Minggu, 16 September 2018

KUMPULAN FIKSIMINI: CARA PALING CEPAT MENEMUI KEKASIH

Gambar: Pinterest


Di Dalam Kereta Api yang Berjalan 
Sepasang mata ditemukan di langit-langit toilet. Orang-orang panik. Dengan santai, aku melirik Ayah yang mengenakan kacamata hitam.

Butuh Uang untuk Makan 
Sepasang suami-istri menjual cinta mereka ke pasar loak. 

Ketika Satpol PP Datang 
Belasan rumah liar di tepi sungai Cikapundung lari terbirit-birit, meninggalkan anak-anak mereka. 

Lupa 
Dasar laki-laki cabul, berani sekali kau tidur di ranjangku! maki Nenek sambil memukuli punggung Kakek dengan tongkat.

Sebuah Pernikahan yang Sakral 
Sebulan setelah sepasang kekasih itu terjun ke dalam sumur, terdengar suara ijab qabul dan tangisan bahagia sepanjang malam.

Pembunuh Berdarah Dingin Itu Akhirnya Tumbang 
Dari dalam dadanya yang tertembus peluruh polisi, keluar bongkahan-bongkahan es batu. 

Akibat Terlalu Takut Terlambat Bangun 
Setiap malam, Bandit tidur di dalam jam dinding rumahnya. 

Cara Paling Cepat Menemui Kekasih 
Ia melebur seluruh tubuhnya menjadi kata-kata, lalu mengirimnya melalui pesan Whatsapp. 

Bau Amis yang Tidak Bisa Hilang 
Ia tidak henti-hentinya mencuci tangan semenjak pagi buta. Ketika anaknya bertanya, ia menjawab, Tangan Ibu telah membuat ayahmu tidak pernah pulang lagi.

~ Ajeng Maharani 

Kamis, 24 Mei 2018

PEMUDA YANG TERSESAT DAN KOTAK TAWA

PEMUDA YANG TERSESAT 

Di hari ketika kami berpisah, Wulan tak mengucap apa pun tentang kehamilannya. Ia baru mengatakan segalanya sore ini, padahal lima bulan telah berlalu. Pagi itu, di terminal Purabaya, Wulan hanya memelukku erat dan tanpa kata-kata atau tangisan yang dibuat-buat agar nampak seperti perpisahan yang menyedihkan. Aku berpikir, semua karena kata-kata dan air mata sudah terlalu banyak kami hibahkan pada hari-hari kebersamaan kami, tapi ternyata aku salah. Ia sengaja menyimpan segala kepedihannya seorang diri.

Sekali lagi angin laut mempermainkanku. Aku mengerjab-kerjab, memandangi ombak-ombak kecil yang berlarian menerjang dinding batu tempatku terduduk dengan menggenggam erat ponsel. Wulan tidak memintaku kembali ke kotanya—padahal hanya butuh beberapa jam perjalanan saja. Ia hanya berkata, “Aku tidak apa-apa. Aku akan selalu menunggumu pulang. Aku dan anak ini akan menunggumu pulang suatu saat nanti.” Air mataku pecah. Aku masih ingin mengenang Wulan, tapi senja sudah tiba. Aku harus segera kembali pulang ke rumah Mak Muah.

Mak Muah adalah perempuan tua yang mengizinkan aku ikut tinggal di dalam rumahnya yang sederhana, selama aku singgah dan tersesat di desa pesisir ini. Ia seorang pendongeng yang andal. Ia hidup seorang diri. Suaminya sudah mati bertahun-tahun yang lalu, dan mereka tidak mempunyai anak. Ia hidup dalam kesendirian, kesepian yang melarat-larat.

Setiap habis sholat Isya, anak-anak akan berkumpul di teras rumah Mak Muah. Mereka duduk di bawah kaki perempuan tua itu, mengelilinginya bak acara selamatan. Anak-anak itu akan mendongak ke atas—Mak Muah duduk di atas kursi rotannya—manggut-manggut atau membuka mulutnya lebar-lebar. Ada juga yang terkantuk-kantuk, lalu merebahkan tubuh di lantai ubin hingga ibu atau bapaknya datang menjemput dan menggendongnya pulang.

Secangkir kopi dan dua potong pisang nangka goreng sudah kuhabiskan dengan lahap. Mak Muah pandai menyeduh kopi yang hitam dan kental. Ada rasa sedikit pedas, aku kira itu merica dan kapulaga yang ditumbuk halus dan dicampurkan dalam kopi bubuknya. Itu membuatku mampu terjaga semalaman hingga pagi buta nanti, karena aku akan ikut berlayar menjaring ikan. Pak Soleh, tetangga Mak Muah-lah yang bersedia menerimaku bekerja di perahunya. Aku terbiasa melakukan pekerjaan apa pun dalam setiap perjalananku, dan untung saja aku tidak mabuk laut.

Menjelajahi laut di tengah malam seperti memasuki lubang hitam pekat yang sewaktu-waktu bisa saja menelanku. Dingin dan berguncang-guncang. Aku harus terus mampu terjaga, laut bisa saja menjadi kuburan yang menakutkan.

Ketika aku masih kecil, aku dan Ayah sering ikut terjun ke dalam tambak milik penduduk sekitar ketika mereka memanen ikan. Kami akan mencari ikan-ikan mujair, yang kecil-kecil tentu saja, karena yang besar akan dijual sendiri oleh pemilik tambak. Ikan-ikan mujair itu kami pilih yang bertubuh gelap seluruhnya, rasanya lebih gurih daripada yang ekor dan siripnya berwarna kemerahan. Ibu akan mengolahnya menjadi dendeng mujair dan itu yang terenak bagiku, karena ketika aku pernah makan di rumah salah satu kawanku yang ibunya juga memasak dendeng mujair, rasanya hambar dan payah.

Di sini, setelah pulang berlayar dan menjual hasil tangkapan kami di pelelangan ikan, Pak Soleh selalu memberiku sepotong atau dua potong ikan laut yang besar-besar. Ikan-ikan aneh yang belum pernah kumakan. Kemarin pagi aku mendapatkan tiga ekor ikan yang kulit tubuhnya keras, yang bahkan tidak bisa ditembus oleh pisau. Pak Soleh bilang itu jenis ikan karang, di Lamongan ikan itu terkenal dengan sebutan togeg, tapi nama umumnya adalah ikan ayam-ayam.

Aku mengamatinya dengan cermat dan tekun, merasa aneh dengan mata bulatnya yang besar dan bibir yang teramat tebal. Aku terus berpikir tentang bagaimana caranya agar aku bisa makan ikan yang bahkan tidak bisa kupotong-potong dan dibersihkan kulitnya yang sekeras batu itu.

Sesampainya di rumah Mak Muah, kuutarakan keanehan itu padanya, dan perempuan tua itu tertawa penuh pingkal, memperlihatkan gigi-giginya yang cokelat merah karena terlalu sering bersenggama dengan sirih, pinang, dan cengkeh. Ia berkata, “Togeg itu ndak perlu dibersihkan kulitnya, Le. Iki yo mung dibakar wae, mengko kulitnya bisa buka sendiri.”

Dan benar saja, ketika ikan itu dibakar di atas bara arang, kulitnya yang keras jadi melepuh dan pecah-pecah. Aku tinggal membukanya pelan-pelan. Dagingnya yang putih dan kesat itu ternyata jauh lebih enak daripada ikan bandeng, dan ikan togeg tidak memiliki duri-duri kecil yang tumbuh di daging-dagingnya seperti ikan bandeng. Aku lahap menyantapnya. Mak Muah hanya membuatkan sambal kecap dengan potongan bawang merah dan perasan jeruk limau, tapi bagiku itu sangatlah nikmat.

Suatu waktu—mungkin empat hari lalu, sebelum aku menerima ikan togeg—aku juga pernah mendapatkan ikan hiu yang masih kecil. Tubuh hiu itu memiliki bintik-bintik hitam. Pak Soleh bilang, daging hiu rasanya manis, dan ia benar. Mak Muah membuatkan kuah pedas dengan banyak potongan tomat hijau dan cabai yang dibiarkan utuh begitu saja. Keringatku sampai habis, dan Mak Muah lagi-lagi tertawa terpingkal-pingkal. Ia pikir tingkahku yang kepedasan itu lucu, mirip dengan mendiang suaminya.

Kini, malam hampir mencapai puncaknya dan anak-anak sudah pulang satu per satu, meninggalkan Mak Muah yang masih saja duduk di atas kursi rotannya yang digoyang-goyang pelan. Aku rebah di atas dipan kayu, di samping kursi rotan perempuan itu. Mataku sibuk menerawang di langit-langit teras ketika bunyi dering ponsel berbunyi. Itu pasti dari Wulan lagi. Setiap malam, Wulan selalu menyiapkan cerita-cerita baru, menemani kerinduanku padanya, sampai ia merasa lelah dan berujar ingin segera tidur.

