Jumat, 28 April 2017

HIKAYAT SEORANG PENYAIR YANG MATI KARENA RASA CINTA



Oleh: Ajeng Maharani



Saya pernah mencintai seekor anjing, yang lebih anjing daripada anjing yang paling anjing. Saya juga pernah mencintai sebatang pohon, yang lebih teduh dari pohon-pohon yang paling teduh, tapi saya tidak pernah mencintai selarik puisi yang berwujud lelaki semacam dirimu, yang di kepalanya ditumbuhi kata-kata, kota mimpi yang menjulang tinggi, dan para tokoh cerita yang meraung-raung meminta keadilan atas nasib buruk mereka yang kamu tulis dengan semena-mena.

Berjumpa denganmu semacam kutukan yang harus saya hadapi. Kamu datang layaknya sebaris kabut dini hari, yang kemudian lenyap saat pagi mulai meninggi dan anak-anak angin yang baru saja menetas, dengan sukacita meniupi tubuhmu hingga lenyap. Kamu selayaknya layang-layang yang mengapung di langit tanpa seutas tali. Selayaknya udara yang tidak mungkin tergenggam. Tapi saya, bagaimanapun layaknya dirimu diumpakan, saya tetap ingin menyimpan cinta itu dalam mata saya.

Hingga hari ini, kamu duduk diam dengan sebatang rokok terapit di jari-jari lentikmu (bagaimana bisa seorang lelaki memiliki jari-jari yang panjang seperti itu?), bergumam tidak jelas dengan bibir merah mudamu yang menawan. Sementara saya berdiri di punggungmu, menekuni punggung itu tanpa sedikit pun berkedip. Membaui aroma tembakaumu yang membumbung angkuh di dalam kotak tempat kita dipertemukan.

Ada yang sedang jatuh cinta padaku, ujarmu dengan sekali tarikan napas. Aku tidak menyukai itu. Aku tidak suka dicintai. Aku ini lebih suka dibenci dan dikhianati.

Saya terhenyak mendengar ceracaumu yang aneh. Padahal kamu manusia. Bagaimana bisa seorang manusia tidak suka dicintai? Bukankah cinta yang akan membuat seluruh manusia di dunia ini bisa hidup bahagia?

Kau tahu kenapa aku lebih suka dibenci dan dikhianati, tanyamu kemudian. Asap-asap tembakau itu kini telah lenyap. Di jarimu yang lentik, sebatang rokok juga sudah menghilang.

Tidak tahu, jawab saya.

Karena aku seorang penyair.

Apa hubungannya antara cinta dan profesimu?

Karena seorang penyair butuh kebencian dan caci-maki agar bisa menulis puisi.

Omong kosong. Penyair juga butuh cinta agar puisi-puisi mereka terdengar indah.

Cinta hanya akan membuat seorang penyair menjadi tumpul.

Kamu gila!

Hidup butuh kegilaan. Kau tahu itu dengan sangat benar.

Di dalam kotak itu, kita tetap tidak saling memandang walaupun kita berbicara. Kamu terus saja mengungkapkan argumen-argumen yang menurut saya begitu dungu, sementara saya terus menekuni punggungmu tanpa berkedip. Lama kita bertahan dalam keadaan semacam itu. Hingga kotak yang menampung kita luruh, lalu hujan turun dengan derasnya, menerjang kotak dan membuat kita kuyup.

Kamu segera berlari, mencari teduh, dan meninggalkan bola matamu di tempat itu. Bola matamu meleleh, tapi saya tidak tahu, apakah itu hujan atau air mata milikmu (ataukah justru itu sebuah puisi kesedihan?). Dan saya, dalam kuyup, masih saja berdiri. Tidak beranjak. Memandangi bola matamu yang masih terus saja mengucurkan hujan, atau air mata, ataukah puisi kesedihan.

***

Malam ini kamu mendatangi saya dengan tiba-tiba. Semu bibirmu tidak lagi semerah muda ketika itu, saat kita sama-sama terperangkap di dalam sebuah kotak. Bibir itu memucat, dan likat. Seakan kamu benar-benar telah kehilangan kehidupan.

Kenapa kamu datang ke rumahku, tanya saya.

Aku tidak tahan lagi. Ada yang sangat mencintaiku. Perasaan itu menusuk-nusuk dadaku.

Kamu dengan lemah melempar bokongmu di atas sofa milik saya. Napasmu terengah-engah. Kamu berlari, tanya saya. Kamu menjawab itu dengan mengangguk-angguk. Berikan aku segelas air putih, ujarmu kemudian. Lesat saya menghambur ke dapur, merasai iba pada keadaanmu malam ini. Padahal kamu, yang saya ketahui penuh dengan kehidupan di dalam kepalamu. Tapi malam ini, kepala itu terlihat kosong.

Segelas air putih saya sodorkan ke arahmu. Kamu meraihnya dengan beringas, meneguknya penuh birahi. Gelas itu seketika kosong dan kamu menaruhnya kasar di atas meja saya, menimbulkan suara getar yang menghantam dada.

Aku bisa mati jika lama-lama seperti ini, katamu.

Bagaimana kamu tahu kalau kamu akan mati?

Karena cinta itu. Karena dia mencintaiku.

Dia? Kamu tahu siapa orangnya?

Mendadak, kamu menatap saya dalam-dalam. Dada saya berdentum. Tidak, jangan menatap saya demikian. Saya bisa mati mendahului dirimu.

Tidak tahu. Aku tidak tahu siapa yang sedang mencintaiku.

Saya menarik napas lega. Itu konyol, balas saya. Kamu tidak tahu siapa yang telah menghantam tubuhmu dengan perasaan cintanya, tapi kamu seolah-olah merasa kalau dia itu benar-benar ada!

Tidak, tidak. Aku tidak bohong. Aku bisa merasakannya.

Baiklah. Katakanlah itu benar. Apa yang akan kamu lakukan padanya. Misalnya, aku yang memiliki perasaan cinta itu? Apa kamu akan memarahiku? Membunuhku? Menguliti tubuhku dalam puisi-puisimu?

Kamu terdiam. Menatapku lagi.

Apa?

Entahlah. Kalau kau yang mencintaiku, rasanya itu tidak mungkin. Kau tidak akan mencintaiku.

Dari mana keyakinan macam itu datang? Bisa jadi aku mencintaimu diam-diam. Aku seorang perempuan. Kamu seorang lelaki. Cinta bisa saja hadir di antara kita!

Cinta tidak akan pernah hadir di antara kita! Tidak akan!

Kenapa?

Karena aku tidak melihat kau sebagai perempuan.

Saya tercengang.

Aku melihat kau sebagai sebuah buku. Buku yang layak aku baca.

Saya terhenyak. Benar-benar terhenyak dan membeku. Buku? Baiklah. Jawabanmu itu telah membuat saya patah hati, bahkan sebelum saya menyatakan cinta kepadamu.

***

Hari demi hari kamu semakin nampak hampir mati. Matamu cekung. Tubuhmu menggigil. Kulitmu pucat masai. Rambutmu yang panjang itu mulai rontok, helai demi helai.

Bagaimana keadaanmu, tanya saya ketika saya mengunjungi kotak itu lagi. Kotak itu telah tegak kembali. Apakah kamu yang telah menguatkannya?

Aku akan mati. Sebentar lagi, jawabmu lemah. Suara-suara telah hilang dari dalam mulutmu.

Tidak bisakah kamu menerima perasaan itu dan hidup kembali seperti biasa?

Tidak.

Aku hanya heran, kenapa kamu begitu membenci rasa cinta?

Kamu diam beberapa saat. Matamu yang sayu menekuri atap kotak. Awan-awan ungu semburat tidak beraturan di atas sana.

Sejak aku lahir, aku tidak pernah menelan rasa cinta dalam perutku. Ibuku membenci diriku. Dia bilang, aku seharusnya tidak lahir ke dunia, agar dia bisa menikah dengan orang kaya. Tapi aku lahir dan Ibu ditinggal pergi kekasihnya.

Kamu tidak punya seorang ayah?

Ayahku banyak. Ayahku berganti-ganti. Setiap malam, ayah-ayah itu menggonggong di perut ibuku. Jika ayah-ayah itu tidak datang, ibuku akan marah. Berteriak-teriak dan memaki-maki padaku. Aku bisa hidup karena setiap kali, aku menelan makian Ibu. Dan itu sangat mengenyangkanku.

Aku tidak tahu harus berkata apa.

Tidak perlu berkata apa-apa. Sebentar lagi aku akan mati. Aku tidak akan mampu mengingat setiap huruf yang akan keluar dari bibirmu.

Saya diam sejenak, hampir menangis. Sesungguhnya, ujar saya kemudian, dengan terbata-bata, kamu sedang butuh dicintai, tapi kamu menyangkal itu. Air mata itu leleh. Deras dan deras. Kamu mendekat ke arah saya, menyeka pipi saya.

Jangan menangis.

Bagaimana aku tidak akan menangis?

Menangis hanya akan membuatmu lemah, ucapmu. Memeluk saya. Erat dan hangat. Dada saya berdentum-dentum tak keruan. Bagiamana saya tidak akan menangis, sementara kenangan-kenangan akan dirimu, dan rasa cinta itu, masih berdiri kokoh di telapak tangan saya?

Hanya perpisahan semacam ini yang bisa aku berikan padamu. Maaf, aku belum sempat membaca dirimu seluruhnya.

Suaramu mulai melemah. Semakin lemah dan lemah. Napasmu juga. Kamu terdengar jauh. Sangat jauh. Padahal kita tengah berada dalam satu pelukan, dalam satu kotak yang langit-langitnya dikelilingi awan-awan ungu.

Seandainya saja kita bertemu jauh lebih lama ... Mungkin, aku bisa belajar mencintaimu, bisikmu.

Kemudian bisu.

