Sabtu, 31 Januari 2015

MIRAT




Pertama kali kau menceritakan kemarahanmu, aku sudah jatuh hati. Kau laksana segumpal daging yang terkecai, hancur menjadi puing karena kesakitan. Bau lenguhmu meruak, harum memikat. Menggairahkan! Kau yang berjalan hilir mudik dengan napas meledak-ledak, memburu kebencian yang emngambang di kamar kita.

“Kau bisa bayangkan, kan, bagaimana marahnya aku!” teriakmu. Matamu yang berbinar tajam—seolah ingin memamah tubuhku, menatap dengan begitu angkuhnya. Lalu kau mengendapkan langkah, memiringkan kepala ke arah kiri, kemudian berbisik lembut dengan memicing mata, “Rasanya, aku ingin memakan dagingnya. Apa kau mau?”

Kau terkekeh. Kebengisan yang menggema. Telingaku tersayat. Tapi, aku merasa puas melihatmu demikian, Kirei.

Siang yang mencekam. Keringat dinginmu mengalir deras. Aku tetap bergeming pada tempat yang telah kau tentukan. Hingga sore, saat senja yang telah kau laknat itu berani menunjukkan wajahnya padamu, akhirnya rencana-rencana yang kau susun sudah bulat. Sempurna. Sebulat matamu yang membuntang kesetanan.

***

Teriakan malam menggagahi bulan terdengar begitu senyap ketika lelaki itu datang. Seperti biasa, kulihat kau menggandeng tangannya dan memasuki kamar kita. Pikat-pikat kemolekan kau tebar. Aku tahu itulah keahlianmu. Anugerah yang diberikan Tuhan padamu, Kirei, dan kau tahu bagaimana cara menggunakkannya. Sangat tahu. Terlebih pada lelakimu.

Apa kau lihat itu, Kirei? Tangan-tangan rembulan yang hampir kehilangan binarnya malam ini pelan-pelan menyelar ke arah gairahmu. Namun, kutahu kau tak peduli. Seperti katamu siang tadi, kau ingin menelan bulat-bulat daging lelaki itu.

Dalam dinding-dinding lembab ini aku menunggumu, Kirei. Berdiri menggantung. Hingga akhirnya mataku melumat tubuh lelakimu yang kelojotan. Napas yang terkapah-kapah dan mata yang terbeliak, nanap. Setelah itu, erangan kepedihannya membuncah, diiringi desah kenikmatan dari tenggorokanmu.

Hening menggigit. Tubuh yang terkapar. Dalam tawa kepuasan kau menatapnya penuh kebencian.

“Kau tahu, aku benci dikhianati!” desismu geram dengan seulas senyum jahat pada bayanganmu sendiri, yang memantul di tubuhku.

Ah, Kirei, ini lelaki ketiga yang kau tanam belulangnya di belakang rumah. Aku selalu menjadi saksi paling bungsu dari mereka. Lalu, sampai terakhir kembali kulihat, Malaikat Maut terbahak di balik tirai jendela.


-oOo-

BANGAU KERTAS - sebuah mini novel (capther one)

gambar : devianart.com
 
 
 
Siapakah kamu?




Aku tahu, sudah bukan waktuku untuk jatuh cinta pada lelaki lain. Tapi kehadirannya benar-benar tak mampu kuhindari. Pesonanya, cara dia memperlakukanku, senyumnya yang misterius, semuanya. Aku jatuh cinta pada itu.

***

Lamunanku buyar. Seketika aku dikejutkan oleh suara batu kecil yang menabrak lantai teras. Penasaran, kulongok halaman luar melalui jendela. Hujan belum reda. Rinainya masih menari riang di atas bebatuan dan tanah bumi. Menggertak ranting dan dedaunan, membuatnya gigil kedinginan.

Sekali lagi suara benturan itu terdengar. Aku pun mulai geram.

“Siapa, sih, ini? Iseng sekali, malam-malam melempari rumah orang!” Sambil berseru, kubuka pintu depan, menyibak kegelapan yang tengah basah kuyup itu. Lamat-lamat kulihat sesosok pemuda melambaikan tangan.

“Kakak! Di sini dingin, boleh aku berteduh di sana?”

Aku tercengang. Mulutku menganga. Benar-benar pemuda gila. Mana mungkin aku mengijinkan lelaki lain masuk ke dalam rumah sementara suamiku tak ada?

Tanpa menghiraukan pemuda gila yang tengah kuyup itu, aku kembali masuk ke dalam rumah dan mengunci pintu rapat-rapat.

Lima menit berlalu. Suara lemparan batu itu tak terdengar lagi. Kuintip halaman luar, sosok pemuda itu telah raib. Yang terlihat hanya deras hujan, mematahkan dedaunan pohon mangga kesayanganku.

***

Kabut putih mengambang, mengibas sejuk di sela-sela kakiku yang telanjang. Cuping hidungku menghirup aroma vanila lembut yang bercampur manisnya stroberi. Kurasakan tubuh ramping ini tengah tersadai dalam keheningan. Lalu sebuah belaian lembut menjamah helai demi helai rambutku yang panjang tergerai. Tangan siapakah ini? Ujarku dalam hati. Kubuka mata ini yang sedari tadi memejam, lalu berusaha menatap seseorang yang tengah duduk di sampingku.

“Selamat malam, Putri Cantik.”

Pemuda itu tersenyum. Jiwaku terperanjat seketika!