“Hai,” ucapnya menyapa. Aku tersenyum dan bangkit dari dipan, mengambil posisi duduk. Mak Muah melihatku dengan senyum-senyum kecil. Ia tahu hubunganku dengan Wulan, tapi aku belum mengatakan perihal bayi kami.

“Ada cerita lucu hari ini,” ujar Wulan. Nada suaranya sudah lebih ceria daripada tadi sore. Kali ini ia berkisah tentang muridnya, Liona. Wulan adalah seorang guru TK. Ketika aku singgah di kotanya, aku bertemu dirinya di alun-alun kota, ketika ia dan Liona tengah menikmati pertunjukan boneka kayuku.

Perjumpaan itu adalah sebuah ketidaksengajaan yang membahagiakan. Kami saling jatuh cinta. Ia bahkan tidak mempedulikan siapa diriku. Sudah kukatakan aku tidak mungkin menjalin sebuah hubungan yang serius, karena aku akan selalu berjalan dan tersesat, mencari tawa-tawa bocah dan memasukkannya ke dalam sebuah kotak. Kotak yang kutahu tidak akan pernah penuh oleh tawa, jadi aku harus terus mengumpulkannya dengan bertingkah konyol, menjadi badut gendut yang pura-pura terpeleset, atau badut bodoh yang melompat-lompat lalu berputar-putar sambil melempar bola-bola ke atas dan pura-pura tidak bisa menangkapnya satu-satu.

Suara-suara ceria Wulan terus menggema di telingaku. Saat seperti ini, aku tidak pernah menyela ceritanya. Bagi diriku, ucapan Wulan seolah dongeng pengantar tidur dan aku sangat menyukainya.

Malam semakin larut. Mak Muah sudah terkantuk-kantuk. Percakapanku dengan Wulan akhirnya harus berakhir ketika Pak Soleh keluar dari pintu rumahnya dan memandangku. Inilah saatnya aku kembali menebas lautan yang pekat, dingin, dan berguncang-guncang.


KOTAK TAWA

Wulan mengetuk-ketukan tumpukan buku-buku itu di atas ubin, lalu melesakkannya ke dalam rak paling bawah, menatanya sedemikian rupa hingga pantat buku itu lurus dan menghadap sempurna ke depan. Ia mengamati tumpukan buku-buku itu sejenak, sambil mengelus-elus perutnya yang sudah semakin membuntal. Tangan kanannya kemudian meraih bolpoin dan sebuah buku besar, lalu menuliskan sesuatu di sana. Aku tidak bisa melihat, apa yang sedang dituliskannya. Jarak antara tubuh basahku dan dirinya terlalu jauh. Aku juga tidak ingin mengganggunya.

Sesekali kulihat Wulan berhenti menulis, mengalihkan pandangannya pada ponsel hitam yang diletakkan di samping kirinya. Ia menungguku. Aku tahu ia begitu menungguku. Saat-saat demikian itu tiba-tiba terasa hening. Dan kesunyian yang menyedihkan seperti itu, menguar hingga ke tempatku berdiri. Membuatku terenyuh.

Kuremas kotak tawa di genggamanku. Kotak itu masih belum penuh juga. Dulu, di hari ketika kakekku meninggal, ayahku berkata dalam isakan tangisnya, bahwa ia telah membuat bapaknya itu pergi dengan kekecewaan yang teramat dalam. Aku bertanya pada ayahku, dan ia menjawab kalau ia tidak bisa mengumpulkan tawa. Kakek ingin Ayah melakukan itu tapi Ayah dulu menolaknya dengan kasar, dan itu membuat kakekku terluka dan sedih.

Kakekku adalah seorang badut keliling. Ia mempunyai kotak tawa. Kotak itu berwarna biru langit dan kini telah menjadi milikku. Aku yang akhirnya memutuskan meneruskan impian Kakek: mengumpulkan tawa. Atau lebih tepatnya: membuat anak-anak tertawa. Dan sekarang, aku ingin menyerahkan kotak ini pada anakku, agar kelak bocah itu juga tahu, bahwa di dunia ini masih ada begitu banyak anak-anak yang membutuhkan tawa. Aku ingin, kelak bocah itu akan mengerti dan melanjutkan impianku dan Kakek.

Wulan menoleh ke arahku. Mengerjab sedih. Wajahnya terlihat murung. Aku jadi merasa bersalah. Aku ingin berlari ke arahnya dan memeluknya, tapi tentu saja itu mustahil.