Saya menggigil. Dan di ujung sana, bau hujan mulai tercium. []



Sidoarjo, 2017

Jumat, 21 April 2017

KAMA DAN DERANA (bagian dua)




° 1 °

Ia mengendarai motor itu dalam kecepatan sedang. Ini adalah pertama kalinya ia membawa ketiga bocah yang dilahirkannya itu untuk berkendara bersama-sama, dalam jarak yang lebih jauh dari biasanya. Di dalam hati, ia telah bertekad, bahwa hari ini, ia tidak ingin kalah, atau mengalah, seperti hari-hari di masa lalunya. Ia ingin segalanya terselesaikan, walau dengan hati yang sakit, walau ia tidak percaya diri dalam berkendara, ia berusaha untuk bisa.

Pesan itu masih berlangsung hingga ketiga bocah kecilnya pulang sekolah pukul sepuluh pagi. Matanya meleleh, sulungnya bertanya, "Mama nangis, ya?"  tapi ia hanya menggeleng-geleng saja. Si kecil, yang masih berusia lima tahun, menghambur dari pintu dapur dan menggelayut manja di punggungnya. Kepala mungil itu merebahkan diri di bahunya, sementara kedua tangan kecil itu, merengkuh lehernya, seolah berkata: Semua akan baik-baik saja, Mama, ada kami di sini. Ia segera menghapus air matanya, menciumi tangan mungil itu.

Denting ponselnya lagi-lagi menyeruak. Kembali ia melihat, menarik napas.

'Aku mau, Mbak, ketemuan, tapi Mbak harus bisa menjaga nama baik diriku.'

Derana menarik bibirnya. Nama baik? Ia mendesis di dalam hati. Nama baik macam apa yang ingin dijaga, sementara dirinya sendiri tidak bisa menjaga itu.

'Mbak juga tahu, kan, kalau aku di sini posisinya sebagai korban suami Mbak.'

Korban? Ya ..., korban. Lalu, disebut apa aku?

Derana memanggang dadanya dan hampir meledak, tapi lagi-lagi, perempuan berambut ikal itu berusaha menekan-nekan hingga ledakan itu tersumbat kembali.

'Kita ketemuan di rumah mertuaku, ya, Mbak Upi. Kalau boleh, aku minta nomor teleponnya, biar nanti lebih enak untuk komunikasi.'

'Iya, Mbak. Nanti sore setelah aku pulang kerja, aku akan ke rumah mertuamu. Dan tolong, jaga nama baikku, ya?'

'Tenang, Mbak. Aku tidak mungkin membunuh atau menjambaki rambutmu. Aku jauh lebih dewasa dan terkontrol daripada itu.'

Setelah mengetik kalimat itu, Derana bangkit dari lantai dapur, berjalan menggandeng bocah lima tahunnya dan bersiap berangkat.


° 2 °
POV DERANA

Dada perempuan itu sepuluh kali lebih besar dari milikku. Kulitnya cokelat gelap. Tidak ada satu pun noda bekas jerawat di wajahnya, bersih dan mulus, walau tetap ada guratan-guratan usia di bagian bawah mata dan sedikit di pipi. Postur tubuhnya montok, sedikit lebih pendek dariku. Rambutnya lurus, menggantung dengan lihai. Dan bokongnya, gumpalan lemak di bagian belakang tubuhnya itu terlihat begitu sesak saat ia duduk di sofa tunggal milik mertuaku. Hampir tidak muat.

Alis perempuan itu tergambar sempurna. Demikian pula dengan alas bedak dan pulasan bibirnya. Aku yakin, ia seorang pesolek yang handal. Dan aroma parfumnya, kuat dan menguar di udara yang kuhirup.

Ia datang dengan begitu sopan. Menyalami kedua mertuaku dan kakak iparku. Ia juga pandai berbasa-basi. Tertawa-tawa lebar, bertanya tentang kabar keluarga mertua dan juga tentang anak-anakkuapakah sehat ataukah tidak. Aku menghadapinya dengan keramah-tamahan yang hampir sama indahnya dengan miliknya. Berbasa-basi sejenak, dan balik bertanya tentang kedua anaknyasebelum ia bercerita tentang anaknya, aku sudah melihat foto profil Blackberry-nya yang menunjukkan jika ia juga seorang ibu.

"Aku janda, Mbak," ujarnya. Tebakanku benar.

Aku tidak bertanya berapa usianya, tapi dari wajah, gaya, dan penampilannya, serta usia kedua anaknya yang lebih tua dari ketiga anakku (mungkin SMP dan SMA, tapi entahlah), aku yakin perempuan itu lebih tua dariku. Jauh di atasku.

Ah, seketika aku ingat. Suamiku itu memang penyuka wanita yang lebih berumur darinya. Tante-tante, dengan wajah yang garang dan nakal. Suamiku begitu mengilai Sofia Latjubah (ia menyebutnya Tante Sofie) dan Cut Tari. Ia bisa gila saat kedua artis perempuan itu muncul di televisi.

