Sabtu, 11 Juni 2016

AKU TIDAK TULI!

gambar: @r3dcarra 



Kau tahu benar, mereka senang mengataiku tuli, atau bengal, karena setiap kali aku tidak mendengarkan perintah-perintah. Tapi sungguh aku tidak tuli, hanya bengal. Dan aku tidak suka diperintah. Aku ini memang miskin. Ayah hanya seorang penjahit sepatu keliling. Pekerjaan yang hampir sia-sia, karena zaman sekarang, orang-orang tidak membutuhkan penjahit sepatu. Kau sendiri tahu itu, bukan? Tapi sekarang aku tidak akan diam lagi. Kaulah saksi dari janjiku ini. Ingatlah, nanti, saat mereka berteriak dan memakiku lagi dengan berkata: dasar tuli, tidak punya telinga, ya? Aku akan menjawab dengan lantang: TIDAK! Aku punya telinga, tapi aku hanya tidak punya daun telinga, karena setiap kali ayahku kekurangan uang, ibu memotong telinga kami (aku dan adik-adikku) untuk dijadikan lauk!


Apa kau mengerti sekarang? (*)

MATA-MATA YANG MENELANJANGI SAYA TANPA AMPUN

gambar: @r3dcarra



Di kolam itu, yang baru saja dibuat kekasih saya, ada sekumpulan mata yang menatap saya setiap malam. Mata-mata bengis (sekaligus polos) yang sedang marah, menghunjam dan menyakitkan dada saya. Awalnya saya kira itu adalah sekumpulan kecebong yang sedang keheranan menatap sosok konyol saya, seorang wanita malam yang menyedihkan. Tapi ternyata saya salah. Kecebong-kecebong sudah tentu tidak mungkin memiliki kebencian pada manusia.

Malam ini, mata-mata itu membuntang. Semakin merah dan merah. Mereka sangat marah. Tubuh saya meremang. Saya hendak menelepon kekasih saya agar segera memendam kembali kolam itu, tapi bisikan-bisikan sedih tiba-tiba saja terdengar dan menyayat.

"Ibu ..."
"Ibu ..."
"Kemarilah, Ibu."
"Kemarilah ..., di sini dingin."

Airmata saya meleleh. Saya teringat pada janin-janin kecil yang sudah gugur di kursi besi dan tangan seorang dokter. Lalu sekumpulan mata itu, menarik kaki saya ke dalam kolam. Pelan dan pelan. Dan saya tenggelam bersama mereka.

SUATU PAGI SEBELUM MALAM HALLOWEEN TIBA

gambar: @r3dcarra


Saya yakin, tidak ada yang bisa menghindari tatapan saya. Tidak juga wanita bergincu semerah darah itu. Saya sudah mempelajari banyak hal--salah satunya adalah menatap dengan mengiba layaknya kita butuh dikasihani--semenjak ibu mati dan saudara-saudara saya dibawa pergi orang-orang itu, meninggalkan saya sendirian di sini.

Wanita bergincu merah dan bergaun serba hitam itu menggendong saya dengan belaian kasih-sayang yang sehangat selimut baru. Ia berjalan menuju sebuah mobil. Seorang lelaki besar dan menakutkan sudah menunggunya. Ia melambai pada saya, tapi saya tidak memedulikannya.

Sesudah kami masuk, saya menggonggong sekali dan mengibas-kibaskan ekor sebagai ungkapan terima kasih karena ia telah memilih saya dan akan memelihara sebaik-baiknya majikan. Ia menepuk-nepuk kepala saya.

"Ya, ya, nikmati saja kebebasanmu ini, Sayang. Nanti malam kamu akan mati di meja altar dan menjadi santapan kami semua di pemujaan."

Saya tidak paham ucapannya, tapi saya tetap riang dan menggonggong sekali lagi. (*)


Kamis, 09 Juni 2016

PEREMPUAN YANG TELANJANG DI KAMAR AYAH

gambar: @r3dcarra



Dadaku terbakar dan aku ingin membunuh mereka berdua (tanganku sudah menggenggam erat sebilah pisau dapur), Ayah dan perempuan yang telanjang di dalam kamarnya. Mata ini membuntang, bibirku mulus mengeluarkan makian-makian. Ayahku berwajah pucat dan kikuk. Suaranya tergeragap seperti bocah yang ketakutan melihat hantu atau semacam itu. Sedangkan perempuan itu meringkuk di balik punggung ayahku. Menyedihkan.