Kuletakan kotak tawa itu di depan pintu, mengenai genangan air yang menetes dari tubuhku. Aku berjalan menjauh. Jejak-jejak air menapak di halaman sekolah tempat Wulan mengajar. Perasaan damai itu menyusup ke dada. Keinginanku sudah terpenuhi, dan sekarang, saatnya aku menjumpai malaikat kematian yang telah menungguku di sana. Di bawah laut yang paling gelap, tempat jasadku tenggelam, terhempas badai laut yang menggila. []


Sidoarjo, 2018

Minggu, 20 Mei 2018

APA ITU HEMOFILIA DAN BAGAIMANA KITA MENGHADAPINYA



Beberapa hari ini, saya tengah menyelesaikan sebuah naskah novel yang diangkat dari kisah nyata sang penulis, seorang perempuan hebat yang memperjuangkan hemofilia. Sebagai seorang editor freelance, tentu saja saya harus memahami betul apa yang tengah saya hadapi, dan dalam hal ini adalah Hemofilia. Saya pun mulai melakukan riset tentang kelainan genetik tersebut, dan ingin berbagi di dalam blog pribadi saya ini.

Hemofilia adalah suatu kelainan genetik, di mana pasien mengalami gangguan pembekuan darah.

Di dalam darah kita, terdapat beberapa faktor pembeku yang memiliki tugas untuk menghentikan pendarahan. Ketika kita mengalami pendarahan, akan muncul cabikan atau sobekan pada salurah darah, atau yang sering kita sebut pembuluh darah. Dengan cepat, pembuluh darah itu bereaksi mengetatkan diri (menyempit). Suatu sel darah kemudian mulai bekerja menutup sobekan tersebut. Sesaat berikutnya barulah faktor pembeku darah bereaksi untuk merajut penutup luka cabikan.

Faktor-faktor pembeku darah tersebut bekerja secara berurutan, seperti halnya efek domino. Faktor yang satu bekerja setelah faktor yang lain, dan pada saat rangkaian kinerja itu berakhir, perdarahan akan berhenti.

Apabila salah satu faktor pembeku itu hilang atau tidak dapat berfungsi dengan baik, proses pembekuan tak akan berlangsung sempurna, sehingga darah bakal terus mengucur. Itulah yang terjadi pada pasien hemofilia.

Apabila mutasi gen tersebut terjadi pada faktor pembekuan VIII (8), maka pasien disebut sebagai penderita Hemofila A. Suntikan yang diberikan untuk penderita hemofilia A adalah octocog alfa yang dirancang untuk mengontrol faktor pembekuan VIII (8). Pemberian suntikan ini dianjurkan setiap 48 jam. Efek samping yang mungkin timbul: gatal, ruam kulit, nyeri dan kemerahan pada area suntikan.

Dan, apabila mutasi gen tersebut terjadi pada faktor pembekuan IX (9), maka pasien disebut menderita Hemofilia B. Suntikan yang diberikan untuk penderita hemofilia B adalah nonacog alfa yang dirancang untuk mengontrol faltor pembekuan IX (9). Penyuntikan dilakukan 2 kali dalam seminggu. Efek samping: mual, pembengkakan pada area yang disuntik, pusing, dan rasa tidak nyaman.



Para penderita yang mendapatkan suntikan ini harus melakukan pemeriksaan kadar inhibitor secara teratur, karena obat faktor pembekuan darah terkadang dapat memicu pembentukan antibodi sehingga obat kurang efektif.

Hemofilia, yang sering disebut sebagai "The Royal Diseases" ini--penyakit hemofilia adalah identik dengan kaum ningrat di Inggris. Karena ingin menjaga kemurnian darah bangsawannya, terkadang kaum ningrat itu menikah dengan keturunan yang masih dekat. Karena dekatnya garis keturunan sering memunculkan masalah genetik pada keturunannya, termasuk Hemofilia. Salah satunya adalah Ratu Victoria Inggris yang diduga sebagai pembawa sifat (carrier)—sebenarnya sudah bisa dideteksi sejak dini, yakni pada bayi. Biasanya, akan muncul lebam-lebam tanpa sebab. Apabila penderita mengalami sedikit saja benturan, maka akan mengakibatkan luka memar yang sulit menghilang. Hemofilia memang tidak dapat disembuhkan, tapi kita bisa mencegahnya agar tidak terjadi pendarahan fatal.



Penderita kelainan ini kebanyakan adalah laki-laki, karena hemofilia menyerang kromosom X, sehingga perempuan hanya bertindak sebagai pembawa gen (carier) saja, dan berpotensi menurunkan hemofilia kepada anaknya. Dan inilah yang tengah dialami oleh penulis novel yang tengah saya handle. Ia membawa gen tersebut dan menurunkannya kepada kedua anaknya. Cerita perjuangan seorang ibu yang mengharukan dan penuh semangat.

