Jumat, 12 Desember 2014

PEREMPUAN PERINDU BENIH part 7 (end)





Sebuah Perjanjian


"Kuberi kau satu kesempatan, Lia, lalu biarkan takdirmu yang menentukan ...."




Bagaimana seorang wanita bisa hidup di bawah bayang-bayang sosok perempuan lain yang telah merenggut cinta dari suaminya?

Itulah yang dirasakan oleh wanita itu. Baginya, hidup hanyalah tempat untuk mengembus napas, bukan lagi untuk mencinta. Sejak dua tahun lalu, ketika pertama kalinya dia dipaksa harus menerima kenyataan bahwa lelakinya sudah menyulam cinta di hati perempuan lain, wanita itu langsung rengsa. Jiwanya terkoyak. Selama itulah dia berjuang untuk menyelamatkan hati yang lambat laun menghitam itu.

Kebencian, amarah, iri dan kecemburuan. Keempat rasa itu menguasai jejaknya tiap hari. Bahkan di dalam mimpi-mimpinya juga. Tak ada sela yang tidak teracuni. Tak ada rongga hati yang tidak tercemari. Dia bagaikan tenggelam dalam lumpur yang pekat. Menariknya pelan-pelan, semakin lesap, dilahap kemurkaannya.

Tiap hari, dia memakan lukanya sendiri. Tiap menit, dia tumpahkan kesakitannya di antara lenguh yang diembuskan. Dia ingin berdiri kembali. Ingin mencari kebahagiaan yang hakiki. Bersimpuh di kaki Tuhan, meminta hatinya ditenangkan.

Maka, dua tahun yang mencekik itu pun mampu dilalui dengan perjuangannya. Tapi, pengkhianatan itu tak pernah berhenti menjejas jiwanya, hingga bersepai, hancur kembali.

***

Pagi meretas. Wajah Rany memerah. Amarahnya memuncak. Ponsel Pandu menyala terang di hadapannya. Kalimat-kalimat yang lelaki itu taburkan pada kekasihnya, dibaca Rany pelan-pelan. Sekelilingnya kemudian berputar. Kepalanya seketika pening. Kedua mata itu pun mulai mengabur. Dia sudah tak mampu lagi menggenggam kerjernihannya sendiri.

Wanita itu benar-benar murka. Pengkhianatan suaminya ternyata tak pernah berakhir. Tidak seperti apa yang sudah lelaki itu janjikan.

“Ada apa, Bunda?”

Rany sedikit terperanjat. Dia segera memalingkan mukanya, menghindari si pemilik suara. Pandu terheran memandang wajah sang istri. Diliriknya ponsel yang menyala di atas meja itu. Menyala.

Pandu menelan ludah.

“T-tak ... Tak ada apa-apa,” ujar Rany, sambil berlalu menghindari Pandu.

***

“Ini aku, Rany. Aku ingin kita bertemu.”

Suara Rany ketus di ujung telepon itu. Beberapa saat tak ada jawaban. Rany mendengus kesal. Kemudian, lawan bicaranya itu akhirnya bersuara juga.

“Boleh, kapan? Di mana?”

“Di tempat kalian biasa bertemu. Besok, pukul sembilan pagi. Jangan bilang Pandu jika kita ada janji.”

Setelah itu, telepon ditutup.

Tubuh Rany masih bergetar. Napasnya tak terkendali. Itu adalah amarah. Dia berusaha tenang. Sedamai mungkin. Agar suaminya tak mampu mengendus sebuah rencana yang sudah disusunnya masak-masak hari ini.

***

“Dia kembali pada selingkuhannya? Kau yakin itu perempuan yang sama?”

Rany mengangguk.

Seorang lelaki dengan guratan tato di kanan kirinya duduk di teras. Sebuah rokok mengepul di bibirnya. Itu sudah rokok kedua yang dia hisap.

“Sekarang pergi ke mana suamimu?”

“Entahlah. Setelah mandi dia langsung keluar. Pamitnya sih ke rumah temannya, Dito. Tapi ....”

Lelaki itu menghela napas. Mengangguk-angguk. Asap tipis membumbung dari cuping hidungnya.

“Kau terlalu sabar, Ran.”

“Apalagi yang bisa kulakukan, Dim? Aku seorang ibu dari ketiga malaikat kecil itu. Mereka masih membutuhkanku.”