Jantungku berdetak kencang. Mimpi yang barusan kualami seolah begitu nyata. Wajah pemuda itu tampak tak asing. Kuraba ingatan, mencoba mencari tahu tentang pemuda yang hadir dalam mimpi. Ah, ya ... Aku ingat sekarang. Wajah itu, mirip dengan pemuda yang tadi melempari batu di halaman rumahku.

Aneh, ada apa dengan diriku? Mengapa tiba-tiba saja pemuda tak kukenal itu hadir dalam mimpi?

***

Pagi menetas. Udara dingin menyergap isi rumah ketika pintu depan kubuka. Suasana lengang masih menyimpan sosok hening pemuda semalam. Rasa penasaran itu masih setia hadir di benak. Ah, aku melenguh. Seperti ada sebuah kerinduan yang telah lama kunantikan kehadirannya.

Siapakah kamu sebenarnya? Desahku dalam hati.

“Bunda, Vika lapar ...,” suara rengekan Vika membuyarkan pikiranku. Gadis kecil—lima tahun—itu menarik-narik ujung daster yang kukenakan.

“Vika lapar, Bunda.”

“Iya, ayo kita sarapan.”

Kugandengan tangan mungil gadis kecil itu, lalu beranjak dari teras. Baru saja mata ini hendak meninggalkan pandangan pada sebuah pohon mangga, tiba-tiba saja sosok itu tertangkap oleh korneaku. Iya, itu dirinya!

Dia tersenyum, mengangguk perlahan lalu berlalu begitu saja melewati pagar rumah. Dadaku gemetaran. Aku belum mampu menelaah, apa yang sedang terjadi antara kami? Mengapa  perjumpaan dengannya bisa berkali-kali? Sungguh, siapakah dia? Pemuda tampan dengan tubuh tinggi dan berkulit putih. Pemuda dengan senyum yang mampu menggetarkan hati setiap wanita yang memandangnya. Siapakah dia?

***

“Tuch, kan, kamu melamun lagi. Kebiasaan, deh.”

Suara lelaki yang tak kukenal mengusik tiba-tiba. Aku tersentak, bola mata ini seolah ingin lompat dari lubangnya. Kini, pemuda yang sejak tadi mengganggu pikiran itu sudah ada di sampingku, sambil tersenyum!

Akh! Ini tidak mungkin. Ini pasti mimpi lagi. Tolong, seseorang ... bangunkan aku sekarang. Rasanya, aku bisa gila karena dia!




~ bersambung ~




 

PROLOG ANIMUS Seven Days - a tetralogi novel by Ajeng Maharani







Itu hanyalah sebuah danau yang biasa. Tak ada hal istimewa. Tetapi orang-orang yang memuja keagungannya, memberikan nama Danau Berkah. Iya, berkah. Mereka yakin, danau itu mampu mewujudkan semua keinginan. Impian. Bahkan harapan yang telah mati sekali pun. Hingga mereka begitu bodoh. Memuja-muja, menyembah layaknya danau itu adalah Tuhan.

Di sinilah kami tinggal. Hidup bersembunyi dalam kesunyian sambil terus mengamati tingkah laku manusia-manusia yang sering melemparkan sesajen ke dalam danau. Kami tak pernah tahu, apakah doa-doa yang dilambungkan mereka saat memohon sesuatu pada danau telah tercapai atau belum setelah persembahan itu. Yang kami lihat hanyalah, setelah mereka pergi, tak satu pun yang datang kembali.

Tak satu pun.

Selama berabad-abad, kami tak pernah muncul di hadapan para manusia itu. Kami takut. Iya, benar. Kami sangat takut pada manusia. Bagi kami, manusia lebih bengis dari pada binatang. Lebih busuk dari para iblis. Karena itulah kami hanya bisa diam dalam lubang-lubang persembunyian kami.

Bersembunyi, tak pernah menunjukkan diri kami. Hingga malam laknat itu datang.

Saat mata kami sedang terpejam, kunang-kunang berdengung membangunkan. Lalu kami dengar suara-suara gaduh di sisi selatan danau. Sebuah teriakan meminta tolong. Tangisan yang mencekik. Membuat tubuh kami bergidik ketakutan.

Siapakah itu? Siapakah mereka yang sedang ribut di sana? Tanya kami bersamaan.  

Karena rasa keingintahuan, kami pun menghampiri. Pelan-pelan sekali. Sampai angin pun tak mendengar suara langkah kami yang tak menapak tanah.

Di antara rerimbun lalang, kami melihat bayangan-bayangan itu. Mata kami terbelalak. Merah. Kemarahan kami terbakar. Sedih. Setitik air mata jatuh dari sudut-sudut mata kami yang meruncing. Iya. Itu kejadian yang sangat mengerikan!

Kami melihatnya. Beberapa lelaki menggenggam tangan dan kaki-kakinya. Seorang lagi menindih. Gadis itu meronta, tetapi pukulan keras berkali-kali mendarat di kepalanya. Hening. Malam yang durjana. Kami berteriak memaki. Menangis tersedu-sedu. Hati kami tertusuk-tusuk melihat gadis itu disiksa dan dinodai. Setelah mereka merasa puas, ia ditinggalkan begitu saja.

Tubuhnya lunglai. Kami pikir ia sudah mati, saat melihat darah mengalir dari kepala, bibir dan sela-sela pahanya. Pedih. Tetapi kami salah. Tiba-tiba saja mata gadis itu terbuka. Lebar dan mendelik penuh kebencian. Marah.

Ia menatap kami! Ia bisa melihat sosok kami! Matanya seperti memohon, menangis, sekaligus menebar kemurkaan.

Dengan sisa-sisa tenaga terakhirnya, ia mencoba merangkak. Menyeret tubuhnya yang hampir lumpuh, mendekati kami yang semakin mundur ke arah danau. Di sela-sela keheningan malam yang tengah tertidur, gadis itu menangis berteriak pilu.

“Tolong ... Aku ingin kutuk mereka. Aku ingin kutuk mereka!”

Merengek dan terus merayap.

Kami menangis. Hati kami pun meleleh, lumer diterkam rasa iba padanya.

 -oOo- 



ANIMUS Seven Days adalah sebuah novel perdana dari Ajeng Maharani yang hanya ditulis dalam 30 hari. Ya, 30 hari! Suatu komitmen yang berhasil dipatri dalam diri, untuk bisa menaklukan diri sendiri dari semua excuse. 

ANIMUS Seven Days berisi 4 cerita yang saling berkaitan. Ada benang merah yang menghubungkan setiap ceritanya. Ada 'jantung' yang berdetak mewakili kesemuanya. Tentang dentum hati Salsa yang terjebak di antara kebusukan dan arogansi para tokoh masyarakat. Tentang cinta Yana dan si Gadis Lumpur yang dihantui oleh keangkuhan manusia yang mengkotak-kotakan status dan kedudukan. Tentang kisah Guntur yang tenggelam dalam pengkhianatan hingga membuat dirinya korban dari permohonannya sendiri. Juga tentang kisah pencarian Bunga akan cintanya yang raib di Pulau Maku-maku. 

Kisah-kisah yang mendebarkan, membuat Anda selalu penasaran untuk melanjutkan ke halaman berikutnya. Bersiap-siaplah, karena setiap inci novel ini, akan membuat Anda berhenti bernapas sepersekian detik!

Testimoni pembaca: 

 LINDA IRMA :
"Dalam waktu dua malam, ANIMUS berhasil kulahap habis. Kisahnya keren, bikin penasaran, bahasa dan diksi-diksinya oke banget (banyak kata-kata baru yang aku ketahui setelah baca novel ini) Bahkan kisah-kisahnya sampai kebawa-bawa mimpi! Penulis mampu membuatku masuk ke dalam cerita. Puas banget! Penantian yang tak sia-sia, terbayarkan sudah."

 FENI MERIYANI :
"ANIMUS bikin greget, maunya cepat selesai baca. Bikin penasran! Imajinasinya keren, serasa kebawa dalam suasana nyata di dalam novelnya. Suka!"

DIAN ABADI :
"ANIMUS itu bagus, spooky, mendebarkan hingga akhir! Beberapa quote ngena banget di hati aku."

IDA FITRI :
"Aku sudah sering baca novel-novel terbitan mayor, namun novel indie yang kualitasnya sejajar mayor adalah ANIMUS!"



Harga Rp. 55.000,-
Pemesanan melalui WA 085 606 606 007 atau inbox FB  https://www.facebook.com/ajeng.fiqha 

Jumat, 30 Januari 2015

Kami, Saya, dan Rumah yang Berjalan


 
Gambar diundu dari serupasmasa.files.wordpress.com


1.

BAPAK dan anak itu, kami mulai sering melihatnya akhir-akhir ini. Entah datang dari mana, tiba-tiba saja rumah mereka sudah menempati tanah kelahiran kami. Bahkan beberapa saudara kami mati tergilas oleh kesombongan mereka. Kami hanya bisa meratap, menangisi kepergian saudara-saudara kami. Kedengkian, amarah dan umpatan kami lontarkan pada mereka berdua. Namun telinga keduanya takkan mampu menjamah suara-suara pilu kami. Karena itulah, kami hanya bisa melihat bapak-anak itu sambil menggigil dalam persembunyian kami.

2.

MUNGKIN, sudah banyak kawan yang tertawa melihat keadaan saya saat ini. Hidup menjadi bagian dari sampah. Ke mana pun saya melangkah, pandangan mereka menusuk. Tatapan dingin yang meriakkan rona jijik. Bisik-bisik mereka yang mencemooh, selalu menghiasi sunyinya mimpi-mimpi saya yang beberapa hari ini mulai sedingin malam. Pedih. Seperti inikah balasan mereka pada saya? Padahal dulu mereka mengiba-iba dan mengelu-elu. Mencari muka dan menjilati tangan-kaki saya. Sekarang, saat segalanya hilang, mereka melupakan saya.

Apakah seperti itu, semua manusia di dunia ini?

3.

HARI ketika mereka berdua datang ke tanah ini, teriakan tentang gempa menggagahi malam yang lindap, saat di mana kami semua tengah keluar rumah mencari makan. Roda-roda hitamnya menggetarkan tanah, lalu melindas satu-persatu saudara yang terlambat melata untuk menghindar. Kemudian, tanpa rasa dosa sedikit pun mereka meletakkan rumah beroda itu di atas jasad-jasad saudara kami.

“Kita akan menetap di sini,” ujar bapak itu pada anaknya dengan tersenyum. Iya, dengan tersenyum! Itulah yang membuat kami geram. Di mana-mana semua sama. Manusia tidak memiliki hati.

4.

SAYA sekarang sadar dan paham. Melihat perlakuan mereka, seolah melihat diri saya di depan sebuah cermin. Dulu saya pun demikian. Hidup tanpa hati. Bisa jadi mereka yang pernah saya hina dan pandang dengan mata jijik, mendoakan keburukan untuk saya. Dan mungkin, inilah karma untuk saya.

Suatu hari saya pernah mengusir wanita tua dari rumah peninggalan suaminya yang berhutang banyak pada saya. Wanita tua itu menangis-nangis memohon pengampunan. Mempertanyakan di mana letak hati saya. Namun dengan keangkuhan yang gagah, saya masih saja tetap mengusirnya.

