Kamis, 12 November 2015

EVENT CERPEN ANIMUS



ANIMUS adalah awal dari perjalanan mimpi saya. Novel sederhana ini saya tulis ketika Bunda Rina Rinz mengajak sahabat-sahabatnya belajar bersama untuk menulis novel selama satu bulan—dan inilah awal mula terbentuknya grup LovRinz and Friends. Alhamdulillah, ANIMUS bisa diterima baik. Padahal masih banyak kekurangan pada novel ini, tapi setidaknya saya banyak belajar dalam proses penulisannya.

 

Nah, sekali lagi LovRinz ingin bagi-bagi novel ANIMUS. Bagaimana caranya?

Simak ketentuannya berikut :

  1. Event bisa diikuti oleh siapa saja (untuk umum).
  2. Peserta wajib follow/like FP Penerbit LovRinz di sini
  3. Peserta wajib follow/like FP Galeri Ajeng Maharani : di sini
  4. Naskah berupa CERPEN, dengan syarat : Memuat 3 tema sebagai ciri khas dari novel ANIMUS, yaitu : DANAU, KEBENCIAN, PENGORBANAN CINTA (semua tema wajib ada dalam cerpen).
  5. Naskah cerpen dalam bentuk word, TNR 12pt, spasi 1,5 dan margin bebas. Panjang naskah 4-8 halaman A4.
  6. Kirim naskah ke email : ajengmaharani1980@gmail.com dengan judul email : ANIMUS_Judul Cerpen_Nama Penulis (contoh : ANIMUS_Sumur di Dada Cuwa_Ajeng Maharani)
  7. Naskah berupa attachment, bukan di badan email. Tidak diperkenankan mengirim naskah melalui inbox FB ^_^
  8. Naskah ditunggu selambat-lambatnya hingga hari Minggu, 6 Desember 2015, pukul 23.59 WIB (naskah masuk di atas waktu yang ditentukan tidak dimasukan ke dalam event).
  9. Pengumuman naskah terbaik selambat-lambatnya 15 hari setelah tanggal DL.
  10. Akan dipilih 3 naskah terbaik, masing-masing mendapatkan :

-          Terbaik pertama : 1 novel ANIMUS + pulsa 50rb

-          Terbaik kedua : 1 novel ANIMUS + pulsa 20rb

-          Terbaik ketiga : 1 novel ANIMUS + pulsa 10rb

 

Sekian pemberitahuan #EventCerpenANIMUS ini.

Terima kasih. Selamat berkarya. Salam Netra!

 

LovRinz Publishing

RESENSI ANIMUS - RETNO PEY



Judul Buku : Animus Seven Days

Penulis. : Ajeng Maharani

Penerbit. : LovRinz Publishing

Tebal. : xiv + 241 halaman

Cetakan. : cetakan pertama, September 2014

ISBN. :978-602-71451-0-8

Harga. : Rp. 54.900,-

 

Animus Seven Days adalah novel pertama Ajeng Maharani. Seorang wanita tiga anak yang sudah menggemari menulis sejak duduk di bangku Sekolah Dasar. Aktif di kegiatan mading dan majalah sekolah. Pernah berhenti menulis ketika bekerja. Lalu aktif kembali saat berhenti bekerja dan bergabung di grup kepenulisan, Komunitas Bisa Menulis pada juni 2013.

 

SINOPSIS

 

Animus memuat empat kisah tentang manusia yang terbelenggu oleh kebencian. Amarah dan dengki membawa mereka ke Danau Sinabu. Sebuah danau yang penuh angkara.

 

Sejatinya manusia tak cukup hanya memiliki hati. Karena terkadang hati manusia pun bisa terluka, tersayat lalu berdarah. Seperti itulah yang dirasakan oleh Salsa, tokoh utama dalam kisah pertama buku ini. Dentuman Hati. Sepenuh hati dia memberikan cinta pada Darsaono, cinta yang tulus hingga membuatnya buta. Karena sebenarnya Darsono sudah memiliki istri. Salsa begitu memujanya, hingga dia larut dalam dekapan cinta lelaki itu yang membuatnya bahagia. Namun, itj tidak berlangsung lama. Berawal dari handphone miliknya yang hilang, beredarlah video syur antara Salsa si penyanyi dangdut dengan Darsono seorang anggota dewan tertinggi di Pulau Maku-maku. Salsa harus berhadapan dengan pihak kepolisian dan pengadilan karena dituduh menyebarkan video itu dan mencemarkan nama baik Darsono. Dalam ketidak berdayaan dia juga harus menghadapi pihak ketiga yang memanfaatkannya demi nafsu dan kesenangan sendiri. Sementara itu ada pihak lain yang menyewa pembunuh bayaran untuk menghabisinya. Di tengah kepahitan hidup dan ketidakpedulian Darsono muncul sosok Ari. Lelaki misterius dengan kaki pincang yang menentramkan dan menguatkan hati Salsa.

 

Sementara di kisah kedua, Cinta Si Gadis Lumpur, ceritanya lebih sederhana. Yana yang anak orang kaya jatuh cinta dengan Nora anak petani miskin. Kisah cinta mereka tidak di setujui oleh orang tua Yana. Ayah Yana yang seorang petinggi kepolisian di Pulau Maku-maku mulai menyusun rencana untuk memisahkan mereka. Meski cerita ini agak klise. Namun, dengan kemampuan penulis meramu setiap kata dan merangkai kejadian-kejadian yang dialami Yana dan Nora baik suka maupun duka dalam menghadapi ayahnya selama kurun waktu tujuh hari membuat pembaca tidak akan meninggalkan selembar halaman pun di kisah ini.

 

Dalam kisah ketiga, Lelaki Dan Danau Legenda. Penulis membawa kita pada sebuah danau yang menjadi legenda penduduk pulau Maku-maku. Sebuah legenda yang membuat setiap pendengarnya merinding kektakutan. Danau Sinabu. Danau yang mampu mewujudkan semua keinginan, impian, bahkan harapan yang telah mati sekalipun. Hingga orang-orang memuja dan menyembahnya layaknya Tuhan. Namun, semua itu ada harga yang harus di bayar. Adalah Guntur, seorang lelaki penebang kayu yang berusaha mencari danau itu demi melihat kembali senyum di wajah Cuwa, kekasihnya. Gadis itu telah kehilangan semangat hidup setelah di perkosa dan di tinggalkan begitu saja di tengah hutan oleh penebang kayu liar. Dapatkah Guntur menemukannya? Sedangkan danau itu telah lenyap di telan bumi.