“Karena itulah!”

“Apanya?”

“Lelaki itu tahu, itulah kelemahanmu. Walaupun dia melakukan apapun, kau pasti akan mencoba memaafkannya. Dia tahu, kau tak mungkin bisa lepas dari lingkaran ini. Karena mereka, anak-anakmu!”

Rany terdiam. Si kecil Jenna bergelayut manja di punggungnya.

“Lelaki di mana saja itu sama. Pikirnya, wanita itu lemah jika sudah dihadapkan dengan anak. Sesakit apa pun, seluka apa pun, seorang ibu takkan meninggalkan anak-anaknya, bukan? Itulah yang dimanfaatkan oleh lelaki.”

“Bukankah kau juga lelaki?”

Dimas mengembus kembali asapnya.

“Iya ... Karena itulah aku tahu sekali bagaiaman cara pikir laki-laki itu, Ran. Kebanyakan mereka menganggap, wanita itu lemah karena tak bekerja. Tak mampu menghidupi diri. Jika berpisah, mau jadi apa mereka? Jadi laki-laki yakin, walaupun ketahuan selingkuh, pasti akan dimaafkan.”

Mereka menghening sementara. Bisik-bisik dedaunan yang diusik angin terdengar jelas malam itu. Jenna merengek. Meminta ibunya untuk mengayun punggung, agar dia bisa bermain di atasnya.

“Jadi, kau mau bilang kalau wanita seperti aku ini harus bisa mandiri, begitu?”

“Iya, begitulah.”

Wanita tiga puluh satu tahun itu merenung. Punggungnya masih tetap mengayun Jenna. Sementara tangannya memegang jemari Jenna yang tengah memeluk erat lehernya.

“Tapi aku salut sama kamu, Ran. Sebagai wanita, kau itu kuat. Mampu memaafkan itu nggak gampang. Ah, seandainya dulu Kaka memiliki hati seperti dirimu ....”

“Itu masa lalu, Dim. Bukankah sekarang sudah banyak kebaikan yang telah merubah dirimu.”

Dimas mengangguk. Memang benar kata Rany. Lelaki itu sudah banyak berubah sejak berpisah dengan istri dan anaknya.

“Akh, sudahlah. Sudah malam. Tak baik buat kamu jika ada lelaki di rumah tanpa ada suamimu.” Dimas membenamkan rokoknya. “Katakan pada Pandu. Jika dia tak mampu menjaga hatimu, biar aku saja yang menjaganya. Tak pantas kau terus-terusan disakiti seperti ini.”

“Kau ini bicara apa, Dim? Sudah berkali-kali kukatakan, kita hanya berteman baik. Tak lebih.”

Lelaki bertato dan berjenggot tipis itu mengangkat bahu. “Aku serius, Ran,” ujarnya kemudian. Rany hanya membalasnya dengan senyuman.

“Dia itu benar-benar lelaki bodoh, ya? Padahal kau begitu setia padanya. Akh! Benar-benar, rasanya aku ingin merebutmu darinya.”

Dimas mengacak-acak rambutnya yang ikal dan kasar.

“Kau ini, Dim. Sudah, pulang sana, sudah malam. Katanya tak baik buat aku.”

Dimas mengangguk. Dia bangkit dari teras lalu menghampiri Jenna yang sudah duduk di samping ibunya.

“Da, Jenna,” ujar lelaki itu sambil mengecup kening Jenna. “Om Dimas jadi kangen sama Kaffa kalau lihat kamu, Jen.”

“Hati-hati, ya, Dim.”

“Iya. Kau tenang saja, nanti kalau sudah sampai rumah, kukabari.”

Dimas pun beranjak pergi dari halaman rumah Rany. Wanita itu menatapnya dengan sendu. Senyumnya tersungging. Sejenak, dia bergumam pelan, “Bukan, Dim. Hatiku sebenarnya tak sebaik yang kau kira selama ini. Ada sosok kelam yang sedikit demi sedikit mengerak di sini. Ah ... mungkin karena aku terlalu lama memendam kebencian. Hingga akhirnya, sekarang rasa itu bangun yang meledak.”

Rany mengangkat Jenna, kemudian membawanya masuk ke dalam rumah. Tiba-tiba, bunyi dering ponselnya menyapa. Sebuah pesan singkat dari Dimas.

