Minggu, 01 November 2015

LAKI-LAKI AKAN SELALU MENGENCANI KUNANG-KUNANG

Oleh : Ajeng Maharani


BANYAK yang mengatakan—empat dari lima perempuan yang pernah saya ajak bicara tentang kelelakian tepatnya—bahwa menjadi laki-laki itu tak sesusah menjadi perempuan.


“Kalian bisa tidur sepanjang hari saat libur kerja, dan mengatakan jika tubuh-tubuh kalian butuh diistirahatkan. Sedang perempuan, apakah ada hari untuk libur dari pekerjaan rumahnya?’
 

“Kalian berangkat pagi, pulang malam saat anak-anak kalian telah tertidur, lalu saat pulang masih mengharapkan keceriaan dari perempuan-perempuan kalian, sedangkan yang kalian tampakkan di wajah-wajah itu hanyalah kepenatan yang kalian sebut dengan dada terbusung, ‘kelelahan setelah bekerja seharian’. Tapi pernahkah kalian tahu bagaimana terjungkirbaliknya dunia ketika pagi menjelang malam di dalam rumah-rumah kalian?”
 

“Tak semuanya bisa tiba-tiba menjadi sepiring nasi yang lengkap dengan sayur dan lauk, serta secangkir kopi atau teh hangat di atas meja sementara ada anak-anak yang kerjanya berlompatan, naik-turun tangga rumah, memukul-mukul lemari tanpa sebab, menangis dan berteriak. Jika kalian belum pernah menemui sebuah neraka, lalu ingin mengintip seperti apa itu neraka, tinggallah di rumah bersama anak-anak, sehari saja. Lalu ijinkan perempuan-perempuan kalian jalan-jalan dengan mempercantik diri, menikmati secangkir kopi dan sepotong donat dengan parutan keju dan tumpukan cherri di tempat favorit mereka.”
 

“Dalam diri kalian, kalian suka melihat wanita cantik dengan tubuh tanpa tumpukan lemak di sana-sini. Tapi apakah kalian pernah memberi uang pada perempuan-perempuan kalian dan mengijinkan mereka untuk mempercantik diri? Ya, setidaknya menghilangkan jerawat yang sudah membuat pola layaknya peta dunia di wajah mereka. Pernahkah?”
 

Perempuan-perempuan itu terus bergumul dengan bibirnya tanpa henti. Kata-katanya mencoba menyerang saya dengan menghunus sebilah pisau dapur yang sering mereka gunakan untuk mencacah daging. Tapi saya laki-laki yang pandai berkilah.
 

“Itu karena laki-laki kalian seperti itu dan kalian belum pernah melihat laki-laki seperti saya,” ujar saya. Setelah itu, saya pergi tanpa berbincang lagi.
 

Saya benar, siapa bilang menjadi laki-laki itu tak lebih susah jika dibandingkan menjadi seorang perempuan. Laki-laki pun mempunyai banyak tanggung jawab. Menafkahi mereka—istri dan anak-anak—adalah hal yang utama, dan menafkahi diri sendiri juga keharusan yang wajib kami lakukan agar kami tak kehilangan jati diri dan ego sebagai laki-laki.
 

Laki-laki akan selalu mengencani kunang-kunang sebagai penghibur. Kami menyimpan kunang-kunang itu di mana-mana. Di dalam lemari pakaian, di dalam botol minyak wangi, di bawah kolong tempat tidur, bahkan di balik sikat gigi kami yang tersimpan rapi di dalam kamar mandi.
 

Kunang-kunang itu akan selalu tersembunyi di sana, dan perempuan di dalam rumah kami takkan pernah bisa menemukannya.
 

Ketika kami, para laki, sedang berkumpul sambil menikmati rokok yang menyala-nyala di lipatan bibir, yang kami bicarakan adalah seberapa banyak kunang-kunang yang telah kami miliki, dan apa saja yang telah kami lakukan dengannya. Hei, ini bukan ajang pamer, tapi ini ajang pembuktian bahwa kami benar-benar seorang laki-laki. Semakin banyak jumlah kunang-kunang yang kami kencani, semakin berani kami menyimpan kunang-kunang itu di dalam rumah, semakin tinggi derajat kami di mata laki-laki lain.
 

Perempuan tak bisa paham dengan hal ini. Mereka tak mampu mengerti kalau ini tentang kesejatian kami sebagai laki-laki, karena itulah kami sembunyikan semuanya dari mereka. Buat apa kami jujur jika mereka tak bisa menerima kejujuran?
 

Bagi saya itu seperti sedang memancing dalam kekosongan.
 

Malam ini, saya berhasil mendapatkan satu lagi kunang-kunang. Satu yang terindah, dengan binar yang lebih terang dari kawanannya. Saya pulang dengan wajah cerah. Kunang-kunang itu saya sembunyikan di kelopak mata saya, di tempat paling sudut, di ekor mata. Saya yakin seorang perempuan dengan tubuh layaknya babi di dalam rumah saya takkan bisa menemukannya.
 

“Sudah pulang, Pa? Kok tumben, masih jam segini.”
 

Perempuan itu menyambut saya dengan kata-kata sengit, seperti biasa. Saya melihat sebuah bara di matanya, tapi itu tak membuat saya langsung ketakutan karena membawa satu lagi kunang-kunang untuk saya ajak ke alam mimpi malam ini dan melakukan segala hal gila bersamanya.
 

“Papa capek. Setelah makan mau langsung tidur.”
 

Dia diam, tak membalas ucapan saya. Dia langsung berjalan ke arah dapur. Ada sesuatu tercium dari sana. Aroma yang sangat saya kenal, tapi ingatan saya tiba-tiba tak bisa diajak untuk ikut memikirkannya, bau apakah itu.
 

Setelah berganti baju, saya masih mencoba mengenali bau-bau itu. Ada sesuatu yang hilang, saya makin memikirkannya. Ketika membuang air di kamar mandi pun saya merasakannya. Ada yang kurang di dalam kamar mandi ini. Sesuatu yang sangat saya rindukan. Tapi apa?
 

Seketika itu juga sebuah tamparan mendarat dalam jiwa kelelakian saya. Kunang-kunang di balik sikat gigi—berambut panjang dengan lirikan paling binal—telah menghilang. Lalu saya berlari ke dalam lemari pakaian. Kawannya yang lincah dan selalu menggairahkan juga telah hilang. Saya kelabakan. Saya lihat perempuan itu biasa-biasa saja. Masih sibuk menyiapkan makan malam untuk saya.
 

Mungkin wajah saya benar-benar telah kehilangan darah. Saya limbung. Kunang-kunang yang saya sembunyikan di dalam rumah ini telah lenyap semuanya. Pikiran saya yang penuh dengan kenangan bersama mereka menangis, meraung-raung. Mereka mewajibkan saya untuk menemukan kunang-kunang itu. Lalu suara perempuan gendut itu menepuk kesedihan saya. Katanya, makan malam telah siap. Wajahnya semringah, seperti sangat bahagia karena telah berhasil membunuh saya diam-diam.
 

Saya berjalan lunglai ke arah meja makan. Uap tipis dari mangkok sayur menggelitik cuping hidung saya. Secepatnya saya membelalakkan mata saat melihat isi mangkok itu. Kunang-kunang saya. Mereka mengambang tanpa nyawa bercampur dengan wortel, kentang dan buncis.
 

Perempuan gendut itu menghampiri saya. Di tangannya tergenggam sebilah pisau dapur. Matanya tajam menatap mata saya. Ah, tepatnya, menatap ekor mata saya.
 

“Hidangan penutupnya ada di ujung matamu, Sayang,” ujarnya.
 

Saya mengigil.

 

---

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar