Sabtu, 07 Februari 2015

BUKAN DIRIMU LAGI



"Mengapa kau harus kembali di kehidupanku?"

"Ma-maafkan aku, Ra. A-aku ...."

"Aku apa?"

"Aku memang salah, Ra. Tapi kau tahu aku terpaksa melakukannya."

"Jadi keterpaksaan itu adalah suatu pembenaran atas semua yang telah kau lakukan padaku?"

"Tidak, bukan begitu. A-aku ..., aku mau kau kembali padaku."

"Kembali padamu?"

"Aku masih sangat mencintaimu, Ra. Kumohon, kembalilah bersamaku. Aku akan membayar semua kesalahanku padamu."

Kutatap wajahmu yang melusuh. Hujan meliris, kita masih berdiri di bawah pohon beringin ini. Aku menjadi bisu. Kau pun memilih bertahan dalam penantian, menunggu sebuah jawab dari bibir ini.

Ah, entah sudah berapa purnama kita berpisah. Walaupun lukisan wajahmu yang terpatri di dinding kenangan masih terlihat begitu jelas, namun tak sekali pun kumimpikan untuk menjumpaimu kembali. Kau laksana bulan yang takkan pernah tergapai. Kau lihat, benteng itu masih kokoh berdiri di antara duniaku dan milikmu. Siapakah aku, Ru? Siapakah pula dirimu, akan selalu kuingat jarak itu.

"Kau cantik, Ra," ujarmu di keheningan malam suatu waktu. Desir angin meniupkan aroma cinta antara kita. Degup jantungmu terdengar begitu lantang, menemani gigil tubuhku yang mulai menanggalkan kain satu persatu.

Lenguh napasmu hangat, merengkuh jiwaku yang rapuh karena denting renjana telah membabi-butakan malam laknat yang mencumbui kita. Kau menikam lembut liang-liang kerinduanku, sementara aku hanya bisa pasrah. Hanya mampu mendesahkan namamu pada bibir yang bergetar.

Ru, lingkaran dosa telah kita langkahi bersama, namun setelahnya kau pergi tanpa sepatah kata. Aku meratap atas kebodohan ini. Memaki semua rasa cinta di dada dan melumatnya dengan harap akan menjadi debu kebencian. Tapi aku tak mampu, Ru. Aku masih sangat mencintaimu, bahkan itu kebusukanmu sekali pun.

Berhari-hari aku hanya mampu menangisi diriku sendiri. Rahim yang dulu kosong kini telah terisi benihmu, Ru. Lalu mereka datang dengan tatapan yang menakutkan. Sesak, Ru. Aku kehilangan napas ketika suara-suara itu mulai menghakimi. Meneriakan umpatan-umpatan, mengatai diriku jalang. Bagaimana aku bisa disebut jalang hanya karena mencintaimu, Ru? Bagaimana bisa!

Kaki-kaki telanjangku terus berlari tiada henti. Mata hatiku sasar, mencari sosokmu yang telah lama raib. Kau yang telah menjelma layaknya hantu itu, bagaimana pun jiwa ini mencari, tak mampu kutemui dirimu di mana pun. Aku limbung, Ru. Aku gila. Apakah ini hukuman karena mencintai seorang anak raja sepertimu?

Ah, Ru ..., aku ingin mati. Aku akan tenggelamkan tubuh ini di danau tempat kita mencampakan keperawanan itu.

Pelan-pelan, kubenamkan raga di danau suatu malam lalu, kala putus asa merajai jiwa kotor ini. Hening menjamah penyatuanku dengan air yang dingin. Lalu, dalam kesadaran yang hampir lesap, kurasakan sebuah lengan kokoh merengkuh tubuh. Gelap. Hanya terdengar suara kepakkan lembut sayap para kunang-kunang. Kemudian, sunyi menyergapku.

Dua purnama sudah aku bersamanya. Kemudian lelaki itu berkata kalau dirinya telah jatuh cinta padaku, Ru. Ia bahkan rela bersujud, memohon sebuah kehidupan baru untukku setiap kali hendak kupotong nadi yang mulai membusuk ini. Kau dengar ucapku, Ru? Kehidupan baru, yang berarti juga untuk anak kita. 

Ah, betapa mulia hati lelaki yang bahkan belum kukenal itu. Kau bukan sesuatu yang indah lagi tatkala mata ini menatapnya, Ru.

Hingga akhirnya, di bawah sinar bulan pasi yang terang benderang itulah ia menikahiku. Membelai lembut sisa-sisa cinta yang telah kuserahkan semuanya padamu. Ia yang hidup hanya sebagai seorang penarik perahu di danau kenangan kita, telah mampu menghidupkan kembali binar-binar semangatku. Detik demi detik kulalui bahagia ini sambil menyulam kembali cinta teruntuknya. Ia malaikat bagiku, Ru. 

Walaupun nasi kami tak pernah mencukupi untuk mengenyangkan perut-perut ini. Walaupun lauk jarang ada di atas piring yang aku hidangkan setiap hari. Walaupun tak ada selimut yang mampu menghangatkan malam-malam kami, tapi aku bahagia, Ru. Sangat bahagia.

Karena itulah, Ru, sudah jelas apa jawabanku untukmu saat ini, bahkan untuk selamanya.




-A.M.231114-

KARENA PEREMPUAN YANG BERTANDANG di RUMAH KAMI



  

SEJAK kulihat wajah ayah yang mengigil ketika tahu kekuatan yang dimiliki ibu, aku belajar satu hal, bahwa manusia adalah makhluk yang egois. Mereka tak mau menerima kenyataan atau mengakui saat ada seseorang yang pernah dianggapnya lemah itu menjadi kuat.

Malam itu, ayahku lari ketakutan. Meninggalkan ibu yang masih berdiri dengan mata membuntang, sambil menggenggam sebuah pisau dapur. Kupeluk tubuh ibu dari belakang, kemudian tangisan kami membuncah. Malam yang menggetarkan bagi kami. Setelah itu, ibu mengajakku pergi dan hidup di tempat baru.

Ibu pernah berkata, “Kau boleh menjadi diam, tetapi jangan menjadi lemah.” Aku paham. Bertahun-tahun aku bersembunyi di balik kekuatanku sendiri. Kekuatan seorang perempuan yang diturunkan ibu padaku. Hingga akhirnya, perempuan itu datang berkunjung ke rumah kami.

***

NAMANYA Linggar. Datang di suatu siang bersama suaminya ke rumah kami dengan alasan menjenguk anak ketigaku yang baru lahir bulan lalu. Aku tak pernah merasa mengenal perempuan itu. Tapi lelakiku berkata, dia teman kami ketika bersekolah dulu. Aku telah lupa. Tapi bukan itu yang membuatku gelisah. Wajahnya yang bersemu merah jambu, lalu binar matanya yang ceria tatkala berbincang dengan lelakiku, membuatku merasa kejanggalan ada dan tengah terselip di antara keduanya.

Bahasa tubuh Linggar begitu kentara jika dia sedang mengalami kecanggungan berada di rumah ini bersama kami. Namun aku belum tahu, dikarenakan apakah sikap itu terbuncah begitu kuat hingga mampu terbaca oleh mataku.

Satu jam setelah Linggar berpamit pulang, aku menemukan email-email itu di notebook milik lelakiku. Tubuh ini menggeligis karena amarah, sementara lelaki yang telah kunikahi selama tujuh tahun itu bersujud di kaki sambil memohon ampunan.

Tak ada rinai yang meleleh di sudut mataku. Tak ada kekata yang meluncur dari bibirku. Semuanya beku, diam dan berkecai entah ke mana.

Dari email yang kubaca, hubungan mereka telah terjalin kembali sejak aku hamil tua, enam bulan yang lalu. Mereka bertemu di media sosial, mengenang kembali masa-masa muda yang digadang-gadang indah bak pelangi yang menenggelamkan warnanya di atas nirwana, lalu pergi berdua meninggalkan pasangan mereka masing-masing untuk menikmati senja dan fajar di Pantai Jogan. Tak tanggung-tanggung, mereka melakukan itu sudah dua kali dan berjanji akan terus rutin ke tempat kenangan itu berdua.

Aku meradang. Entah apa lagi yang bisa kukatakan. Tak ada. Kekecewaan itu sudah terlalu pahit untuk diutarakan. Pada malam-malam pikuk, aku selalu tenggelam dalam kehampaan. Rohku lepas, menjelma menjadi kunang-kunang lalu lesat menerobosi kegelapan, berharap dijemput kematian.

Dalam pengembaraan bawah sadar, aku selalu bertanya, mengapa lelaki itu begitu mudahnya berkhianat? Mengapa perempuan itu begitu teganya merenggut kebahagiaan yang seharusnya tak boleh lagi dia kecap? Namun walau seberapa sering aku menaburkan lidah-lidah keluku dan bertanya pada hal yang tak mampu berkekata, aku tetap tak menemukan jawaban.

Fajar melata, aku kembali ke tubuhku dan mendapati lelaki itu sudah duduk menatapku dengan wajahnya yang memilu.