Sebelum akhirnya Upi bersedia bertemu dengankuaku memintanya untuk bertemu dan berbicara, aku ingin kami duduk bertiga dan menanyai apa yang mereka, Upi dan suamiku, kehendaki setelah iniberkali-kali ia mengatakan: Apa Mbak bisa menjaga nama baikku? Mbak juga tahu, kan. aku di sini adalah korban. Aku ditipu suamimu. Lelaki itu sakit, Mbak. Kelainan jiwa. Sakit!

Kelainan jiwa dan pesakitan.

Ah, julukan itu sangat cocok sekali ....

Ah, baiklah. Aku tahu sekali, manusia adalah makhluk konyol. Termasuk juga diriku. Cinta membuat kami bodoh. Mabuk kepayang. Lupa akan segala hal. Apakah itu milik wanita ataukah lelaki lain ataukah bukan. Lalu ketika dikhianati, kami berubah menjadi makhluk yang paling pandai mencaci dan mengumpat. Makhluk yang menggenggam bara di dadanya.

Menanggapi kata-kata Upi yang tidak ingin nama dan kehidupannya berubah menjadi petaka gara-gara hal ini, aku berusaha menjadi baik. Kukatakan padanya semua akan baik-baik saja. Dan aku berjanji, ketika kami bertemu nanti, tidak akan terjadi hal-hal yang memalukan bagi dirinya. Ia pun menyetujui perjumpaan kami.

Rumah Upi ternyata lebih dekat dengan rumah mertua dan kakak iparku. Aku pun memutuskan bertemu dengannya di rumah mereka. Dengan susah-payah kuboyong ketiga anakku dengan menaiki motorbahkan motor itu tidak memiliki rem tangan, hanya rem kaki yang bahkan tidak sempurna. Perasaanku yang menginginkan keadilan membuatku berani melalui itu semua. Padahal sebelumnya aku begitu takut berjalan berempat di jalan raya, yang tentu saja dipenuhi mobil, truk, dan motor yang lesat begitu cepat.

Setiap saat, aku berusaha mengajak anak-anakku berbicara. Sekadar bertanya apakah mereka mengantuk atau tidak. Aku juga bercerita dan bernyanyi-nyanyi, juga sering mengecek posisi duduk anak keduaku yang ada di tengah, lalu melirik wajah  si kecil dari spion sebelah kiri, berharap ia tidak mengantuk. Aku memang sudah mengikatkan sweater cokelat agar ia menyatu denganku, tapi tentu saja akan lebih sulit lagi jika bocah itu tertidur. Dalam hati aku berkata (berkali-kali aku mengatakan ini): Aku harus kuat! Aku harus kuat! Aku harus kuat dan bisa!

Dan sungguh, aku benar-benar telah melakukannya, dalam dua jam perjalanan yang sangat melelahkan! Tangan kananku berkali-kali kram dan punggungku terasa sakit, tapi pada akhirnya, aku bersyukur kami semua baik-baik saja.

Setelah tawa basa-basi itu mereda, Upi akhirnya membuka pembicaraan mengenai dirinya dan suamiku. Bagaimana mereka bertemu, apa saja yang mereka lakukan, ke mana, kapan dan di mana saja mereka pergi. Upi bahkan tidak segan-segan meceritakan adegan ranjang mereka. Ia bercerita dengan kemarahan yang meluap-luap. Ia bahkan mengatakan, tidak sedikit pun merasa kehilangan lelaki itu, karena pada saat mereka berhubungan, ia juga memiliki hubungan dengan lelaki lain. Mendengarnya, aku ingin muntah. Bagaimana bisa perempuan bisa melakukan hal-hal seperti itu? Berhubungan dengan lebih satu lelaki, tetapi marah saat ia tahu dikhianati?

"Maaf, ya, Mbak. Kalau boleh tahu, bagaimana kegiatan ranjangmu dengan suamimu? Apakah biasa-biasa saja, atau ...."

Aku sedikit terkejut saat Upi melontarkan pertanyaan itu. Mungkin perasaan yang sama juga dirasakan oleh mertua dan kakak ipar. Bagaimana bisa perempuan yang sudah berkelamin dengan suami orang lain itu begitu berani mempertanyakan kegiatan ranjang pada istri lelakinya? Dalam mataku, Upi berubah menjadi monster betina yang menjijikkan.

Sebenarnya, Upi adalah wanita yang baik, ramah, dan menyenangkan dalam bertutur kata. Mungkin karena amarahnyalah sehingga ia begitu berani. Bisa jadi juga karena rasa penasarannya tentang kehidupan lelakinya harus dibayar tuntas.

"Suamimu itu libidonya besar, loh, Mbak. Maunya juga aneh-aneh." Upi berkata lagi, tanpa rasa malu. Aku membalasnya dengan senyuman, lalu melirik wajah ibu dan bapak mertuaku. "Kami baik-baik saja, kok, Mbak. Kalau soal itu, aku juga sudah tahu,” balasku kemudian.