 

Dan di kisah terakhir ada, Bunga. Seorang gadis kota yang datang ke pulau Maku-maku untuk mencari tunangannya setelah dua tahun berpisah. Sebuah pesan singkat dari lelaki itu, mengisyaratkan perpisahan dan menjadi penyebab kekhawatiran hingga membuatnya datang ke pulau Maku-maku. Betapa terluka hatinya ketika mendapati lelaki yang dicintainya telah berkhianat. Namun, rasa simpati akan keadaan Cuwa yang memprihatinkan dan rasa cintanya yang besar pada tunangannya mengalahkan luka dan kebencian di hatinya.

 

UNSUR INSTRINSIK NOVEL

 

Tema.

Novel ini bertemakan drama percintaan dan misteri bagaimana kebencian telah mematikan jiwa juga hati hingga melupakan Tuhan.

 

Setting.

Melalui narasi yang menarik dan mendetail kita akan merasa terbawa, masuk dalam tempat-tempat kejadian hasil fantasi penulis. Taman soka yang ada di tengah alun-alun, hutan belantara dengan sungainya yang jernih, Tanjung Yaura yang indah dan Danau Sinabu yang penuh angkara dan misteri.

 

Alur dan Gaya Bahasa.

Untuk alurnya sendiri penulis menggunakan alur maju mundur. Meski begitu cukup menjelaskan sebab dan akibat tiap kejadian yang dialami para tokoh. Dengan gaya bahasa sastra khas penulis dan diksi-diksi baru akan membuat dahi berkerut untuk menafsirkannya hingga membuat kita berdecak kagum.

 

Penokohan.

Tokoh-tokoh dalam setiap cerita berkarakter kuat dan konsisten dari awal hingga akhir cerita. Ada Salsa si penyanyi dangdut yang rapuh dan mendambakan sebuah cinta sejati. Ari si lelaki misterius yang pincang, pendiam dan seorang pembunuh bayaran. Yana pemuda tampan, cool, anak orang kaya dan ketua OSIS. Nora si gadis ceria, ramah, murah senyum dan anak seorang petani miskin. Guntur seorang lelaki penebang kayu, keras kepala dan bersedia melakukan apapun untuk orang yang dicintainya. Bunga, seorang gadis kota yang mandiri, teguh pendirian, penuh cinta kasih dan pemaaf. Terakhir ada Cuwa, gadis desa lugu, pemalu dan egois.

 

Amanat.

Dalam novel ini penulis ingin mengungkapkan bawa tidak seharusnya kebencian, amarah dan dendam mematikan hati dan jiwa hingga melupakan adanya Tuhan. Dan sejatinya cinta yang tulus ikhlas adalah obat yang bisa mengalahkannya.

 

KELEBIHAN NOVEL

 

Dari judulnya, Animus Seven Days. Menarik, hingga membuat pembaca penasaran dan bertanya-tanya. Animus, dari bahasa apa dan apa maknanya? Seven day, apa yang bisa terjadi dalam waktu tujuh hari?

 

Novel ini dibuat dalam waktu satu bulan. Sungguh waktu yang sebentar untuk membuat sebuah novel yang berkualitas. Namun, penulis membuktikannya melalui empat cerita yang disuguhkan dengan sempurna. Semua saling berhubungan dan setiap detail kejadian menghubungkan antar tokoh dalam cerita pertama sampai keempat.

 

KEKURANGAN NOVEL

 

Ada banyak kosa kata baru, meskipun tersusun dalam kalimat-kalimat indah. Namun, untuk pembaca awam mungkin akan sulit menafsirkan maknanya.

 

Ada beberapa kejadian/adegan dalam cerita yang memperlihatkan kekerasan yang tidak sesuai untuk di baca anak-anak ataupun yang belum cukup umur. Dan sepertinya buku ini dikhususkan untuk pembaca dewasa.

 

KESIMPULAN

Buku ini sungguh bagus dan layak dibaca. Ada banyak makna kehidupan yang terkandung dalam setiap cerita.

 

Demikian resensi dari saya, semoga bisa menjadi salah satu pilihan untuk menambah koleksi buku anda.

 

Oleh : Retno Pey - 2015

Minggu, 08 November 2015

TELIKUNG

Oleh : Ajeng Maharani


Kepala saya berdenyut-denyut. Pusing. Lembaran-lembaran kertas itu akhirnya saya letakkan kembali ke atas meja. Ini sudah yang kedua kalinya saya baca. Saya sampai hafal tiap kata yang dituliskan mereka, anak-anak itu.

Semuanya ada lima lembar, lima anak, isinya sama, berbicara pada saya tentang sesuatu yang mengerikan, yang telah mereka alami. Beberapa bagian kertasnya juga sudah lecek, seperti ada tetesan air yang mengenainya lalu mengering. Saya menduga, anak-anak itu pasti menangis saat menuliskannya. Saya trenyuh. Saya seperti terlempar dari tempat saya berada, lalu mendekam di suatu tempat yang begitu sunyi, dan dingin. Dan ini tidaklah mudah. Orang mungkin tidak tahu, tapi sungguh ... ini tidaklah mudah bagi saya.

“Pak, bagaimana jika semua yang terjadi itu dialami oleh putra-putri Bapak?”

“Negara kita sudah kritis, Pak. Anda sebagai presiden, harus tegas dan bertindak cepat dalam hal ini.”

“Negara kita benar-benar telah berada di titik darurat kekerasan seksual anak, Pak. Kejahatan-kejahatan seksual itu selalu saja disertai dengan pembunuhan. Ini sudah memprihatikan sekali.”

“Mereka generasi penerus kita,  jangan biarkan mental mereka busuk di tangan kita sendiri.”

“Mereka sangat butuh pertolongan Bapak.”

Kalimat-kalimat itu sering saya dengar akhir-akhir ini. Mereka berhasil menghempaskan saya. Orang-orang itu, yang mengaku berasal dari komisi perlindungan anak, sekumpulan ibu-ibu gembrot dan menor, juga aktivis-aktivis mahasiswa yang lihai memunculkan emosi ketika berbicara, mereka semua selalu datang dan menuntut hal-hal pada saya. Agar saya melakukan ini, melakukan itu, melakukan anu, melakukan banyak hal.

Mereka datang dengan membawa berkas-berkas berisi berbagai macam kasus, grafik-grafik, dan data-data perbandingan dari tahun ke tahun. Mereka tunjukan itu di hadapan saya. Seketika itu saya berpikir, memangnya saya ini tidak tahu apa-apa tentang apa yang sedang terjadi di negara ini? Memangnya saya tidak pernah membaca berkas serupa yang pernah diberikan oleh staf-staf kenegaraan saya? Seolah-olah, saya ini tidak pernah melihat apa yang mereka lihat.

Itu membuat saya sedih.

Apalagi, mereka suka berbicara dengan wajah yang ditegas-tegaskan, suara lantang dan mata yang dilebar-lebarkan. Mereka seperti ingin menyudutkan saya. Benar-benar ingin melumat saya dan menelannya bulat-bulat.

Apa yang mereka pikirkan? Saya ini presiden. Tidak mungkin saya tidak memerhatikan masa depan dan mental penerus bangsa ini. Tapi saya sendiri juga tidak bisa melakukan banyak hal. Seperti yang saya katakan, ini tidak mudah bagi saya. Mereka tidak tahu itu.

Kepala saya berputar-putar, masih pusing. Ini terasa semakin berat saja. Pikiran saya jadi mundur kembali ke beberapa tahun silam, ketika saya masih berumur tujuh tahun. Saya pernah melihat ketidakadilan yang sama. Anak-anak akan selalu jadi korban dalam aturan-aturan yang dibuat oleh orang dewasa, dan itu terjadi pada kakak lelaki saya.

Keluarga saya termasuk tidak mampu kala itu. Bapak hanya bekerja sebagai tenaga serabutan di sawah milik orang lain. Kadang juga mencari rumput untuk makanan kambing-kambing mereka, menggembalakannya ke padang rumput, dan memandikannya di sungai.

Kami hidup dalam keadaan yang menyedihkan. Benar-benar menyedihkan. Hingga akhirnya lima laki-laki itu datang. Lima laki-laki yang bertubuh tegap, otot-ototnya dempal, berkumis tebal, dan bibir yang menghitam. Saya sampai bermimpi buruk selama berhari-hari, terbayang-bayang wajah mereka yang menyeramkan.

Tiba-tiba saja mereka memberi Bapak dua ekor sapi yang gemuk-gemuk, lima karung beras, dan sejumlah uang dalam amplop cokelat. Mereka tertawa-tawa di atas dipan bambu kami yang sudah hampir jebol. Bau tubuh mereka mencemari udara rumah kami, bau semacam kelobot dan menyan yang dibakar secara bersama-sama. Menggumpal-gumpal. Dan setelah mereka selesai berbicara dengan Bapak dalam bahasa orang dewasa yang belum saya pahami, mereka membawa pergi kakak lelaki saya.

Kakak lelaki saya menangis-nangis. Dia bersujud di bawah kaki Emak, sambil terus memohon agar tidak membiarkan dirinya dibawa kelima laki-laki itu, tapi Emak tidak memedulikannya. Emak hanya diam, berusaha menjadi diam tepatnya. Tapi saya ingat, mata Emak sedikit meleleh waktu itu.

Saya tidak mengerti mengapa kakak saya dibawa pergi. Saya juga ikut menangis, merasa sangat kehilangan. Saya bahkan ketakutan setengah mati, menggigil, dan bersembunyi di belakang pantat Emak ketika salah satu lelaki menyeramkan itu memandangi saya dengan mata yang berbinar-binar dan berkata, “Cah Bagus, sekolah seng pinter, nggih. Mengko nek pinter, Warok Sumitrah ini bakal maringi sapi, koyo masmu kuwi.” Lalu bibirnya menyeringai sambil menepuk-nepuk dadanya. Bibir dan matanya itu seperti tidak mau lepas dari saya. Dia terus saja menempel walaupun saya sudah mandi beberapa kali, menggosok dan menggosok kulit tubuh saya dengan sabun.

Ah, teringat hal itu saya jadi merinding. Bulu-bulu saya meremang. Bagi saya itu adalah hari paling menakutkan. 

Dengan pemberian lima laki-laki itu, kehidupan keluarga saya membaik. Tetangga-tetangga mulai menghormati kami, karena kami menjadi lebih berada di antara mereka. Saya bisa makan enak, bisa merasakan daging ayam dan sayur, bukan lagi singkong rebus atau tiwul atau bubur beras yang keras dan lengket seperti lem. Tapi rasa bahagia yang kami alami tidak berlangsung lama. Duka itu pun kemudian datang dan menjadi awan gelap di atap rumah kami.

Seingat saya, semua terjadi begitu cepat. Sembilan bulan berlalu, dan kakak lelaki saya pulang dalam keadaan mati. Dia bunuh diri. Dia baru sebelas tahun ketika itu tapi sudah memilih untuk mengakhiri hidupnya daripada harus tinggal berlama-lama dengan kelima laki-laki yang membawanya itu. Saya terpukul. Saya marah pada Emak dan Bapak, karena telah mengizinkan kakak lelaki saya dibawa pergi. Mengapa mereka lebih memilih uang daripada anaknya sendiri? Saya marah dengan cara saya. Saya tidak bisa mengungkapkan kata-kata, hanya menangis sambil terus memukuli dada Emak yang saya rasakan juga sedang gemetaran karena sedih.

Lambat laun, seiring waktu, kejadian itu akhirnya membuat saya tahu tentang adat yang mengakar kuat di kampung kelahiran saya, Desa Jajar – Ponorogo, yang selama ini disembunyikan oleh Emak dan Bapak. Saya memang sudah sering melihat pagelaran reog di alun-alun kota. Saya pernah melihat warok dan penari jathilan sejak saya kecil, yang membuat saya terpesona dengan tarian mereka yang lincah. Saya bahkan pernah berkeinginan untuk ikut andil dalam tarian-tarian itu. Tapi saya tidak pernah tahu apa itu gemblak, lalu mengapa warok-warok itu meminang pemuda belasan tahun untuk dijadikan gemblak. Mengetahuinya, membuat saya mengerti apa yang sudah dialami oleh kakak lelaki saya. Saya pun akhirnya paham betul mengapa dia akhirnya memilih mati.