Juga pernah saya membabat habis tanah milik lelaki saingan saya. Dengan sedikit uang pelicin, saya bayar semua preman hukum untuk mengesahkan tanah itu sebagai tanah milik saya. Dan ketika lelaki itu marah dengan menunjuk-nunjuk wajah tertawa saya, dia berteriak, “Dasar manusia dekil! Dasar manusia batu!”

Saya belum paham benar apa arti kata yang dia lontarkan siang itu.

5.

SEANDAINYA kami bukan makhluk lemah dan lamban seperti ini, ketika keduanya datang dan memporak-porandakan tanah kami, pasti taring dan kuku-kuku tajam sudah mencabik mereka malam itu. Kami ingin mereka belajar dari kesalahan rasnya yang sudah-sudah. Telah banyak kaum kami yang terusir dari habitat yang disediakan Tuhan. Tanpa welas asih mereka menguasai tanah, rerumputan, pohon-pohon nan rindang, dan bahkan nyawa kami.

Jika sudah seperti itu, apakah masih pantas manusia dikatakan memiliki nurani?

6.

SEKARANG saya telah jatuh, dan hanya anak inilah satu-satunya harta saya. Anak yang telah saya rampas haknya untuk menikmati dunia. Kini, ia sudah takkan bisa mendapatkan kebahagiaannya. Sudah tak lagi tertawa sesering dulu ia perlihatkan pada saya. Ini dosa saya, membuatnya hidup menggelandang bersama saya. Berjalan dari satu tempat ke tempat lain untuk menemukan sedikit kejayaan.

Satu hal yang saya kenang sepanjang hidup saya kelak, ketika pertama kalinya ia menatap keterpurukan saya, ia hanya memeluk tanpa berkata apa-apa. Itulah pertama kalinya saya bisa meneteskan air mata. Namun saya bahagia.

Tuhan telah memberi saya secuil hati untuk bisa saya nikmati bersamanya.



-A.M.100115-

Kamis, 29 Januari 2015

CERITA IBU DAN SUARA



CERITA IBU

Hujan semakin lebat, kota kami mati. Gelap.

“Mereka tinggal di sana.”

“Di mana, Bu?”

“Di sudut-sudut kota. Di pohon-pohon rindang. Di atap rumah. Bahkan, di kolong tempat tidur kita ....”

Seram. Aku mengigil di samping tubuh ibu, di atas pembaringan satu-satunya di rumah kami.

“Me-mengapa mereka di sana?”

“Mereka sedang menunggu, Nak.”

“Menunggu ... Menunggu apa?”

“Menunggu waktu yang tepat.”

“Untuk apa, Bu?”

“Entahlah, Ibu juga tak tahu. Tapi ....”

“Tapi?”

“Jangan suka berbohong. Mereka paling benci manusia pembohong. Mereka akan menculikmu jika kau berbohong pada Ibu, sama seperti bapakmu.”

Aku mengembus napas, lega. Aku tak pernah berbohong, jadi takkan mungkin mereka mengambilku juga.

“Saat hujan dan kota mati seperti ini, adalah saatnya mereka berkeliaran, Nak. Berhati-hatilah.”

Kuanggukkan kepala.

“Sekarang tidurlah, besok kita akan pergi ke rumah nenekmu.”

Aku semakin membenamkan kepala ke bantal. Mata ini berusaha terpejam, namun kantuk itu belum datang juga. Sepi, hujan di luar sepertinya sudah hampir reda. Hening. Tiba-tiba kamar ini serasa kosong. Kuangkat kepala.

“Bu ...?”

Tak ada suara.

“Bu ...?”

Kutelan ludah. Ibu telah hilang.



SUARA

Kau mendengarnya, suara rintihan. Kau terus berusaha mencari, namun suara itu seolah tersembunyikan oleh ruang waktu yang tak mampu kaujamah. Sesuatu yang bukan duniamu. Kau pun menyerah, hendak melangkah pergi. Pagi hampir menetas, kau memutuskan untuk segera mengakhiri segalanya.

“Jangan pergi, kumohon.”

Suara itu terdengar kembali.

“Jangan pergi ....”

Kini kau berhenti. Langkahmu diam di tanah basah yang baru saja terguyur hujan. Pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi menatapmu tajam, kau merasa mulai asing di duniamu sendiri.

“Jangan pergi. Kembalilah ke tempatmu, kumohon.”

Lagi-lagi suara itu merintih.

“Si-siapa kamu?”

Kau mulai panik. Tanganmu bergemetaran. Hutan yang bersuara, tak mungkin itu ada. Kau merasa ini hanya khayalanmu saja. Kau kembali melangkah, dan suara itu terus mengikuti di belakangmu. Kau mulai kesal. Teramat kesal.

“Pergi! Jangan ganggu aku. Aku harus segera menemukan Adelea!”

Iya ... Adelea, kekasihmu yang telah diculik itu ada di ujung hutan ini. Disekap dan mungkin saja dianiaya oleh mereka, para lelaki yang memintamu mengirim sekoper uang. Kau pun bergegas. Suara itu menghilang.

Tempat pertemuan yang ditentukan sudah ada di depan matamu. Sebuah rumah kayu dengan cerobong asap yang mengepul. Hatimu ragu, kau mencoba untuk mendekati jendela terlebih dahulu. Mengintip.

