Selasa, 28 Juli 2015

MENGAPA ADA LETUPAN KEGEMBIRAAN SAAT LEBARAN TIBA?


Oleh : Ajeng Maharani

  

 

Lebaranku yang paling berkesan?

Tunggu, menurutmu bagaimana arti sebuah kesan itu? Apakah sesuatu yang berwarna-warni yang bisa membuat wajahmu tercengang dan matamu berbinar-binar? Atau sesuatu yang kau alami, yang tak bisa kau lupakan, lalu datang bertubi-tubi dalam mimpi indahmu? Hmm, baiklah. Mungkin pendapatku sedikit berbeda tentang sesuatu yang berkesan.

Begini, bagi diriku tidak semua yang berkesan itu harus tentang hal-hal yang indah. Bukan. Dan dengan senang  hati aku akan memutar kembali rangkuman memori di otak dan mundur ke beberapa tahun yang telah silam, ketika aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Iya, aku masih anak-anak waktu itu, namun hal-hal yang indah bagiku justru telah banyak terjadi di sana.

Mungkin kalian belum tahu, dan aku pun belum pernah mengatakannya, bahwa ayahku sebenarnya adalah seorang seniman gagal. Aku katakan gagal karena ia begitu mudahnya menanggalkan mimpinya menjadi seorang pelukis, dan memutar kemudi menjadi seseorang yang menyatukan kain-kain untuk bisa dikenakan di tubuh pelanggannya. Kakekku pensiun terlalu cepat, maksudku ia pensiun karena stroke yang menyerang kaki dan pinggangnya, sedangkan anak-anaknya masih membutuhkan biaya untuk sekolah. Dan ayahku yang memiliki jabatan sebagai anak lelaki pertama merasa memiliki kewajiban untuk membantu ayahnya. Karena alasan itulah ayahku tak lagi melukis. Bagiku yang telah mempunyai sebuah mimpi seperti saat ini, setiap mengingat tetang itu – lukisan dan kuas-kuas yang diabaikan – adalah hal yang sangat menyedihkan. Tapi, ini bukan saatnya membicarakan itu, bukan? Aku akan melanjutkan kisah lebaranku yang paling berkesan.

Sebagai anak seorang penjahit rumahan, ada istilah konyol yang sering aku utarakan pada teman-teman sejawatku dulu; ‘Menjadi anak penjahit itu artinya ketika ayahmu mendapatkan pelanggan maka akan ada sepotong ayam dalam piring makanmu, dan ketika ayahmu tidak mendapatkan pelanggan, maka kau hanya akan makan nasi kecap dengan kerupuk atau nasi garam dengan parutan kelapa.’ Dan memang seperti itulah kenyataannya yang terjadi. Tapi tunggu, itu bukan berarti hidupku begitu menyedihkan. Tidak. Aku sangat bahagia. Dan kebahagiaan itu semakin meletup-letup saat Idul Fitri tiba. Hei, aku masih anak-anak ketika itu, dan anak-anak mana yang tidak berteriak kegirangan saat suara takbir melambung dan menggema di udara? Tapi satu hal, aku yakin kegembiraanku saat itu adalah letupan yang paling dashyat di antara ratusan anak-anak di kampungku.

Kau tidak percaya? Baiklah, akan aku jabarkan alasannya mengapa kukatakan aku sangat bahagia waktu itu.

Bagi kami, keempat anak ayahku, Idul Fitri adalah suatu keajaiban. Sesuatu yang akan mengganti sepatu-sepatu butut dengan yang lebih licin. Sesuatu yang kami namakan ‘baju baru yang hadir setahun sekali’ akan melekat di tubuh-tubuh kecil kami – ayahku memang penjahit, namun ia jarang sekali membuatkan baju baru untuk bepergian kecuali saat lebaran tiba. Sesuatu yang akan membuat ibu mengajak kami berkeliling pertokoan kaki lima dan berbelanja kebutuhan lebaran. Mencoba sandal dan sepatu cantik, melihat baju-baju berenda yang dipamerkan para manekin, dan melihat bagaimana ibu berjuang menawar harga kemudian berbinar-binar ketika terjadi kesepakatan antara dirinya dan pedagang. Sesuatu yang juga akan mengisi kantong-kantong kami dengan lembaran-lembaran uang baru, dan ketika sudah terkumpul lebih banyak dari yang pernah kami genggam, berduyun-duyun kami empat bersaudara akan mengunjungi toko buku untuk membeli komik Jepang terbaru – hal yang masih terlalu mahal bagi kami waktu itu. Aku dan adik-adikku penggila komik, namun kami tidak memiliki uang cukup (kecuali ketika lebaran tiba) untuk membeli komik baru.

Kau bisa bayangkan, bukan, bagaimana bahagianya kami saat itu? Lebaran, sepatu dan baju baru, tumpukan uang dalam genggaman kecilku, buku komik, jalan-jalan. Dan itu semua bukan hal yang menyedihkan. Tidak. Itu justru menjadi sesuatu yang selalu kutunggu setiap tahunnya!