Dan itu menyedihkan. Itu membuat saya miris. Masa lalu bangsa ini sudah kelam. Bangsa ini sudah limbung sejak nenek moyang kami dilahirkan. Dan konsep itu terus saja menurun, seperti mata rantai, dan tidak pernah bisa terputus.

Saya pernah bertekad untuk menyelamatkan mereka yang bernasib sama dengan kakak lelaki saya. Tekad yang kuat, tapi pada akhirnya, saya terlambat melakukan itu. Saya tidak bisa berbuat apa-apa.

Ah, kepala saya sudah mau meledak.

“Permisi, Pak ....”

Suara ketukan pintu terdengar pelan menyambut kesadaran saya kembali. Saya berusaha menegakkan punggung yang telah lama bersandar di bahu kursi. Seorang staf khusus dan seorang ajudan kepercayaan saya membuka pintu samping—ruang kerja saya memiliki tiga pintu yang warnanya senada dengan dinding; pintu depan, pintu samping, dan pintu belakang. Mereka memberi hormat, kemudian mendekati meja kerja saya.

“Sudah waktunya, Pak. Beliau sudah menunggu.”

Saya mengembus napas sejengkal, mengangguk, lalu berdiri dari kursi. Menata lembaran-lembaran yang berserak di atas meja kayu, membenarkan letak kalender, bendera merah-putih berukuran kecil yang selalu ada di atas meja, bolpoin-bolpoin, dan meraih ponsel saya. Setelahnya, saya melangkah menuju pintu.

Jala mata saya menangkap tubuh televisi berlayar flat yang setiap hari saya gunakan untuk memantau berita-berita. Saya suka mendengarkan apa yang mereka katakan tentang saya dan negara ini. Saya juga suka melihat guyonan konyol yang dibuat-buat oleh artis-artis yang menamakan diri mereka presenter acara musik, atau melihat berita menyedihkan tentang bangsa saya—bencana alam, kebakaran, pertengkaran antar geng motor, pembunuhan, korupsi, lalu ... pemerkosaan anak-anak.

Ya, saya melihat itu semua di televisi itu.

Pikiran saya tentang lima lembar surat yang saya baca tadi masih saja mengiringi langkah-langkah saya setelah saya meninggalkan ruang kerja dan berjalan menuju pintu keluar Istana Merdeka. Kata-kata lugas khas anak-anak menerobos keluar-masuk dari satu neuron ke neuron berikutnya. Melompat-lompat. Kata-kata sedih yang mengingatkan saya tentang masa lalu.

“Bapak Presiden yang terhormat. Kata ibuku, Bapak orang baik. Kata ibuku juga, Bapak bisa membantu aku, menangkap orang-orang jahat dan menghukum mereka karena sudah berbuat jahat sama aku ....”

“Mamaku selalu menangis setiap kali aku kesakitan saat pipis. Apa Bapak tahu? Rasanya memang sakit sekali, Pak. Karena itulah aku menangis. Tapi aku tidak ingin mamaku menangis. Bisakah Bapak Presiden membantu aku untuk membuat mamaku bisa tersenyum lagi ....”

“Wajah Om itu selalu muncul di mimpi aku, dan aku selalu ketakutan. Aku berusaha bersembunyi di pohon-pohon dalam mimpi aku, tapi Om itu selalu bisa menemukan aku. Bisakah Bapak membawa Om itu pergi, supaya aku bisa tidur nyenyak?”

Mobil terus melaju menuju daerah pinggiran Jakarta Selatan. Saya duduk santai di kursi belakang, menikmati langit. Berkali-kali ponsel saya berkicau, seperti burung-burung milik Romo. Saya tidak mengacuhkan panggilan itu. Saya lebih suka melihat senja yang melata pelan-pelan.

Dua jam perjalanan saya lalui. Mobil sudah berhenti di sebuah rumah besar yang susunan ornamennya masih menganut gaya rumah di zaman penjajahan Belanda. Rumah yang selalu saya datangi setiap hari, setiap sore, tidak boleh tidak.

Saya melangkah keluar dari mobil, mengangguk pada ajudan, lalu berjalan ke arah pintu rumah. Ajudan dan staf khusus kepercayaan saya sudah melajukan kembali mobil, keluar dari pekarangan rumah dan menghilang di antara sela-sela dedaunan trembesi yang masih banyak ditanam di sini.

Saya berjalan sedikit melenggang. Kaki-kaki saya masih menaiki tangga teras satu per satu ketika pintu rumah terbuka dan sosok tegap berwajah garang dengan kumis tebal itu menghambur keluar.

Tumben kowe sedikit telat, Cah Bagus. Ada apa? Terlalu sibuk dengan urusan negaramu?”

Suaranya masih saja berwibawa, dan lembut. Masih sama seperti pertama kali dia berbicara pada saya.

Inggih, Romo. Sedikit.”

Lelaki itu—masih tegap dan gagah walau usianya sudah tujuh puluh tahun—merengkuh kepala saya, kemudian mengecup kening. Saya hanya terdiam. Dia lalu memeluk saya, dan meraih jari-jemari saya, mengecupnya.

“Romo kangen. Kowe jangan terlalu lama membuat Romo-mu ini menunggumu, ya.”

Saya mengangguk.

“Ya sudah, yo masuk. Romo sudah masakin makanan kesukaanmu.”

Lelaki itu tersenyum lembut. Gurat-gurat usianya menebal di dahi ketika dia tersenyum. Saya manut saja ketika dia menggandeng tangan saya dan menggiring masuk. Tidak mampu berbuat apapun, seperti biasa, seperti tahun-tahun silam. Entah mengapa saya tidak bisa menolak keinginannya. Seperti ada sesuatu yang mengikat erat hati saya, disatukan dengan hatinya.

Ya, saya benar-benar tidak bisa menolaknya. Lelaki ini adalah orang yang sama dengan lelaki yang dulu memandangi saya lekat-lekat. Lelaki yang kemudian meminang saya menjadi gemblaknya, menggantikan kakak saya yang bunuh diri.

Dia, Warok Sumitrah.