“Kau akan menyesal,” ujar suara itu lagi, ia kembali dengan sosok yang bersayap. Dan ia benar, kau akhirnya menyesal. Marah. Dadamu bergemuruh. Hatimu yang penuh cinta itu terluka. Kini, di matamu yang meleleh itu, kau melihat tubuhmu yang berlumuran darah terkapar di lantai, sementara kekasihmu dan dua lelaki sedang asyik menghitung uang.



 -A.M.260115-

ZACKYAH






Mata gadis yang telah menungguku itu mengerjab dua kali saat tangan ini terulur di hadapannya. Ia memandangku dalam-dalam. Mungkin tengah ada puluhan pertanyaan di kepalanya yang tertutup kerudung jingga sepanjang pergelangan tangannya itu.

“Maaf,” ujarnya sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada dan menunduk. Ah, iya, aku lupa jika ajaran agamanya tidak memperbolehkan seorang lelaki dan perempuan yang bukan muhrim saling bersentuhan.

Sebuah pertemuan yang biasa. Setelah itu, selama lima hari berturut-turut ia selalu bersamaku, sebagai asisten dokter hewan di tempatku berkerja. Ia sedang belajar di sini.

Tak ada banyak hal yang terlontar dari bibir mungilnya yang polos itu, selain pertanyaan-pertanyaan seputar pekerjaan. Ia hanya tersenyum, mengedipkan mata berkali-kali sambil melempar pandangannya jauh entah ke mana. Senyumnya sangat indah. Senyum terhangat yang belum pernah kutemui sebelumnya.

Kini, pesonanya itu tiba-tiba bersepai saat kutemui dirinya berada di sebuah bar malam tempat tongkrongan favoritku. Malam ini, ia begitu panas. Rambut gelombang yang tergerai memanjang sebatas pinggang, baju ketat merah marun yang hanya menutupi hingga sebatas paha, lalu bibir polos yang layaknya milik balita itu kini tersapu warna merah menyala. Ia benar-benar tampak beda! Kemolekan yang selalu ditutupinya dalam gamis panjang itu kini diumbar, bebas.

Ah, benarkah itu ia? Selama ini, ia terlihat sebagai seorang muslimah yang taat. Tak pernah lalai menjalankan ibadahnya. Bahkan di waktu luang, kulihat ia sering membaca sebuah buku kecil, yang mereka sebut itu Al-Qur’an. Ketika kutanya mengapa ia masih saja sempat membaca kitab sucinya, ia menjawab dengan mata yang berbinar-binar, “Aku merindukan-Nya, setiap menit!” Dan saat itu, aku menjadi kagum padanya.

Tapi malam ini ... Ah, entahlah.

Tanpa berani mendekat, aku hanya mengamatinya dari tempat dudukku. Ia masih bergumul dengan lelakinya. Memeluk-meluk, mencium-cium. Tertawa lepas sambil terus menegak minumannya. Ia benar-benar menjadi gadis yang berbeda, bagaikan api dan air! Panas dan menyejukan ....

Keesokan harinya, wajah anggun itu kembali. Ia masih tetap sama, seperti lima hari lalu yang penuh kedamaian. Bulir-bulir rona wajahnya begitu bercahaya. Membuatku menjadi sangat penasaran, apakah yang tengah ia sembunyikan di dalam hatinya itu? Benarkah ia seorang gadis muslim yang mempesonakan mata, lalu berubah menjadi binal di kala malam? Entahlah. Kuputuskan untuk berbicara dengannya jika aku mampu menemuinya kembali nanti malam. Iya ..., tak mungkin sekarang. Karena saat ini, sosok alimnya itu seakan memiliki sebuah tembok kokoh yang takkan bisa kupanjat.

***

“Zacky? Ka-kamu Zackyah, bukan?”

Seperti biasa, mata itu mengerjab. Namun kali ini sebuah kerlingan nakal mengikuti. Ia tersenyum, lalu tertawa keras hingga sebulir air mata menyembul di sudut penglihatannya. Aku tak mengerti kenapa, apakah mungkin ia tengah menertawakan dirinya sendiri yang telah kepergok olehku?

“Apa yang kau lakukan di sini?” tanyaku sambil berteriak. Suara dentum musik sangat menyabotase telinga kami berdua saat ini.

“Bersenang-senang!”

“Mana kekasihmu? Yang kemarin malam?” Kali ini kudekatkan bibir ke telinganya, agar ia bisa mendengar lebih jelas. Ah, aroma parfumnya mendebarkan jantung.

“Lelaki?”

Ia tertawa, lagi.

“Tak ada lelaki. Hanya mereka yang mau menyewaku! Aku butuh uang, Kawan!”

Aku terdiam. Ia merengkuh bahuku, matanya melirik nakal.

“Apa kau mau?”

“Apa?”

“Bersamaku, malam ini?” ujarnya, berbisik lembut di cupingku.

Degam riuh yang menggema di sekeliling kami tiba-tiba raib. Entah apa yang kurasakan saat ini. Senang ataukah sedih? Waktu begitu cepat merengkuh kami. Tanpa tersadari, aku sudah larut dalam pelukannya.

***

Ia diam. Wajahnya biasa-biasa saja. Seolah tak pernah terjadi sesuatu antara kami malam itu. Entahlah, aku hampir gila karenanya. Sosok malamnya yang menggairahkan, lalu sosok alimnya yang anggun seperti sekarang. Yang manakah ia sebenarnya?

Pagi tadi, ketika kami bersitatap, ia tersenyum lembut penuh arti. Apakah itu kode? Atau apa? Ia tak berbicara sedikit pun. Seperti biasanya, hanya seputar pekerjaan kami. Ah, Zacky, aku makin penasaran dengan dirimu.

***

“Ada apa?”

