-bunga yang berkedip. Merah. Ungu. Biru. Jingga. Abu-abu. Buah dadanya adalah bukit, dua buah bukit. Pohon-pohon menari. Buah-buah menggantung. Mangga. Belimbing. Kelapa. Ceri merah. Bukit di buah dadanya lindap dan hijau. Sekonyong-konyong aku berteduh, menidurinya, bergulung-gulung,  menarik selimut rumput, menikmati sekumpulan bunga yang mengedip genit, lalu terengah-engah, memandang langit di buah dadanya yang begitu biru, biru yang sempurna. Anak-anak berlarian menerbangkan layang-layang, tinggi, meliuk-liuk. Angin mengepak sayap, bermain petak umpet dengan bayi-bayi burung yang mencicit. Induk burung bertepuk tangan, paruhnya penuh cacing-cacing bertubuh gelap. Seekor anjing menggonggong keras, mengibas ekor cepat-cepat. Berlari mencari matahari. Sekumpulan kupu-kupu digertak jaring, terbang kalang-kabut, terjungkal-jungkal, disambut tawa bocah-bocah kegirangan. Ibu-ibu mereka menabuh pantat panci.  Teng teng teng! "Waktunya makan, bocah!" Teng teng teng! "Waktunya makan, bocah! Jangan seperti bapakmu yang lupa dengan rumah!"

Pagi di buah dadanya pikuk. Sementara dirinya, masih saja lelap, di sela-sela paha embun yang mulai menguap. []



Sidoarjo, 2015

Selasa, 21 Februari 2017

KEBOHONGAN YANG MENGGANTUNG DI BIBIR SUAMI SAYA


ADA sebuah kebohongan yang menggantung di bibir suami saya. Dia suka melambaikan tangannya ke arah saya, padahal saya sama sekali tidak mengenalnya. Ia berwajah keriput, penuh guratan hitam di seluruh tubuhnya. Bau tubuhnya seperti tumpukan sampah busuk. Dan setiap kali saya memandangnya, entah mengapa saya selalu ingin marah-marah.

Suatu hari kebohongan itu tiba-tiba saja sudah membangun sebuah rumah di bibir suami saya. Rumah yang bahkan lebih megah dari rumah kami. Rumah kami begitu ringkih, begitu menyedihkan. Tidak ada langit. Tidak ada burung-burung. Tidak ada Tuhan. Tangisan rumah saya memekak telinga, menyusup hingga ke alam mimpi. Pintu rumah saya sudah keropos, jendelanya ditumbuhi janji-janji yang durhaka. Rumah saya lembab, bau, dan pecah-pecah. Tapi rumah kebohongan di bibir suami saya begitu gemilang. Kebohongan itu, entah mendapat uang dari mana hingga dia bisa membangun rumah seindah itu di bibir suami saya. Saya curiga, jangan-jangan dialah yang selama ini telah mengebiri gaji suami saya. Saya benar-benar ingin lebih marah sekarang.

Kegilaan yang dilakukan kebohongan yang menggantung dan membangun rumah di bibir suami saya tidak berhenti di situ saja. Dia bahkan berani mencuri matahari yang saya simpan di langit-langit rumah saya. Itu matahari paling hangat yang pernah saya petik dari langit, tapi sekarang sudah tidak ada lagi jejaknya di rumah saya. Kebohongan itu juga mencabuti bunga-bunga kamboja di halaman rumah saya. Dia menanamnya berjajar di kebunnya, lalu menggantungkan matahari di atasnya. Dia berkata: Beginilah seharusnya matahari itu berada. Dan itu semakin membuat saya berang.

Keesokan harinya, saat saya baru saja terbangun dari tidur, saya dikejutkan oleh tawa anak-anak, padahal tidak ada anak-anak di dalam rumah saya. Tapi mengapa suara itu begitu dekat, seperti ada di samping telinga saya? Lalu kembali saya terperanga. Di bibir suami saya yang sedang terpejam di samping saya itu, terlihat anak-anak kebohongan berlarian sambil tertawa-tawa. Mereka berkaki empat, layaknya anjing. Ekornya pendek, lebat, dan bergoyang-goyang. Melihatnya, saya hampir gila. Bagaimana bisa kebohongan beranak-pinak di bibir suami saya? Bibir hitam dan tebal itu kini bahkan lebih indah, lebih ramai dan lebih hidup di bandingkan rumah saya sendiri. Saya tidak bisa terima ini. Saya sudah benar-benar marah.

Ketika suami saya bangun, dengan penuh keberanian saya utarakan keberatan hati saya tentang kebohongan yang menggantung di bibirnya. Tapi suami saya menyangkal, tidak ada kebohongan di bibirnya. Tidak ada sebuah rumah, tidak ada kebun kamboja, tidak ada matahari, juga tidak ada anak-anak berkaki empat dengan ekor lebat yang bergoyang-goyang. Suami saya bilang mungkin saya terlalu lelah, hingga berhalusinasi tentang bibirnya. Dia juga bilang, agar saya mengobati diri saya sendiri, secepatnya, agar tidak terus mengusik dirinya. Saya pun mencak-mencak layaknya orang gila (atau memang karena saya sudah gila?), tapi suami saya makin marah dan menampar pipi saya. Dari sudut mata saya yang meleleh, saya melihat kebohongan yang menggantung di bibir suami saya melambai kegirangan dari balik jendela rumahnya. Senyumnya sinis. Memuakkan.

Sialan!

Saya harus bertindak agar kebohongan itu tidak makin menguasai bibir suami saya. Harus.

Lesat saya beranjak dari ranjang dengan melotot marah. Suami saya gusar, tapi saya tidak peduli pada kegusaran. Saya berjalan ke ruang tengah, mendekati meja. Di laci meja, saya meletakkan jarum-jarum Ibu. Kebohongan itu butuh dibungkam, sebelum dia semakin besar. Saya akan menjahitnya dengan teramat cepat. Sangat cepat. Dan rapat. []



Sidoarjo, 2015

HUTAN DI TELAPAK TANGANMU


Kamu tidak tahu, ada hutan di telapak tanganmu. Kicauan burung bersahutan dari dalam sana. Juga desisan ular, auman singa, derap-derap kaki rusa, jerit-jerit muram para kera. Tapi bagimu, telapak tangan itu hanyalah alat untuk membelai buah dada.

Kamu tidak pernah tahu, hutan di telapak tanganmu mulai gersang. Pohon-pohon mati, binatang menggeliat, mencari tubuh-tubuh mereka yang mulai lenyap. Anak-anak angin melarikan diri, mencari induk mereka yang lesat kocar-kacir. Air sungai menjelma kering, ikan-ikan berkecipak meminta hujan. Tapi bagimu, telapak tangan itu hanyalah sebuah wadah untuk menerima kejayaan.

Kamu semakin tidak pernah tahu, hutan di telapak tanganmu tenggelam dalam tubuh api yang sedang menari-nari. Malam menghujat rasa panas yang menyengat tubuhnya. Titik hujan enggan untuk turun. Ia hanya diam melihat, sambil menyulam baju hangat untuk suaminya. Di sana, di atas awan hitam yang dicipta api-api. Tapi bagimu, telapak tangan itu hanya untuk bertepuk tangan saat suara partaimu menjadi yang paling absolut.

Hutan di telapak tanganmu begitu malang, sementara kamu, sibuk memaki para wanita yang mulai lupa bagaimana meliuk-liuk di atas perutmu. []



Sidoarjo, 2015

Senin, 20 Februari 2017

KEBOSANAN PARA DINDING


SEKUMPULAN dinding, duduk di ruang pertemuan. Ruang yang gersang, udara pecah lalu terkapar di antara kaki-kaki mereka yang pucat. Sebuah dinding yang paling tua berdiri. Waktu dan musim terlalu sering memamahnya. Dia memimpin doa dengan khidmat. Lalu sebuah dinding berwarna kuning pucat dengan kulit yang terkelupas tiba-tiba menyela.

"Saya sudah tak tahan hidup bersama mereka. Saya mau berhenti menjadi sebuah dinding!"

Ruang rapat bergemuruh.

"Saya juga!" Sebuah dinding biru dengan dengan tubuh penuh coretan crayon ikut berdiri dari kursinya, mengacungkan jari telunjuk dengan wajah yang memerah.

"Saya juga, Pak Ketua. Mereka egois, saya bosan diterlantarkan!"

"Saya juga!"

"Saya juga!"

"Saya juga!"

Dinding-dinding bersuara pikuk. Berceloteh, saling sahut-menyahut tentang dongeng-dengeng yang membosankan. Ruangan rapat gaduh. Dinding yang paling tua mengangkat tangan. Wajahnya masih saja teduh di antara sekumpulan dinding yang melompat-lompat karena marah, mendengus-dengus karena sesal.

"Sabar semuanya ... Sabar."

Semua dinding menjadi sunyi.

"Berkatalah satu-satu, lakukan dengan kepala dingin. Jangan suka berebut seperti mereka."

Dinding-dinding yang lain mengangguk, saling tatap, lalu mengangguk-ngangguk kembali.

"Mulai dari sisi utara, katakan apa yang hendak kalian katakan. Jangan takut berkata jujur. Kita bukanlah mereka yang tak bisa menerima sebuah kebenaran lalu membungkamnya."

Dinding-dinding yang lain manggut-manggut, saling tatap, lalu maggut-manggut kembali. Mereka kembali menempatkan diri di kursi masing-masing. Berpasang-pasang mata siap menatap, berpasang-pasang telinga siap mendengarkan.

Sebuah dinding yang duduk di bangku paling utara berdiri. Wajahnya begitu pucat. Suaranya serak, seperti suara kaleng minuman soda yang diremas-remas.

"Saya tak punya telinga lagi, Pak Ketua. Saya sudah memotongnya."

"Kenapa?" tanya dinding yang paling tua.

"Mereka hanya bisa bertengkar. Berteriak dan saling memaki. Saya bosan mendengar umpatan mereka. Kata-kata itu tak pernah berhenti memantul-mantul di telinga saya."

Semua dinding terenyuh.

"Saya juga tak lagi memiliki mata. Saya telah mencongkelnya seminggu lalu," ujar sebuah dinding yang duduk di samping dinding yang tak bertelinga.

"Kenapa?"

"Lelaki di tempat saya selalu marah setiap waktu. Memukul istri dan anak-anaknya. Air mata selalu pecah di sana, saya tidak tega melihatnya."

Semua dinding mulai basah, terisak-isak.

"Saya masih memiliki telinga dan mata, tapi saya sudah menjahit bibir saya, Pak Ketua," ujar sebuah dinding berikutnya.

"Kenapa?" tanya dinding yang paling tua, sekali lagi.

"Perempuan di tempat saya terlalu berisik. Dia punya banyak berita tentang tetangga-tetangganya, dan seluruh dinding di sekitar saya selalu bertanya, Berita apa lagi hari ini? Membuat saya bosan, dan akhirnya memilih menjahit bibir saya agar tak ikut-ikutan berisik seperti perempuan itu."

Semua dinding mengelus dada, menggeleng-nggeleng kepala. Tanpa ada yang tahu, di antara mereka ada yang bertetangga dengan dinding yang menjahit bibirnya, tapi dia memilih diam.

Ruang pertemuan masih saja dipenuhi dongeng-dongeng membosankan tentang manusia. Dinding rumah sakit menangis, dinding di tempat pelacuran marah-marah, dinding di toilet umum bosan dengan bau pesing. Dinding di bandara sudah tak berkepala lagi, dia menebas kepalanya sendiri, lalu menendangnya jauh-jauh. Dinding di penjara wanita meringis, perih di selangkangan. Dinding-dinding berdasi juga bosan melihat kecurangan, mendengar bisik-bisik muslihat, mengendus rencana-rencana atas nama keutuhan bangsa. Mereka terus menggerutu, mengutuk dan merutuk, menangisi penderitaan sesama dinding.
Mereka berteriak, "Balas mereka! Buat mereka hancur!"

" Ya, balas mereka! Buat mereka hancur!"