Upi mengangguk-angguk. Entah apakah anggukannya itu bertanda ia percaya ataukah tidak, aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Karena apa yang kukatakan pun bukanlah suatu kebenaran. Sudah barang tentu kamiaku dan suamikutidak sedang baik-baik saja dalam urusan ranjang.

Sudah dua tahun lelaki itu tidak menjamahku. Ah, tidak. Tepatnya jarang menjamahku. Sudah sering kutanyakan perihal ini. Ia menjawab kalau dirinya sedang lelah. Sepulang kerja, ia hanya ingin langsung istirahat, merebahkan tubuh dan menenggelamkan matanya pada layar ponsel. Ia juga sering menyuruhku memijat kakinya.

Sejak kelahiran anak ketiga kami, aku mengikuti progam KB suntik. Hingga akhirnya memutuskan berhenti lima bulan lalu. Aku ungkapkan padanya; Bukankah percuma aku suntik KB, sementara kau tidak menggunakanku? Dan ia hanya terdiam saja. Hanya berdehem, seperti biasa. Ketika lima bulan yang lalu itu, aku melalui malam tanpa sentuhannya sama sekali. Sama sekali.

Lima bulan itu juga ia banyak berubah. Lebih buruk dari biasanya. Ia kembali pulang hingga tengah malambahkan sering hingga pukul dua atau tiga pagi, dan sering beralasan pergi ke luar kota karena tugashal sama yang pernah ia lakukan saat berselingkuh dengan Hanna. Ia juga sering menerima telepon dan membiarkannya berdering lama. Hal yang tidak pernah dilakukannya. Biasanya, iia akan langsung menjawab. Terkadang, dering telepon aneh itu ia amati dalam-dalam, berkata: Siapa ini? Dan berpura-pura berkata Hallo? berkali-kali, padahal aku melihat ia menekan tombol end. Itu lucu sekali. Dan aku membiarkannya saja ia bertingkah konyol seolah-olah aku bodoh dan tidak tahu apa-apa. Ketika ada kesempatan, aku suka mengecek nomor masuk itu. Pada kenyataannya, ia selalu menghapusnya. Ini jelas suatu perkara yang mencurigakan.

Dalam urusan perempuan, ia tidak pernah berubah.

"Jadi, bagaimana, Mbak?" Upi mengejutkan lamunan sekilasku. Aku mengedip-kedip. "Apa suamimu mau datang kemari?"

Aku mengerut alis. Upi benar. Bagaimana dengan lelaki itu.

Dengan segera aku mengecek ponsel. Tidak ada balasan, padahal chat itu sudah dibacanya. Sebelum Upi datang, aku sudah menghubunginya, menunjukkan semua chat dan fotonya bersama perempuan itu. Aku yakin, saat ini, ia pasti sedang kebingungan, dan mencari-cari alasan untuk bisa menghindar.

"Belum dibalas," ujarku.

"Dia takkan berani kemari, Mbak. Dia takut sama aku. Semua kartunya ada di aku." Upi berkata dengan tatapan mata yang merendahkan.

Ya, mungkin Upi benar. Lelaki selalu seperti itu. Berani berkelakuan, tapi tidak berani bertanggung jawab. Dalam urusan seperti ini, kebanyakan lelaki adalah pengecut sejati. []


---bersambung---



Rabu, 19 April 2017

KAMA DAN DERANA (prolog dan bab satu)


° PROLOG °

"Untuk apa kamu menikahi seorang perempuan?"

Kalimat itu pertama kali kudengar ketika Ibu menangis dan melemparkan sebuah piring ke arah Bapak. Piring itu menampar dinding dapur, pecah berkeping dan menghirukkan tengah malam. Aku mengintip dari balik kusen pintu kamar tidur dengan pipi yang sama basahnya dengan milik Ibu. Usiaku masih sepuluh tahun, dan setelah malam itu, Ibu pergi, membawaku beserta dirinya. Di dalam kereta api yang membawa tubuh kami melesat, Ibu berkata, "Kita tidak butuh bapakmu lagi, Ana. Kita bisa hidup tanpa laki-laki." Setelah itu Ibu kembali diam. Diam yang sangat menakutkan. Lalu hari ini, kalimat itu kulemparkan pada suamiku.

Ia duduk di satu ujung pembaringan kami, memandangiku dengan mata penuh kelemahan, sementara aku di ujung yang lain, menatapnya dengan mata kesedihan. Aku menunggunya. Ia tidak menjawab pertanyaanku. Aku mengiba, memintanya untuk menjawab, untuk apa ia menikahiku dulu.[]



"Tolong, jangan mendekat padaku, aku takut aku jatuh cinta kepadamu."

Aku berujar kepadanya. Ia tersenyum, merengkuh leherku. Dahi itu menempel lembut di keningku. Mata kami bertaut. Malu-malu. Ia kemudian berucap, "Jatuh cintalah sejatuh-jatuhnya sampai kamu lupa bagaimana menciptakan sebuah puisi yang indah." Dasar penyair, balasku. Mataku mulai panas. Mulai meleleh. Dan leleh ...

"Mula-mula," aku mendesah, "cinta akan selalu indah, tapi setelah itu--"

"Setelah itu, akulah yang akan menelan luka-lukanya."

"Bagaimana denganku?"

Ia mengangkat kepalanya. Mengulas senyum. Ia kemudian merengkuh kepalaku dalam dekapannya. Dadanya begitu hangat.

“Kamu hanya cukup berada di sampingku saja, selamanya ....[]


° SATU °

1/
Ia tidak pernah punya alasan setiap kali akan menyeduh secangkir coffee latte. Kegiatan itu adalah satu-satunya yang membuat Derana bahagia di sela-sela tugasnya sebagai wanita rumahan. Ia baru saja menuangkan air panas ke dalam cangkir hitam kebanggaannya ketika ponsel itu berdenting. Derana masih membiarkannya. Ia meraih sebuah sendok teh di tempat rak piring besi, lalu mengaduk kopinya. Uap kopi membumbung pecah-pecah saat gerakan berputar itu menimbulkan getaran konstan. Tiga belas adukan, lalu denting itu terdengar kembali. Kali ini lebih kerap, dan berhasil membuat perempuan tiga puluh tiga tahun itu menghentikan jari-jemarinya.

Derana meletakkan sendok teh itu di samping cangkir. Ia menghirup aroma kopinya dalam satu tarikan. Dirasakannya partikel-partikel bau itu meresap masuk ke dalam tubuhnya, bergetar-getar di dalam sana, membuat jiwa-jiwa lelahnya kembali terbangkitkan. Ia kemudian mengembus napas puas, memutar tubuh dan melangkah perlahan ke arah kamar tidur. Xiomi Redmi Note 3 berwarna perak itu tertidur di atas bantalnya. Cahaya kecil berwarna keunguan berkedip-kedip teratur. Ia mengulurkan tangan, meraih ponsel dan membuka kuncinya.

Ada sebuah pesan inbox Facebook, tapi ia tidak mengenali pengirimnya. Derana mengerut alis. Foto seorang perempuan. Rambut perempuan itu jatuh begitu lembut di bahunya.

Tanpa perasaan ragu, ia menekan layar. Pesan itupun terbuka. Derana membacanya, dan seketika, dalam hitungan beberapa detik saja, degup dadanya mengencang dan dunianya mulai kacau balau.

2/
Kama kelelahan dan seketika itu juga dia menjatuhkan tubuhnya ke samping perempuan itu. Keringat mengucur, dan napasnya naik-turun tak beraturan tetapi jauh di dalam dadanya, ada kepuasan luar biasa yang pada akhirnya berhasil direngkuh.

Perempuan itu memiringkan tubuh polosnya dan memeluk dada telanjang Kama. "Aku senang bisa bikin kau bahagia," ujar perempuan bermata sedikit runcing itu. Ada sebuah tahi lalat kecil di bagian mata kanannya, hampir-hampir tidak terlihat karena setiap saat, dia selalu memoleskan riasan tebal di sana untuk mempertegas garis matanya.

Dia tidak membalas kata-kata perempuan di sampingnya itu. Matanya tekun menelanjangi langit-langit kamar losmen. Ada sebuah noda air berwarna kecokelatan. Dia teringat pada tumpahan kopi semalam. Beruntung kopi itu sudah menghangat, jadi lututnya tidak merasakan kesakitan. Tapi saat kopi itu tumpah, Kama merasa ada sesuatu yang telah lenyap.

"Kita tidak bisa seperti ini terus, Kama! Kita butuh suatu pengakuan!"

Suara rengekan itu lagi.

Kama mendesah berat. Dia meraih lengan perempuan di sampingnya dan menjatuhkannya kembali kepada sang pemilik. Kama bangkit. "Ada apa?"  tanya perempuan di sampingnya sambil mengangkat kepala. "Aku harus pergi," jawab Kama sambil meraih kausnya yang terserak di lantai kamar.

"Secepat ini? Tumben?"

“Aku ingin nulis. Aku butuh tempat yang tenang.”

"Puisi?"

Perempuan itu meraih selimut lalu ikut berdiri dan mendekat. Dia merengkuh punggung Kama, tapi lelaki itu segera menjauh. Perempuan itu mengernyit.

"Hari ini kau lain."

Kama menatap perempuan itu. Mereka terdiam sejenak. Saling menekuni dengan perasaan ganjil masing-masing. "Aku memang selalu menjadi orang lain saat aku sama kamu," ucap Kama kemudian. Setelah itu, dia meraih ranselnya, meletakkan tiga lembaran uang berwarna merah di atas meja rias, dan beranjak membuka pintu.

"Lain kali, buatkan aku sebuah puisi yang mampu menggetarkan birahiku, Kama! Kadang aku butuh yang semacam itu!"

Kama menyungging senyum. Dia mengangkat telapak tangannya ke atas, sebelum tubuh tinggi itu lenyap ditelan lorong losmen.

3/
Derana berjalan gelisah di dalam dapurnya. Ia melirik jam dinding itu sekali. Pukul sembilan pagi. Ketiga anaknya belum pulang sekolah. Dalam kesunyian ia merasa seperti tersesat.