“Kau baik-baik saja?”

“Bagaimana aku bisa baik-baik saja?”

“Bukankah aku sudah meminta maaf dan takkan mengulangi perbuatanku?”

“Tapi desah-desah napas kenanganmu bersamanya masih mengendap di batinku, Sayang.”

“Aku tahu, tapi bisakah kau melupakan semuanya?”

“Itu tak mungkin, kau tahu itu, kan?”

Kami diam. Kerling matanya mengisyaratkan bahwa dia telah lelah dengan kebisuanku selama ini.

“Kalau begitu, terserah kau mau menjadi apa. Aku hanya sedih melihatmu seperti ini.” Setelah berkata, lelaki itu kembali keluar kamar dan meninggalkanku yang telah berhari-hari menyudutkan diri di kegelapan.

Denting sang waktu tak lagi kudengar. Penat kepala mencabik kesadaranku. Di antara limbung, aku berdiri lalu berjalan menuju kamar mandi. Mengguyur kepala ini berkali-kali dengan air yang semakin dingin saat tengah malam. Berharap semua ingatan tentang mereka ikut luruh dan raib bersama air yang mengalir masuk ke dalam selokan.

Tangisanku menjadi-jadi. Suara pompa air listrik melindapkan teriakan marah yang kuserukan. Aku ingin hilang, ingin mati, ingin bebas dari kemurkaanku.

“Ibu, bisakah kau jemput aku?” desisku di sela-sela air yang terus mengalir deras.

Diam, aku terkulai di lantai kamar mandi. Sesak, kucoba meraih kembali napasku yang hampir raib. Terbesit wajah ibu yang telah tiada. Aku ingat wajah murka ibu yang mengusir ayah, ketika ketahuan berselingkuh dengan beberapa perempuan dan menghabiskan semua uang simpanan. Iya, aku kini paham perasaan ibu.

Aku melenguh sejenak. Berdiri dan berjalan menuju kamar tempat suami tertidur lelap. Lantai rumah menjadi basah, aku tak peduli. Kulihat wajah lelaki pengkhianat itu begitu tenang, seolah tak terjadi apa-apa antara kami. Kebencian menepuk kembali pundakku. Ia berbisik, merayu dan meracau di cuping telinga.

Kuhapus air mata yang menggenang di pelupuk, lalu mengendap ke arah dapur. Lihatlah lelakiku, apa yang bisa diperbuat oleh seorang perempuan saat ia terluka dan memendam palak di hati.



-A.M.281114-





Jumat, 06 Februari 2015

LAGU KEMATIAN LAYRA






Tiap kali berjumpa dengannya, Layra selalu bersenandung lagu yang sama. Seperti suara-suara kematian di telingaku. Kalimat-kalimat yang menggairahkan, namun juga mematikan.
Tak ada yang mampu menolak pesona wanita dua puluh tiga tahun itu. Tak seorang pun. Mereka—para lelaki—akan selalu tergiur untuk bisa menikmati tubuhnya yang sempurna. Mata yang bulat melentik, bibir tipis yang terbelah di tengah, lalu batang hidungnya yang lancip. Rambutnya ikal bergelombang. Harum. Aroma mint bercampur rasberry menyelimuti tiap helainya.
Ia memiliki tubuh aduhai. Sintal. Dengan dada kenyal yang menggelembung indah. Menakjubkan! Sungguh, di kota laknat yang memuja wanita-wanita binal ini, tak ada satu pun wanita yang mampu menandingi kecantikan Layra. Ia bagaikan dewi di antara semuanya.
Aku berkata, SEMUANYA.
Saat pertama kali kawan kencanku mengenalkan pada Layra, aku sudah sepenuhnya jatuh hati pada wanita itu. Kerlingan matanya menggoda. Seolah-olah mengajakku untuk meninggalkan wanitaku, lalu terbang ke arahnya. Paha putih yang menyembul di antara kain merahnya yang semerah dahlia, membuatku menelan ludah berkali-kali. Dadaku bergemuruh, serasa ingin segera menjumpai jantungnya untuk menyatu dalam satu raga. Ah, memalukan. Aku seperti lelaki yang belum pernah tidur dan menikmati tubuh wanita saja di hadapannya.
Di malam itulah, sayup-sayup kudengar ia bersenandung. Bibir yang bergetar indah, melumat setiap syair yang ia desah.

“Aku selalu menikmati detik yang tenggelam di antara cumbu-cumbu kita, Sayang....”

Entah, lagu mana yang ia dengung malam itu. Bait-bait yang terlontar dari bibirnya yang meranum, membuatku bergairah. Ah, Kau tahu, bukan, apa maksud kata ‘bergairah’ saat seorang lelaki normal sepertiku ini mengucapkannya. Kau benar. Aku ingin menidurinya! Namun malam itu, jodoh kami tak terpaut. Layra pergi, berlalu begitu saja sambil merengkuh lengan pria buncit—bahkan wajahnya tak setampan diriku!
Imaji liarku tentang Layra tak habis di malam itu. Tiap menit, tak pernah kubuang sia-sia tanpa membayangkannya berada di atasku. Aku sudah benar-benar gila. Ketika malam tiba, aku selalu duduk di tempat yang sama dengan hari itu. Menunggu Layra muncul. Sehari ..., dua hari. Nihil. Wanita itu bagaikan hantu yang tengah bermain petak umpet denganku.
Sungguh menyebalkan!
“Kau menungguku?”
Seketika aku tergeragap. Embusan napas Layra tiba-tiba mendarat di tengkukku. Darahku tersibak.
“A-aku? ... Ah, tidak juga.”
“Jangan dusta, Rom.”
Layra menempatkan pantatnya yang kenyal di atas kursi sofa yang tengah kududuki. Ia meraih gelas minumanku. Meminumnya seteguk, lalu mata liarnya melirik ke arahku.
“Aku tahu siapa kau. Diam-diam aku selalu memperhatikanmu,” ujarnya kembali.
“Be-benarkah?”
Dadaku gemetaran. Rasa tak percaya, tapi juga gembira.
Layra meletakkan kembali gelas yang sudah hampir habis isinya itu, kemudian wajahnya didekatkan pada wajahku. Bola matanya berkesap-kesip, menggoda. Bibirnya digigit. Aroma tubuhnya yang menyeruak bak wangi surga, mencabik-cabik jiwa kelelakianku.
“Kau menginginkan aku, bukan?”
Debaranku semakin kencang. Semua hiruk pikuk yang membuncah di hadapanku—musik, tarian nakal dan bebauan alkohol—kini berputar-putar di otakku. Lalu tiba-tiba semua lesap. Hening mencengkeram. Aku lupa segalanya setelah itu.

***

Kesadaranku kembali ketika aku sudah menduduki ranjang di rumahku. Hangat. Sisa-sisa bau tubuh, peluh dan juga desah-desah Layra masih menyetubuhi kain sepreiku yang semerawut.
Ini bukan mimpi, Rom. Bukan! Batinku memekik. Aku melonjak kegirangan. Dadaku bahkan hampir pecah.
Aku teringat dengan jelas kini. Lekuk-lekuk tubuhnya. Juga desah kenikmatan yang kami rengkuh bersama. Sesaat sebelum menghilang, wanita dambaanku itu memberiku nomor ponselnya.
“Hubungi aku saat kau merinduiku, Rom. Itu pun jika kau berhasil menemukanku.”
Ah, iya. Aku sangat merindukanmu Layra. Bahkan sedetik saat kau melangkah pergi dari apartementku, aku sudah menginginkanmu kembali.

***

Hampir sebulan setelah hari itu, tak sekali pun aku mampu mencium kembali jejak Layra di kota ini. Hanya ada gurat-gurat kenangan di dinding kamar apartemen yang masih menyimpan Layra. Aromanya bercampur lembab. Tiap malam melindap, dinding itu seakan bergerak, berbicara, dan mendesah layaknya ia.
Siang yang menyengat. Deru-deru mobil yang lalu-lalang di depan kantorku menambah suasana yang pikuk. Tumpukan file berserakan. Bulir-bulir keringat yang berayun di pori tiba-tiba lesap kembali ketika sebuah dering ponsel mengagetkan jantungku. Kubaca. Itu dari Layra.
Jantungku melompat!
“Ya, hallo, Lay?”
Ia cekikikan. Renyah menggoda.
“Kau tak merindukanku?”
“A-apa? Ah, kau, Lay. Sudah berapa SMS yang tak kau balas?”
“Umm ..., benarkah?”
Ia cekikikan, lagi.
“Maaf. Aku sibuk akhir-akhir ini, Rom.”
“Bi-bisakah aku bertemu denganmu, Lay? Ehmm, malam ini, mungkin?”
Aku mengumpat dalam hati karena kesialan ini. Bisa-bisanya aku tergugup karena seorang wanita.
Hening. Layra belum menjawab pertanyaanku. Dari sela-sela lubang speaker, yang kudengar hanya desahnya. Liar. Memburu imajiku.
“Boleh. Tapi kali ini, maukah kau ke rumahku, Rom? Aku sedang tak enak badan. Tak bisa keluar rumah.”
“Ta-tak apa, Lay. A-aku pasti akan datang. Pasti!”
Siang itu, percakapan singkat kami menyirami kerinduan yang telah lama kering di rongga dadaku. Begitu jam pulang kantor tiba, secepatnya aku melesat menuju mobil dan membawanya menuju alamat yang telah ia berikan. Sedikit jauh memang. Di sana, tersembunyi dari keramaian Kota Pahlawan.  Sebuah rumah besar bertingkat dengan pagar tinggi mencakar langit.
Aku tertegun memandangnya.
Bagian dalam rumahnya luas. Rapi. Aku hanya sedang terheran-heran, dari mana wanita single yang tak memiliki pekerjaan itu—ia menceritakannya padaku malam lalu—bisa mendapatkan ini semua?
“Minumlah ini, Rom. Aku yakin kau pasti lelah.”
Layra datang dari balik meja mini bar yang ada di ujung ruang tamunya. Dua gelas sampange sudah ada di tangannya. Dingin. Aromanya menggiurkan. Namun air liur yang kutahan agar tak menetes di ujung bibirku ini, bukan karena minuman itu. tetapi karena gaun tipis berwarna hitam yang ia kenakan sejak menyambutku di pagar tadi.
Berkali-kali kutelan ludah.
“Nih,” ujar Layra sambil menyodorkan gelasnya. “Ada apa? Kau canggung?”
“Ti-tidak.”
Layra tertawa. Ia menempatkan dirinya duduk di sampingku. Sangat dekat. Hingga bahangku membumbung. Kulit-kulitku melepuh.
“Kau ini unik, ya, Rom. Padahal, ini bukan pertama kalinya, kan, kau bersama wanita?”
Kusungging senyum. Menunjukkan sederetan gigi yang kuning kusam. Setelah itu, kuteguk isi gelas di tangan, mencoba menghilangkan gugup. Segar. Dahagaku tersembuhkan olehnya.
Hampir semenit berlalu. Entah mengapa, pening menyudutkan kepalaku. Bayangan Layra berputar-putar. Kulihat ia tersenyum. Sinis dan jahat. Tiba-tiba aku merasa terancam akan sesuatu. Iya, sesuatu yang menakutkan, melesak dalam di hatiku.
“Kenapa, Rom? Sakit?”
Ia cekikikan lagi. Tubuhnya diangkat menindihku, hingga aku terjatuh dan terbaring di sofanya. Gemetaran, gugup, rasa ingin lari namun tak mampu. Bahkan sebuah teriakan yang kubuncah pun menjadi sebuah rintihan desah yang menggelikan. Ah, tidak, kenapa denganku? Mengapa ia begitu mengerikan di atasku!
Lalu, entah dari mana tiba-tiba saja kulihat jemari lentik Layra mencengkeram sebuah pisau buah yang mengkilat-kilat.
Didekatnya pisau itu di pipiku. Berjalan pelan, hingga menempel di leher. Wajahnya mendekat, berbisik lembut di ujung cuping kiriku, sambil mendengus. Napasnya panas.
“Kau tahu, Rom? Tak ada yang bisa membuatku puas selain lelaki tak berdaya di ujung pisauku. Sambil melihat mereka meregang nyawa.”
Aku menelan ludah. Dalam separuh kesadaran, lamat-lamat kudengar ia bersenandung.

Aku menikmati detik yang tenggelam di antara cumbu-cumbu kita, Sayang
Saat kau meregang, aku melambung
Kudengar rintih
Kucium aroma kematianmu
Lalu bau darah yang memekat
Harum
Oh, sungguh
Kunikmati setiap cumbu bersama desah ketakutanmu, Sayang

Suaraku tercekat. Pisaunya merayap ke seluruh tubuh. Ia menyenggamaiku. Setelah itu, bersamaan dengan ujung pisau yang menancap di jantungku, mengoyaknya dalam irama yang mendayu-dayu, kegelapan menutupi segalanya.
Aku bilang, SEGALANYA.



-A.M.190814-


Subuh yang Paling Sunyi - kumpulan Flash Fiction Terbaik LovRinz and Friends





Subuh yang Paling Sunyi, sebuah buku persembahan dari LovRinz and Friends untuk para sahabatnya. Berisi kumpulan flash fiction pilihan. Dijamin, Anda akan tercengang membaca setiap cerita yang disuguhkan dalam buku ini. 


"Saat kau berjalan di kala senja lalu menemukan sebuah pintu merah pada dinding-dinding bata yang kusam, jangan coba-coba masuk ke dalamnya. Ada setan berkepla dua yang sedang menantimu di balik pintu itu!" (Di Balik Pintu Merah - Ajeng Maharani)

"Siapa yang silih tatap dengan kucing hitam, pasti akan mati!" (Kucing Hitam - Robi Suganda)

"Desahan-desahan itu terus menggema dalam pikiranku. Penuh hasrat dan mengejar ke mana pun adaku. Aku terus berlari hingga alas kakiku lusuh. Kugenggam erat Teddy pemberian Mama yang terakhir. Yang penting aku harus jauh darinya. Aku benar-benar tidak tahan dengan lelaki itu!" (Empat Belas - Ida Fitri) 

"Aku masih dalam balutan jas mandiketika kulihat laki-laki beraroma alkohol itu sedang mencengkeram leher ibu. Tetes-tetes darah menodai lantai, tepat di bawah pijakan ibu. Ceruk matanya terlihat sayu, lalu memanggilku pilu." (Subuh yang Paling Sunyi - Ira Gantira Damarwanti)

Harga buku Rp. 39.900,- 
SMS ke 085 606 606 007 atau inbox FB Ajeng Maharani

Berikut salah satu FF yang ada di dalam buku:   


TERJEBAK


Aroma mistis mulai terasa setelah kau berada dalam ruangan. Berdiri di antara sekumpulan manusia yang tegak kaku tanpa ekspresi.
Ragu-ragu kau terima sebuah tudung hitam yang disodorkan seseorang. Dalam kebingungan kau tutupkan tudung di atas kepala sambil meluruskan pandangan ke depan. Menerka apa yang sedang dan akan terjadi. 
Di depan altar, kau lihat seorang gadis berbaring terikat di atas  sebuah meja, berhiaskan bunga-bunga warna darah dan perempuan bertudung merah di sebelahnya.
"Wahai Dewa Yang Agung, terimalah persembahan kami. Jadikanlah jiwa-jiwa kami abadi. Selamanya."
Kau menjerit histeris ketika darah memuncrat keluar dari leher perempuan muda itu. Ruangan mendadak hening. Semua mata tertuju padamu.
"Tangkap gadis itu!" Suara wanita di depan altar memecah keheningan.
"Tidak ada yang boleh melihat persembahan kita. Dewa Yang Agung akan murka jika ia sampai lolos!" Wanita berwajah tirus dengan gincu merah darah itu menuding ke arahmu.
Kau berlari meninggalkan mereka setelah mencampakkan tudung kepala. Kau angkat gaun merah marunmu yang mengembang sambil berlari sekencang mungkin. Hak sepatumu menggema ketika kau berlari menyusuri lantai kayu yang telah lapuk dimakan waktu.
Kau terlihat bertanya-tanya kenapa bisa berada di tempat itu karena seharusnya sekarang kau menemani Edward ke pesta Hallowen sekolah.
Sampai di sebuah pintu cokelat besar, kau coba mendorong, menarik dan menggeser pintu. Tapi pintu kokoh itu bergeming.
Dalam kepanikan, kau lihat sebuah kapak dalam kotak kaca yang terpasang di dinding. Tanpa pikir panjang kau pecahkan kotak kaca itu dengan kursi kayu, lalu segera meraih kapak dan membelah daun pintu dengan sekuat tenaga.
Berhasil! Napasmu naik turun melihat pintu yang sedikit membuka. Segera kau hempaskan kapak lalu mendorong pintu besar yang berderit itu.
Kau pun terkesiap, ketika ternyata kembali ke ruang pemujaan. Tapi gadis malang itu masih hidup dan berbaring di atas meja persembahan, bersama dengan wanita pemimpin pemujaan.
"Wahai Dewa Yang Agung, terimalah persembahan kami. Jadikanlah jiwa-jiwa kami abadi. Selamanya!" Seru wanita itu sebelum menancapkan pisaunya.
Dan kau pun menjerit kembali.


(Patrianur Patria)






Senin, 02 Februari 2015

DENTUM HATI - sebuah cuplikan dari novel ANIMUS Seven Days




Chapter Two - KASUS


“Kau mau ke mana, Sa? Bukankah tak ada jadwal manggung hari ini? Semua kontrak sudah dibatalkan, kan?”

“Mau menemui panggilan kepolisian, Mak. Suratnya sudah tiga hari lalu kuterima.” Salsa menggoreskan gincunya. Warna yang merah merona.

Mamak mengeluh. Melihat itu, Salsa jadi tercenung. Ia tahu sekali, wanita tua kesayangannya itu pasti tengah menyayangkan peristiwa yang terjadi beberapa minggu lalu.

“Kau pernah bilang, kan, Mak, bahwa kita jangan pernah lari dari setiap kejadian.”

Wanita tua itu menatap sendu.

“Aku takkan lari lagi, Mak. Ini tanggung jawabku.”

Salsa tersenyum. Mamak membalasnya.

Setelah selesai berdandan, Salsa bangkit dari kursi kayunya. Menghampiri Mamak lalu mencium kening wanita itu. Rinai Mamak menggantung. Dia mengangguk. Setelah Salsa mengecup, ia beranjak meninggalkan kamarnya menuju
garasi.

Mata Mamak kini meleleh. Bibirnya berdesis, “Sa ..., Sa. Bukankah dulu pernah kuingatkan. Jangan pernah tergoda oleh cinta yang tak jelas seperti ini. Walaupun
kau gadis panggung, tapi kau bukan hina.”

***

Ruangan itu sempit. Hanya empat kali tiga meter persegi. Di hadapan Salsa hanya ada sebuah meja besi yang sudah karatan beberapa sisinya. Sebuah botol minuman mineral berdiri tegak di atas meja. Sebuah kursi tempat duduk penyelidik masih kosong. Dia belum tiba. Perempuan itu dibiarkan begitu saja menunggu. Sudah hampir setengah jam.

Salsa mulai merasa jengkel.

Seorang pria bertubuh tinggi dengan kulit hitam membuka pintu. Dia langsung menempatkan pantatnya yang tebal pada kursi besi di hadapan Salsa. Tangannya memegang sebuah buku catatan kecil. Sebuah bolpoin menggantung di
sakunya.

“Maaf, sudah membuatmu menunggu. Kita langsung mulai saja, ya?” ujar lelaki penyidik itu dengan wajah yang biasa-biasa saja. Tak terpancar sedikit pun rasa kesal di sana.

Salsa mengangguk malas.

“Siapa yang merekam adegan syur kalian? Apa ada orang ketiga?”

“Tidak ada. Kamera itu kuletakkan di atas meja.”

Penyidik itu mengangguk. Dia bergumam. Tangannya sibuk mencatat pernyataan Salsa.

“Siapa yang berinisiatif merekam? Kau atau Darsono?”

“Aku.”

“Benarkah?”

“Iya.”

“Mengapa? Apa kau ..., seorang ....”

“Apa?”

Lelaki itu terkekeh genit.

“Jangan-jangan kau ini seorang wanita maniak.”

Wajah Salsa memerah.

“K-kau!” Suara Salsa tercekat. Ia mengembus napas sebentar, lalu kembali melanjutkan ucapannya.

“Tolong, jangan berbicara sembarangan. Video itu hanya kugunakan sebagai koleksi pribadi, karena aku sangat mencintai lelaki itu.”

“Mencintainya? Hei ... Darsono itu sudah berkeluarga, bukan?”

“Aku tahu.”

Penyidik itu menatap mata Salsa dalam-dalam. Dia mencoba mencari sesuatu di sana. Tapi, tak mampu dia temukan.

Tidak ada rasa takut di hati perempuan itu.

“Bagaimana video syur itu bisa tersebar? Apa kau yang melakukannya?”

Salsa menggeleng.

“Bukan. Handphone-ku hilang sebulan yang lalu. Video itu ada di sana.”

“Hilang? Akh! Lagu lama. Dalam kasus perselingkuhan seperti kamu ini, artis-artis sengaja menyebarkan video pornonya. Sensasi. Atau ..., karena kau sudah dicampakkan oleh Darsono. Akhirnya kau balas dendam. Betul tidak?”

Salsa menjadi benar-benar geram. Penyelidikan itu baru berjalan beberapa menit saja. Tapi jantungnya sudah mau meledak karena menekan amarah yang membara. Lelaki penyidik itu sengaja mencemoohnya. Pertanyaan demi pertanyaan berikutnya dilalui Salsa dengan tetap menekuk rasa jengah. Semuanya hampir dua lusin. Lalu, ketika pertanyaan terakhir selesai ia jawab, lelaki itu mendekatkan wajahnya pada Salsa. Sebuah kartu nama disodorkannya.

“Ini titipan dari komandan kami. Dia adalah penggemar beratmu.” Setelah berkata, lelaki itu berdiri. Pergi meninggalkan ruangan, sambil terus terkekeh genit.

Salsa ingin muntah!

***

Semenjak lelaki penyidik itu menyodorkan kartu nama komandan, Salsa mengerti maksud yang tengah disampaikan lelaki itu. Inilah yang paling ditakutkan Salsa. Adakalanya, seseorang suka memanfaatkan keadaan yang mencekik orang
lain, guna kesenangannya sendiri.

Sebelum bertemu dengan Darsono, Salsa tak pernah menjual tubuh. Walaupun jumlah uang yang ditawarkan itu besar. Berpuluh-puluh juta. Namun Salsa selalu ingat petuah Mamak. Ia memang penyanyi, tapi bukan seorang wanita
yang hina.

Namun cintanya pada Darsono sudah meringkus semua prinsip itu. Ia hanya perempuan lemah. Tak berdaya digerogoti rasa yang berderu-deru di nadinya. Apalagi, lelaki itu memperlakukannya dengan baik. Penuh kasih. Perhatian
dan mampu mengayomi hati Salsa yang sebenarnya mudah
rapuh.

Bukan uang yang dicari perempuan itu. Tapi kenyamanan saat bersama lelakinya. Dan itu semua tak bisa dimengerti oleh siapa pun, Salsa paham, ia hanya akan disebut sebagai wanita kotor.

Kini, saat ia memikirkan kartu nama yang tengah tergeletak di depan meja riasnya itu, Salsa berpikir. Akankah ia memenuhi keinginannya, komandan itu?

Salsa mengembus lenguhnya panjang. Ketakutannya menyeruak ….




~ 0 ~



Apa sih ANIMUS itu?

 
ANIMUS Seven Days berisi 4 cerita yang saling berkaitan. Ada benang merah yang menghubungkan setiap ceritanya. Ada 'jantung' yang berdetak mewakili kesemuanya. Tentang dentum hati Salsa yang terjebak di antara kebusukan dan arogansi para tokoh masyarakat. Tentang cinta Yana dan si Gadis Lumpur yang dihantui oleh keangkuhan manusia yang mengkotak-kotakan status dan kedudukan. Tentang kisah Guntur yang tenggelam dalam pengkhianatan hingga membuat dirinya korban dari permohonannya sendiri. Juga tentang kisah pencarian Bunga akan cintanya yang raib di Pulau Maku-maku. 

Kisah-kisah yang mendebarkan, membuat Anda selalu penasaran untuk melanjutkan ke halaman berikutnya. Bersiap-siaplah, karena setiap inci novel ini, akan membuat Anda berhenti bernapas sepersekian detik!
Berminat?
Hubungi melalui SMS/WA 085 606 606 007 
Harga: Rp. 55.000,-

BANGAU KERTAS - sebuah mininovel (chapter two)









Detak Cinta




Setiap kali menatapmu dari balik pohon mangga yang kau tanam di halaman rumahmu lima tahun lalu itu, aku selalu jatuh hati pada binar matamu yang teduh itu, Va. Iya, mungkin aku sudah gila karena telah mencintai wanita yang lebih tua dariku dan dengan status yang kau dekap saat ini. Namun aku yakin, Va, cinta yang kumiliki jauh lebih besar dari yang pernah kau terima darinya.

Kau tahu, Va, bukan hal tak mungkin jika ada lelaki lain yang jatuh hati saat melihat lakumu yang anggun itu. Kesetiaan, kesabaran dan pengabdianmu padanya sungguh indah. Hal yang belum pernah kutemui dari wanita-wanita lain yang pernah kujumpai. Sungguh! Kebanyakan dari mereka hanya mampu menuntut, tanpa mau ikhlas menerima seperti apa yang sudah kau lakukan selama ini.

Ah, Va, seandainya aku punya keberanian untuk mendekatimu, merayu dan menculikmu dari lelaki bodoh yang telah menyia-nyiakan keberadaanmu itu. Lalu membawamu pergi ke duniaku.

Tapi aku tahu itu mustahil. Dengan dada membusung kau pasti akan menolaknya, bukan? Kau wanita yang setia, Va, walaupun luka telah kausesap setiap hari. Kaukunyah perlahan, lalu menelannya dengan lahap. Seolah itu nikmat, padahal hatimu menangis.

Aku tahu, Va ... aku tahu sekali akan hal itu!

Va, apa seberharga itukah dirinya di hidupmu, walau tak sekali pun dia memperhatikan perasaanmu?
Tidak. Jangan terus membenamkan tangis di setiap malammu, Va. Datanglah padaku jika kelak kau sudah lelah. Aku pasti akan membahagiakanmu.  Aku janji, Va, harapan itu akan selalu kusematkan di setiap pagimu yang sembap. Agar ketika kau melihatnya, senyum indahmu kembali merekah.

Aku janji.




~ bersambung ~