Jumat, 09 Mei 2014

PETUAH EMAKKU



Emakku pernah berkata—saat ia masih kuat untuk membuka bibirnya, bahwa berbagi dengan sesama itu tak perlu menunggu kami berada. Bahkan di saat kami tengah kekurangan pun, jika melihat ada orang yang memerlukan bantuan, wajib memberi.

"Kita manusia diberi hati oleh Tuhan, bukan untuk dibiarkan bisu atau buta. Hati harus tetap hidup, harus peka dengan keadaan sekitar kita. Jika kau memiliki hati yang mati, maka kau takkan mampu merasakan penderitaan orang lain ...." Demikian petuah emakku.

Ibuku memang bukan wanita terpelajar. Hanya seorang wanita berpendidikan Sekolah Dasar, yang memiliki hati sekuat batu. Emakku tidak pernah pantang menyerah dengan keadaan. Jiwa dedikasinya kepada keluarga sudah setinggi langit. Emakku juga terkenal sebagai tetangga yang suka menolong di desa kecil kami—Desa Petegan Makmur. Siapa yang tidak mengenal Suripah—nama emakku? Semua pasti tahu beliau.

Setiap hari selalu ada tetangga yang meminta bantuan emak. Meminta sedikit bumbu dapur, emak memberikannya—walaupun emak juga sedang memerlukan. Atau ketika ada yang berhutang untuk membeli beras, emak juga tak ragu untuk memberikan.

Aku pernah bertanya karena kurang setuju dengan tindakan emak, “mengapa Emak mau memberikan uang terakhir kita untuk dipinjam Dhe Lipa?”

Dengan lembut dan mengelus rambutku yang tertutup jilbab, emak menjawab singkat, “tenang, Jum. Beras kita masih cukup ….”

Dan benar saja. Selama dua hari kami hanya makan beras dengan lauk kerupuk dan siraman kecap seadanya. Bagi emak, selama masih bisa membantu orang yang memerlukan, kenapa tidak?

Bertahun-tahun, bisa dibilang sedikit demi sedikit aku belajar memahami ajaran emak. Bahkan rasa bangga itu muncul perlahan di dalam hati.

Namun, semakin aku beranjak dewasa dan sudah sering melihat ketidakadilan pada kehidupan masyarakat, aku lambat laun meninggalkan wejangan emak. Pikiran logisku sering bertanya pada sang hati, "bagaimana aku bisa menolong orang lain jika aku sendiri pun serba kekurangan?"

Lihatlah keadaan kami sekarang. Emak yang suka mengagung-agungkan prinsipnya itu, kini telah tersadai di atas pembaringan. Diam, dan tak mampu kembali bergerak seperti lima tahun lalu—karena stroke total. Yang mampu digerakkan hanya matanya: mengedip dan melirik. Dari keduanya itulah cara emak berkomunikasi denganku.

Sungguh, kami ini miskin. Bapak sudah tiada. Bukan karena meninggal, tetapi karena lari dengan perempuan laknat dari desa sebelah. Sedangkan aku, bisa apa dengan semua keadaan ini? Umurku baru lima belas tahun. Seharusnya aku masih wajib bersekolah layaknya para gadis yang ada di desaku. Atau bahagia mengecap cinta dari pemuda pujaan.

Tapi kini? Aku harus merawat emak dan kedua adikku yang masih seumur jagung.

Demi kelanjutan hidup, aku harus bekerja sebagai buruh cuci. Belum lagi setiap sore ikut membantu Wak Adul berjualan siomay. Dengan begitu pun semua kebutuhan masih belum kupenuhi. Apalagi, obat-obat emak sungguh mahal. Aku bahkan sudah hampir menyerah dan lari seperti bapak.

Iya. Kadang jiwa mudaku ingin berontak dari kemiskinan ... Apa aku salah? Aku hanya sudah lelah ....

Aku sering bertanya, ke manakah orang-orang yang dulu pernah dibantu oleh kebaikan hati emak itu? Mengapa mereka seolah diam? Berpura-pura membutakan kedua mata dan menutup rapat-rapat telinga mereka.

Saat emak tiba-tiba jatuh tersungkur di depan jalan desa—setelah pulang dari berjualan di pasar, tidak satupun dari mereka datang menolong emak. Sebagian hanya berbisik-bisik. Lalu sebagian lagi malah masuk ke dalam rumah dan menutup rapat pintu mereka.

Untung kala itu ada Wak Adul yang juga baru pulang dari pasar. Dengan dibantu beberapa temannya, Wak Adul membawa emak ke rumah sakit desa. Pertanyaanku tidak berhenti begitu saja di sini—tentang arti sebuah balasan dari kebaikan emak. Namun juga ketika emak harus dirawat inap di rumah sakit dan kami butuh biaya yang sangat besar.

Lagi-lagi orang-orang yang tak tahu balas budi itu menenggelamkan hati mereka dalam kebisuan. Aku yang susah payah mencari pinjaman ke tetangga sekitar untuk menebus obat emak, malah ditolak mentah-mentah.

“Kalau kamu hutang sebanyak itu, mau dibayar pakai apa? Kapan mampu membayar? Emakmu sudah tidak mampu bekerja, bapakmu hanya tukang kuli bangunan. Lalu kamu …? Apa yang bisa kalian janjikan?”

Seketika hatiku mati!

Sumpah serapah dan umpatan terus kudengungkan dalam setiap doaku. Berharap agar mereka dibalas oleh Tuhan. Bagaimana bisa mereka sekejam itu kepada wanita yang pernah menyisihkan uang terakhirnya untuk memberi makan pada mulut-mulut anaknya?

Bertahun-tahun aku hidup menjadi gadis yang sudah kecewa dengan lingkunganku. Sikap mereka yang tidak adil kepada emak membuatku acuh. Jika ada yang datang ke rumah dan meminta sedikit bumbu masak atau sekaleng beras lagi, aku bilang tidak ada (walaupun sebenarnya ada)

Entahlah … Mungkin Tuhan mendengar beribu-ribu keluh dan kecewaku. Hingga akhirnya, kala bulan sabit yang terlihat seperti sedang menertawai kelelahanku malam ini, Tuhan mempertemukan aku dengan ibu itu.

Wajahnya teduh, namun menyimpan rasa lelah yang berkepanjangan. Dia duduk di bawah lindungan pohon mangga yang menjulang di trotoar jalan. Dalam dada kurusnya, dia tengah menggendong seorang anak kecil yang tengah terlelap. Lalu seorang anak kecil lagi—usianya lebih besar dari yang digendong—tertidur pulas di dalam gerobak kayu.

Aku yang sudah kelelahan karena rasa lapar yang teramat, memutuskan untuk beristirahat sejenak di trotoar yang sama. Memang sedari tadi aku hanya makan sepiring nasi waktu pagi hari. Setelah itu kutinggal mencuci baju di rumah Bu Sarmin dan Bu Joko. Kemudian berjualan siomay bersama Wak Adul.

Ibu itu menatapku. Lama dia melihat sambil terus mengatur nafasnya yang hampir putus karena lelah. Kemudian, dengan sedikit berbisik dia bertanya, "kenapa kamu, Dik? Sakit perut ya?"

Kuanggukan kepalaku—masih memegang perut dan meringis karena kesakitan. Sepertinya penyakit maag-ku kumat lagi. Aku takut. Biasanya jika sudah kambuh, aku pasti akan terkapar berhari-hari. Padahal tugas mencari nafkah setiap hari adalah tugasku.

Jangan sampai aku jatuh sakit, ya Allah …, batinku berdecap doa penuh harap.

"Adek belom makan?"

Aku mengangguk lagi. Kali ini kusisipkan senyum sependek jari kelingkingku.

"Sejak kapan belom makan? Jangan sering terlambat, lambungmu bisa berdarah loh," lanjutnya lagi. Aku diam karena masih menahan perih yang teramat menusuk.

Ibu kurus itu tersenyum. Sejenak dia merogoh tasnya yang kucel, untuk mengambil sebuah bungkusan plastik berwarna hitam.

"Ini ada sebungkus nasi. Ikannya hanya telur, tapi makanlah dulu agar perutmu gak kelamaan kosong. Bisa bahaya." Ibu menyodorkan bungkusan plastik ke arahku.

Hatiku ragu. Apakah harus kuterima bungkusan itu lalu melahap isinya, ataukah menolaknya dengan sebuah alasan? Bukan karena apa, tetapi aku hanya tidak tega menerima pemberian dari tangan seseorang yang jauh lebih membutuhkan daripada aku. Bukankah nanti setelah pulang, aku bisa makan di rumah? Itu sih kalau aku bisa melanjutkan perjalanan pulangku. Upah dari Wak Adul memang ada, tetapi itu untuk jatah makan esok hari. Jadi walaupun aku kelaparan, tidak mungkin kupergunakan uang ini untuk membeli nasi bungkus di warung.

"Dek, ayo ..., dimakan nasinya." Ibu masih saja mendesak. Wajahnya berbinar keramahan. Membuatku terhanyut, dan kalah dengan prinsipku sendiri.

Akhirnya kuambil nasi ibu dan melahapnya. Rasa laparku terus menggoda. Nasi putih dan sebutir telur kukus terasa begitu sangat nikmat di lidah. Kudengar ibu malah tertawa kecil melihat caraku makan. “Pelan-pelan makannya, nanti kau bisa tersedak,” sahutnya di sela-sela sunggingan tawa.

Setelah hampir separuh nasi telah kuhabiskan, ibu tiba-tiba berdiri. "Ibu tinggal dulu ya. Masih harus berjalan lagi mencari botol bekas agar besok bisa dapat uang dan membelikan obat untuk anak ibu."

Seketika aku terhenyak mendengar perkataan ibu. Tanganku yang sejak tadi sibuk mencakup nasi pun terhenti. Dadaku sesak. Apa yang baru saja dia katakan? Anaknya sedang sakit …, dan dia sedang bekerja mencari uang untuk membeli obat anaknya? Hingga larut malam? Dia pun tengah kesusahan, tetapi masih saja ikhlas memberikan bungkusan makan malamnya untukku?

Bulir air mataku menetes. Kalimat-kalimat emak yang telah lama kubuang kini kembali memukul-mukul hatiku. Inikah yang namanya berbagi kepada sesama walaupun kita sendiri tengah kekurangan?

Sekilas, sosok ibu mengingatkan aku akan emak yang pernah kubanggakan dahulu. Iya. Ibu asing yang tengah berdiri di hadapanku ini, memiliki prinsip seperti emak. Aku benar-benar bodoh! Hanya kerena rasa kecewa kepada orang-orang yang menyedihkan itu, aku telah membuang hati.

Kuhampiri ibu. Tangisanku masih terisak-isak. Membuatnya heran bukan kepalang akan lakuku. Tiga lembar uang sepuluh ribu kuletakkan di telapak tangannya. "Bu, ini ada uang tak seberapa, ambillah. Untuk berobat adik besok. Terima kasih sudah memberikan makanan lezat itu untukku ...."

Ibu sempat menolak, namun genggaman tangannya makin kurapatkan. Dalam malam yang hampir menenggelamkan manusia dalam mimpinya itu, kami berdua berpelukan sambil menangis. Seucap kata terima kasih disebut lirih oleh ibu. Hatiku tentram. Mungkin demikian pula hati ibu. Aku sekarang yakin, jika hatiku sebagai manusia tidak pernah mati. Dan ajaran emak bertahun-tahun lalu tidak pernah sia-sia ....

Dunia ini luas. Menurutku masih ada seseorang nun jauh di sana, yang masih menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Mau membantu sesamanya, walaupun diri sendiri masih serba kekurangan. Lalu, bagaimana dengan Anda, wahai pembaca? Masihkah hati Anda hidup dan bernafas di dalam sarangnya …, atau bahkan mati dan menutup mata terhadap sesama?

Naudzubillah …, semoga kita dijauhkan dari sifat yang sedemikian ….






Nda, 070514

Tidak ada komentar:

Posting Komentar