Dengan kebanggaan yang dibuat-buat kami akan berkeliling kampung, mengunjungi rumah demi rumah. Ada begitu banyak kue di atas meja tamu – aneka macam kue yang beberapanya belum pernah kami makan dalam keseharian kami.  Gelas-gelas tinggi berisi sirup, madumongso dengan bungkusnya yang berwarna-warni, kacang mete, ketupat dengan opor ayam yang aromanya menggelitik liur kami, juga wajah-wajah semringah.

Orang-orang tiba-tiba saja berubah menjadi lebih ramah dan bahagia saat lebaran tiba. Aku suka sekali dengan hal itu. Kami berempat bukan termasuk anak-anak yang nakal, namun bukan berarti kami tidak pernah mendapatkan teriakan dari para tetangga hanya karena sedikit pola keisengan anak-anak. Dan pikiranku saat melihat mereka tersenyum, itu artinya aku dan adik-adikku telah dimaafkan.

Kebanyakan dari mereka akan mengatakan hal yang sama, “Aduh, cantik-cantiknya.” lalu mengacak rambut kami dengan penuh kasih sayang dan kami menciumi punggung tangan mereka. Ayah dan ibu akan berbasa-basi sedikit dengan tuan rumah, sementara kami berempat duduk dengan tenang sambil asyik menikmati kue dan sirup. Setiap ada kue yang enak, aku dan adik-adikku selalu bersekongkol untuk menyerbunya terlebih dahulu. Kebanyakan yang bernasip malang itu adalah nastar, kastangel, dan lidah kucing. Dan kami akan lebih senang lagi ketika tuan rumah berkata, “Ayo, nggak apa-apa, habiskan. Kapan lagi ada kue nastar di rumah Budhe.”

Kalau aku pikir sekarang, betapa memalukannya kami ketika itu, tapi itulah anak-anak, bukan? Anak-anak selalu polos, selalu tahu mana yang enak dan pantas untuk dinikmati. Dan kami lebih tahu lagi mana tetangga yang akan memberikan uang lebih banyak setiap tahunnya. Itu artinya, rumah mereka tidak boleh kami lewatkan!

 Saat lebaran, ayah selalu memboyong kami ke Surabaya, tempat nenek kami berada – kakek sudah lama meninggal, mungkin ketika umurku baru tujuh tahun, tapi entahlah, aku agak lupa. Saudara sepupuku banyak – ayahku tujuh bersaudara – semua berkumpul di hari pertama lebaran. Ramai. Iya, seperti taman kanak-kanak, lengkap dengan tumpukan suara-suara bising mereka.

Kami sering saling pamer baju baru. Kebiasaanku melihat detail demi detail baju dan sepatu mereka kemudian membandingkannya dengan milikku. Lucu sekali waktu itu. Kadang aku senyum-senyum sendiri ketika punyaku lebih bagus, tapi tentu saja, aku lebih sering murung karena lebih jelek.

Di menit-menit kebersamaan itulah adik-adik ayahku selalu riuh membicarakan anak-anak mereka. Dan aku selalu bangga karena di antara cucu nenek aku yang paling pintar. Aku akan mendapatkan hujan pujian, tapi aku lebih suka berpura-pura diam, sedikit senyum malu-malu, dan duduk dengan baik-baik di antara mereka.

Acara kumpul-kumpul seperti ini jarang terjadi. Beberapa adik ayah sudah hidup di lain kota. Dan Idul Fitri adalah satu-satunya momen yang menyatukan mereka semua. Akan ada banyak cerita yang keluar dari bibir-bibir mereka yang merekah. Apakah itu tentang anak, kesuksesan karir, rumah tangga mereka, apapun itu. Namun tetap saja di antara hingar-bingar tawa, aku masih menunggu uluran tangan yang memberikan uang.

Jadi begitulah. Kau sekarang akhirnya tahu mengapa aku yang masih kecil begitu gembira saat lebaran tiba. Karena bagiku itulah surga. Saat di mana semua wajah berubah bahagia, tersenyum dengan tulus, dan ramah. Saat di mana aku dan adik-adikku dimaafkan atas kesalahan-kesalahan kami. Juga saatnya aku berburu komik terbaru dari uang yang aku dapatkan.

Menyenangkan, bukan?

Nah, inilah kisahku. Lalu ... mana kisahmu?

 "Exchange, Publishing Your Idea"

 

 

Sidoarjo, 290715

 

 

 

 
 

Kamis, 09 Juli 2015

WANITA TUA PENGGILA STROBERI



 

Sstt! Apakah kau pernah bertemu alien?

Aku pernah! Wajahnya sudah dikuasai oleh garis-garis keriput. Yaa ..., walaupun kuakui jika guratan kecantikannya masih begitu kental ia miliki. Senyumnya juga manis. Tetapi, jangan pernah berharap kalimat-kalimat yang mampu memabukkan hatimu akan keluar dari bibirnya. Tidak akan pernah! Alien tua ini, justru akan lebih senang mencabik-cabik harga dirimu, ketimbang memuji sedikit saja kebaikanmu.

