Jumat, 11 Desember 2015

SUATU PAGI YANG PIKUK

Oleh: Ajeng Maharani
 

 

Aku harus bergegas. Itu saja yang selalu berulang-ulang kuucap dalam hati. Aku sudah tak ingin semakin tenggelam dalam ketidakberdayaanku, dalam sikap-sikap pasrahku yang terlalu konyol. Pagi pukul enam aku sudah duduk di salah satu bangku halte yang muram. Kesedihan terpancar begitu jelas pada tiang-tiangnya yang berkarat. Tak ada yang terlalu menggairahkan bagiku di pagi ini, tidak setelah seorang perempuan datang dan duduk di sampingku.

Bajunya begitu lusuh, hanya sebuah terusan panjang berwarna abu-abu tua. Rambut-rambutnya berantakan, seperti sudah berhari-hari rambut itu tak pernah disetubuhi air. Ia perempuan paling diam yang pernah kutemui. Sejak ia bersamaku di sini, tak sekali pun kudengar desahan suara dari bibirnya yang kering dan sedikit pucat itu.

Aku hanya bisa melihat raut mukanya yang gelisah, dengan bola mata yang basah. Kukatakan kami hanya bisa duduk tanpa saling berusaha menyapa. Aku tahu matanya, demikian pula mataku, begitu sasar menyapu suasana pikuk terminal di pagi hari. Melihat manusia-manusia dikejar oleh gumpalan waktu yang melayang-layang. Satu orang satu gumpalan waktu, berdenyut-denyut dan melayang di atas kepala mereka. Wajah mereka begitu panik, begitu tertekan. Mereka saling dorong berebut angkot, berdesak-desakan, berbicara dengan berteriak seakan-akan mereka hidup di belantara yang bising.

Otakku tiba-tiba saja mengetuk-ngetuk tempurung kepalaku ketika teringat kata bising. Kata yang pagi ini seharusnya telah kutinggalkan bersama mereka di dalam rumah kami yang begitu kesepian. Rumah yang bahkan tak pernah dikunjungi oleh wajah-wajah tertawa, atau senyum, ataupun bahagia.

Seorang laki-laki tua berjalan melintasi kami dari arah pasar. Dia memanggul karung goni yang menggelembung, sambil menenteng setandan pisang. Kaki-kakinya begitu lamban, terdengar seperti suara keluhan dari sela-sela sendal yang sudah menipis di bagian belakangnya itu. Kaki-kaki lambannya bersusah-payah membawanya menghampiri seorang tukang becak yang tengah berjongkok sambil mengibaskan topi jeraminya. Tukang becak menguap, mengucak mata. Aku berani bertaruh lelaki itu tidak tidur semalaman karena asyik bermain domino atau catur.

Perempuan lusuh di sampingku masih bergeming. Entah apakah perasaanku atau apa, sepertinya tubuh itu menggigil. Wajahnya semakin pucat, dan kering. Akankah ia mati, di sini?

Mataku kembali menikmati kebisingan terminal. Nampak sebuah bemo baru saja datang dari arah pintu masuk. Pelan-pelan dia menelusuri terminal lalu menempatkan bokongnya di deretan paling belakang antrian bemo yang lain. Itu bukan bemo yang sedang kutunggu. Seharusnya bemo yang datang berwarna hijau lumut, agar aku cepat pergi dan bebas. Tapi nyatanya, bemo itu berwarna merah bata. Kulihat supir bemo itu turun, bercengkrama dengan seseorang yang kuduga itu adalah kernetnya lalu membuang matanya ke arahku. Kami sempat beradu pandang sepersekian detik, lalu aku memalingkan muka dari wajahnya yang dipenuhi oleh cambang dan mata yang mendelik seakan ingin melompat keluar dan berlari menuju arahku.

Ibuku dulu pernah berceloteh, gadis kecil tak seharusnya berkeliaran tanpa pendamping, karena begitu banyak monster bernama laki-laki yang siap menerkam. Tetapi saat ini aku bukan lagi seorang gadis kecil, aku empat belas tahun. Aku seorang remaja yang sudah terlalu sering dibosankan dengan keadaan, jadi ibuku harus mengerti akan hal itu.

