Selasa, 15 Maret 2016

DUA BELAS TAHUN TANPA BUKU-BUKU DAN SEBUAH IMPIAN DI KEPALAKU


Oleh : Ajeng Maharani



Seorang kawan bertanya—entah ini sudah kawan yang keberapa, aku tidak menghitungnya—tentang buku apa saja yang sudah aku baca. Dan setiap kali aku mendengar kata buku, atau lebih tepatnya buku apa yang sudah kubaca selama tiga puluh empat tahun usiaku ini, aku merasa ada sebuah lubang penyesalan yang menganga di dada. Lubang itu kunamai; Aku Terlalu Percaya Diri telah Menghabiskan Dua Belas Tahun tanpa Buku-buku. 


Sebelum aku mengatakan mengapa aku begitu bodoh dalam masa sepanjang itu, aku merasa berkewajiban mengatakan pada kalian, bahwa aku bukanlah seseorang yang tidak suka menenggelamkan diri di setiap halaman buku dalam waktu-waktu senggangku. Aku yang berumur tujuh tahun sudah bisa membaca, dan berlari ke rumah tetangga nenekku untuk menurunkan tumpukan majalah Bobo dan Mentari Putra Harapan ke lantai. Tetangga nenekku itu tidak akan marah. Ia bahkan menyempatkan diri menuangkan teh hangat atau sirup dengan biskuit dalam piring kecil, dan aku akan berlama-lama membaca di sana hingga anaknya pulang sekolah dan kami bermain bersama. 


Aku yang sebelas tahun sudah bisa mengayuh sepeda, jadi dengan riang gembira setiap Minggu aku dan adik-adikku akan pergi ke persewaan buku dengan uang jajan kami yang disisihkan sedikit demi sedikit. Ayahku tidak terlalu mampu untuk membelikan buku komik yang ketika itu adalah sebuah barang yang mewah, tapi aku tidak pernah memedulikan itu. Di persewaan buku, aku sudah menghabiskan hampir setengah koleksi yang mereka miliki—komik-komik Jepang dan serial Goosebump dan beberapa kisah Lima Sekawan.


Di bangku Sekolah Menengah Atas aku semakin berani meningkatkan kualitas buku yang kubaca. Perpustakaan sekolahku memiliki koleksi buku-buku sastra yang lumayan lengkap. Aku masih ingat dengan jelas, dua novel yang hingga kini melekat di pikiranku—aku begitu terpesona dengan kedua buku itu, hingga tidak bisa lupa tentang judul dan gambar covernya. 


Pertama (aku yakin kalian pasti mengenal buku yang satu ini, buku sang maestro sastra) adalah novel yang berkisah tentang perang Baratayuda, antara Pandawa dan Korawa, yang diceritakan begitu kocak, renyah, dan lugas (tidak terlalu serius seperti novel-novel Mahabarata semacamnya) oleh penulisnya, Putu Wijaya. Perang. Buku itu sudah mulai menguning dan lusuh, telah berusia sepuluh tahun, tapi aku tidak bosan membacanya. Saat ini, ketika aku membicarakan novel ini, aku jadi begitu merindukannya dan ingin membacanya kembali. 


Buku kedua adalah novel Kering, karya Iwan Simatupang. Aku begitu terkagum-kagum dengan cara penulis mengungkapkan nama tokohnya; Tokoh Kita. Karakter tokohnya unik, dengan keputusasaan yang aura begitu kuat. Aku bisa merasakannya. Ia nampak gila, meracau, tapi sebenarnya tidak. Ia hanya sedang lelah dan hampir menyerah dengan apa yang dipercayainya dan diperjuangkannya seorang diri. 


Lalu, kapan aku mulai melepaskan hubunganku dengan buku-buku itu, menceraikannya dan melupakan keberadaannya, dan mengapa? 


Setelah lulus Sekolah Menengah Atas aku bekerja merantau ke Surabaya. Itu memang bukanlah hal yang terlalu aneh dan layak untuk dijadikan alasan konyol akan tingkah lakuku pada buku-buku, tapi selama tinggal di sana, aku tidak mampu menemukan persewaan buku. Dan yang paling utama, aku terlalu payah menghabiskan waktu dan uangku untuk hal-hal yang belum pernah kumiliki sebelumnya—tas bermerek, tumpukan baju dan celana dengan model yang up to date, pernak-pernik tidak masuk akal, nonton film-film terbaru di bioskop yang paling bagus, dan segala bentuk makanan yang belum pernah kumamah dan kutelan sebelumnya. Itu terlalu menyedihkan. Layaknya anak desa yang dilepaskan dengan sekantong uang di sebuah kota besar. Tidak, jangan tertawa. Ini sebuah kebenaran yang setidaknya menjadi pelajaran berharga dan pengalaman yang tidak kulupakan (setidaknya aku pernah bersenang-senang di masa muda tanpa menghabiskan uang ayahku). 