Aku tidak habis pikir bagaimana bisa Ayah berkhianat pada Ibu, padahal sejak dirinya di-PHK setahun lalu, Ibu yang bekerja keras memenuhi kebutuhan keluarga ini. Aku pikir ayahku seorang yang budiman karena memang seperti itulah wujudnya selama ini. Tapi pada kenyataannya, Ayah lelaki bajingan.

"Siapa perempuan itu, Ayah? Mengapa Ayah membawanya ke rumah ini dan mengkhianati Ibu semena-mena? Katakan!" Aku mencoba bertanya kembali, sebelum memutuskan untuk menghunjamkan pisau ke dada mereka.

"Tidak, Nak. Ayah tidak mengkhianati ibumu dengan perempuan lain. Dia itu laki-laki. Bukan perempuan."

Aku terperanga, "Menjijikan!" lalu melesat maju. (*)

BERBURU

gambar: @r3dcarra



Malam semakin kasip. Ia mengendap-endap dengan waspada. Sesuatu itu masih bergeming sempurna. Sesuatu yang sudah seminggu ini menjadi incarannya.

Di hari lalu ia sedang tidak beruntung. Seseorang datang dan ia kehilangan mangsanya itu. Tapi tidak untuk malam ini. Ia harus segera mendapatkannya. Harus!

Mangsanya itu masih duduk dengan anggun dan ia hampir mendekatinya. Sebilah pisau tergenggam di tangan. Ia membekap, menggores leher. Sesuatu yang lembut itu malam ini berwarna keunguan. Ungu yang manis. Ia belum memiliki yang berwarna ungu, apalagi yang manis dan penuh. Dengan riang ia mengirisnya pelan-pelan agar potongannya sempurna. Ia tersenyum puas. Sangat puas. Satu lagi bibir akan ia gantungkan di atas pohon kesayangannya. Nanti, saat ia hendak tidur, bibir-bibir itu akan mendongeng untuknya, seperti bibir ibu yang ia rindukan. (*)

Rabu, 08 Juni 2016

BUNGA MATAHARI DI RUMAH KAKEK


gambar: @r3dcarra 


Di rumah kakekku ada kebun bunga matahari yang sangat menyeramkan. Bunga-bunga itu memiliki bola mata di bagian tengahnya. Mereka bisa mengedip, melirik, memicing, bahkan menangis jika kau memetik daun-daunnya atau menggores batangnya dengan pisau.

Aku katakan ini pada ibu, tapi ibu tidak percaya. Ia bilang aku pembohong yang kekanak-kanakan. "Jangan bodoh, Cher. Tidak ada bunga yang memiliki bola mata!" teriak ibu. Aku marah. Aku berlari lesat menuju kebun. Jika ibu tidak percaya, akan kutunjukkan padanya!

Bunga-bunga itu menangis saat kupotong dua tangkainya. Aku tidak peduli dengan kebisingan mereka. Aku berlari pulang ke rumah kakek.

Sampainya di rumah, ibu terlihat panik dan pucat. Aku bertanya, "Ada apa, Bu?" Dan ia menjawab, "Bola mata kakekmu menghilang. Ada seseorang yang mencurinya!" (*)

TELUR-TELUR



gambar: @r3dcarra 



Aku tidak tahu mengapa sejak pagi Tabitha menjadi bungkam dari biasanya. Ia tidak lagi berceloteh, atau menggunjingkan status sosial orang lain, atau sekadar menghirukkan suasana kantor dengan tawanya yang menyedihkan.


Wajah Tabitha sedikit pucat dan lelah. Seolah sesuatu telah menggerogoti sari kehidupannya dalam waktu semalam saja. Itu membuatku bergidik ngeri, sekaligus penasaran. Ketika ia berjalan menuju toilet wanita, aku mengikutinya. Aku mengintip dari cela pintu. Ia berdiri di depan cermin, menggaruki bibirnya. Ada yang mengganggunya di sana, tapi aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Kuputuskan untuk ikut masuk. Tabitha menatapku. Mulutnya menganga. Berbau busuk. Aku memekik, tertahan.


Di dalam mulutnya, ada telur-telur aneh. Puluhan serangga merayap keluar. Aku ingin muntah, ingin berteriak tapi suaraku tercekat, dan kakiku terasa terpasung sempurna. Pelan-pelan ia berjalan mendekat. Ia meraih kepalaku, lalu menempelkan bibirnya ke bibirku, melumatnya tanpa ampun. Dalam ketakutan, aku merasakan serangga-serangga itu merayap masuk ke mulut, dan bertelur dengan penuh kegembiraan. (*)






Jumat, 06 Mei 2016

AKU YANG GILA, PERNIKAHAN, DAN SINGA LAUT


1. Aku yang Gila dan Anakku yang Menggigil
Aku baru saja menjadi gila, dan terhempas pada ketidakberdayaan. Ibuku datang di pagi dingin itu. Kakinya tidak menapak tanah. Aku melayang-layang di tubuh pagi, menatapi anakku yang diguyur paksa di kamar mandi. Menggigil. Pipinya bengkak karena hantaman seorang lelaki yang ia panggil ayah.
Suatu petang, tidak ada lagi rindu yang menjejal. Rumahku tak beratap lagi. Hujan batu melintas garang. Anakku membuntang, menatapku penuh marah. Kenapa kau tidak menolongku, Bu? Aku tidak bisa, Nak. Suatu hari, aku akan membunuhnya, Bu. Aku terhenyak, lalu menari-nari di dalam kulkas. Kegirangan. Tapi taman mawar di dasterku berdarah. Daun-daun, duri-duri, warnanya merah. Kutemukan tubuhku yang tenggelam di sana. Lalu tubuh anakku.

2. Aku, Kamu, dan Arti Sebuah Pernikahan
Aku tidak sedang telanjang saat kau datang menghampiriku. Matamu menarik-narik paksa kerinduan yang kusembunyikan dari bibirmu. Kamu berubah lebih jalang di siang itu. Lalu napasmu membunuhi dapurku, dan ruang tamuku yang basah, dan kamar tidurku yang menggeliat, dan bathup merahku yang penuh busa. Jangan lupakan aku lagi, ujarmu membabi-buta. Aku ketakutan. Di balik punggungmu, ada hutan kesialan yang siap menelanku. Hitam, dan berkarat.
"Kamu tahu, aku telah menikah."
"Bagiku, pernikahan hanyalah sebuah kekonyolan manusia-manusia yang takut akan kesepian."
Kamu tersenyum, tapi aku tidak.

3. Tentang Singa Laut yang Menjadi Bintang
Di suatu malam yang pikuk, ayahku berubah menjadi seekor bintang. Paling redup dan muram. Ibu berjongkok di atas meja makan. Telur-telur kesedihan menetas di bokong ibu. Ia tidak menangis, atau tertawa. Bibir ibu dikunci kesunyian. Ayah bilang menikah dengan ibu layaknya seorang dungu yang berenang di danau kering. Gersang dan pecah-pecah. Tapi bagiku, ibu adalah sebuah lautan. Ikan-ikan, raja ketam, gurita ungu, lumba-lumba kelabu, melayang-layang di tubuh ibu. Terkadang, aku senang tenggelam di dalamnya. Bergulung-gulung di perut ibu. Tapi aku takut singa laut. Ibu bilang, singa laut adalah ayah. Tapi kamu tidak perlu takut lagi, ujar ibuku malam pikuk itu. "Ayahmu sudah jauh." Aku senang ayah sudah jauh. Tangan ayah terlalu besar. Mengobok-obok tubuhku saat ibu tidak ada.
Hari ini, aku memeluk ibu erat-erat (ia masih jongkok di atas meja makan), lalu terjun kembali di dalam lautan, di tubuh ibu. Berenang-renang. Jumpalitan. Akhirnya aku tahu, ibuku seorang penyihir. Dia menyihir ayah menjadi bintang. Paling redup dan muram. Dan ibu tidak menangis.


- Sidoarjo, Mei 2016

Selasa, 15 Maret 2016

DUA BELAS TAHUN TANPA BUKU-BUKU DAN SEBUAH IMPIAN DI KEPALAKU


Oleh : Ajeng Maharani



Seorang kawan bertanya—entah ini sudah kawan yang keberapa, aku tidak menghitungnya—tentang buku apa saja yang sudah aku baca. Dan setiap kali aku mendengar kata buku, atau lebih tepatnya buku apa yang sudah kubaca selama tiga puluh empat tahun usiaku ini, aku merasa ada sebuah lubang penyesalan yang menganga di dada. Lubang itu kunamai; Aku Terlalu Percaya Diri telah Menghabiskan Dua Belas Tahun tanpa Buku-buku. 


Sebelum aku mengatakan mengapa aku begitu bodoh dalam masa sepanjang itu, aku merasa berkewajiban mengatakan pada kalian, bahwa aku bukanlah seseorang yang tidak suka menenggelamkan diri di setiap halaman buku dalam waktu-waktu senggangku. Aku yang berumur tujuh tahun sudah bisa membaca, dan berlari ke rumah tetangga nenekku untuk menurunkan tumpukan majalah Bobo dan Mentari Putra Harapan ke lantai. Tetangga nenekku itu tidak akan marah. Ia bahkan menyempatkan diri menuangkan teh hangat atau sirup dengan biskuit dalam piring kecil, dan aku akan berlama-lama membaca di sana hingga anaknya pulang sekolah dan kami bermain bersama. 


Aku yang sebelas tahun sudah bisa mengayuh sepeda, jadi dengan riang gembira setiap Minggu aku dan adik-adikku akan pergi ke persewaan buku dengan uang jajan kami yang disisihkan sedikit demi sedikit. Ayahku tidak terlalu mampu untuk membelikan buku komik yang ketika itu adalah sebuah barang yang mewah, tapi aku tidak pernah memedulikan itu. Di persewaan buku, aku sudah menghabiskan hampir setengah koleksi yang mereka miliki—komik-komik Jepang dan serial Goosebump dan beberapa kisah Lima Sekawan.


Di bangku Sekolah Menengah Atas aku semakin berani meningkatkan kualitas buku yang kubaca. Perpustakaan sekolahku memiliki koleksi buku-buku sastra yang lumayan lengkap. Aku masih ingat dengan jelas, dua novel yang hingga kini melekat di pikiranku—aku begitu terpesona dengan kedua buku itu, hingga tidak bisa lupa tentang judul dan gambar covernya. 


Pertama (aku yakin kalian pasti mengenal buku yang satu ini, buku sang maestro sastra) adalah novel yang berkisah tentang perang Baratayuda, antara Pandawa dan Korawa, yang diceritakan begitu kocak, renyah, dan lugas (tidak terlalu serius seperti novel-novel Mahabarata semacamnya) oleh penulisnya, Putu Wijaya. Perang. Buku itu sudah mulai menguning dan lusuh, telah berusia sepuluh tahun, tapi aku tidak bosan membacanya. Saat ini, ketika aku membicarakan novel ini, aku jadi begitu merindukannya dan ingin membacanya kembali. 


Buku kedua adalah novel Kering, karya Iwan Simatupang. Aku begitu terkagum-kagum dengan cara penulis mengungkapkan nama tokohnya; Tokoh Kita. Karakter tokohnya unik, dengan keputusasaan yang aura begitu kuat. Aku bisa merasakannya. Ia nampak gila, meracau, tapi sebenarnya tidak. Ia hanya sedang lelah dan hampir menyerah dengan apa yang dipercayainya dan diperjuangkannya seorang diri. 


Lalu, kapan aku mulai melepaskan hubunganku dengan buku-buku itu, menceraikannya dan melupakan keberadaannya, dan mengapa? 


Setelah lulus Sekolah Menengah Atas aku bekerja merantau ke Surabaya. Itu memang bukanlah hal yang terlalu aneh dan layak untuk dijadikan alasan konyol akan tingkah lakuku pada buku-buku, tapi selama tinggal di sana, aku tidak mampu menemukan persewaan buku. Dan yang paling utama, aku terlalu payah menghabiskan waktu dan uangku untuk hal-hal yang belum pernah kumiliki sebelumnya—tas bermerek, tumpukan baju dan celana dengan model yang up to date, pernak-pernik tidak masuk akal, nonton film-film terbaru di bioskop yang paling bagus, dan segala bentuk makanan yang belum pernah kumamah dan kutelan sebelumnya. Itu terlalu menyedihkan. Layaknya anak desa yang dilepaskan dengan sekantong uang di sebuah kota besar. Tidak, jangan tertawa. Ini sebuah kebenaran yang setidaknya menjadi pelajaran berharga dan pengalaman yang tidak kulupakan (setidaknya aku pernah bersenang-senang di masa muda tanpa menghabiskan uang ayahku). 


Dan sekarang, ketika aku telah resign dari pekerjaanku setelah kelahiran anak ketiga dan aku tidak memiliki penghasilan sendiri, aku merindukan buku-buku. Sangat merindukan mereka. Apalagi saat ini aku sedang mengisi waktu-waktu yang membosankan—hampir membuatku gila—dengan menulis. Betapa aku memerlukan buku dalam waktu yang tidak tepat, bukan? Bagaimana aku bisa membeli buku sedangkan aku tidak berpenghasilan dan tidak mungkin memintanya pada suamiku yang sudah terlalu banyak beban di pundaknya?