Zackyah merengkuh daguku, membuat mata ini bertemu dengan matanya yang indah.

“Ada apa? Kok ngelamun?” tanyanya kembali.

Ah, apakah harus kutanyakan perihal dirinya kala pagi? Hmm, tidak ... lebih baik jangan. Aku tak ingin ia nanti tersinggung lalu pergi. Aku terlanjur nyaman dengannya tiap malam, seperti ini.

“Ng-nggak ada apa-apa, kok.”

“Keluar, yuk. Kita lanjut yang lainnya.”

Kuanggukan kepala. Malam ini, akan menjadi malam yang benar-benar panjang untuk kami berdua. Iya, aku tak peduli lagi tentang siapa dirinya ....

***

Tengah malam, dari hotel kami langsung memutuskan pulang. Kuantarkan Zackyah. Rumah itu tak terlalu besar. Halamannya luas, tak ada pagar yang membatasi. Layaknya rumah-rumah pedesaan yang memanjang ke arah belakang. Di halaman yang kami lalui, pepohonan mangga tumbuh subur di kedua sisi, lalu beberapa melati dan anggrek ikut mewarnai pesona taman yang luas itu. Sejenak, tercium aroma harum bunga yang tertiup angin.

Ia masih merangkulku erat. Tertawa dan bercanda. Suaranya yang nyaring seakan membelah hening yang tengah pingsan malam ini. Sesampainya di depan tangga teras, kami saling memandang sejenak. Ia tersenyum, cantik sekali. Sungguh, kebahagiaan yang luar biasa bisa bersamanya malam ini.

Lalu tiba-tiba, sebuah suara memekik dari arah pintu masuk.

“Astaghfirullohal’adzim!”

Kulemparkan jala mata ke arah datangnya suara. Ia ada di sana, berdiri dalam balutan gamis panjang bunga-bunga dan kerudung hijau polos yang menutupi dada. Wajahnya masih sama, anggun dan bercahaya. Lebih cantik dari gadis yang tengah kupeluk saat ini.

“Za-Zackyah?” ujarku penuh keterkejutan. Dan suara tawa kecil yang nakal, terdengar dari gadis di sampingku.



-A.M.010115-

 

ANTARA NATASHA, MAWAR HITAM DAN KACAMATA





Pada kelas online LRF yang dibimbing oleh penulis Pringadi Abdi Surya, kami diberi tugas untuk membaca sebuah e-book kumpulan cerpen. Jujur, saya belum membaca seluruh cerpen yang ada di dalam e-book Kumpulan Cerpen Koran Tempo Minggu 2014 itu. Saya hanya memilah, satu persatu. Jika di awal pembuka saya tertarik dan merasa nyaman membaca, maka akan saya teruskan hingga ke ending.

Dari beberapa cerpen yang akhirnya ‘mampu’ terbaca oleh mata saya, Mawar Hitam karya Candra Malik adalah yang paling memikat. Bahasa yang disuguhkan penulis terasa beda dari yang lain. Kata-kata yang ia rangkum sangat segar tanpa harus meninggalkan keindahannya. Selain itu, daya pikat cerpen ini juga ada pada kejutan-kejutan kecil di beberapa narasi dan dialognya, yang membuat saya merasa betah membaca hingga ending. Saya bilang ini keren!

Selain Mawar Hitam, cerpen bertajuk Natasha pun memikat saya. Bahasanya sederhana, mengalir, dan twist ending yang ‘konyol’ membuat saya menyungging senyum setelah selesai membaca. Mengapa saya bilang ‘konyol’? Karena karakter Ayah Justino yang sok suci itu ternyata adalah seorang pecundang! Itulah mengapa saya tersenyum, karena banyak tipe manusia macam itu ada di sekitar kita. Benar-benar ada!

Cerpen Kacamata pun tak kalah menariknya dengan dua cerpen di atas bagi saya. Idenya unik. Model cerpen seperti inilah yang saya suka. Menampilkan sisi pandang lain dari sebuah obyek lalu mengangkatnya menjadi sebuah cerita yang memikat. Seperti cerpen Seseorang dengan Agenda di Tubuh (Pringadi Abdi Surya) dan Huruf Terakhir (Benny Arnas), cerpen-cerpen macam ini selalu bisa membekas di hati saya.

Saya akan merasa jenuh dan sakit mata ketika membaca cerpen yang berbahasa ‘njlimet’, menceritakan hal-hal yang tak mampu saya pahami, membosankan atau menggunakan bahasa tingkat tinggi. Contohnya seperti cerpen Kejadian-kejadian Pada Layar karya Ardy Kresna Crenata, Partikel-partikel Tuhan karya Leopold A. Surya Indrawan, dan Neraka Kembar Rajab karya Triyanto Triwikromo. Mungkin sebagian orang menganggap cerpen-cerpen tersebut menakjubkan dengan ide dan pesan yang diselipkan, namun tidak bagi saya.

Apa yang bisa saya garisbawahi sebagai bahan pembelajaran setelah membaca cerpen-cerpen tersebut?

Satu hal, dan ini sangat penting untuk catatan saya sebagai penulis pemula, bahwa pembaca lebih menyukai suguhan cerita yang bisa mereka pahami. Pembaca tidak butuh bahasa-bahasa yang tinggi dalam sebuah bacaan (kecuali jika pembaca itu memang berasal dari kalangan kalangan tertentu dan latar belakang berbeda dengan saya yang biasa-biasa saja ini). Pembaca menginginkan dirinya bisa masuk ke dalam cerita, menghayati dan mencerna apa ynag disampaikan. Kenikmatan pembaca adalah yang utama, maka ketika cerpen itu tidak bisa dipahami, mereka cenderung meninggalkannya.