“Ran, entah kenapa, ya, rasanya binar matamu malam ini beda. Ada kebencian di sana, bahkan lebih dalam dari dua tahun lalu. Aku takut, Ran. Tapi ... aku yakin, kau lebih kuat dari kebencian itu sendiri. Iya, kan, Ran?”

Mata Rany meleleh. Dadanya sesak.

***

Pagi ini, Rany bersiap. Dadanya dibusungkan. Mencoba menguatkan hatinya sendiri. Kedua langkah kaki dimantapkan. Walau rasa gemetar itu masih saja singgah di benaknya. Tapi tidak. Rany sudah berjanji. Dia harus bisa menghadapi kemurkaannya sendiri. Meskipun nanti ketika rasa ingin mencabik wajah perempuan itu muncul.

“Sabar Rany ..., sabar. Kuatkan hatimu. Kamu harus bisa menghadapinya!” Dia berdesis lirih, menyemangati diri.

Kemudian, dengan motor merah kecintaannya itu, Rany melesat. Menembus udara pagi yang telah membaur dengan pendar sang mentari.

***

Sebenarnya Alia pun tengah ketakutan. Walaupun itu sedikit. Ada rasa kekhawatiran tentang apa yang akan terjadi nanti. Setidaknya, kini ia tahu. Hubungannya dengan Pandu berhasil diendus sekali lagi oleh Rany. Baginya itu lumayan menggembirakan.

Ia melihat wanita itu datang. Langkahnya anggun. Mengenakan baju panjang bermotif bunga abstrak berwarna hijau tua, dipadu dengan rompi hitam. Jilbabnya melambai. Setiap jengkal tanah yang dia pijak seperti sedang menyambutnya dengan suka cita.

Alia sudah sering melihat wajah itu di dunia maya. Namun baru kali ini mereka berdua dipertemukan dalam sebuah janji. Dulu, wanita itu pernah terbakar. Berapi-api. Kemarahannya membumbung hingga mampu membakar langit. Alia terheran, hatinya bertanya-tanya. Perjalanan hati seperti apa yang sudah dia lalui selama dua tahun lalu? Mengapa wanita itu jauh lebih tenang?

Wajahnya tak mengguratkan emosi. Matanya tak menyorotkan lagi kebencian. Padahal, jika dia adalah wanita kebanyakan, sudah pasti dia akan datang dengan menggenggam api lalu melemparnya ke muka musuhnya. Dan perempuan itu pasti akan terpanggang oleh kemarahannya.

Alia mendengus kesal. Sedikit rasa kecewa menggurat di hatinya.

Rany tersenyum. Dia menyapa. Namun Alia masih menanarkan pandangannya.

“Gimana kabarmu?” tanya Rany sambil menempatkan tubuhnya duduk di kursi.

“Baik,” Alia menjawab singkat, sambil terus bermain dengan sendok kopinya, diputar-putar di sela-sela jemari. Senyum perempuan itu sinis, namun Rany tak memedulikannya sedikit pun.

“Mengapa kamu kembali?”



Alia mengangkat salah satu alis. Sebelah kiri. Ia sedikit terkejut. Istri kekasihnya itu ternyata tak suka berbasa-basi. Bahkan sinar matanya terpancar tanpa ekspresi. Kejam. Alia merasa diremehkan oleh tatapan itu.

“Mengapa aku kembali? Tanyakan sendiri sama suamimu.”

Perempuan itu tak mau kalah dengan Rany. Ia pun takkan ragu menggunakan kata-katanya untuk menyerang balik.

“Ya, kau benar. Seharusnya aku bertanya sama Pandu. Tapi, ya ... itu jika aku ingin tahu alasan dia.”

Rany tersenyum lagi. Sebentar, lalu mukanya dicondongkan ke depan, mendekat pada muka Alia. Matanya menatap perempuan di hadapannya itu, nyalang.

“Tapi saat ini, aku ingin tahu alasanmu.”

Tubuh Alia mulai gigil. Ada aura yang menekannya. Ia menelan ludah. Ia melihat wanita itu sudah kembali ke posisi awal. Tubuhnya terduduk dengan santai, menekuk kedua tangan di depan dada. Menunggu sebuah jawaban.