 

 

Sidoarjo, 191015

 
 
 

Catatan :

Tradisi warok yang memelihara gemblak—pemuda di usia 10-15 tahun—sudah dianggap biasa dan lumrah di kalangan seniman reog di masa dahulu. Konon, untuk menjaga kesaktiannya, seorang warok tidak boleh bersenggama dengan wanita, karena itulah mereka memelihara pemuda yang tampan dan ayu, yang nantinya selain bertugas melayani dan membuat waroknya bahagia, gemblak-gemblak ini juga dilatih untuk menjadi penari jathilan. Biasanya seorang gemblak akan memanggil warok yang meminangnya dengan sebutan ‘Romo’ atau ‘Ndoro’. Seorang warok bisa memelihara gemblak lebih dari satu, dan seorang gemblak bisa saja dipinang dan dipelihara secara bergiliran oleh lebih dari satu warok. Warok dan gemblak adalah catatan kelam dari tradisi bangsa, disinyalir sebagai sebuah praktek homoseksual dan pedofilia yang diselubungi tradisi turun-temurun.

 

 

JAMUAN MAKAN MALAM TUAN BERG (SOLOPOS, MINGGU 29 NOVEMBER 2015)

image : www.decoist.com


Ia merasa, mungkin tak seharusnya ia ada di ruang makan itu. Duduk di depan Tuan Berg yang menatapnya tajam. Mata yang menyimpan dendam padanya. Bisa saja ia mati bahkan sebelum ia berhasil keluar dari rumah mewah pria Belanda itu. Ia berpikir Tuan Berg pasti telah menyiapkan rencana-rencana paling kejam, seperti membubuhi racun di dalam makanan atau minuman, untuk membunuhnya agar Reina bisa didapatkan kembali. Tapi ia tepis pikiran itu. Wajah Reina yang kesakitan dan melolongkan penderitaan di pelukannya dua malam lalu, membuatnya bertahan untuk tetap di tempat itu.

“Aku tidak tahu apa makanan kesukaanmu. Aku berpikir keras agar pertemuan malam ini memberikan kenangan baik untukmu. Dan menyuruh juru masakku yang berasal dari negaramu, Lisa, agar menyiapkan segalanya. Ah, dia perempuan yang susah diatur. Lupakan saja dia. Silakan makan, semoga kau suka dan tidak kecewa dengan pilihanku.”

Ia menelan ludahnya dalam-dalam ketika pria itu mengangkat tangan dan mempersilakannya makan. Sajian khas dari tanah kelahirannya—Sie Itek, Gulai Kambing, secangkir kopi Aceh hitam kental yang mengepul, dan Rujak Aceh dengan parutan es di atasnya—telah memenuhi meja. Aromanya menguar, menusuk-nusuk hidungnya, namun lagi-lagi ia terlalu takut untuk memakannya.

Wajah Tuan Berg seperti berkata “Matilah kau!” setiap kali ia memandangnya. Kebencian sedaritadi ia rasakan menguap dari tubuh pria itu dan memenuhi ruang makan. Semua karena Reina. Ya, semua karena ia telah berani mengambil Reina.

Pertama kali bertemu dengan perempuan itu ia tidak mengira jika Reina telah bersuami. Perempuan itu masih muda, dua puluh tiga tahun. Mereka bertemu di sebuah pameran lukisan. Ketika itu Reina berdiri mematung di depan lukisan yang ia buat. Mata perempuan itu basah. Melihat itu, hatinya trenyuh. Ia melangkah pelan ke arah Reina. Seperti ada magnet di sekitar perempuan itu yang menariknya untuk mendekat.

Reina terkesiap saat melihatnya. Ia pun berdebar-debar. Dengan kikuk ia menyodorkan saputangannya pada perempuan itu. Mereka menikmati keheningan sejenak. Saling bersitatap. Hingga akhirnya, dengan cekatan yang gemulai perempuan itu meraih saputangannya, menghapus air mata dan berucap terima kasih.

Tidak ada manusia lain di antara mereka berdiri. Hanya sebuah lukisan seorang wanita telanjang dada yang mendekam dalam lingkaran sunyi berwarna pekat. Ia dan Reina menatap lukisan itu, menikmati setiap detik yang bermain-main di antara keduanya.  

“Apa kau suka lukisan itu?” tanyanya memecah hening.

“Iya. Lukisan ini menyentuhku.”

“Apa kau tadi menangis karena melihatnya?”

“Sedikit.”

“Itu karyaku.”

“Benarkah?”

Wajah Reina sedikit takjub. Perempuan itu memandanginya dengan bola mata berkesip. Seperti ada kesenangan yang baru saja terbangun dari tidur panjangnya. Lalu meletup-letup.

“Ya. Aku melukisnya ketika merindukan Ibu. Ia sudah meninggal lima tahun lalu. Aku hidup sendiri dan kesepian sejak ia pergi, lalu aku lari ke negara ini.”

“Hmm, menarik. Apa judul lukisan ini?”

“Kematian Ibu dalam Kesunyian yang Lembut.”

“Indah sekali.”

“Ya, aku tahu itu. Tapi sungguh, sebenarnya kematian ibuku tidak seindah lukisan ini.”

Perempuan itu memandangnya dengan tatapan haru. Mereka seperti merasakan kesedihan yang sama dan terperangkap dalam sebuah ruangan yang gelap. Rasa itulah yang membuat mereka saling memahami walaupun baru saja bertemu. Membuat mereka dekat, untuk sama-sama merasakan sepi. Sama-sama mencintai. Dan setelah itu, mereka memutuskan untuk melakukan pertemuan-pertemuan berikutnya. Pertemuan yang hening sekaligus menggairahkan.

“Mengapa kau belum memakannya? Apa kau takut sesuatu akan terjadi padamu?”

Suara berat Tuan Berg menggelegar, membuat ia terbata-bata. Kikuk. Ia tidak tahu akan berkata apa untuk menjawab pertanyaan pria itu.

“Kalau kau berpikir aku akan membunuhmu dengan racun di makanan itu, aku kira itu pikiran konyol. Bagaimana aku akan menyembunyikan tubuhmu yang besar itu di dalam rumahku nanti?”

Tuan Berg terkekeh. Tawa yang menggigit, membuat ia menelan ludah.

Dengan terpaksa ia pun mencoba meraih sendoknya. Jari-jarinya gemetaran. Pikirannya mencoba mempercayai kata-kata pria di hadapannya itu. Tapi wajah Reina yang membiru membuatnya kembali waspada.

“Kau lelaki pendiam dan membosankan. Bagaimana bisa Reina memilihmu lalu meninggalkanku begitu saja? Perempuan bodoh!”

Tangannya terhenti. Ia cengkeram sendoknya kuat-kuat.

Gerimis malam itu mengguyur isi kepalanya. Gerimis di Amsterdam yang begitu dingin menghantarkan tubuh Reina yang kuyup dan gigil. Wanita itu berdiri di depan apartemen miliknya, tanpa payung. Jalanan belum terlalu lengang, dan ia baru saja pulang dari minimarket, berjalan kaki. Ia sangat terkejut. Di matanya Reina nampak begitu rapuh.

“Re—Reina ....”

Dengan lesat ia menghambur ke arah perempuan itu. Didengarnya isakan berat yang memecah suara-suara gerimis. Ia begitu cemas. Reina tidak berkata apapun, hanya melipat sengguk di antara pucuk gerimis yang berjatuhan. Itu adalah malam yang paling menyesakkan baginya setelah lima tahun paling menyedihkan berlalu—ibunya juga meninggal di malam hari, di kala gerimis. Dan ketika ia melihat Reina, ia meyakinkan dirinya sendiri agar jangan pernah kehilangan lagi perempuan yang sangat dikasihinya.

“Tuan Berg, katakan padaku, apa kau benar-benar mencintai Reina?”

Ia menatap pria di hadapannya dengan tegas, mencoba menguatkan dirinya walaupun dadanya masih saja gemetaran. Ia berharap pria itu tidak tersinggung dengan pertanyaannya. Karena, jika Tuan Berg yang tinggi dan besar itu menghantamnya sekali pukul saja, ia pasti sudah pingsan. Atau bahkan mati.

“Mencintainya?”

Pria Belanda itu tertawa. Lebih tepatnya, menertawai pertanyaannya yang dianggap konyol. Suaranya memantul-mantul di dinding ruang makan yang ditata dengan nuansa hitam dan putih. Ada sebuah mini bar dengan tiga lampu gantung di langit-langitnya, tepat berada di belakang punggung Tuan Berg. Botol-botol minuman berjajar rapi di lemari kaca yang merapat dinding. Di sisi kanan mini bar itu ada sebuah pintu kayu berwarna hitam yang berbentuk seperti pintu-pintu bar di kota-kota koboi. Di balik pintu itulah dapur Tuan Berg berada.

“Itu pertanyaan konyol. Kami menikah sudah tentu karena cinta. Apalagi jika bukan cinta, Agam? Tidak ada!” ujar pria Belanda itu. Tangan kekarnya yang ditumbuhi bulu-bulu rambut berwarna pucat kekuningan sedang asyik menyendok makan malamnya—sepiring Stamppot yang masih mengepul, dengan sepotong Rookworst.

Melihat Tuan Berg menghinanya—berbicara tanpa melihat ke arahnya—dadanya seketika meremang, menekuri amarah. Geram. Ia ingat tentang lebam biru di pipi dan mata kiri Reina. Ingat tentang luka cambuk di punggung perempuan itu juga, lalu tangisan Reina yang menyayat di malam gerimis itu. Jika benar pria di hadapannya itu mencintai Reina, bagaimana bisa semudah itu melukainya?

Pria itu iblis. Ia yakin itu.

Di malam dua hari lalu, Reina telah menumpahkan semua derita di telapak tangannya. Ia mendengarkan dengan hati yang melarat-larat. Sesak. Kisah Reina sama dengan apa yang dialami ibunya. Perempuan yang sama, yang menyimpan kepedihan di dalam hatinya. Saking pedihnya, terkadang mereka mengharapkan batu-batu besar bersedia menelan tubuh mereka.

Dulu, ia selalu ingin menolong ibunya yang hidup dalam penyiksaan bapaknya. Ingin membawanya lari, atau membunuh bapaknya itu agar ibunya benar-benar bebas. Tapi kenyataannya, ia tidak melakukan apapun. Ia pengecut kecil, dan itu membuatnya menyesal hingga kini. Hingga ibunya mati.

“Tapi aku mungkin bisa merelakannya bersamamu.”

Mulut pria itu bergumam kembali. Kali ini suaranya tidak terlalu jelas, karena mulut itu baru saja penuh dengan makanan.

“Hanya saja ....”

“Hanya saja apa?”

“Kau harus melakukan sesuatu hal untukku malam ini.”

“Melakukan apa?”

Pria itu menyungging senyum. Senyum yang terlihat jahat di matanya. Ia melihatnya, ada tipu muslihat di mata pria itu. Mata yang berbahaya.

“Makanlah makananmu, Aku sudah bersusah payah menghidangkannya untukmu. Setelah itu, kau boleh pergi dari sini. Selamanya.”

Ia menelan ludah. Jari-jari tangan kanannya masih saja mencengkeram erat sendok perak yang lebih berat daripada sendok-sendok di apartemennya. Dilihatnya pria itu masih saja memandangnya nanap, sambil mengunyah makanan lekat-lekat.

Perlahan ia mengangkat sendoknya, menukil sebagian nasi dan Sie Itek. Ia ingat ibunya sering memasak itu setiap Ramadhan tiba. Ini Sie Itek pertamanya setelah lima tahun berlalu. Matanya ingin leleh, tapi diurungkannya niat itu. Ada hal menakutkan yang sedang menelanjanginya di ujung sana, pada mata pria Belanda di hadapannya. Dalam hati ia menyebut nama Reina, mengucap maaf bila saja setelah malam ini ia tidak bisa kembali pulang.

Malam terus melata. Ujung sendoknya hampir menyentuh bibir, ketika suara napas yang tercekat terdengar di cuping telinganya. Di sisi lain meja makan, Tuan Berg terlihat ketakutan. Pria itu berdiri, mundur beberapa langkah dengan tubuh sempoyongan. Mata biru itu membuntang, bulat, dengan mulut yang mengangah. Suara napas tercekat itu semakin keras, seperti lenguh binatang yang akan dijemput ajal.

Ia ketakutan. Tubuhnya semakin gemetaran. Ia tidak mampu berdiri, walau ingin. Ia hanya duduk di kursinya, mencegkeram sendok peraknya kuat-kuat. Hingga matanya yang basah itu—karena rasa takut yang kuat ia berkaca-kaca—melihat tubuh Tuan Berg roboh, tersungkur ke lantai.

Bibirnya terkatup. Di antara debarannya yang bertalu-talu ia mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi di depannya. Keringat dingin mengucur deras di pelipisnya. Pandangannya tak sedikit pun lepas dari tubuh Tuan Berg yang tersadai, tidak lagi bernyawa.

Ia berusaha mendekat, tapi kaki-kakinya terasa kaku. Ia masih ketakutan. Sejak pertama kali ia menjejakkan kaki ke rumah ini, ia pikir dirinyalah yang akan mati, tapi ternyata tidak. Lalu siapa yang membunuh Tuan Berg? Apa nanti orang itu juga akan membunuhnya? Jangan-jangan dalam makanannya juga ada racun? Ia berpikir keras. Sangat keras. Hingga sosok perempuan yang belum pernah dilihatnya itu keluar dari pintu dapur. Tertatih-tatih, dengan baju yang terkoyak dan rambut yang amburadul. Wajahnya melebam, biru. Entah sudah berapa kali wajah itu beradu dengan tangan yang besar dan gempal.

Lamat-lamat, sosok perempuan itu menyeringai penuh kemenangan.

 

 

Sidoarjo, 271015

Minggu, 01 November 2015

TIGA LUKA


1/

 

Apalagi yang mampu dikata oleh bibirnya? Bahkan ketika jemari Kinanti menyentuh jemari Reynald di atas pelaminan, degup jantung wanita itu seakan berhenti. Keinginannya untuk menghilang mulai mencibir kembali. Setidaknya untuk saat ini, karena hati Kinanti sudah tercabik kepedihan begitu melihat kekasihnya harus bersanding dengan wanita lain.

 

Mata itu memerah menahan tangis. Berpura-pura kuat untuk menghadapi kenyataan. Hiruk pikuk kebahagiaan yang dipancarkan dari ratusan undangan, semakin menusuk jiwanya. Kinanti sadar, dia hanya bagian terkecil dari kesemuannya. Sebuah bagian yang tidak diharapkan untuk datang.

 

Jika bukan karena rengekan Reynald semalam, tidak mungkin Kinanti mau datang memenuhi undangan pernikahan lelaki itu. Dia tahu benar, lukanya pasti akan semakin berwarna merah kesumba. Pahit, dan getir ....

 

“Aku akan menghadap orang tuaku, Nanti. Dan membatalkan pernikahanku dengan Sukma.” Reynald menggenggam erat jemari Kinanti. Bulir-bulir air mata wanita dua puluh tiga tahun itu telah menggenang. Sebuah kenyataan yang selama ini telah ia ketahui, akhirnya harus dihadapi juga. Iya. Bahwa esok, ketika kegagahan mentari mulai menguasai bumi, kekasihnya akan menikah.

 

“Tidak, Rey ..., itu tidak mungkin. Kau harus ingat siapa aku ini.” Suara Kinanti mulai terasa berat dan serak.

 

“Tak masalah bagiku, Nanti. Aku bisa menerima apapun keadaanmu.”

 

“Iya, aku tahu. Tetapi tidak dengan keluargamu, Rey. Lihatlah, aku ini janda. Saat kau membatalkan pernikahan itu demi wanita sepertiku, mereka akan menganggapku sebagai wanita lacur!”

 

Reynald menutup bibir Kinanti dengan kedua jarinya. “Sstt ..., kumohon jangan sebut kata itu lagi.”

 

“Tidak, Rey. Kaulah yang seharusnya menerima kenyataan, bahwa selama ini kau sudah dibutakan hatimu sendiri. Bagaimana mungkin wanita lacurmu ini bisa diterima oleh keluargamu?”

 

Mata Reynald mulai berkaca-kaca. Lelaki itu sangat kesakitan setiap kali mendengar kekasihnya berkali-kali menyebut diri sendiri sebagai pelacur. “Nanti, cukup ..., hentikan. Hatiku tidak pernah salah saat dia mencintai seorang wanita.”

 

Desah kegelapan semakin masyuk dengan bulan dan bintang. Demikian juga dengan lenguh nafas Reynald dan Kinanti. Keduanya masih saling mencari jawaban, atas sebuah rasa yang telah berani menyelinap di antara bilik-bilik hati yang merah pekat.

 

“Besok, aku tak akan datang ke pernikahanmu. Maafkan aku ....” Kinanti berdesis.

 

“Kenapa?” tanya Reynald.

 

“Kau gila apa? Kau ingin aku mati berdiri di sana?”

 

Reynald mengiba. Matanya berusaha menangkap sisi cinta Kinanti. “Datanglah, Nanti ..., please. Tanpa kehadiranmu, hatiku pasti akan mati untuk selama-lamanya.”

 

Kinanti menatap wajah redup lelakinya. Setitik kemarahan terselip, “kau benar-benar lelaki egois, Rey. Bahkan teramat egois!”

 

 

2/

 

Baginya, wanita itu begitu menggoda. Lekuk tubuhnya, cara ia berbicara, binar-binar matanya yang coklat kehitaman, juga bagaimana ia tertawa. Dia sangat cantik! Membuat jiwa kelelakian Reynald tergiur goda.

 

Sekali dua kali, mereka—Reynald dan Kinanti—menikmati malam yang berbinar-binar dalam limbah dosa. Hingga akhirnya kedua anak manusia itupun tergoda untuk mengulangnya kembali, sebuah permainan yang begitu menggiurkan. Tanpa hati, tanpa cinta. Hanya sebuah kesenangan belaka.

 

Hingga lambat laun, waktu menjawab semua rasa. Reynald pun akhirnya benar-benar jatuh cinta kepada sosok seorang Kinanti yang berhati teguh dan kuat. Jiwanya yang mandiri, dibalut dengan kemolekan. Semua yang ada pada Kinanti, bagi Reynald hanya bisa digambarkan dengan satu kata. Seksi!

 

Namun ..., mata Reynald harus dipaksa terbuka. Pikiran jernih itu mengetuk-ketuk hatinya yang lagi terbuai. “Hei, Rey! Bagaimana dengan Sukma, kekasihmu? Wanita yang kini telah kau ikat dengan tali pertunangan itu, bagaimana dengan dia, Rey?”