Kau tahu siapa dia?

Dia ibu mertuaku. Tidak, tidak. Jangan tertawa, aku sedang tak bercanda. Aku serius!

Pertama kali melihatnya, aku sempat terpesona dengan keanggunan yang ia miliki. Rambutnya ikal sebahu. Berwarna hitam legam—pasti karena pewarna rambut—dengan jambul yang dianyam tinggi-tinggi ke arah belakang. Setiap kali ia bergerak, aroma parfum stroberinya akan menyeruak ke cuping hidungmu.

Hari itu ia duduk tenang di bangku kafe tempatku bekerja, sambil menatap lalu lalang manusia dari balik kaca jendela. Saat kuhampiri dan mempertanyakan apa yang ingin dipesannya, ia hanya menatapku, lama. Dari ujung kaki sampai ke ujung kepala. Setelah itu, ia kembali melempar pupil matanya ke arah kaca jendela.

“Nanti saja, tunggu anakku!” jawabnya dengan ketus.

Aku langsung tersentil rasa jengkel. Bagaimana bisa wanita tua itu berkata tanpa memandang lawan bicaranya? Nada suaranya pedas pula. Ia pasti sedang meremehkanku, bukan begitu?

Lalu tak beberapa lama kemudian, sosok pemuda bertubuh tinggi tegap datang menghampiri kami. Tiba-tiba dia menempatkan dirinya di sampingku, sambil melemparkan senyum yang selalu kurindukan.

“Hai, Risma. Rupanya kalian sudah saling bertemu, ya,” katanya.

Seketika sebuah bom berlabel shock therapy meledak di jantungku! Saat itulah aku sadar, wanita tua yang tengah duduk di hadapanku itu adalah calon ibu mertua.

Lima bulan setelah kejadian itu, aku menikah dengan kekasihku, Hangga. Karena dia adalah anak satu-satunya, kami pun memilih tinggal bersama kedua orang tuanya.

Rumah Hangga memang tidak sebesar rumah-rumah di kompleks tempat dia tinggal. Namun halaman belakangnya sangat luas. Ibu mertua memiliki rumah kaca, tempat ia merawat kebun stroberi. Aku baru tahu, ternyata ibu seorang penggila buah mungil berwarna merah pekat itu. Sampai-sampai ia rela menyisakan tanahnya untuk membangun rumah kaca.

Setiap pagi, setelah menyiapkan sarapan, ibu selalu berkubang di kebun kesayangannya. Bahkan ia bisa berlama-lama di sana sampai matahari duduk di atas kepala. Jika sudah demikian, tak seorang pun berani menghalau atau sekedar mengingatkannya untuk beristirahat. Bukannya diberi senyum atau ucapan terima kasih, malah akan dicibir habis-habisan.

Seminggu-dua minggu, aku masih belum terlalu peduli. Karena aku pun tengah sibuk bekerja di kafe. Hingga akhirnya, rasa penasaranku menggelitik. Ada apakah gerangan di kebun itu? Maka, hari ini kuendapkan kedua kaki menuju tempat beliau menghabiskan waktunya. Pelan-pelan kutajamkan mata, mengintip ibu dari sela-sela rumah kaca.

Kosong. Tak tampak seorang pun di dalam sana. Hanya kumpulan tanaman perdu yang beraroma harum dan legit. Sejenak aku menelan ludah. Degup jantungku masih berdetak kencang. Lalu, tiba-tiba ....

“Ngapain kamu di situ!”

Sebuah hardikan memukul keterkejutanku. Sosok manusia alien itu sudah berdiri di belakang. Lengkap dengan topi putih, sarung tangan karet berwarna hijau, celemek kain bermotif bunga-bunga, dan sebuah sekop berkarat di tangannya yang berlumuran tanah basah.

Mengerikan!

“A—anu ... Itu, ee ....”

Sialan, mengapa aku segitu gugupnya menghadapi ibu mertua sendiri? Rasanya seperti mau menangis.

“Anu, anu! Kalau mau lihat ya masuk ke dalam, jangan ngintip kaya maling!”

Glek! Kutelan rasa jengah dalam-dalam. Dengan senyum terpaksa dan menggarukkan kepala, aku pun mengikuti langkah ibu. Masuk ke dalam kebunnya. Begitu kakiku menginjak tanah, aroma yang sedari tadi hanya sekedar menggelitik hidung, sekarang menguasai udara sekitar. Segar, lembut dan manis. Aku hampir tak mempercayainya jika perasaanku bisa begitu tenang di sini.

“Kau suka stroberi?” tanya ibu. Kulihat tangannya sedang menarik lembut sebuah stroberi yang telah merah mengkal dari ujung tangkai.

“Ehm, sedikit, Bu. Tidak terlalu suka,” jawabku. Seketika mata ibu melotot. Baiklah, aku pasti telah salah bicara. Sebentar lagi ia pasti akan mengeluarkan jurus omelannya yang ketus dan menusuk-nusuk itu.

Kulihat ibu sudah hendak membuka mulutnya. Aku pun siap-siap melepaskan jurus maklum sebesar Kamehame mulik Sun Go Kong, tokoh kartun kesayanganku.

“Cih, kasihan sekali kamu,” desisnya. Nah, benarkan apa yang sudah kuduga. Pelan tapi mencabik.

Setelah membuang kalimat itu, ibu kembali menatap stroberinya. Tanpa kuduga, wajah ibu memendarkan kelembutan. Bola matanya membesar, berbinar-binar bak seekor kucing yang akan diberi makan oleh majikannya. 

“Stroberi itu seperti layaknya kita, manusia. Dia akan memberikan rasa terbaiknya jika kau memberikan dia kasih sayang yang tulus, Risma.”

Aku terkesima. Iya, beneran! Saat ini ibu terlihat sangat indah di mataku. Sudah tak mirip lagi seperti makhluk aneh dari luar angkasa yang tak bisa kupahami itu. Kini, ia menjelma seperti peri buah yang cantik jelita. Ya ..., tentu saja peri tanpa sayap, tetapi masih tetap dengan wajah tua dan perkakas berkebun yang lengkap.

“Ini makanlah.” Ibu menyodorkan sebuah stroberi ke bibirku. Buah itu hendak kuraih, namun ibu mencegahnya. Dia berniat untuk menyuapiku dengan tangannya sendiri. Akhirnya kubuka juga mulutku dan mengunyah buah merah itu pelan-pelan.

Rasanya manis dengan sedikit asam yang mengigit. Buah stroberi termanis yang pernah kumakan. Tanpa sadar kuteteskan air mataku. Tiba-tiba hatiku menjadi terharu. Ada sebuah rasa menusuk lembut di dalamnya.

Cinta ..., dan sedikit ketekunan dari tangan seorang ibu yang hangat. Benar-benar rasa stroberi yang ajaib!

“Dasar cengeng!” sahut ibu. Mimik wajahnya sudah berubah kembali menjadi alien tua yang tak kusukai.

“Kalau mau nangis jangan di sini. Ini tempatku memelihara anak-anakku. Nangis saja sana di kamarmu.”

Ibu masih terus mencacau sambil membelakangiku. Tak mengapa. Sungguh, aku sudah tak mengapa.

“Bu, besok-besok Risma boleh tidak menemani Ibu di sini?”

“Terserah!”

Ya, ya ... Aku dengar dia berkata dengan nada yang seperti biasanya. Ketus. Namun aku pun melihat, sebuah senyum tersungging di bibirnya.
 
 

 

 

AM—180514

Rabu, 08 Juli 2015

LELAKI DI BALIK KACA

 
Baginya, mudah sekali untuk tertawa lantang saat melihat kelakuan wanita berkerudung ungu itu. tapi dia hanya mengulum senyum yang tertahan.
 

Diamati terus sosok yang kikuk dan ceroboh di seberang. Sudah berkali-kali wanita cantik itu menjatuhkan bolpoinnya ke tanah. Entah karena benda hitam itu yang licin, atau karena tangannya yang terlumuri minyak.
 

Penah sekali, dahinya membentur meja saat ia menunduk dan memungut bolpoinnya di tanah. Dahinya dikucak berkali-kali. Kedua alis yang menungging di atas mata itu berkerut. Ia tampak sangat kesakitan sekali.
 

Lelaki di balik kaca kafe miliknya tak henti-henti tertawa kecil. Netranya terus terjerat oleh tingkah laku wanita itu. hingga akhirnya, karena hati yang sudah tak mampu lagi menahan rasa penasaran, lelaki itu datang menghampiri.
 

“Ada yang bisa saya bantu, Mbak?” tanyanya.
 

Wanita itu tampak sedikit terkejut. Bola matanya membulat. Ia tak percaya jika ada seorang lelaki yang menyapanya. Hatinya gugup.
 

“Ah, ehm ..., se-sepertinya tak ada.”
 

“Kulihat Anda sangat disibukkan dengan bolpoin itu.” Lelaki itu menempatkan tubuhnya di kursi. Jala matanya menangkap jari-jemari wanita di hadapannya. “Apa yang sedang Anda lakukan? Menulis? Menarik sekali!”
 

“I-iya. Sedikit,” ujar wanita itu. Ia memundurkan kursinya sedikit ke belakang.
 

“Apa Anda seorang penulis?”
 

Rona wajah lelaki itu berseri-seri. Hampir mirip seperti seorang anak kecil yang baru menemukan mainan kesayangannya di kolong tempat tidur.
 

“Iya. Ah, maksudku ..., belum.”
 

Lelaki itu tersenyum. Membuat wanita cantik itu semakin malu dan gugup. Ini bukan hal yang biasa baginya. Bertemu dengan lelaki yang baru dikenal. Apalagi, seorang lelaki yang bertingkah sok dekat seperti ini.
 