Detik yang berjalan di antara keduanya terasa lambat dan berat. Alia masih terdiam. Ia mengatupkan bibirnya rapat.

“Benar kamu perempuan mandul?” Rany mendesak kembali. Kalimatnya membuat Alia menggertakkan gigi. Geram.

“Kau tahu dari mana?”

“Tentu saja, dari obrolan kalian. Pandu itu berlagak pintar, namun istrinya jauh lebih tahu tentang titik lemahnya. Dia pelupa dan teledor. Lalu Allah membantuku dengan kelemahannya itu, agar mataku terbuka tentang hubungan kalian.”

Alia menelan ludah.

“Kau tak tahu apa-apa tentang diriku, bukan? Yang kau baca dan lihat di sana, status-statuku itu, hanya sosok palsu yang kubangun selama ini. Agar aku bisa kuat menghadapi diriku sendiri. Timeline-ku itu bagaikan palu yang mengetok kepalaku, Lia, agar aku tak bisa menekan rasa ingin membunuh kalian berdua.”

Hening, keduanya terdiam. Rany mengambil sebotol air mineral dari dalam tas. Membuka tutup, lalu meneguk isinya. Sementara itu, Alia hanya menatap Rany yang tengah menghabiskan separuh isi botol itu.

Bagaimana dia bisa setenang itu? Batin Alia. Ia tahu Rany pasti sangat murka padanya. Tapi sikap dingin itu mampu membuat kalimat-kalimat yang dia lontarkan tampak lebih anggun, tetapi menusuk.

Dia wanita hebat. Alia mengakui itu.

“Bukan aku.”

“Apanya?”

“Yang mandul bukan aku.”

Rany terkejut dengan pernyataan Alia. Dia jadi semakin ingin tahu. “Lalu, apa maksud kata-katamu itu? Kata-katamu itu seperti perempuan mandul yang ingin dikasihani oleh Pandu. Mengapa kau bohong padanya?”

“Aku tidak bohong!”

“Kau bilang padanya, bukan, kalau kau takkan pernah bisa melahirkan seorang anak?”

Alia menyungging senyum sinisnya kembali, senyum bulan sabit yang sangat dibenci oleh Rany. Matanya berair. Sedikit.

“Aku meminta dikasihani katamu? Hah!” ia mendengus kesal, “kau itu tahu apa tentang perasaanku.”

“Aku memang tak tahu. Maaf. Karena aku bukan perempuan semurah dirimu, Lia. Jadi aku pun takkan bisa mengerti jalan pikiranmu!”

Perempuan berambut panjang mengombak itu berusaha melipat amarahnya. Sendok kopi yang ia mainkan sedari tadi, digenggamnya rapat-rapat.

“Kau tahu apa?” Satu bulir jatuh merambati pipi Alia. “Kau ini seorang wanita atau bukan? Bagaimana perasaanmu jika kau mencintai suamimu tapi begitu tahu dia tak bisa memberimu anak ..., bagaimana perasaanmu jika kau jadi aku, Ran?”

Air mata itu mulai berjatuhan.

“Aku berusaha keras agar hati lelakiku tak terluka. Aku menelan pahitku sendiri, agar dia tak tahu tentang kenyataan yang sedang dia hadapi. Kau itu ..., tahu apa tentang hidupku!”

***

“Apa, Dok?” Alia berdebar. Ia bukannya tak mendengar, tidak. Tapi ia ingin kembali memastikan kata-kata lelaki berbaju putih di hadapannya itu.

“Kandungan Ibu sehat. Tak ada masalah. Justru kondisi suami Ibu yang tidak memungkinkan untuk memiliki keturunan. Dia memang memiliki sel sperma, namun mustahil untuk berhasil membuahi. Sel spermanya lemah. Kondisinya tidak normal. Rusak. Apalagi suami Ibu seorang perokok berat dan bekerja di ....”

Dokter terus menjelaskan diagnosanya, namun suara-suara pria itu seakan menghilang. Alia tertunduk lemah. Hatinya remuk. Benar-benar sudah berkeping-keping. Ia tiba-tiba mual. Linangannya pun mulai meleleh.

“Dok,” Alia berdesis pelan menghentikan ucapan pria yang dipanggilnya, “saya mohon, jangan katakan ni padanya ....”

Dokter itu mendesah. Dia sudah maklum dengan keadaan seperti ini.

“Saya tahu ini berat untuk Ibu dan suami. Saya hanya membantu, selebihnya saya serahkan pada kalian berdua. Memang sulit untuk memiliki anak, namun itu bukanlah hal yang mustahil jika kita mau terus berdoa dan berusaha, Bu.”

“Tidak, Dok.” Alia mengangkat kepalanya. Ia menatap Dokter itu dengan tatapan mengiba. “Tolong saya, nanti jika Sony menelpon Anda untuk memastikan hasil tes beberapa hari ini, katakan bahwa kami baik-baik saja. Katakan kami hanya butuh bersabar dan berusaha terus, seperti empat tahun ini. Please, Dok. Saya nggak mau Sony terpuruk gara-gara ini. Dia pasti akan ....” Alia tak kuasa lagi meneruskan kalimatnya. Semuanya sesak. Tercekat dan gelap.

***



“Jangan berkata soal cinta di mukaku, Lia. Kau bilang mencintai suamimu, tapi kau masih tega meninggalkannya hanya untuk bersama lelaki lain.”

“Iya ... kau benar, Ran. Aku memang murah. Tapi, kau sama sekali tak berhak menghakimiku terus seperti ini. Kau takkan mengerti, Ran, karena kau tak pernah mencintai lelaki lain di saat kau telah berkeluarga seperti aku. Rasa sakit ini, kau tak mungkin bisa memahaminya!”

“Tidak, kau salah. Aku juga manusia. Aku pun pernah merasakan kesakitan seperti itu. Tapi, aku tak seperti dirimu. Aku jauh lebih memilih merasakan sakitnya dari pada tidak setia pada suamiku. Di situlah letak perbedaan harga kita, Lia. Dan aku pantas menghakimimu, karena kaulah yang menyakiti batinku, tahu!”

“Kau ....”

Mata Alia memerah, lengkap dengan derai-derai air matanya yang sudah banjir sedari tadi. Ia mulai marah.

“Kau mau tahu, bukan, mengapa aku mau kembali pada Pandu?”

“Mengapa?”

“Karena aku iri sama kamu, Ran. Kau tampak begitu bahagia dengan anak-anakmu. Wajahmu selalu bersinar setiap kali kau bersama mereka. Foto-foto itu, setiap kali aku melihatnya di sana, aku semakin membencimu. Aku muak, Ran. Bagaimana bisa kau hidup bahagia sedangkan aku menderita seperti ini. Bagiku, ini tidak adil!”

“Tidak adil? Hah, kau lucu,” desis Rany pelan.

“Mungkin! Karena itulah, ketika lima bulan lalu Pandu datang, niatku untuk merusak tawamu itu muncul. Aku ingin kau pun selamanya menderita sepertiku.”

Situasi di antara mereka kembali hening dan tegang. Dada Alia berdegup kencang. Emosinya meluap-luap. Sementara Rany, tetap menatapnya. Dingin.

“Aku kasihan, ya, sama kamu, Lia. Kau bilang iri denganku. Dengan ketiga anakku. Apakah kau ..., benar-benar menginginkan seorang anak?”

“Jangan menghinaku, Rany! Jangan menghinaku!!”

“Tidak, Alia. Aku serius. Aku tahu, sebagai perempuan, kau pun ingin bisa melahirkan seorang bayi dan menjadi seorang ibu. Kau ingin sesempurna diriku. Itulah mengapa kau iri, Lia.”

“Rany!”

Suara-suara Rany yang sinis, teriakan kemarahan Alia yang menggema, mewarnai suasana pagi di sudut cafe.

Istri Pandu itu menghela napas untuk beberapa saat. Dia berusaha menguatkan kembali hatinya. Wanita itu tahu. Terkadang, seorang wanita mampu berubah menjadi menyeramkan ketika dia harus menyelamatkan kehidupan rumah tangganya. Dan detik ini, Rany berubah. Dia merengkuh sisi gelapnya.

“Sudahlah. Aku akan memberimu satu kesempatan Alia. Hanya sekali. Lalu, biarkan takdirmu yang menentukan layak atau tidaknya kau menjadi seorang ibu.”

Alia mengerutka alisnya, “Apa maksudmu. Kau sedang menghinaku, ya?”

Kembali Rany melenguh. Matanya masih sedingin tadi.

“Tidurlah dengan Pandu.”

Mata Alia terbelalak. Ia berdiri. Secepat kilat tangannya meraih cangkir kopi dan menyiramkan isinya ke arah wanita yang dianggapnya sudah gila itu. Tumpahan kopi menodai kerudung Rany. Tapi dia masih saja bergeming.

Napas Alia naik-turun. Matanya mendelik.

“Kau gila! Kau mau menjual suamimu sendiri? Rany ... walaupun aku mencintai Pandu, aku bukan lacur. Yang dengan mudah memberikan tubuhku pada lelaki yang bukan suamiku! Ingat itu!”

“Ha-ha ....”

Rany tertawa. Sama seperti perempuan yang kini tengah terbakar emosi di hadapannya itu, Rany meneteskan air mata.

“Alia ... Alia ... Kau pikir aku bicara begini itu hatiku nggak terluka?” Dia menghentikan tawanya. Menatap Alia tajam kembali. Merasa tak mau kalah dengan lawannya, dia pun berdiri dari kursi. “Aku jauh lebih terluka dari pada dirimu, Lia. Aku berusaha mengikhlaskan tubuh lelakiku demi mempertahankan rumah tangga kami. Di belakangku ada tiga malaikat kecil yang harus kujaga senyumannya. Aku nggak mau mereka berpisah dari ayahnya. Dan kau ..., apa kau nggak sadar kalau perbuatan kalian itu bisa memisahkan kami dengan Pandu? Naif, tahu nggak!”

Kedua wajah itu saling mengurat. Jarak mereka begitu dekat. Hanya sebatas tiga telapak tangan yang sedang dilebarkan.

“Sekali saja, Alia. Hanya sekali. Setelah itu, pergilah yang jauh. Jangan dekati kami lagi. Kalau kau merasa dirimu adalah perempuan baik-baik, tak semurah yang kukatakan, kasihanilah anak-anakku, Alia. Atau ... kau lebih memilih menderita seumur hidupmu?”

Lenguh emosi Alia dan Rany saling membaur. Udara di sekitar mereka memanas. Beberapa pengunjung Cafe Orenz Blue yang pagi itu tengah asyik menikmati kedamaian, melihat pertarungan keduanya.

“Semua keputusan ada di tanganmu, Lia. Kau yang mengawali ini. Kau jugalah yang harus mengakhirinya.”

Rany meraih tasnya. Berlalu tanpa kata-kata lagi, meninggalkan Alia yang mulai mematung.




~ 0 ~


Ajeng Maharani - September 2014





PEREMPUAN PERINDU BENIH part 6 (sebuah mininovel)




Kerinduan yang Pekat



"Aku hidup, tapi mati ... Alia."




Seharusnya kami bahagia setelah hari itu. Bisa menikmati dua hari di kota terindah di Yogya. Hanya berdua. Seperti mimpi yang selama ini kami dekap.

Namun kenyataannya tidak.

Setelah kejadian di kamar hotel, Alia jadi pendiam. Sepanjang perjalanan pulang, ia membisu. Aku hampir dibuatnya gila. Perasaan bersalah menghujam. Setiap kata yang ia keluarkan hanya sepatah-dua patah. Bahkan hingga kami perpisah di bawah pohon akasia, ia hanya berkata, “Terima kasih.” dengan mata menatapku yang hanya sesaat, sebelum ia melangkahkan kakinya keluar mobil. Tanpa pikir panjang, kurengkuh lengannya.

“Tunggu,” kataku pelan, “maaf ....”

Dia tersenyum, lalu menggeleng perlahan.

“Tidak, Ndu. Kegilaan yang telah kita lakukan malam itu karena memang kitalah yang menginginkannya. Jangan mengucap maaf padaku.”

“Ta-tapi, Lia, kita ....”

“Sstt ... Kita masih tetap menjadi kita setelah malam itu.”

Itulah kata-kata terakhir dari Alia. Setelah itu tak sedikit pun kutemui sosoknya. Tidak di bawah pohon akasia yang sebesar pelukan dua manusia dewasa di tepi Jalan Diponegoro. Tidak di Cafe Orenz Blue. Juga tidak di semua sudut-sudut kota Surabaya. Bahkan, semua pesanku tak dibalas satu pun. Facebook miliknya juga sudah non-aktif.