Seorang kawan pernah dengan sukarela meminjamkan bukunya padaku ketika kuutarakan hal ini. Ia tinggal di Cirebon dan mengirimkan tumpukan buku melalui jasa pengiriman. Darinya aku mulai mengenal Afrizal Malna, Eka Kurniawan, dan Cepi Sabre yang membuatku tergila-gila. Lalu penulis-penulis lain, seperti Bamby Cahyadi, Natsuo Kirino, Haruki Murakami, Agus Noor, Pringadi Abdi Surya, Avianti Armand, Benny Arnas. Aku tidak bisa membeli buku, tapi aku bisa membaca beberapa karya mereka melalui blog pribadi atau blog-blog media yang tersebar di internet. 


Terkadang, aku pernah ditertawakan saat beberapa kawan bercerita tentang seorang penulis tapi aku tidak mengenal nama dan karyanya. Itu sedikit membuatku nampak bodoh dan malu karena keterlambatanku. Tapi aku bukan tipe perempuan yang mudah menyerah untuk mengetahui siapa mereka. Aku memang terlambat—dua belas tahun itu jika aku telah menghabiskannya untuk membaca buku, aku sudah membaca puluhan—tapi aku akan terus belajar. Aku ingin menebus ketinggalan selama dua belas tahun itu. Dan aku semakin tergila-gila. Semakin kehausan.


Aku jadi makin berani mengirimkan cerpen-cerpenku ke beberapa media lokal dengan harapan mendapat uang—tapi ketahuilah bukan itu tujuan utamaku menulis, ini tidak sesederhana itu, butuh empat atau lima halaman A4 jika aku bercerita perihal asal-muasal aku menulis—lalu aku akan menyisihkan sebagian untuk membeli buku. Aku juga mempertaruhkan nasib baikku dengan mengikuti kuis-kuis berhadiah buku, atau event-event menulis yang berhadiah buku. Mungkin sebagian orang akan menertawakan ini, tapi jelas ini bukan cara kotor. Ini terbaik yang aku bisa untuk mendekatkan diriku kembali pada buku-buku. Dan sebuah impian telah kucetak dalam jumlah begitu besar di kepalaku. Kelak, aku akan membuat sebuah perpustakaan kecil (perpustakaan gratis) di depan rumahku, dan mengajak anak-anak, pemuda-pemudi, dan orang-orang dewasa untuk mengunjunginya. Aku ingin mereka membaca. Di tempat aku tinggal, tidak kutemui satu pun yang memiliki minat membaca buku, dan aku tidak bisa melakukan tukar-menukar buku, membaca buku di teras bersama, dan berbincang tentang buku. Jadi aku ingin suatu saat bisa melakukan itu semua, di dalam perpustakaan kecil milikku. 


Jadi, sebelum waktu itu terwujudkan, aku akan berjuang untuk menumpuk buku dan membacanya. Membaca dan membaca. Karena aku yakin, dengan membaca aku bisa menghadapi segalanya. Segala yang bisa membuat kepalaku pecah dan berhamburan. 


Pesanku pada kalian, jangan pernah meninggalkan buku-buku. Percayalah, kalian akan merugi sepertiku. 



Sidoarjo—Maret 2016 

BUKIT DI BUAH DADAMU

Oleh: Ajeng Maharani

Bukit di buah dadamu rindang dan terlalu hiruk bagiku. Pohon-pohon pinus yang berlidah tajam, dan anak-anak yang berterbangan bersama layang-layang, dan anjing yang menggoyang-goyangkan ekornya, dan bunga yang tidak berhenti tertawa, dan ilalang yang melambai sedih pada kekasihnya yang telah tergunduli. Para istri sibuk berteriak, "Jangan patahkan leher anakmu!" Lalu terdengar benturan kepala di pagar rumah, dan kesedihan menjadi alas kaki yang sedang merenung di kamarku.

Bukit di buah dadamu memantul-mantul, aku tenggelam bersamanya, di sana, di antara himpitan bunga matahari yang mendongak ke langit bajumu. Kau baru bangun tidur pagi ini. Secangkir kopi menggantung di bibirmu. Bukan aku yang membuatnya, tapi lelaki lain, yang miliknya lebih lebat dari milikku. Dan bukit di buah dadamu bernyanyi hingga malam. Aku pulas di sana, hingga aku lupa, ada seorang istri yang berteriak di rumahku, "Jangan patahkan leher anakmu, pengecut!"

~ 2016