Dia menopang dagu dengan tangan kanannya. Menatap mata wanita itu dengan binar yang secerah warna langit. “Tapi, saya yakin, Anda pasti bisa menjadi penulis yang hebat, jika Anda tak pernah menyerah untuk terus berlatih.”
 

Ah ..., jiwa wanita berusia dua puluh sembilan tahun itu meleleh sudah. Kalimat yang baru saja ia dengar adalah sesuatu yang telah dirindukannya selama ini.
 

***
 

“Apa saja yang kau lakukan setiap hari? Menulis? Buat apa?!”
 

Nada suaminya membuat ia tergugu. Ia hanya bisa menunduk. Bergeming pada sebuah hati yang memerah.
 

“Hentikan kegiatan konyol itu! aku tak suka,” kata suaminya lagi. Tatapan pria itu nyalang. Penuh amarah.
 

Ia hanya bisa menelan ludah.
 

Itu kisahnya tiga tahun lalu. Saat ia masih menyandang status sebagai istri dari Tuan Berhati Dingin. Pria yang membunuh karakter istrinya, hanya karena merasa tak suka diungguli oleh bakat wanitanya itu. Dia tak senang ketika melihat istrinya dielu-elukan orang lain. Cemburu. 
 

Setiap hari, wanita itu harus meradang luka. Dipenggal dengan kalimat-kalimat suaminya yang tajam, atau terkena hantaman keras di pelipis matanya. Kadang ia lelah. Ingin menghentikan keburukan yang ia dapatkan selama ini. Namun dalam hati, ia hanya bisa menaburkan doa-doa. Agar kelak, pria yang sangat dicintainya itu bisa merubah sikapnya yang temperamental.
 

Suatu hari, jalan panjangnya untuk bertahan harus terhenti. Saat itu ia menemukan berbagai chat mesra suaminya dengan banyak wanita perparas cantik dan berfoto seronok di Blackberry-nya. Bahkan wanita-wanita itu mau berbagi foto yang seharusnya tak layak dipertontonkan pada lelaki selain suaminya.
 

Ia pun mendecap istighfar. Mencoba menenangkan jiwanya yang terpanggang amarah. Tetapi, ketika hal ini diutarakan baik-baik ke hadapan suaminya, pria itu malah terbakar.
 

“Ini salahmu sendiri, yang tak becus mengurus suami! Aku sudah pernah bilang padamu, kan? Aku tak suka kegiatan menulismu, tapi kau masih sembunyi-sembunyi melakukannya. Aku pun tak suka saat kau mengenakan kain panjang yang menutupi seluruh tubuhmu itu. Apa-apaan, aku jadi bosan melihat rupamu yang seperti itu!”
 

Badai kemarahan itu menggulungnya seketika itu juga. Jiwanya mati. Lumpuh dan bernanah. Derai-derai air matanya membanjiri seluruh wajah. Ia pun rengsa. Sudah tak kuat lagi menahan semua yang telah ia pendam selama ini.
 

Akhirnya, dengan keteguhan hati, ia pun mengakhiri pernikahannya bersama pria itu.
 

***
 

“Helloo ... Anda melamun?”
 

Suara lelaki tinggi tegap yang tengah duduk di hadapannya itu membuyarkan kenangannya yang baru saja bergelayut manja di ingatan. Ia memekik tertahan karena terkejut. Matanya berkesap-kesip. Ia kemudian tersenyum.
 

“Ah, tidak. Hanya teringat suatu kisah masa lalu.”
 

“Kenalkan, saya Rizal. Anda?” tanya lelaki itu sambil menyodorkan tangannya. Sebuah tato berpola triball kecil menyambul di pergelangan tangannya.
 

Wanita itu tak menyambut uluran tangan si lelaki. Ia hanya mengamitkan kedua telapak tangannya di depan dada. “Alia,” jawabnya kemudian, diiringi sebuah senyuman.
 

Lelaki itu mahfum dengan laku wanita itu.
 

“Ah, maaf,” ujarnya, sambil menarik kembali tangannya.
 

“Tak apa. justru akulah yang harus meminta maaf, karena menolak uluran tangan Anda.”
 

Lelaki itu berdiri. “Lain kali, saat Anda mengunjungi cafe ini kembali, saya akan memberikan polpoin yang lebih bagus dari milik Anda. Tentu saja, yang tak licin seperti itu,” ucapnya.
 

“Terima kasih.”
 

Setelah membalas ucapan wanita yang telah berhasil menculik sedikit potongan hatinya itu, dia pun memohon diri untuk kembali. Berjalan meninggalkan wanita itu, kembali ke meja kerjanya.
 

Sesekali dia masih suka melirik, dari balik kaca kafe yang sebening embun. Tanpa dia sadari, wanita bernama Alia itu pun, sekarang lebih sering mendaratkan jala matanya pada bayangan di balik kaca.
 