Aku sebut ibuku adalah peluit kereta api yang tak bisa diam. Bising dan karatan. Sedang ayahku adalah lelaki yang seakan-akan menyimpan begitu banyak tumpukan batu bara di dalam perutnya. Batu-batu itu siap dibakar, panas dan meledak-ledak. Ibu dan ayah adalah satu-kesatuan, mereka kereta api yang selalu memaksaku untuk berlari, berlari dan berlari sepanjang rel agar aku tak tergilas oleh roda-roda mereka.

Apakah aku mencintai keduanya? Jika aku mencintai mereka, lalu untuk apa pagi pukul enam di hari Sabtu yang pikuk aku sudah berada di sini?

Tiga orang wanita berkerudung dengan keranjang penuh belanjaan—beberapa helai daun dan bongkahan kentang menyembul keluar dari bibir keranjangnya—datang dan duduk sedikit berjauhan dari kami. Tapi aku masih bisa mendengar suara mereka yang mericis seperti hujan, bercuap-cuap tentang kenaikan harga cabai rawit, telur ayam dan beras hari ini. Juga tentang betapa menyesalnya mereka dulu mencoblos wajah lelaki bernomor dua.

Aku sedikit merasa geli. Wajah mereka bersungut-sungut, marah. Sama seperti wajah ibuku ketika uang pemberian ayah terlalu kecil untuk menghidupi enam kepala sekaligus. Semua ibu akan berwajah sama ketika uang belanja mereka berada pada posisi memprihatinkan, bukan? Semua tahu itu. Dan setidaknya aku sedikit terhibur dengan obrolan mereka.

Ketika aku asyik menguping, perempuan yang sedari tadi duduk di sampingku tiba-tiba bangkit. Kulihat tubuhnya semakin menggigil. Kaki-kakinya seakan ingin melangkah tapi terlihat seperti tertahan sesuatu. Bibirnya terbuka setengah senti, binar matanya semakin basah.

Aku penasaran. Kuikuti ke mana arah matanya itu ditambatkan. Tiga bocah berseragam cokelat nampak bercengkrama sambil berjalan. Salah satunya tertawa lebar, satunya lagi menepuk pundak kawannya dengan keras, sedangkan yang terakhir hanya sibuk manggut-manggut dengan bibir yang komat-kamit. 

Perempuan di sampingku masih bergemetar. Jari-jemarinya diremas-remas. Bibir keringnya digigit. Kegelisahan yang sedari tadi nampak di wajahnya semakin memuncak. Lalu, ketika ketiga bocah itu semakin mendekati tempat kami berada, perempuan di sampingku dengan tergeragap menyembunyikan tubuhnya di belakang tubuhku. Ia menundukkan kepala. Rambut-rambutnya yang berantakan sebagian menutupi wajahnya dari samping.

Menit-menit berlalu dengan begitu mencekik—sama sesaknya dengan ketika setiap malam kudengar ayah dan ibuku saling berteriak, memaki, diselingi suara-suara benturan di tembok rumah. Ketiga bocah itu mulai menjauh pelan-pelan. Terminal pagi yang begitu pikuk, detik-detik yang mencekik, dan di balik punggungku, terdengar suara isakan yang tertahan.

 



Sidoarjo—2015

 

AKU BERKISAH TENTANG LELAKI TERHEBAT, KUTUKAN, DAN KEMATIAN IBU

Oleh: Ajeng Maharani

 
 

Bapakku seorang ayah yang hebat. Ia terbaik dari yang pernah ada. Aku mempunyai impian, kelak saat aku memiliki anak, aku ingin anak-anakku pun bisa merasa bangga mempunyai seorang ayah seperti bapakku. Karena itulah aku bertekad menikahi lelaki terbaik yang pernah aku temui suatu hari nanti. Tapi, akibat ketololanku sendiri, anak-anakku tak pernah mempunyai seorang ayah yang hebat. Aku menikahi lelaki paling bodoh dan konyol yang pernah kujumpai. Bahkan lebih konyol dari tumpahan selai cair di baju kerjaku saat aku menggigit roti panggang yang masih panas.

Kehebatan bapakku bukan karena ia seorang yang kaya raya. Ia bahkan tak mampu membelikan tas baru ketika kenaikan kelas, seperti seorang ayah kebanyakan yang menghadiahkan sesuatu untuk anak-anaknya yang telah berhasil dalam belajar. Bapak hanya akan mengumpulkan kain-kain perca dari sisa jahitannya, beraneka macam motif lalu menyambungnya menjadi sebuah tas bahu yang lucu. Saking lucunya, setiap anak yang melihatku pasti akan menertawakan dan berbisik-bisik. Mereka pikir itu adalah lelucon paling hebat, dan tas bikinan bapakku membuatku bertambah muram.