Dan sekarang, ketika aku telah resign dari pekerjaanku setelah kelahiran anak ketiga dan aku tidak memiliki penghasilan sendiri, aku merindukan buku-buku. Sangat merindukan mereka. Apalagi saat ini aku sedang mengisi waktu-waktu yang membosankan—hampir membuatku gila—dengan menulis. Betapa aku memerlukan buku dalam waktu yang tidak tepat, bukan? Bagaimana aku bisa membeli buku sedangkan aku tidak berpenghasilan dan tidak mungkin memintanya pada suamiku yang sudah terlalu banyak beban di pundaknya?


Seorang kawan pernah dengan sukarela meminjamkan bukunya padaku ketika kuutarakan hal ini. Ia tinggal di Cirebon dan mengirimkan tumpukan buku melalui jasa pengiriman. Darinya aku mulai mengenal Afrizal Malna, Eka Kurniawan, dan Cepi Sabre yang membuatku tergila-gila. Lalu penulis-penulis lain, seperti Bamby Cahyadi, Natsuo Kirino, Haruki Murakami, Agus Noor, Pringadi Abdi Surya, Avianti Armand, Benny Arnas. Aku tidak bisa membeli buku, tapi aku bisa membaca beberapa karya mereka melalui blog pribadi atau blog-blog media yang tersebar di internet. 


Terkadang, aku pernah ditertawakan saat beberapa kawan bercerita tentang seorang penulis tapi aku tidak mengenal nama dan karyanya. Itu sedikit membuatku nampak bodoh dan malu karena keterlambatanku. Tapi aku bukan tipe perempuan yang mudah menyerah untuk mengetahui siapa mereka. Aku memang terlambat—dua belas tahun itu jika aku telah menghabiskannya untuk membaca buku, aku sudah membaca puluhan—tapi aku akan terus belajar. Aku ingin menebus ketinggalan selama dua belas tahun itu. Dan aku semakin tergila-gila. Semakin kehausan.


Aku jadi makin berani mengirimkan cerpen-cerpenku ke beberapa media lokal dengan harapan mendapat uang—tapi ketahuilah bukan itu tujuan utamaku menulis, ini tidak sesederhana itu, butuh empat atau lima halaman A4 jika aku bercerita perihal asal-muasal aku menulis—lalu aku akan menyisihkan sebagian untuk membeli buku. Aku juga mempertaruhkan nasib baikku dengan mengikuti kuis-kuis berhadiah buku, atau event-event menulis yang berhadiah buku. Mungkin sebagian orang akan menertawakan ini, tapi jelas ini bukan cara kotor. Ini terbaik yang aku bisa untuk mendekatkan diriku kembali pada buku-buku. Dan sebuah impian telah kucetak dalam jumlah begitu besar di kepalaku. Kelak, aku akan membuat sebuah perpustakaan kecil (perpustakaan gratis) di depan rumahku, dan mengajak anak-anak, pemuda-pemudi, dan orang-orang dewasa untuk mengunjunginya. Aku ingin mereka membaca. Di tempat aku tinggal, tidak kutemui satu pun yang memiliki minat membaca buku, dan aku tidak bisa melakukan tukar-menukar buku, membaca buku di teras bersama, dan berbincang tentang buku. Jadi aku ingin suatu saat bisa melakukan itu semua, di dalam perpustakaan kecil milikku. 


Jadi, sebelum waktu itu terwujudkan, aku akan berjuang untuk menumpuk buku dan membacanya. Membaca dan membaca. Karena aku yakin, dengan membaca aku bisa menghadapi segalanya. Segala yang bisa membuat kepalaku pecah dan berhamburan. 


Pesanku pada kalian, jangan pernah meninggalkan buku-buku. Percayalah, kalian akan merugi sepertiku. 



Sidoarjo—Maret 2016 

BUKIT DI BUAH DADAMU

Oleh: Ajeng Maharani

Bukit di buah dadamu rindang dan terlalu hiruk bagiku. Pohon-pohon pinus yang berlidah tajam, dan anak-anak yang berterbangan bersama layang-layang, dan anjing yang menggoyang-goyangkan ekornya, dan bunga yang tidak berhenti tertawa, dan ilalang yang melambai sedih pada kekasihnya yang telah tergunduli. Para istri sibuk berteriak, "Jangan patahkan leher anakmu!" Lalu terdengar benturan kepala di pagar rumah, dan kesedihan menjadi alas kaki yang sedang merenung di kamarku.

Bukit di buah dadamu memantul-mantul, aku tenggelam bersamanya, di sana, di antara himpitan bunga matahari yang mendongak ke langit bajumu. Kau baru bangun tidur pagi ini. Secangkir kopi menggantung di bibirmu. Bukan aku yang membuatnya, tapi lelaki lain, yang miliknya lebih lebat dari milikku. Dan bukit di buah dadamu bernyanyi hingga malam. Aku pulas di sana, hingga aku lupa, ada seorang istri yang berteriak di rumahku, "Jangan patahkan leher anakmu, pengecut!"

~ 2016