Sebuah rasa, telah menyungging sedikit hati Alia.
 
 
 
 

AM—270714

DURJANA


 

kau adalah perempuanku, dan tak seorang pun akan memilikimu, Mariam...

 

 

 

Aku telah mencabik cinta, membanjiri sebuah hati dengan genangan nanah. Dan semua berawal pada suatu malam yang belum menetas pada keheningan.

Rasa itu tiba-tiba datang lalu mencekik leherku kuat-kuat, saat yang hanya sepersekian detik tersebut hampir membuatku kehilangan nyawa. Itulah pertama kali bertemu dengannya, perempuanku tengah melenggak-lenggok bak lintah kehausan, begitu menggoda saat tersenyum padaku sambil menjejakkan sukmanya kepada sang kelam.

“Permisi, Bang. Abang tahu di mana ya rumah Engkong Salim? Katanya dari sini sudah hampir dekat dengan rumah beliau.”

Aku terkesima menatap mata sipitnya yang indah berbinar-binar. Perempuan itu begitu cantik di bawah temaram sinar bulan purnama. Sejenak kunikmati pemandangan di hadapku dengan berkesap-kesip.

“Permisi, Bang ....”

“Ah, iya. Anu eh, maaf, Neng tadi bertanya apa ya?”

“Ih, Abang, Eneng tanya, rumah Engkong Salim di mana? Jangan melamun saja.” 

Aku terkekeh malu. Kugaruk kulit kepala, salah tingkah. “Maaf, Neng. Mari saya antar ke rumah Engkong Salim, dekat kok dari sini.”

Perempuan muda itu tersenyum. Wajah ayunya semakin tampak menggairahkan batin. Aku menelan ludah.

Namanya Mariam, cucu jauh Engkong Salim dari kota. Dalam perjalanan singkat kami, dia banyak berceloteh tentang kerinduannya pada desa. Sudah bertahun-tahun ingin hidup dalam remang-remang yang hening, jauh dari bising kota yang menjemukan. Dan Emak si Mariam akhirnya menunjukkan bahwa ada Engkong Salim yang masih kerabat tinggal di pedesaan. Di sini, di tanah kelahiranku.

“Mariam butuh ketenangan, Bang. Biar otak ini bisa lancar meghasilkan kisah-kisah nan cantik, yang bisa membuai penikmat karya Mariam,” celotehnya. Suara yang selalu terdengar merdu walaupun berkali-kali telah kudengar.

Ah, gadis kota Mariam. Lihatlah bulir-bulir itu. Malam pikuk menyinari tubuhmu yang putih susu. Belum pernah aku melihat gadis seayu dirimu. Ini desa kecil, dan kau bagaikan sebuah roh suci yang hinggap di dahan-dahan berlumut. Bertengger memamerkan sinarmu yang berpendar menyilau mata.

“Bang. Abang kenapa, kok dari tadi diam saja? Bosan ya sama cerita Eneng.”

“Ah, tidak. Aku Cuma kagum sama Eneng. Ternyata masih ada gadis kota yang kepengen tinggal di desa kecil.”

“Ah, Abang, inikan tuntutan pekerjaan.”

“Sama saja, Neng, bagi Abang.”

Malam semakin limbung. Suara jejangkrik bersahut-sahut menemani kaki-kaki yang menjejak jalanan lumpur yang mengeliat. Mariam masih saja bercerita, sementara aku tetap terpana dengan kecantikkannya.

 

***

 

“Kamu sudah lihat cucunya Engkong Salim belum? Cantiknya, gak ketulungan, Nir.” Norman menepuk punggungku lalu menempatkan pantat besarnya itu pada bangku panjang yang tengah kusinggahi di warung kopi Wak Ijah.

“Sudah,” desisku pada sela-sela kopi panas yang mengepul asap putih samar-samar di ujung hidung.

“Bah, kau ini, Nir. Cepat sekali kau.”

“Aku yang mengantarnya ke rumah Engkong dua malam lalu. Hanya kebetulan saja.”

Norman mencomot sebatang rokok lalu mengamitnya. “Bagaimana kabar perceraianmu, Nir? Sudah kelar belum?”

“Entahlah, jangan ditanya soal itu. Kepalaku sedang pening.”

“Mbak Sus itu orang yang baik, kamunya saja yang keterlaluan.” Mulutku berdecak, tidak suka dengan kata-kata Norman barusan. “Cobalah kau mencari pekerjaan, agar kau tidak hidup luntah-luntah seperti ini. Bisanya duduk di warung kopi sambil melamun kemana-mana. Masih untung Mbak Sus tidak menuntut apa-apa dari kamu. Lagian, memang ada yang bisa diharapkan dari suami pengangguran macam kamu. Kerja saja tidak mau.” sahutnya kembali.

“Mau kerja apa? Semua lowongan sudah penuh.”

“Itu, sawahnya Engkong Salim kan masih butuh penggarap. Kenapa tidak kau kerja saja di sana?”

