Jumat, 06 Februari 2015

LAGU KEMATIAN LAYRA






Tiap kali berjumpa dengannya, Layra selalu bersenandung lagu yang sama. Seperti suara-suara kematian di telingaku. Kalimat-kalimat yang menggairahkan, namun juga mematikan.
Tak ada yang mampu menolak pesona wanita dua puluh tiga tahun itu. Tak seorang pun. Mereka—para lelaki—akan selalu tergiur untuk bisa menikmati tubuhnya yang sempurna. Mata yang bulat melentik, bibir tipis yang terbelah di tengah, lalu batang hidungnya yang lancip. Rambutnya ikal bergelombang. Harum. Aroma mint bercampur rasberry menyelimuti tiap helainya.
Ia memiliki tubuh aduhai. Sintal. Dengan dada kenyal yang menggelembung indah. Menakjubkan! Sungguh, di kota laknat yang memuja wanita-wanita binal ini, tak ada satu pun wanita yang mampu menandingi kecantikan Layra. Ia bagaikan dewi di antara semuanya.
Aku berkata, SEMUANYA.
Saat pertama kali kawan kencanku mengenalkan pada Layra, aku sudah sepenuhnya jatuh hati pada wanita itu. Kerlingan matanya menggoda. Seolah-olah mengajakku untuk meninggalkan wanitaku, lalu terbang ke arahnya. Paha putih yang menyembul di antara kain merahnya yang semerah dahlia, membuatku menelan ludah berkali-kali. Dadaku bergemuruh, serasa ingin segera menjumpai jantungnya untuk menyatu dalam satu raga. Ah, memalukan. Aku seperti lelaki yang belum pernah tidur dan menikmati tubuh wanita saja di hadapannya.
Di malam itulah, sayup-sayup kudengar ia bersenandung. Bibir yang bergetar indah, melumat setiap syair yang ia desah.

“Aku selalu menikmati detik yang tenggelam di antara cumbu-cumbu kita, Sayang....”

Entah, lagu mana yang ia dengung malam itu. Bait-bait yang terlontar dari bibirnya yang meranum, membuatku bergairah. Ah, Kau tahu, bukan, apa maksud kata ‘bergairah’ saat seorang lelaki normal sepertiku ini mengucapkannya. Kau benar. Aku ingin menidurinya! Namun malam itu, jodoh kami tak terpaut. Layra pergi, berlalu begitu saja sambil merengkuh lengan pria buncit—bahkan wajahnya tak setampan diriku!
Imaji liarku tentang Layra tak habis di malam itu. Tiap menit, tak pernah kubuang sia-sia tanpa membayangkannya berada di atasku. Aku sudah benar-benar gila. Ketika malam tiba, aku selalu duduk di tempat yang sama dengan hari itu. Menunggu Layra muncul. Sehari ..., dua hari. Nihil. Wanita itu bagaikan hantu yang tengah bermain petak umpet denganku.
Sungguh menyebalkan!
“Kau menungguku?”
Seketika aku tergeragap. Embusan napas Layra tiba-tiba mendarat di tengkukku. Darahku tersibak.
“A-aku? ... Ah, tidak juga.”
“Jangan dusta, Rom.”
Layra menempatkan pantatnya yang kenyal di atas kursi sofa yang tengah kududuki. Ia meraih gelas minumanku. Meminumnya seteguk, lalu mata liarnya melirik ke arahku.
“Aku tahu siapa kau. Diam-diam aku selalu memperhatikanmu,” ujarnya kembali.
“Be-benarkah?”
Dadaku gemetaran. Rasa tak percaya, tapi juga gembira.
Layra meletakkan kembali gelas yang sudah hampir habis isinya itu, kemudian wajahnya didekatkan pada wajahku. Bola matanya berkesap-kesip, menggoda. Bibirnya digigit. Aroma tubuhnya yang menyeruak bak wangi surga, mencabik-cabik jiwa kelelakianku.
“Kau menginginkan aku, bukan?”
Debaranku semakin kencang. Semua hiruk pikuk yang membuncah di hadapanku—musik, tarian nakal dan bebauan alkohol—kini berputar-putar di otakku. Lalu tiba-tiba semua lesap. Hening mencengkeram. Aku lupa segalanya setelah itu.

***

Kesadaranku kembali ketika aku sudah menduduki ranjang di rumahku. Hangat. Sisa-sisa bau tubuh, peluh dan juga desah-desah Layra masih menyetubuhi kain sepreiku yang semerawut.
Ini bukan mimpi, Rom. Bukan! Batinku memekik. Aku melonjak kegirangan. Dadaku bahkan hampir pecah.
Aku teringat dengan jelas kini. Lekuk-lekuk tubuhnya. Juga desah kenikmatan yang kami rengkuh bersama. Sesaat sebelum menghilang, wanita dambaanku itu memberiku nomor ponselnya.
“Hubungi aku saat kau merinduiku, Rom. Itu pun jika kau berhasil menemukanku.”
Ah, iya. Aku sangat merindukanmu Layra. Bahkan sedetik saat kau melangkah pergi dari apartementku, aku sudah menginginkanmu kembali.