Aku adalah anak pertama darinya, seorang gadis satu-satunya dari lima bersaudara. Bapak menjulukiku ‘Putri’ walaupun rumah kontrakan yang kami tempati jauh dari sebutan pantas untuk sebuah istana. Rumah itu tak beratapkan genteng, tapi memiliki sekumpulan asbes yang meliuk-liuk. Setiap waktu asbes-asbes itu memaksa kami untuk mandi keringat, apalagi ketika matahari pecah tepat di atas kepala. Tak ada dinding bata di rumah kami, maksudku rumah kontrakan kami. Sisi-sisinya hanya dibatasi kayu triplek tebal, yang memisahkan kami dengan rumah di samping. Apapun bisa kami dengar dari rumah sebelah. Suatu ketika terdengar suara aneh dari sana. Aku tahu itu suara lelaki dan perempuan yang sedang beradu napas. Napas yang saling memburu satu sama lain. Aku membayangkan napas-napas itu berlarian dan bergumul seperti keempat adikku yang tak pernah bisa diam. Ketika kutanya suara apakah itu, ibuku menjawab bahwa itu suara tetangga kami yang sedang bercanda, dan candaan anak-anak tak pernah sama dengan candaan orang-orang yang menyebut dirinya dewasa, karena itulah kami tak bisa paham maksud perkataan Ibu. Tapi beberapa tahun kemudian, ketika Ibu mati dan bapakku kesepian, aku mulai paham mengapa orang-orang dewasa senang bercanda dan butuh bercanda.

Ibu seorang wanita pemurung sedangkan Bapak adalah ayah yang lihai mengambil hati anak-anaknya ketika kami marah atau merengek meminta sesuatu yang takkan pernah sanggup ia penuhi. Bapak juga pandai bertukang, membangun sebuah rumah, bermain-main dengan listrik, menggambar komik, membuatkan baju untuk anak-anaknya, membenahi mainan-mainan yang rusak, membuat pedang dari pelepah daun pisang juga pandai memasak singkong rebus yang dilumuri gula merah. Aku selalu memimpikan suami yang bisa segalanya seperti bapakku, tetapi ketika lelakiku menjerit ketakutan saat melihat seekor katak yang masuk ke dalam rumah, atau memaki-maki sebuah kotak listrik yang kabel sekringnya meleleh, aku semakin yakin dia bukan ayah terbaik untuk anak-anakku.

Aku menikah dengannya karena dia sudah terlalu sering menanamkan benih dalam rahimku, sehingga di tahun kedua kami berkasih-kasih, benih itu tumbuh dengan begitu sehatnya. Kami sudah berusaha membunuhnya dengan cara apapun itu, tetapi benih di dalam rahimku seakan memang ingin ikut bersama dan menjadi bagian dari kami. Bapak begitu kecewa, cintanya padaku teramat besar. Bahkan semakin membesar sejak ibuku mati.

Kematian Ibu menjadi sebuah aib dalam keluargaku. Ibu yang pemurung ternyata menyimpan begitu banyak rahasia kekesalan pada kemiskinan yang Bapak berikan padanya. Ibu lebih memilih mati daripada terus-terusan melihat kemiskinan menari-nari di dalam rumah kontrakan kami. Ketika itu mendung menggulung dirinya sendiri, lalu menumpahkan benih-benih kepedihan laksana tangisan Bapak yang kehilangan istrinya. Berminggu-minggu Bapak berkabung. Keahliannya sebagai ayah yang terhebat tiba-tiba luntur. Aku sudah sering berusaha memunguti beberapa puing yang diluruhkan Bapak, berharap ia kembali menjadi dirinya yang dulu, tetapi Bapak ternyata terlalu kecewa dengan keputusan Ibu.

Kematian Ibu membuatku menjadi seorang budak di rumahku sendiri. Sebelum berangkat sekolah, aku harus bangun lebih pagi dari biasanya, menyiapkan makanan, pakaian sekolah adik-adikku, juga mengatur satu-persatu dari mereka. Mulai dari membangunkannya dari mimpi-mimpi yang pembohong besar, memandikan, memakaikan baju, sepatu hingga menyuapkan makanan ke mulut mereka yang rewel.