Mendengar ucapan Norman, kali ini aku menggut-manggut. Bukan sebuah ide yang buruk. Bukankah setiap hari aku bisa melihat gadis Tionghoa itu lagi. Iya, si cantik Mariam. Ah, bahkan hatiku sudah merasa engkau itu adalah perempuanku.

 

***

 

Sang Raja Siang sudah bertahta di ubun-ubun kepala. Tangan-tangan yang tidak dilindungi secarik kain, mulai merah legam terbakar olehnya. Angin berkesiur, membelai tengkukku yang basah tersiram air peluh. Aku sudah terlalu lelah. Mataku hampir meleleh dari lubangnya.

Kulihat perempuanku berjalan menenteng rantang kehijauan. Roknya yang abu-abu melambai-lambai terjamah bayu. Senyumnya merekah. Pipiya ranum memerah. Membuat jiwa lelakiku bangkit. Perempuanku tak pernah bosan kutangkap dalam hati, dan menyimpan harum rambutnya pada sela-sela ingatan.

“Bang Munir!” Mariam berseru sambil melambai ke arahku. Para pekerja lain tampak sedang tersiram cemburu. Tapi tak kuperdulikan. Perempuan ini memang teruntukku.

“Ada sedikit makanan untuk Abang. Tadi Engkong bilang kalau mulai hari ini kau membantu menggarap sawah. Mangkanya, aku bawakan ini untuk Abang, sebagai ucapan terima kasih sudah membantu Mariam malam itu.”

Aku tersipu. Bopeng-bopeng di wajahku mungkin saat ini tengah memerah. Ah, seperti sedang muda saja.

Mariam mengajakku duduk di dalam gubuk tempat kami para pekerja biasanya beristirahat. Rantang hijau itu berisi nasi, oseng kangkung dan beberapa lauk ayam dan tempe goreng. Sungguh sedap nian aroma makanan itu tertangkap penciumanku. Tanpa menunggu lama, kulahap mereka bersamaan.

“Pelan-pelan, Bang. Nanti tersedak,” Mariam tersenyum geli.

Aku sedikit meringis, “Kali ini kau sedang menulis cerita tentang apa?”

Mariam sedikit tersipu. Matanya semakin menyipit saat dia melempar senyum ke arahku seraya berkata, “Tentang perjuangan perempuan desa. Mariam ingin mengungkap kekuatan hati mereka yang begitu setia terhadap sang suami. Kepolosan dan keluguan mereka. Juga tentang kepiawaiannya melestarikan warisan nenek moyang.”

Sejenak aku teringat tentang Susi, wanita yang telah kunikahi tiga tahun lalu, yang kini tengah menuntut perceraian dariku. Benar kata Mariam, wanita desa itu kuat, lugu dan setia. Sementara aku hanyalah lelaki biadab yang tidak pernah mencintai itu semua.

Emakku juga begitu. Bahkan mampu mengurus ladang di belakang rumah sambil menjaga ketujuh anaknya yang masih sekecil kencur. Namun tetap saja, aku tak pernah juga mengagumi sosok Emak. Entahlah, apa yang sedang salah di diriku. Bagiku, wanita-wanita desa ini membosankan. Berbeda dengan perempuanku Mariam yang sejak pertama kali menatapnya, aku tak pernah bisa menolak pesona kota yang begitu memikat mata.

Apa ini yang namanya cinta, sebenar-benarnya cinta?

Setiap hari, Mariam rutin membawakan aku rantang makanan. Setiap hari itu pula hubungan pertemanan kami semakin dekat. Gadis duapuluh dua tahun itu selalu mampu menyulam cerita baru. Aku tidak pernah bosan mendengarnya berceloteh riang sambil melahap makanan.

Pada hari ke sebelas, Mariam datang dengan wajah sumringah. Tampak kebahagiaan tengah dia peluk dengan suka cita. Aku mengernyitkan keningku, mencoba menebak-nebak isi hati perempuanku. Ada apa gerangan?

“Neng Mariam, hatinya lagi senang, ya? Kok dari tadi Abang lihat tampaknya ....”

Mariam tersipu memalu. Pipinya bersemu merah muda. Semakin tampak cantik saja dia. Dengan mata yang berkesap-kesip dan tertunduk layu, Mariam berkata memelan, “Lusa, aku mau dipinang sama pacarku, Bang.”

Seketika itu pula sebuah kilat berkecepatan tinggi menyambar kesadaranku. Aku sakit hati.

 

***

 

Ujung-ujung lalang diam didekap malam. Kebisuan mencabik-cabik sepi di antara pematang sawah, meniduri kunang yang lalu lalang di atas hamparan hijau padi-padian.

Mariam dibalut warna merah, anggun. Dengan wajah sendu sayu duduk menekuk kaki. Kepalanya tengadah, memandang bulan masu di penghujung langit. Aku yang menemani di sampingnya hanya bisa terdiam. Menyimpan kisah sedih pada setiap kedipan mata yang tak ingin lepas memandang wajah ayu perempuanku.