Di dalam kepalanya, ia masih ingat jelas tentang isi pesan itu. Juga percakapan-percakapan yang pada akhirnya terjadi antara mereka berdua. Perempuan itu bernama Upi, setidaknya, itu yang tertulis sebagai nama akun perempuan itu. Upi Rahmawati.

'Bagaimana jika itu terjadi pada suamimu, Mbak?'

Mula-mula, Derana tidak memahami baris pertama dari isi pesan tersebut. Ia kemudian mencoba mengingat-ingat, lalu ia menemukannya pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika itu, Derana sempat memposting sebuah status di Facebook-nya.

‘Sebenarnya, kami, para istri, sebagai manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, kami pun pernah jatuh cinta pada lelaki lain yang tentu saja memiliki banyak kelebihan yang tidak suami-suami kami miliki. (Sungguh, banyak lelaki lain di luar sana yang memiliki segala kebaikan dari segala kekuranganmu) Tapi apa kau sadar, kami justru merasa berdosa memiliki perasaan itu. Kami berusaha sekuat tenaga menguburnya, menahannya agar tidak meluap-luap, agar kami tidak menodai kemaluan-kemaluan kami. Itu milik kalian, para suami. Dan kami menjaganya demi kalian juga.

'Layaknya orang yang jatuh cinta, kami pun sama sepertimu, seperti suami-suami kami (ketika merasakan hal yang sama pada perempuan lain itu), kami juga ingin selalu dekat, berbicara, memiliki, dan bersentuhan. Sungguh! Tapi tidak. Iya, tidak. Kami masih menanam rasa percaya, bahwa kalian, suami-suami kami, masih memiliki kebaikan yang patut untuk kami hormati (kebaikan di balik keburukan, kami percaya itu ada).

'Jadi, ketika kami melakukan itu, sikap-sikap setia dan menjaga kehormatan kalian itu, apakah salah jika kami meminta kalian juga setia pada kami? Apakah salah jika kami meminta kalian juga menjaga kelamin-kelamin kalian demi kami?'

Ya, ingatan Derana masih sangat basah tentang dua hari lalu itu. Kala itu, ia begitu marah, begitu emosi, karena salah satu sahabatnya baru saja menelepon dengan berderai-derai dan berkata terbata-bata: SUAMIKU BERSELINGKUH, DE, APA YANG HARUS KULAKUKAN ...?

Derana segera menarik napas panjang, kemudian kembali menekuri layar ponselnya. Membaca.

'Ya, Tuhan, Mbak. Aku tidak menyangka jika lelaki itu sudah beristri dan memiliki anak. Sungguh, Mbak. Dia melakukan segala cara untuk mendekatiku. Dia bilang belum menikah padaku, Mbak.'

Degup Derana berpacu sangat cepat, tapi dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk tetap tenang dan tegar. Ia menurunkan layar ponselnya. Empat foto terpampang sangat jelas. Di dalam foto itu, ada perempuan itu dan suaminya, dalam posisi yang sangat mesra.

Lagi-lagi, Derana menarik napas.

'Aku sudah tidak terkejut jika suamiku melakukan itu, Mbak,' balasnya pada kotak pesan perempuan itu. 'Apakah Mbak cinta sama suamiku?'

' Aku tidak mencintainya lagi, Mbak. Aku marah.'

Ia diam. Menunggu.

'Ya, ampun, Mbak. Sungguh, jika aku tahu lelaki itu sudah berkeluarga, aku tidak akan mau menerima lelaki itu dalam kehidupanku!'

Sejak pertama ia membaca pesan, ia yakin jika perempuan itu sangat marah pada suaminya. Derana sedikit tersenyum. Sinis. Dalam hati ia menertawai kesialan perempuan itu, walaupun nasibnya juga tidak jauh lebih baik. Bertahun-tahun ia sudah ditipu suaminya. Sepuluh tahun pernikahan dan itu tidaklah sedikit.

Dalam keterkejutan menghadapi kenyataan, Derana masih berusaha memutuskan langkah-langkah berikutnya. Ia menyusun rencana. Berpikir. Pertama-tama, ia tidak ingin nampak lemah dan menyedihkan di mata perempuan itu. Aku harus terlihat kuat, batin Derana. Tidak, aku seharusnya memang sudah lebih kuat saat menghadapi kecurangan lelaki itu, karena ini bukanlah hal yang pertama, bukan? Aku sudah menjadi seorang wanita yang ahli melipat kemarahan. Sangat ahli!

'Sebelumnya maaf, ya, Mbak. Apa Mbak sudah pernah berhubungan badan dengan suamiku?'

Butuh waktu lebih lama bagi Upi, perempuan itu, untuk menjawab pertanyaan. Ia mencoba mahfum. Dan bersabar. Ia menunggu perempuan itu siap berkata jujur, sekaligus menata kesiapan hatinya sendiri.

'Iya, Mbak. Kami sering melakukannya. Semoga Tuhan memaafkan dosa-dosa kami.'