Alia benar-benar raib. Bumi seakan-akan telah menelan tubuhnya, sengaja menjauhkan dari diriku yang tak becus menjaga hati seorang perempuan ini.

***

Kepulanganku dari Yogya kembali disambut dengan pelukan erat dari Rany. Bahkan teramat erat! Dia bagaikan akar-akar rotan yang kokoh melilitku. Mendekap seolah tak ingin kehilangan. Sebuah lelehan jatuh dari pelupuk matanya. Haru. Kemudian dia berdesis, “Selamat pulang, Sayangku. Selamat datang kembali.”

Sekali lagi, aku dibuatnya bertanya-tanya akan sikap anehnya itu.

Setelah dekapan erat yang tak kuketahui artinya itu, sikap Rany berubah. Lambat laun, sinar keceriaan muncul di wajahnya. Senyumnya kembali mematahari hati. Membuat sukmaku lunglai. Kemolekannya, kesabarannya, kepatuhannya, sekarang ... senyumnya.

Petualangan ini berakhir sudah. Kegilaanku pupus. Namun tak sekali pun aku ingin menghilangkan kerinduan pada Alia. Tak ingin.

Ah, perempuanku ... katakan, di manakah dirimu sekarang? Ijinkan aku melihatmu mengatakan, bahwa kau baik-baik saja. Katakan ....




~ 0 ~





Kejutan yang Mencekik



"Ia ada di sana, tepat di depanku ...."




“Ayah!”

Jenna melambai sambil berseru ke arahku. Dia masih asyik mengayuh sepedanya dengan riang, mengelilingi Taman Bungkul yang tengah ramai dikunjungi Minggu sore ini. Aku duduk di salah satu bangku semen yang hampir rompal sisi kirinya.  Sementara Rany menikmati semangkok bakso bersama kedua putraku di warung langganannya.

Keceriaan yang lumrah. Tapi hatiku tetap kesepian.

Empat tahun sudah berlalu. Rumah tangga yang kami bangun masih berdiri kokoh atas kesabaran Rany yang gigih. Aku bangga padanya. Sangat. Entah apa yang bisa kubalaskan untuk hati yang sekokoh karang itu. Aku hanya lelaki egois, bukan? Seharusnya, aku tak layak mendapatkan ‘maaf’ darinya.

Ah, Rany ....

“Ayah!”

Teriakan Jenna kembali terdengar. Kusungging senyum ke arahnya, sambil melambai pelan. Senja mulai memerah. Aku memilih beranjak dari tempat ini dan berjalan menuju arah gadis kecilku yang di sana.

Langkahku melambat. Lamat-lamat, jala mata ini menangkap sosok perempuan berkerudung kuning yang tengah berdiri, tepat sekitar sepuluh meter di depanku. Di sela-sela kerumunan orang-orang itu, kulihat ia tertawa lebar. Binar wajahnya sangat bahagia.

Renyut dadaku mulai berkelojotan. Tangan-tanganku bergetar. Wajah itu ... kini tampak lebih dewasa dan anggun dengan jilbab panjang yang menutupi dada hingga pergelangan tangannya. Cantik!

“A-Alia ...?”

Kuangkat kaki, hendak menghampiri perempuan itu. Ia kekasih yang kurindukan. Kekasih yang menempati bilik-bilik kenangan. Namun, seketika kakiku terasa kaku. Berat. Seolah bumi melesakkannya ke dalam. Mataku membelalang, bulat dan melebar. Aku limbung. Jantungku berhenti berdetak!

Mata ini melihatnya, sangat jelas sekali.

Alia menghampiri seorang gadis kecil yang cantik. Ia mengangkatnya, menggendong penuh kasih, lalu berlalu menjauh. Hilang. Mereka berdua ... tak terkejar lagi.

Segalanya lesap. Semuanya tiba-tiba menghilang. Kenanganku, sukmaku, dan juga penyesalan itu. Urat-urat kecil yang menjalar di seluruh tubuh ini lunglai. Wajah gadis kecil itu, adalah wajah Jenna! Itu wajahku!

Ta-tapi ... ba-bagaimana bisa?!



~ 0 ~

 (bersambung)