Mari kita kembali membahas Hemofilia.

Hal-hal apa saja yang mampu membahayakan pasien Hemofilia?

Terjadinya perdarahan di kepala, tenggorokan, perut, dan sekitar paha, bisa sangat membahayakan hidup pasien Hemofilia. Padahal, perdarahan tidak selalu terjadi di luar, tetapi bisa juga di dalam. Meski tak tampak oleh mata, gejala dari perdarahan itu bisa dikenali. Apabila penderita Hemofilia mengalami keluhan berikut, segeralah pergi ke dokter untuk mendapatkan pertolongan segera.
° Perdarahan di kepala. Tanda-tandanya: sakit kepala hebat, muntah berulang kali, mengantuk terus, bingung, tak dapat mengenali orang atau benda di sekitarnya, penglihatannya kabur atau ganda, keluar cairan dari hidung atau telinga, terasa lemah pada tangan, kaki, dan wajah.
° Perdarahan di tenggorokan. Tanda-tanda: sulit bernapas atau menelan, bengkak.
° Perdarahan di perut. Tanda-tanda: muntah darah, terdapat darah pada feses, sakit perut tak kunjung sembuh, penderita tampak pucat dan lemah.
° Perdarahan di paha. Tanda-tanda: nyeri di daerah paha atau agak ke bawahnya, mati rasa di daerah paha atau tidak mampu mengangkat kaki.

Meski sebaiknya tidak mengalami luka berdarah, bukan berarti anak Hemofilia harus berdiam diri. Banyak hal bisa mereka lakukan. Yang penting, mereka juga menjaga diri, antara lain dengan kiat-kiat berikut:
° Mengonsumsi makanan sehat dengan gizi seimbang.
° Rutin berolahraga, tapi pilih yang bermanfaat untuk menguatkan otot dan melindungi persendian. Anak Anda boleh berenang, jalan kaki, atau bersepeda santai. Jangan memilihkan olahraga keras dan penuh benturan.
° Sikat gigi dengan sikat yang lembut, setiap kali usai makan.
° Periksakan gigi dan gusi tiap 6 bulan atau setahun sekali ke dokter. Ungkapkan bahwa anak Anda mengidap hemofilia.

Harapan hidup pasien hemofilia tidak berbeda dengan orang sehat pada umumnya. Memang untuk bertahan hidup, pasien harus rutin menerima transfusi darah sepanjang hidupnya. Pemberian transfusi disesuaikan dengan keadaan dan akan dihentikan kalau pembekuan sudah terjadi. Umumnya diberikan sekitar 10 kantong darah per jam, dan setiap kantong berisi 30 cc.

Saya juga membaca beberapa keluhan, atau lebih tepatnya curhatan para penderita Hemofilia dalam menjalani kehidupan mereka. Besarnya biaya pengobatan sudah menjadi hal yang menjadi momok, tetapi tidak hanya hal itu. Penolakan sosial pun kerap mereka terima. Seperti misalnya, gagal menikah atau menjalin hubungan dengan lawan jenis karena pasangan tidak siap menerima keadaan fisik mereka, dan juga ditolak oleh banyak perusahaan ketika melamar kerja dan mengutarakan bahwa mereka seorang pasien Hemofila. Hal semacam ini sesungguhnya tidak perlu terjadi, jika masyarakat paham benar tentang kelainan genetik ini dan mengetahui bagaimana cara bertindak, baik pencegahan dan pengobatan.

Kita tidak perlutakut, atau bahkan mengucilkan penderita Hemofilia. Kita, sebagai masyarakat normal, hanya butuh untuk belajar lebih banyak lagi. Mereka juga manusia. Mereka butuh dukungan dan butuh diterima. Jangan takut akan terjadi hal-hal yang fatal, selama kita benar-benar tahu dan menghindari apa yang wajib dihindari. Dan ini telah dibuktikan oleh penulis hebat yang novelnya tengah berada di tangan saya itu. Selama mengedit naskah ini, saya jadi terharu dan respect. Saya belajar banyak hal. Terutama pada: bersabar dan berikhtiar pada setiap ujian yang Allah berikan kepada kita. []


Ajeng Maharani

Penulis dan Freelance Editor
Jika Anda membutuhkan jasa edit dan layout naskah, atau mencetak buku, silakan menghubungi saya di WA: 0896-7946-2559 atau telepon melalui: 0856-0737-2626


#WiCa_Day4
#ResolusiRamadhan1439H
#FLPSidoarjo