 

Lelaki itu tersentak. Sebuah nama kembali mengingatkannya pada suatu kenyataan. Sukma ....

 

Hingga kemudian jiwa-jiwanya pun mulai diliputi kabut kekalutan. Membuat hatinya yang mencintai Kinanti menjadi rengsa. Ketidakberdayaan ... Iya, dirinya yang tak lagi berdaya itu semakin lama semakin punah. Karena sebongkah musim, dengan lambat mulai merayap mendekat.

 

Tiga bulan lagi, dia akan menikah dengan Sukma. Lalu, akankah perselingkuhannya dengan Kinanti berakhir begitu saja? Bagaimana dengan hatinya nanti?

 

Reynald pun limbung.

 

 

3/

 

Malam ini, bukan kali pertamanya Sukma menatap wajah Kinanti. Sudah hampir enam bulan dia hafal benar wajah yang telah merenggut hati kekasihnya itu. Sekarang, wanita penggoda milik Reynald itu tengah memberinya sebuah ucapan, “selamat ya atas pernikahannya.”

 

Singkat. Kemudian Sukma melihat wanita itu turun dengan anggun dari panggung pelaminannya. Melangkah menuju tempat di mana ratusan undangan membaur, menikmati hidangan.

 

Sukma memalingkan pendangannya ke arah samping. Dilihatnya Reynald sedang tertunduk. Wajahnya luka. Sukma tahu benar tentang hal itu. Bukankah mereka telah menjalin kasih selama empat tahun? Tidak mungkin jika raut hati Reynald yang sedang tergambar di wajahnya tidak dikenali oleh Sukma.

 

“Cih!” Sukma membuang kepenatannya. Mencibir kepada lelaki mengenaskan yang tengah berdiri di samping.

 

Untuk beberapa menit, pikiran Sukma kembali diingatkan pada kisah sebuah siang hari. Di mana seorang pria tambun dengan wajah jenaka tetapi menyimpan kesan licik, tiba-tiba datang menghampirinya.

 

“Maaf, apa anda yang bernama Sukma?” tanya lelaki itu. Dalam mata yang tertegun karena kaget, Sukma menganggukkan kepalanya. “Ah, syukurlah. Maaf loh, Mbak, jika aku tiba-tiba lancang. Kenalkan, namaku Jimbon.” Lelaki tambun menyodorkan tangannya. Dengan terpaksa, Sukma menerima uluran tersebut.

 

“Hemm ..., Anda siapa ya? Ah, maksudku ada keperluan apa tiba-tiba datang kemari dan mencariku?”

 

Jimbon terkekeh pelan. Binar liciknya mulai tampak semakin jelas. Sukma memicingkan matanya. Rasa curiga mulai timbul.

 

“Aku teman sekantor Reynald, Mbak.”

 

“Oh, lalu? Apa hubungannya denganku ya, Mas?”

 

Jimbon mengulum senyum. Dengan kata-kata manis, lelaki itu mulai bercerita tentang tujuannya datang ke counter sebuah kosmetik, tempat Sukma bekerja. Lalu, dalam denting-denting waktu yang berlalu di antara mereka berdua, Sukma mulai merasa tersakiti akan cerita lelaki asing itu.

 

“Sekarang Reynald sedang menjalin hubungan dengan seorang wanita bernama Kinanti, Mbak. Mereka berdua sudah sering menghabiskan malam di sebuah hotel, atau ikutan dugem dengan kawan-kawan mereka. Aku merasa bersalah jika tidak menceritakan kisah ini. Bukankah enam bulan lagi kalian akan menikah?”

 

Kisah pengkhianatan Reynald yang dibawa oleh Jimbon menghantam tepat di dada Sukma. Hatinya perih seketika. Lalu suara-suara yang diperdengarkan kemudian, sudah lenyap, tak mampu lagi Sukma menangkap kata-katanya.

 

Sejak hari itu, Sukma mencoba menyelidiki kisah Reynald dan wanitanya. Semakin dia mengetahui banyak hal, maka semakin tercabiklah rasa cinta Sukma. Wanita yang anggun dengan pembawaannya yang kalem itu hanya bisa menangis. Meratap pada kebencian dan amarahnya.

 

Lalu malam ini, Kinanti hadir dengan muka tanpa dosa. Seolah tak ada penyesalan terpatut di wajah wanita itu. Sungguh, Sukma hampir tidak mengerti, bagaimana seorang wanita mampu menyakiti hati wanita lain? Bukankah dia juga mempunyai hati? Atau ..., jangan-jangan hati itu telah mati di tubuhnya? Sehingga mampu berlaku jahat pada wanita lain?

 

Kebencian itu pun menyeruak di wajah Sukma. Jaring matannya tidak lepas dari sosok Kinanti, yang jauh di sana, tengah menikmati hidangan bersama kawan-kawannya ....

 

Kini ..., semua telah berlalu. Hingar bingar pesta dengan nuansa Minangkabau itu, para tetamu undangan itu, juga keluarga-keluarga yang sibuk bermesra-mesra itu. Semuanya. Yang tertinggal hanya keheningan.

 

Kamar pengantinnya senyap. Tak ada canda maupun tawa bahagia. Kedua lelaki dan perempuan itu saling bisu. Seolah suara-suara mereka raib, ditelan kenangan tentang Kinanti.

 

Tiba-tiba, Sukma mendekap punggung Reynald. Sangat erat. Lalu sebuah kalimat dia bisikan selembut mungkin di cuping suaminya, “jangan tinggalkan aku, Rey ... Jika kau nekat pergi, dia akan mati.”

 

Hati Reynald tersentak.

 

“Tinggalkan pelacur itu, Rey. Permainan kalian sudah cukup. Mulai besok, kau adalah milikku seorang ....”

 

Reynald menelan ludah. Dia tahu, Sukma tidak sedang mengancamnya. Bukan ... Tetapi istrinya itu sedang menggambarkan perwujudan masa depan yang akan Reynald hadapi.

 

Sebuah kematian ....

 

Reynald menelan ludahnya dalam-dalam. Dalam bayangan kaca rias di kamar pengantin, dia melihat wajah Sukma yang tengah menyeringai jahat.

 

 

 

 

Mei – 2014