Ruang rapat gaduh. Tiba-tiba sebuah dinding paling kekar membanting tubuhnya di tengah-tengah rapat. Tubuh itu hancur. Ruang rapat jadi sunyi. Mata-mata menukik tajam pada bata yang berceceran di lantai. Sebuah dinding berlari kencang, lalu ikut-ikutan membanting tubuhnya, hancur. Sebuah dinding lagi, lagi, dan lagi. Dinding paling tua kebingunagan. Dia linglung. Tak ada lagi yang mendengarnya. Semua dinding menghancurkan diri sendiri. Ruang rapat berubah menjadi sekumpulan bata yang mati konyol.

Keesokan harinya, bumi menjadi rata. Tak ada lagi dinding, tak ada lagi kebosanan. []



Sidoarjo, 2015

AKU DI RAHIM IBU


Suatu siang, Ibu duduk di antara wanita-wanita yang menggelembung. Wajah-wajah cemas berubah menjadi angin puyuh, menerbangkan kegelisahan, memutar-mutar ketakutan. Tapi tubuh Ibu selalu mengalir seperti laut. Terdengar tangisan di sampingku. Sebuah orok, cantik dan putih. Matanya sipit. Rambut lurus hitam kelam. Aku ingin memegang balon, warnanya merah, tapi Ibu marah. Dia memberi belati di tanganku. "Matilah saja kau!" Ibu membelalang. Aku menciut.

Ibuku sebentang lautan. Aku berenang di rahim Ibu. Dingin. Mencari cahaya, tapi laut Ibu terlalu dalam dan pekat. Ibuku sebuah belantara, sekumpulan karang, segulung awan hitam. Dia membentur dan memecah kapal-kapal yang berlabuh. Ibuku lonte, tujuh laki-laki terperangkap di rahim Ibu, menjelma aku.

Pintu, mana pintu?

Aku butuh pintu, Ibu.

Matilah saja kau!

Ada tangan melambai, lalu merayap. Tubuhku terjepit. Sesak. Aku tak mampu bernapas. Seekor kunang-kunang menari di dahiku. Kakinya kurus-kurus. Segumpal waktu yang menghilang, rahim yang mengkerut, suara-suara melindap. Lesap. Mati.

Ibu membuka rumah kembali. []



Sidoarjo, 2015 

KISAH SEDIH TENTANG TUBUHKU



Tubuhku adalah jalan raya. Hiruk. Gerah. Mengembara di dada malam. Terhempas. Pasir kerikil melayang sukacita di kepala. Mengotori mataku. Menyumbat cuping hidungku.


Mobil-mobil mewah lesat lalu-lalang. Pamer slogan-slogan, kemakmuran dan kejayaan, keajaiban dan kebinalan. Sopir minibus berkumis garang telah datang, lalu guru agama yang kuku-kukunya runcing menghitam, lalu tukang ojek motor berkudis, lalu engkong gendut berbau babi, lalu kernet mikrolet yang ludahnya amis.


"Bangku panjang tujuh! Bangku pendek empat!”


"Buk, anak-anak dipangku!"


Malam terlelap, tubuhku tertimpa pagi. Lelaki kelam dengan karung bekas di punggung berjalan tertatih. Bocah-bocah memapah pelangi. Perempuan bunting yang lupa jalan pulang. Seorang tua pincang-pincang. Kucing-kucing berkelamin. Pohon-pohon menarik diri dari tanah, melarikan diri dari kebisingan. Tubuhku menjelma lubang-lubang, tapi Bapak Presiden tidak peduli pada lubang. Buta. Membisu. Hujan datang tanpa mendung, merabai dadaku,menepuk pantatku. Kelangkangku basah. Ibu-ibu segera lari panik, menyeret anak-anaknya pulang ke rumah.


Teriakan menggema,  "Pegang paha seribu rupiah! Pegang dada dua ribu rupiah!"


"Generasi bejat!"


"Lonte!"


Aku pecah. Menua. Melarat-larat. Tubuhku berubah hitam. Malam tak lagi singgah. Mobil-mobil congkak berhamburan, malas berteduh di tubuhku lagi. Tubuhku kosong, tubuhku penuh batu-batu terjal. Lesap. Hujan tergelak-gelak, tapi langit meratapi tubuhku. Aku terperangkap di antara kicauan burung. Menangis. Tubuhku berkeping-keping, dilebur matahari, dihempas angin-angin.


Aku hilang. Aku sudah sangat lelah untuk menjadi jalan raya. []



Sidoarjo, 2015