Sekali lagi ia mengembus napas panjang. Sangat panjang. Dan kali ini, matanya benar-benar meleleh. Ia mulai merasa kalah oleh dirinya sendiri.

4/
Apalagi yang lebih indah daripada puisi? Bagi Kama; langit biru yang sempurna, senja dan burung-burung yang berterbangan, gerimis yang ricis, embun yang menetas ketika fajar, daun-daun yang mengaji, angin yang menari-nari riang menerpa wajah, membawa sejuk dari puncak pegunungan.

Kama duduk di bangku taman itu, menikmati keramaian jalan raya pukul sembilan pagi lewat sepuluh menit. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk, dan diam, dan menghisap batang rokok yang membara, dan menghirup bau tembakau yang bercampur debu, dan asap knalpot kendaraan, dan bau tubuh manusia-manusia yang lalu-lalang.

Noda kopi yang tumpah semalam itu terus dibawanya di dalam kepala. Kama tidak bisa menghapusnya, atau membuangnya begitu saja ketika dia berjalan ke tempat itu, atau membakarnya saja saat dia menyulut rokoknya tadi, agar ikut mengabu.

Wajah perempuan yang bersama dirinya di malam itu, ketika secangkir kopi hitam tumpah, melesat cepat. Lalu hilang. Melesat kembali. Hilang kembali. Begitu seterusnya. Kama merasa seperti sedang dikutuk.

"Kau tidak pernah bisa paham tentang cinta, Kama! Aku tahu kau bisa menulis puisi-pusi cinta paling menggetarkan, tapi kau tidak mampu menghargai perasaan cinta itu sendiri!”

Sial!

Kama menyentuh dahinya. Memijit-mijit perlahan. Laki-laki tidak layak menangis, kecuali seorang pengecut. Tapi pagi ini, Kama tidak mampu menahan semuanya.

"Kamu benar. Aku memang pengecut." []

--bersambung--



Bilik Cinta Rani
Yosh... Terima kasih karena sudah membaca ^-^ Novel ini sengaja ditayangkan di blog, karena terkadang saya butuh menulis hal-hal ringan, yang jauh dari hiruk-pikuk. Insya Allah akan terus di-update, semangatin terus ya, biar lancar. Dan... Yapp! Novel ini juga tayang di Wattpad. 
Sekali lagi buat para readers... Maturnuwun. Semoga selalu bahagia ^-^

Minggu, 02 April 2017

AKU MENCINTAIMU SELAYAKNYA SEEKOR BURUNG BETINA YANG TIDAK MENCINTAI PUISI

Sumber gambar: Pinterest


di tubuhmulah aku menemukan sebatang pohon
lindap dan teduh
aku menenun sarang di tubuhmu
menetaskan telur-telur
berkeciap di jari-jemarimu
yang seputih salju musim dingin

langit di tubuhmu mempesona
senja jingga berarak-arak
matahari tertidur di dalam kepalamu
melahirkan seorang penyair berwajah tampan
yang menulisi puisi-puisi di tubuhmu


kamu sudah sangat tahu, Tuan
aku seekor burung betina
yang tidak pernah mencintai puisi
seperti aku mencintai dirimu
seperti aku menyimpan cara-cara
paling lucu
saat menyapa dirimu
malu-malu

entah sampai kapan
rindu-rinduku
menjelma abu



Rumah Merah Muda, 2017

ANAKKU MENEMUKAN SURGA DI DALAM TANAH



mula-mula itu sebuah lubang. ia melihat awan merah muda. anakku bilang baunya seperti gula. lalu burung-burung berkepala manusia. sayapnya bersinar keemasan. lalu seekor naga. dan orang-orang berjubah putih. dan pelangi. dan sungai dengan ikan-ikan bersisik perak. dan Tuhan.

ia berlari ke dapur. ibu, ibu, aku menemukan surga! aku melihat surga! aku melihat Tuhan! tapi aku tidak ada di dapur. ibu! ibu! anaku terus memanggil. terus mencari. aku diam dan menangis.

ia menekuni lubang itu sekarang. ia nampak sedih. seekor naga datang kepadanya. naga keluar dari lubang. di punggungnya, ada Tuhan yang gagah. kenapa kau sedih, tanya naga. ibuku hilang. ibuku tidak bisa melihat surga. ibuku tidak bisa melihat Tuhan. anakku menangis kencang. aku menangis getir. air mataku pecah. menjelma jejak kaki Yudas.

Tuhan di punggung naga mengulurkan tangan. wajahnya bersinar terang. Tuhan di punggung naga menangkap anakku. memasukkannya dalam perut. kita ke surga, ujar Tuhan di punggung naga. naga merayap. naga, Tuhan, anakku, masuk ke lubang. di dalam perut Tuhan, anakku tertidur pulas.

orang-orang berbaju hitam melangkah pulang. bau-bau sungkawa tertinggal. aku masih menangis. meremas-remas tanah, yang kuyup dan bau bunga.



Rumah Merah Muda, 2017