***

Hampir sebulan setelah hari itu, tak sekali pun aku mampu mencium kembali jejak Layra di kota ini. Hanya ada gurat-gurat kenangan di dinding kamar apartemen yang masih menyimpan Layra. Aromanya bercampur lembab. Tiap malam melindap, dinding itu seakan bergerak, berbicara, dan mendesah layaknya ia.
Siang yang menyengat. Deru-deru mobil yang lalu-lalang di depan kantorku menambah suasana yang pikuk. Tumpukan file berserakan. Bulir-bulir keringat yang berayun di pori tiba-tiba lesap kembali ketika sebuah dering ponsel mengagetkan jantungku. Kubaca. Itu dari Layra.
Jantungku melompat!
“Ya, hallo, Lay?”
Ia cekikikan. Renyah menggoda.
“Kau tak merindukanku?”
“A-apa? Ah, kau, Lay. Sudah berapa SMS yang tak kau balas?”
“Umm ..., benarkah?”
Ia cekikikan, lagi.
“Maaf. Aku sibuk akhir-akhir ini, Rom.”
“Bi-bisakah aku bertemu denganmu, Lay? Ehmm, malam ini, mungkin?”
Aku mengumpat dalam hati karena kesialan ini. Bisa-bisanya aku tergugup karena seorang wanita.
Hening. Layra belum menjawab pertanyaanku. Dari sela-sela lubang speaker, yang kudengar hanya desahnya. Liar. Memburu imajiku.
“Boleh. Tapi kali ini, maukah kau ke rumahku, Rom? Aku sedang tak enak badan. Tak bisa keluar rumah.”
“Ta-tak apa, Lay. A-aku pasti akan datang. Pasti!”
Siang itu, percakapan singkat kami menyirami kerinduan yang telah lama kering di rongga dadaku. Begitu jam pulang kantor tiba, secepatnya aku melesat menuju mobil dan membawanya menuju alamat yang telah ia berikan. Sedikit jauh memang. Di sana, tersembunyi dari keramaian Kota Pahlawan.  Sebuah rumah besar bertingkat dengan pagar tinggi mencakar langit.
Aku tertegun memandangnya.
Bagian dalam rumahnya luas. Rapi. Aku hanya sedang terheran-heran, dari mana wanita single yang tak memiliki pekerjaan itu—ia menceritakannya padaku malam lalu—bisa mendapatkan ini semua?
“Minumlah ini, Rom. Aku yakin kau pasti lelah.”
Layra datang dari balik meja mini bar yang ada di ujung ruang tamunya. Dua gelas sampange sudah ada di tangannya. Dingin. Aromanya menggiurkan. Namun air liur yang kutahan agar tak menetes di ujung bibirku ini, bukan karena minuman itu. tetapi karena gaun tipis berwarna hitam yang ia kenakan sejak menyambutku di pagar tadi.
Berkali-kali kutelan ludah.
“Nih,” ujar Layra sambil menyodorkan gelasnya. “Ada apa? Kau canggung?”
“Ti-tidak.”
Layra tertawa. Ia menempatkan dirinya duduk di sampingku. Sangat dekat. Hingga bahangku membumbung. Kulit-kulitku melepuh.
“Kau ini unik, ya, Rom. Padahal, ini bukan pertama kalinya, kan, kau bersama wanita?”
Kusungging senyum. Menunjukkan sederetan gigi yang kuning kusam. Setelah itu, kuteguk isi gelas di tangan, mencoba menghilangkan gugup. Segar. Dahagaku tersembuhkan olehnya.
Hampir semenit berlalu. Entah mengapa, pening menyudutkan kepalaku. Bayangan Layra berputar-putar. Kulihat ia tersenyum. Sinis dan jahat. Tiba-tiba aku merasa terancam akan sesuatu. Iya, sesuatu yang menakutkan, melesak dalam di hatiku.
“Kenapa, Rom? Sakit?”
Ia cekikikan lagi. Tubuhnya diangkat menindihku, hingga aku terjatuh dan terbaring di sofanya. Gemetaran, gugup, rasa ingin lari namun tak mampu. Bahkan sebuah teriakan yang kubuncah pun menjadi sebuah rintihan desah yang menggelikan. Ah, tidak, kenapa denganku? Mengapa ia begitu mengerikan di atasku!
Lalu, entah dari mana tiba-tiba saja kulihat jemari lentik Layra mencengkeram sebuah pisau buah yang mengkilat-kilat.
Didekatnya pisau itu di pipiku. Berjalan pelan, hingga menempel di leher. Wajahnya mendekat, berbisik lembut di ujung cuping kiriku, sambil mendengus. Napasnya panas.
“Kau tahu, Rom? Tak ada yang bisa membuatku puas selain lelaki tak berdaya di ujung pisauku. Sambil melihat mereka meregang nyawa.”
Aku menelan ludah. Dalam separuh kesadaran, lamat-lamat kudengar ia bersenandung.

Aku menikmati detik yang tenggelam di antara cumbu-cumbu kita, Sayang
Saat kau meregang, aku melambung
Kudengar rintih
Kucium aroma kematianmu
Lalu bau darah yang memekat
Harum
Oh, sungguh
Kunikmati setiap cumbu bersama desah ketakutanmu, Sayang

Suaraku tercekat. Pisaunya merayap ke seluruh tubuh. Ia menyenggamaiku. Setelah itu, bersamaan dengan ujung pisau yang menancap di jantungku, mengoyaknya dalam irama yang mendayu-dayu, kegelapan menutupi segalanya.
Aku bilang, SEGALANYA.



-A.M.190814-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar