Jumat, 06 Mei 2016

AKU YANG GILA, PERNIKAHAN, DAN SINGA LAUT


1. Aku yang Gila dan Anakku yang Menggigil
Aku baru saja menjadi gila, dan terhempas pada ketidakberdayaan. Ibuku datang di pagi dingin itu. Kakinya tidak menapak tanah. Aku melayang-layang di tubuh pagi, menatapi anakku yang diguyur paksa di kamar mandi. Menggigil. Pipinya bengkak karena hantaman seorang lelaki yang ia panggil ayah.
Suatu petang, tidak ada lagi rindu yang menjejal. Rumahku tak beratap lagi. Hujan batu melintas garang. Anakku membuntang, menatapku penuh marah. Kenapa kau tidak menolongku, Bu? Aku tidak bisa, Nak. Suatu hari, aku akan membunuhnya, Bu. Aku terhenyak, lalu menari-nari di dalam kulkas. Kegirangan. Tapi taman mawar di dasterku berdarah. Daun-daun, duri-duri, warnanya merah. Kutemukan tubuhku yang tenggelam di sana. Lalu tubuh anakku.

2. Aku, Kamu, dan Arti Sebuah Pernikahan
Aku tidak sedang telanjang saat kau datang menghampiriku. Matamu menarik-narik paksa kerinduan yang kusembunyikan dari bibirmu. Kamu berubah lebih jalang di siang itu. Lalu napasmu membunuhi dapurku, dan ruang tamuku yang basah, dan kamar tidurku yang menggeliat, dan bathup merahku yang penuh busa. Jangan lupakan aku lagi, ujarmu membabi-buta. Aku ketakutan. Di balik punggungmu, ada hutan kesialan yang siap menelanku. Hitam, dan berkarat.
"Kamu tahu, aku telah menikah."
"Bagiku, pernikahan hanyalah sebuah kekonyolan manusia-manusia yang takut akan kesepian."
Kamu tersenyum, tapi aku tidak.

3. Tentang Singa Laut yang Menjadi Bintang
Di suatu malam yang pikuk, ayahku berubah menjadi seekor bintang. Paling redup dan muram. Ibu berjongkok di atas meja makan. Telur-telur kesedihan menetas di bokong ibu. Ia tidak menangis, atau tertawa. Bibir ibu dikunci kesunyian. Ayah bilang menikah dengan ibu layaknya seorang dungu yang berenang di danau kering. Gersang dan pecah-pecah. Tapi bagiku, ibu adalah sebuah lautan. Ikan-ikan, raja ketam, gurita ungu, lumba-lumba kelabu, melayang-layang di tubuh ibu. Terkadang, aku senang tenggelam di dalamnya. Bergulung-gulung di perut ibu. Tapi aku takut singa laut. Ibu bilang, singa laut adalah ayah. Tapi kamu tidak perlu takut lagi, ujar ibuku malam pikuk itu. "Ayahmu sudah jauh." Aku senang ayah sudah jauh. Tangan ayah terlalu besar. Mengobok-obok tubuhku saat ibu tidak ada.
Hari ini, aku memeluk ibu erat-erat (ia masih jongkok di atas meja makan), lalu terjun kembali di dalam lautan, di tubuh ibu. Berenang-renang. Jumpalitan. Akhirnya aku tahu, ibuku seorang penyihir. Dia menyihir ayah menjadi bintang. Paling redup dan muram. Dan ibu tidak menangis.


- Sidoarjo, Mei 2016