Aku semakin mirip Ibu. Suka berteriak, marah-marah, lalu murung. Sudah lama aku tahu jika wajahku memang menjiplak wajah Ibu, tetapi sebelum kematiannya aku lebih ceria dan bersinar. Bapak sering melamun memandangiku. Ia katakan aku makin mirip Ibu, dan ia benar. Aku sebenarnya tak mau jika dikatakan mirip dengan ibuku hanya karena kami memiliki wajah yang sama, rambut yang sama-sama keriting, dan tubuh tinggi dengan bokong yang melebar, lalu akhirnya menjadi perempuan pemurung seperti dia. Walaupun itu benar, tapi aku tak seperti Ibu yang begitu mudahnya membunuh dirinya sendiri karena keputusasaan yang tak bisa dia telan. Aku lebih kuat. Aku lebih dewasa. Bahkan ketika Bapak yang kesepian dan merindukan ibuku itu datang padaku lalu menyenggamaiku, aku tak pernah menangis atau memutuskan untuk mati. Tidak.

Berkali-kali setiap Bapak merindui ibuku, ia pasti berkelamin denganku. Cintanya padaku sudah berubah, tak lagi sebagai anak. Itu bukan suatu masalah bagiku, asalkan Bapak tak lagi mendung dan menumpahkan hujan di dalam rumah kontrakan kami. Aku ingin Bapak bahagia dan kembali menjadi ayah yang hebat bagiku dan bagi keempat adikku yang masih terlalu kecil untuk kehilangan sosok ibu dan ayah. Aku membiarkan cinta Bapak pada Ibu menjadi bagian dari diriku, dan segalanya menjadi sempurna kembali. Tapi, ketika ia tahu aku sudah memiliki benih di dalam rahimku dari seorang lelaki yang bahkan tak lebih hebat dari dirinya, Bapak terpukul sekali lagi. Ia bahkan mengurung diri, menjadi mendung lalu menghujani rumah kontrakan kami hingga banjir.

Hari itu seolah tsunami menerjang rumah kontrakan kami. Aku menjinjing kebaya murahan yang kusewa dengan harga duaratus ribu rupiah, sambil menerima para tamu. Bapak menghilang. Ia menenggelamkan dirinya sendiri ke dalam banjir yang dibuatnya. Menyedihkan. Tetapi mau tak mau aku harus menikahi lelakiku agar benih ini memiliki seorang ayah.

Lelakiku seorang pria yang manja, kerjanya hanya tidur hingga siang hari lalu bertepuk tangan layaknya badut berhidung merah saat hidangan makan telah siap di meja. Dia kerja dan pulang ketika pagi masih buta, padahal pukul sepuluh malam dia sudah keluar dari kantornya. Aku sudah terbiasa hidup menyedihkan, jadi tak sekalipun aku berusaha bertanya kepadanya ke mana dirinya hingga baru pulang di jam segitu. Kesunyianku membuat dirinya makin berkuasa. Makin merasa menang atas diriku dan berhak menjungkirbalikkan kebebasanku. Dia semakin lihai menyimpanku dalam ruang hampa dan menjejaliku biji-biji kesepian. Aku muak. Bahkan setiap kali bercinta dengannya aku membayangkan sosok lelaki lain yang lebih hebat darinya. Apa kau tahu? Itu bapakku. Bapak lebih tahu apa itu cinta daripada lelakiku yang manja, bodoh dan konyol.

Dulu, aku tak pernah tahu dan mengerti tentang keputusasaan yang dipeluk Ibu hingga akhirnya dia memilih mati. Tapi sekarang, saat aku menjadi seorang istri, menikah selama lima tahun dan memiliki dua anak yang selalu membuatku gila, aku jadi ingin menjumpai Ibu dan berkata, “Ibu, akhirnya aku paham tentang penderitaanmu.” Aku akhirnya paham, menjadi perempuan itu adalah hal yang paling menyedihkan sekaligus sebuah kutukan yang panjang. Kutukan yang pada akhirnya nanti akan membunuh mereka yang kalah, dan akan menelan secara pelan-pelan seluruh tubuh mereka yang memilih berjuang dan bertahan.

Di suatu hari yang lembab, aku berdiskusi dengan diriku yang lain. Kami harus segera menuntaskan segala-galanya, pikirku hari itu. Aku bertanya, “Bagaimana dengan kau, apa yang akan kau pilih?”

“Tentu saja aku takkan mau ditelan pelan-pelan oleh kutukanku. Kau tahu, bukan, itu sama saja menyerah lalu menerima kekalahan dengan memotong kedua tanganmu sendiri.”

“Jadi kau lebih memilih mati seperti Ibu?”

“Tidak. Aku tak sebodoh Ibu. Aku ini kuat, dan dewasa. Aku takkan bunuh diri dan menjadi kalah.”

“Lalu?”

Udara yang lembab membuatku hampir muntah. Aku yang lain tak menjawab pertanyaan terakhirku. Aku yang lain diam, sambil menunjukkan padaku seringai paling menakutkan yang pernah kulihat dari bibirku sendiri. Seringai keji yang seakan-akan siap membunuhi siapa pun yang kuanggap manja, bodoh dan konyol. Keesokan harinya, kutemui diriku dan anak-anakku menjadi benar-benar sendiri dan damai di dalam rumah kami.

Kutukanku telah lenyap.

 

 

 

Sidoarjo, 030515

 

 

 

 

 
 

WANITA YANG DADANYA MELEDAK DI SUATU SORE


Oleh : Ajeng Maharani

 

Jangan mengguruiku atau mempertanyakan tentang bagaimana aku melayani suamiku, ujarku sore itu padanya. Dia menatapku tanpa berkedip, lalu tersenyum. Dia bertanya apakah aku sedang marah padanya. Walaupun iya aku marah, dia bisa paham tentang itu. Tapi tidak. Aku tidak sedang marah, hanya tak suka dia bertanya hal-hal bodoh seperti itu setelah berkelamin dengan suamiku.

 

Aku tahu, mungkin saja dia merasa lebih karena tubuhnya dibutuhkan sebagai bahan pemuasan ketidakpuasan. Mungkin juga dalam otaknya dia berpikir aku tidak becus sebagai seorang istri. Dengan lihainya dia umbar kegiatan ranjangnya padaku. Bicara tentang betapa besar libido lelaki yang sudah kunikahi selama tiga tahun itu.

 

Dia juga katakan mereka menyimpan foto-foto bugil dan sering saling mengirimnya di chat mereka yang membara. Juga menyebutkan tempat-tempat, pantai-pantai, dan hotel mana saja yang mereka kunjungi, lengkap dengan tanggal dan bulan yang sangat dia ingat, seolah-olah dia mesin pengingat yang berjalan.

 

Mendengar ucap demi ucap yang dia pecahkan sore ini di teras rumahku, membuat aku muak dan ingin muntah. Tapi bagaimanapun aku harus tetap berusaha tenang menghadapinya. Aku tidak boleh nampak menyedihkan di hadapannya. Tidak boleh!

 

“Kalau kau mencintai suamiku, silakan saja nikahi dia. Aku tidak keberatan, kok,” ujarku santai.

 

“Maaf, Mbak. Tapi aku sudah kecewa sama suamimu. Kukira dia benar belum berkeluarga, tapi dia banyak menipuku.”

 

“Ya, jelas saja kau tidak akan mau hidup sama lelaki yang tidak kaya dan memiliki bocah dua tahun seperti dia. Kau tidak ingin bebanku berpindah padamu, bukan?”

 

Dia diam. Aku jelas paham isi hatinya. Dia perempuan muda yang cantik, gaya berpakaiannya pun mewah. Lalu kulit licinnya itu, atau rambutnya yang jatuh-jatuh bergelombang itu, yang kuyakini pasti semua yang ada pada dirinya jauh lebih mahal dari uang belanjaku satu bulan. Sudah tentu dia tidak rela jika pada akhirnya akan menjadi pembantu rumahan seperti apa yang sudah menjadi kutukan bagiku.

 

“Mbak tidak takut kehilangan suami Mbak?” ujarnya pelan. Suaranya seperti bisikan-bisikan angin yang mengatakan ingin membelai rambutku lalu mencambaknya kuat-kuat. Dia masih saja berusaha ingin mencari sisi kemarahanku. Aku yakin itu.

 

Aku akhirnya menggeleng saja. Buat apa aku takut? Ketakutan bukanlah lawan dari seorang wanita yang sudah menutup hatinya, bukan?

 

“Apa Mbak mau cerai?”

 

“Entahlah, masih kupikirkan itu.”

 

Dia diam.

 

“Kau lihat, kan, lelaki itu tidak berani pulang saat kau ada di sini.”

 

“Iya.”

 

Kami diam kembali. Mata-mata kami menjadi sibuk menelanjangi halaman rumah yang sore ini belum kubersihkan dari daun-daun mangga yang ranap.

 

Sebenarnya, sebelum perempuan dengan buah dada yang hampir meledak dalam sarangnya itu datang, aku sudah katakan pada suamiku untuk segera pulang dan menjumpai kami. Menjumpai untuk bertanggung jawab sebagai laki-laki sejati. Tapi sampai hampir dua jam berlalu, dia tidak juga datang.

 

Dalam pesan singkatnya dia marah, mengapa harus bawa-bawa perempuan itu ke rumah. Aku katakan karena hubungannya sudah terlalu jauh, dan sudah sepantasnya perempuan itu kuundang untuk saling bicara. Tapi tetap dia tidak bisa terima itu.

 

Aku yakin dia hanya ingin menghindar dan tidak mau disalahkan. Laki-laki derajatnya memang tinggi, tidak mungkin mau untuk sujud di kaki istrinya untuk meminta maaf, bukan?

 

Dia benar-benar seorang pengecut handal.

 

“Mbak, aku harus segera pulang. Sebentar lagi tugas ngajarku tiba. Maaf aku tidak bisa lebih lama lagi menunggu.”

 

Aku mengangguk. Mafhum.

 

“Mbak jangan khawatir. Aku sudah lepaskan Mas Pri. Dia milik Mbak, bukan milikku. Maaf jika aku sudah membuat Mbak sedih, tapi aku juga sedih karena aku di sini juga sebagai korbannya. Mbak paham, kan?”

 

Aku mengangguk lagi. Jika ingin mendebat kata-katanya, itu sudah kulakukan sejak tadi dan menumpahkan kemarahan. Bisa saja ia kutikam atau meracuni minuman yang kusuguhkan padanya. Tapi aku tidak suka menjadi diriku yang mudah meluap-luap dan meledak amarah. Aku juga tidak mau jadi pembunuh murahan. Tidak. Aku ingin jadi lebih elegan.

 

Perempuan itu menyalamiku dengan pipi yang ditempel-tempelkannya pada pipiku. Aku menerimanya begitu saja, tanpa perlawanan. Aku bahkan melemparinya senyuman hangat, lalu mengantarkan punggungnya menghilang di pagar rumah.

 

Untuk beberapa saat, aku masih diam berdiri di tepi pagar, hingga ponselku berbunyi lantang, selatang gemuruh dada yang sedari tadi kutekan-tekan kuat.

 

“Bagaimana? Kau sudah siap? Dia baru saja pergi.”

 

“Iya.”

 

“Bagus. Lakukan saja. Apa kau bawa teman?”

 

“Iya.”

 

“Bagus. Selamat menikmatinya.”

 

Setelah kututup ponsel hitam itu, aku melangkah kembali ke dalam rumah. Anakku menunggu. Dia sedang bermain bersama bonekanya. Sebentar lagi malam, dan aku harus mempersiapkan langkah-langkah untuk keesokan harinya. Langkah-langkah yang elegan untuk suamiku tercinta.

 

 

Sidoarjo, 2015

 

  

SEBUAH JALAN YANG SALAH


Oleh : Ajeng Maharani
 


 

Apa yang bisa dilakukan seorang mahasiswa miskin sepertiku saat sedang butuh sedikit hiburan, selain jalan kaki seorang diri di malam hari tanpa tujuan? Tidak ada. Ya, begitulah, kukira tidak ada.

Sigmund Freud terlalu gila. Dan lelaki itu berhasil membuat orang lain ikut gila karena teori-teorinya yang rumit, bahkan setelah ia mati. Menakutkan. Mungkin otaknya yang terlalu besar dan kecepatan koneksi neuronnya seratus tingkat lebih tinggi dari manusia normal hingga ia bisa secerdas itu. Atau bisa jadi otakkulah yang terlalu kecil hingga tidak mampu memahami psikoanalisisnya. Entahlah. Otakku sudah terlalu banyak dijejali dengan kebutuhan keuangan yang sedang memprihatinkan. Aku sedang tidak ingin berpikir tentang apa-apa lagi sekarang.

Kurasakan kegelapan telah menyergapku dari segala arah. Kegelapan yang benar-benar pekat. Langkahku sudah terlampau jauh dari tempat seharusnya aku berada. Ya, ini bukan jalanan yang biasa kulalui ketika berangkat ke kampus. Ini sesuatu yang beda. Sesuatu yang pernah diucapkan ibu ketika aku masih kecil dulu, “Jangan pergi terlalu jauh dari rumahmu, atau hantu-hantu yang keji akan memakanmu!” Dan ibu berhasil membuatku menjadi lelaki yang pengecut karenanya.

Ibuku hanyalah seorang penjahit rumahan yang bercita-cita ingin menjadikanku manusia yang lebih sukses dari dirinya. Ia perempuan tangguh. Sejak ayahku pergi melupakan kami, ibu menjadi satu-satunya orang yang menghidupi keempat anaknya. Ia menanamkan harapan besar di kedua bahuku. Sebuah benih yang tidak mungkin bisa begitu saja kucabut akar-akarnya dari sana. Ibu sudah terlalu tua dan lelah.

Dulu, setiap malam ibu selalu bercerita tentang segala hal. Hal-hal yang bagi anak-anak seusiaku adalah sesuatu yang mengerikan, walaupun aku tahu tujuan ibu hanyalah menakut-nakuti agar aku tidak pergi jauh darinya. Tidak jadi lelaki seperti ayah. Cerita kesukaan ibu adalah tentang wanita berambut panjang dengan mata merah dan mulut yang memanjang hingga ke telinga. Wanita yang akan menculik anak-anak jika mereka bermain terlalu jauh. Mereka akan dibawa ke dunianya, diasuh sebagai anaknya, dan diberi makan belatung atau nanah busuk. Membayangkannya saja aku sudah ingin muntah.

Dengan rasa was-was, mataku sasar mengelilingi kegelapan. Aku sendirian. Aku baru sadar kalau aku benar-benar sedang sendiri. Seketika tubuhku menggigil. Seperti ada sesuatu yang meniup tengkukku. Sesuatu yang dingin, yang menjalar pelan dari tengkuk hingga ke punggung.

Baru seminggu aku pindah tempat kos, mencari yang lebih murah walaupun jaraknya lebih jauh dari kampus. Walaupun baunya lebih buruk dari tempat kos sebelumnya—bau seperti bangkai tikus berusia lima hari. Aku belum hafal benar tentang lingkungan ini. Tapi ada satu hal yang akan selalu kuingat. Ya, hanya satu hal itu saja. Dan itu semakin membuat nyaliku menciut.

Pohon beringin itu tepat berdiri tiga meter dari tempatku mematung. Aku menelan ludah. Menatap pohon besar itu dari bawah hingga ke atas. Pelan dan pelan. Gelap. Begitu kokoh dan besar. Ranting-rantingnya bergerak-gerak tertiup angin, mengeluarkan suara derik yang menyayat-nyayat telinga.

Ingatanku mundur ke belakang, pada hari pertama aku menempati kamar kos. Ali, teman sekamarku berkata tentang pohon angker yang dekat dengan tempat kami. Pohon beringin yang katanya sudah banyak membuat orang ketakutan. Pohon itu tidak bisa ditebang, tidak bisa dibakar, tidak bisa dihancurkan oleh apapun. Kabarnya, ada hantu perempuan yang gentayangan di sana.

Aku kira cerita Ali hanyalah sebuah sambutan selamat datang dan sebuah peringatan yang dilebih-lebihkan. Satu sisi aku menganggap ucapannya terlalu konyol untuk dipercaya. Hei, aku bukan anak-anak lagi. Tapi di sisi lain, Ali berhasil membuatku menanamkan sebuah peringatan di otakku; jangan pernah melewati jalan yang mengarah pada pohon itu. Dan sialnya, karena memikirkan teori-teori Sigmund Freud, aku akhirnya berdiri di sini. Freud benar-benar membuatku sial!

Aku harus segera kembali. Aku harus memutar kaki dan pulang. Harus. Aku terlalu takut untuk meneruskan perjalananku dan melewati pohon itu. Ini adalah jalan yang salah!

Kaki-kakiku terasa gemetaran ketika aku hendak memutarnya. Saat seperti ini, di film-film horor aku yakin ada sesuatu yang tiba-tiba menyergapku dari belakang. Ia akan melolong terlebih dahulu, lalu menerkam bahu atau kepalaku dengan moncongnya yang kokoh, kemudian mencabik-cabiknya hingga daging-dagingku berhamburan. Atau mungkin akan ada seorang psikopat dengan topeng badut dan sebilah pisau dapur yang baru saja ia beli di toko peralatan rumah tangga. Menerjang sekuat tenaga, menghantam kepalaku hingga segalanya di mataku nampak berputar-putar, lalu ia akan menusukkan pisaunya ke dada atau perut. Berkali-kali. Satu. Dua. Tiga. Menikam lagi. Empat. Lima. Enam. Ususku akan berhamburan ke tanah dan darah akan menciprati wajahnya yang tertawa kesetanan.

Aku menelan ludah. Kucoba menepis pikiran bodohku, tapi terasa ada sesuatu yang menjalar lagi di tengkukku. Angin? Entahlah. Sesuatu yang sangat dingin tapi lunak. Seperti ujung jari yang direndam di dalam air es selama berjam-jam.

Tunggu! Aku bilang apa barusan? Uj—ujung ja—ri?

Aliran darahku terasa seperti berhenti seketika, sepersekian detik, lalu jantungku berdegup kencang. Sangat kencang. Tubuhku gemetaran. Bayangan ibu melintas, tersenyum, lalu pecah. Aku ingin berlari, tetapi kaki-kakiku seperti melekat dengan tanah. Berat. Bahkan suaraku tidak keluar. Oh, tidak. Kata-kataku tercekat!

“Mmaasss ....”

Tiba-tiba terdengar bisikan seorang perempuan di telingaku. Napasnya terasa dingin.

“Mmmaaass ....”

Ia memanggilku sekali lagi.

Mulutku menganggah. Menggigil. Mataku mendelik. Aku ketakutan! Tak ada suara yang berhasil keluar untuk meminta tolong atau hanya sekedar berteriak.

Tidak! Tolong! Ibu! Ibu!

Sebuah tangan berwarna pucat merayap pelan-pelan di atas bahuku. Aku hanya bisa meliriknya sambil menelan ludah. Tangan itu terus menjalar pelan-pelan ke arah dada. Begitu pucat dan biru.

“Mmmaaaaasss ....”

Tangan itu kemudian mencengkeram erat kain baju di dadaku, lalu membalikkan tubuhku pelan-pelan. Sangat pelan.

Pertama-tama yang kulihat adalah kain jubahnya yang putih kumal, memanjang hingga menutupi kakinya. Jubah putihnya bercampur dengan kotoran berwarna cokelat, semacam tanah. Sepertinya jubah itu sudah dipendam lama di dalam sebuah liang yang sangat dalam. Lalu mataku menangkap rambutnya yang panjang, kusut. Matanya merah mengkilat-kilat. Dan seringainya ... seringainya lebar hingga ke telinga.

“Kuk—kuk—kuntilanak ....”

Suaraku akhirnya berhasil keluar, tapi mendesah dan bergetar.

Perempuan itu tertawa cekikikan. Lantang. Suaranya memantul-mantul di udara. Ia terus tertawa dan tertawa. Setelah puas, ia berhenti. Memandangku dengan bola mata yang membulat dan kepala yang dimiringkan ke kiri. Tangan kanannya masih mencengkeram kain baju di dadaku kuat-kuat. Lalu tangan satunya diangkat, ia menyodorkan sebuah kartu nama berwarna hitam. Dengan perasaan takut kuraih kartu nama itu. Jari-jariku kaku. Kartu nama itu hampir saja jatuh, tetapi cepat kugenggam erat-erat.

Kutatap wajah perempuan menyeramkan itu, ia menyeringai. Lamat-lamat, dengan bantuan sinar bulan seadanya, kubaca tulisan bertinta emas yang ada di atas kartu nama.

 

MARKONA KUNTILANAK – PETERNAK TUYUL

Jual harga grosir. Hubungi di bawah pohon beringin

Tidak terima kartu kredit

 

 

 

 

 

-oOo-