“Kapan kau akan kembali ke kota,” tanyaku pelan.

“Besok siang.”

Cepat sekali. Waktuku bersamamu hanya beberapa jam saja. Mariam, aku tidak rela kau pergi.

“Abang tahu, dulu di kota, aku dan kekasihku pun sering menatap malam seperti ini. Duduk berdua, bergandengan tangan, dan membicarakan impian kami.”

Hentikan ....

“Dia sangat suka membuat puisi romantis tentang bulan dan bintang. Mengatakan jika mereka itu adalah sebuah harapan cintanya kepadaku. Jika bintang menghilang, sinarnya mati dan tertelan oleh ruang kehampaan, dia bilang jangan takut. Karena bintang baru pasti akan terlahir kembali, dan dia akan jauh lebih bersinar. Lebih indah. Seperti itulah cintanya kepadaku.”

Hentikan! Kau sudah membuat jiwaku berdarah, hai perempuan!

“Dan aku adalah rembulan, yang akan selalu setia menemani sinar-sinar bintang bertahta di langit malam.”

Pikiranku berkabut. Malam yang gelap itupun semakin pekat dan berbau amarah. Perempuan itu akhirnya kuterkam, kulumat dalam-dalam. Tahu apa dia tentang cinta yang sedang bergemuruh di dadaku saat ini? Tahu apa!

Aku yang sudah mencintainya sejak pertama kali dia menjejakkan kakinya ke tanah cokelat yang mengliat di desaku ini, sudah kutekankan jika dia adalah milikku. Milikku! Dan tak boleh seorang pun memilikinya selain ragaku.

Lalu bagaimana bisa dia dengan begitu cantiknya bersemu-semu mengatakan jika dia mencintai lelaki lain? Dia bahkan telah membunuh mati hatiku. Mencabiknya berkali-kali lalu menggantungnya pada pohon-pohon randu yang mati di samping pematang sawah Kakeknya. Jika sudah begitu, aku akan bernafas dengan apa?

Lenguh nafas perempuanku kembang kempis. Jiwa-jiwa yang tersudut pada renjanaku membuncah tak keruan arah. Aku meregang, menusuk, pun mencakar keayuannya.

Dia menangis namun tetap tak kudengarkan. Memohon dan memohon tetapi namun bahkan suaranya tak lebih keras dari suara kunang-kunang malam yang berseliweran di antara kami.

Malam semakin cekat menggoda kebusukanku. Perempuanku lunglai. Tubuhnya rengsa dimakan peluh, raib, dicolong keheningan desir sang bayu. Sementara aku, masih saja memaksa menanamkan benih pada rahimnya yang masih kosong.

 

***

 

Waktu telah berlalu, jatuh pada malam kedua. Perempuanku menjadi patung batu yang membisu. Sedikitpun tak terdengar suara cantik yang dulu berderu-deru menceritakan tentang sebuah mimpi. Engkongnya bingung mencari sebab musabab. Bertanya siapa yang telah merenggut mahkota rapat milik sang cucu pada malam yang begitu durhaka.

Melihat sosok Mariam, aku menyesal. Telah menyumpalkan nanah pada hatinya yang indah. Ah, perempuan. Ijinkan aku memilikimu selamanya. Kan kubahagiakan jiwamu yang membatu itu.

Tidak, jangan lelehkan air matamu kembali. Kau telah menyakiti cintaku yang telah keropos ini. Kumohon, bisakah kau memaafkan aku?

 

***

 

Malam keempat pun menetas. Kutipu Engkong Salim, menawarkan diri untuk menikahi cucu perempuannya yang telah menjadi patung karena ulah durjana seorang lelaki pengecut.

Pernikahan kami sederhana, tetapi aku sangat bahagia. Janjiku akan membahagiakanmu, hai perempuan, kini hampir terlaksana. Kan kuperbaiki semua kesalahanku padamu.

Lalu, malam pengantinpun tiba. Kau yang secantik rembulan masih saja tak bersuara. Aku maklum, Mariam. Pun juga pada tetesan air mata yang terus menggenang di sudut-sudut deritamu, yang akan terus mencekik kenangan kita pada satu malam itu.

Lihatlah, aku bersujud pada kedua kakimu yang putih memucat. Kudekati keningmu, hendak mencium harum sukmamu. Maafkan aku perempuanku.. Maafkan aku.

Ahk, tetapi sungguh aku tak menyangkah. Ternyata dalam hening kediamanmu itu, kau telah menumpuk dendam pada lelaki yang telah menggagahimu malam itu.

 

 

 

‘Pagi buta, ketika sang fajar belum berada pada peraduannya, sepasang suami istri yang baru saja menikah semalam, roboh. Saling menusuk dengan sebilah pisau.. semuanya hening, tak seorangpun tahu, kisah sedih yang bersembunyi pada bilik-bilik dendam yang menggoda seorang gadis, untuk mengakhiri segalanya.’

 

 

 

AM—010414