Hal ini selaras dengan makna, apakah tujuan kita menulis? Menyampaikan sebuah cerita, bukan? Nah, bagaimana jika cerita yang kita sampaikan itu tidak tersampaikan dengan baik pada pembaca kita

Tiga kata, kita telah gagal.

Sidoarjo, 220114
Ajeng Maharani

PENANTIAN NUA ULU





(1)

KETIKA mereka dipisahkan, air mata anak lelaki itu meleleh deras. Sambil digendong oleh bapaknya, dia terus menangis dengan mengangkat telunjuknya ke arah pepohonan merbau yang tinggi menjulang. Bapaknya tetap berjalan dalam diam. Tak memedulikan jeritan sang anak, yang terbang melindap, menerobosi dedaunan.  
Kala itu, sebongkah musim basah mengambang. Hujan mengguyur hutan pagi tadi. Dalam pandangan yang tak nyata, sesosok gadis kecil menatap kepergian keduanya semakin menjauh. Mengintip dengan kegelisahan, di balik dedaunan yang basah kuyup.
Waktu terus berjalan. Gadis itu kini telah tumbuh menjadi remaja. Setiap hari berdiri di tengah belantara, sambil melambungkan doa pada roh-roh nenek moyang, agar kelak dipertemukan kembali dengan sahabatnya, Sahune.

***

Angin berseru-seru padanya di antara tanah-tanah basah yang baru terguyur hujan semalam. Degup jantung gadis berkulit cokelat kehitaman dengan rambut ikal nan kasar itu mengencang. Denyutnya berlarian.
“Dia telah datang, Nua Ulu. Dia telah datang!”
“Benarkah? Benarkah pemudaku telah kembali dari kota?”
Desir angin mengangguk. Nua Ulu mengembangkan senyum. Tanpa banyak bertanya lagi, gadis itu melesat. Meninggalkan deru angin yang tengah tertawa ringkih, melihat rona merah di pipi Nua Ulu.

-oOo-

Sahune ada di sana. Duduk di tengah-tengah gerombolan orang-orang dusun yang sebagian masih telanjang dada.
“Kau telah kembali, Sahune. Kau semakin gagah dengan baju kotamu,” gumam Nua Ulu. Matanya berkesip takjum. Memandang sosok pemuda yang telah lama ia rindukan, kini sudah nampak di depan matanya.
“Benarkah itu dia, Nua Ulu?” tanya seekor burung boano yang bertengger di reranting.
Nua Ulu mengangguk. Wajahnya berseri-seri.
“Iya, itu Sahune. Dia telah kembali.”
“Lalu, apa yang akan kau lakukan sekarang? Kau tak ingin menemuinya?”
“Ti-tidak ... Tidak, Boano, aku masih gemetaran. Aku malu.”
Gadis itu berjongkok. Menyembunyikan tubuhnya di balik pohon. Denyut nadinya masih terus merenyut kencang. Kenangan-kenangan bersama Sahune melintas di benaknya. Waktu itu mereka masih kecil, empat tahun. Mereka sering berburu kelinci di hutan. Atau memanah burung untuk santapan siang.
Setelah perpisahannya dengan Sahune hari itu, Nua Ulu hanya menanti dengan menebar harapannya. Roh-roh hutan, burung-burung boano, dan angin yang bertiup riang, sering ia ajak bercerita tentang kisahnya bersama Sahune. Mereka suka menggoda Nua Ulu saat ia tiba-tiba saja berwajah layu karena merindu. Atau ketika sedang menangis pilu di sela-sela ketiak malam.
Lima belas tahun bukanlah waktu yang sebentar. Tinggal di dalam hutan, menanti Sahune kembali untuk menepati janjinya.
“Nua Ulu, kelak, saat kita dewasa, aku akan menikah denganmu!” ujar Sahune suatu waktu.
“Percaya diri sekali kau. Apa mas kawin yang akan kau berikan padaku, Sahune?”
“Lihatlah kelak. Aku akan memenggal kepala manusia, untuk membuktikan kejantananku pada keluargamu!” Sahune berkata sambil berkacak pinggang dan mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. Sombong.
Nua Ulu tersenyum malu.
“Hei, sedang apa kau di sini?”
Gadis manis itu terperanjat. Jantungnya hampir saja gugur. Tiba-tiba ia melihat Sahune sudah berdiri di sampingnya.

“A-aku ...,” Nua Ulu tergagap. Bibirnya digigit. Kelu.
“Tunggu sebentar. Siapa namamu? Sepertinya, wajahmu tak asing bagiku.”
Ia menelan ludah. Matanya berkesap-kesip. Debarannya makin mengencang. Apa benar Sahune mengingat dirinya?
“Na-namaku ..., Nua Ulu.”
“Hmm ....” Sahune berusaha keras menyibak ingatannya. “Rasanya aku sudah lupa dengan nama itu.”
Nua Ulu melenguh kekecewaan. Keduanya sejenak terdiam.
Langit mulai menghitam. Awan-awan mendung bertebaran. Tiupan angin basah mulai menjamah tubuh Sahune. Gigil.
“Sebentar lagi hujan. Pulanglah. Kau tinggal di mana?”
“Hutan.”
“Hutan?”
Nua Ulu mengangguk.
“Memangnya, ada pemukiman lagi di dalam sana?”
Nua Ulu menggeleng. Sahune mengernyitkan dahi.
“Oke. Baiklah. Kalau kau punya waktu, datanglah kemari lagi besok. Aku membuka sekolah gratis di dusun ini. Ajak juga anak-anak dari dusunmu, kita bisa belajar bersama di sini.”
Mata gadis itu berbinar. Ia mengangguk dengan riang.
Rintik hujan mulai berjatuhan. Sahune berlari pergi dari hadapan Nua Ulu. Gadis itu mengulum senyum. Bisik-bisik burung boano yang sedari tadi mendengarkan percakapan mereka tak ia hiraukan. Kemudian, dengan langkah riang nan ringan, gadis hitam itu pun berjalan pulang.




(2)

Kegelapan menggantung. Sahune bermandi peluh. Sebuah mimpi membuat tidurnya tak nyenyak.
“Sahune! Sahune! Aku di sini ... Temukan aku!”
Sahune terperanjat. Napasnya terkapah-kapah. Keringatnya merembes dari liang-liang pori, membasahi kaosnya yang berwarna biru gelap.
Paginya, Sahune berpamit kepada Kepala Suku, untuk memasuki belantara. Ada sesuatu yang ingin dia temui di dalamnya. Sang Kepala Suku mengernyitkan kedua alisnya, heran. Mencoba ingin menebak apa yang ingin dicari oleh pemuda yang masih mengalirkan darah sebangsanya itu.
Waktu Sahune kecil, bapaknya sering bercerita tentang kehidupan kota. Bapaknya adalah anak ketua suku di Dusun Bonara. Beliau tak pernah mau untuk meneruskan kedudukan bapaknya. Cita-citanya hanya satu. Ingin pergi ke kota, mengumpulkan ilmu dari peradaban, untuk dibawa pulang ke dusun.
Maka pergilah kedua orang tua Sahune ke kota, dengan membawanya. Tahun-tahun yang berat. Bapaknya meninggal di musim hujan ke sepuluh, ketika kota sudah menjadi rumah baru bagi Sahune. Sebelum lelaki tersayang itu menutup mata, dia meninggalkan pesan teruntuk anak lelaki satu-satunya.
“Sahune, lanjutkan harapan Bapak. Saat kau lulus kelak, kembalilah ke tanah asal kita dilahirkan, bantu kerabat kita agar tak jadi suku yang bodoh dan tertinggal.”
Di antara isakan tangisnya, Sahune mengangguk.
Kini, ketika usianya sudah dua puluh dua tahun, Sahune pun akhirnya pulang ke tanah kelahiran. Guna melanjutkan apa yang pernah dicita-citakan oleh bapaknya. Itu pun berarti, sebuah takdir yang telah dinantikan oleh Nua Ulu akhirnya tiba pula.

-oOo-

Matahari masih setengah malu-malu ketika Sahune meninggalkan jejaknya pada tanah Dusun Bonara. Bukan hal yang mudah bagi dirinya untuk kembali menelusuri hutan yang sudah tak mengenalnya lagi.
Dulu, Sahune bisa mengerti bahasa angin, dedaunan berisik yang suka memperbincangkan kebusukkan manusia kota yang tega menelanjangi hutan, atau tangisan hujan yang mengabarkan kematian dari surga. Dia juga mampu mencium aroma keringat dan ketakutan dari binatang-binatang buruannya. Mengejar tanpa takut dengan cakar, paruh atau pun erangan dari mereka. Namun saat ini, Sahune merasa berada di dunia yang tak dia kenal. Asing dan gelap.
“Kau mencari siapa?”
Suara seorang gadis menepuk pendengarannya dari arah belakang. Sahune berpaling. Dilihatnya gadis kemarin senja. Pemuda itu sedikit terkejut.
“Ba-bagaimana bisa ..., ka-kau ada ....”
“Hutan ini rumahku. Kau lupa?”
Sahune mengangguk.
“Jadi, kau sedang mencari siapa?”
“Kau?”
“Aku? Mengapa?”
Pemuda itu agak ragu. Dia canggung hendak bertanya tentang mimpinya semalam.
“Hmm, apa benar kita tak pernah bertemu sebelumnya?”
Mata Nua Ulu memicing. Hanya sebentar. Kemudian ia melenguh.
“Ah, sudahlah. Kau benar-benar telah melupakan aku.”
Gadis itu membalikkan badannya, hendak berlalu dari hadapan Sahune. Kekecewaan membuatnya pasrah.
“Kau dilupakan?” desis angin berbisik di cuping Nua Ulu. Mata gadis itu mulai mengembun. Setitik air berayun-ayun.
“Tunggu!”
Sahune meraih lengan Nua Ulu. Jantung pemuda itu tiba-tiba berdenyut lebih kencang. Hampir pecah. Bayangan-bayangan berkelebat. Sosok gadis kecil yang berlarian di hadapannya. Belantara yang semakin pekat. Teriakan yang memekik. Lalu gadis kecil itu raib!
Sekumpulan manusia berkulit hitam dengan panah dan tombak yang terhunus menjajaki hutan yang menangis.
“Nua Ulu! Nua Ulu!”
Dia ikut berteriak. Isak yang menyayat. Ketakutan, pun kerinduan yang teramat pada pemilik nama Nua Ulu. Kemudian pekik itu pun terdengar lantang. Sekonyong-konyong dari rimbunan lalang, muncullah sesosok pria menggendong jasad seorang gadis tanpa kepala, dengan dada terbelah. Jantungnya sudah tak ada.
Sahune menangis. Nua Ulu tersenyum getir namun lembut. Sosoknya perlahan mulai samar lalu menghilang bersamaan sebuah bisikan lembut untuk Sahune, “Aku sangat merindukanmu, Sahune. Terima kasih kau sudah mengingatku lagi ....”



-END-