Rabu, 29 Oktober 2014

KEPAM



  
Selama ini, kami tak pernah tahu kelaminnya. Entah lelaki, entah pula perempuan. Entah tua, entah pula anak-anak. Atau orang dewasa yang berotak anak-anak?
Yang kami pahami selama ini, dia adalah seorang dewa yang menghuni sebuah rumah mewah. Banyak kamar yang dia punya di sana. Ruang yang bersekat-sekat. Sebagian gelap, sebagian terang.
Kami pernah diundang datang masuk ke dalam rumahnya itu. Awalnya kami sangat bahagia. Bagaimana tidak? Dia seorang dewa yang sangat kami agung-agungkan kepandaiannya, kepiawaiannya bermain aksara. Bertutur lembut atau pun kasar, kami tetap memujanya.
Tapi di situlah letak kebodohan kami. Dia yang sempurna, ketika makin banyak yang membuntuti punggungnya, tiba-tiba menjadi angkuh. Saat berkata, dia suka mendongakkan kepala tinggi-tinggi. Bahkan sampai menjulang ke arah pelangi, membuat warna-warni itu pudar lalu menghilang. Langkahnya jinjit, seolah najis menjamah tanah kami yang sudah lama kekeringan. Lebih banyak cercaan yang melompat dari bibirnya yang menghitam karena terlalu sering menghisap kelobot yang dibakar. Jika ada yang tak patuh oleh perintahnya, atau yang tak sepaham dengan pemikirannya, dia akan menghapus jejak orang itu dari layar kehidupan. Kadang dia mengunci mereka rapat-rapat di dalam sebuah bilik pengap tanpa secerca sinar matahari sedikit pun. Menjauhkan dari pikuk dunia yang berwarna, mengkerdilkan nama-nama mereka.
Banyak yang sudah disiksa oleh kesombongannya. Namun beberapa dari kami yang begitu mendewakannya, selalu menutup mata, telinga, bahkan hidung-hidung yang tak mancung ini.
Kami tak ingin dia murka lalu menelan tubuh ini bulat-bulat. Seringainya bahkan lebih menakutkan dari moncong singa penunggu Hutan Terlarang di ujung dusun kami.
Hingga suatu hari, seorang dewi datang—entah dari mana. Dewi cantik dengan tangan gemulai dan lincah membelai kesepian kami. Senyumnya menghangatkan, begitu mampu membenahi jiwa kami yang telah lama retas karena rasa kebodohan.
Ia mengajarkan kami banyak hal, hingga semua yang pernah diajarkan oleh dewa yang congkak itu, raib tanpa sisa.
Pelan-pelan, satu persatu dari kami berbondong-bondong mendatangi gubuknya di atas Bukit Kepedihan. Lampu-lampu kami nyalakan. Pepohonan nan lindap kami tanam di sisi-sisi kediamannya. Kami berkumpul membangun desa baru yang penuh dengan aroma kebahagiaan. Tak ada dengki atau pun iri hinggap di hati. Tak ada ketakutan. Tak ada kepatuhan yang dipaksakan. Semuanya berjalan indah dan damai.
Desa kami berkembang bagaikan spora yang diterbangkan angin lalu hinggap di tanah, menumbuhkan bibit-bibit baru. Bayi-bayi mungil yang memiliki renyutnya sendiri. Menyanyikan pikatnya sendiri, tanpa lagi dicampuri jiwa sang dewa yang selalu dijejalkan paksa selama ini.
Kini, ketika kami turun bukit, puing-puing dusun yang telah kami tinggalkan telah ranap. Tak ada lagi terdengar lenguh napas atau pun denyut kehidupan. Kami hanya melihat sebuah rumah mewah nan megah yang masih berdiri kokoh di tengah. Ada sinar di sana, namun cahaya yang kusam. Ada suara di sana, namun hanya tutur-tutur penuh kesedihan dari mereka yang masih tertahan di dalamnya.
Di dalam hati, kami berdoa, semoga kelak ada kebebasan yang hakiki menjamah rumah mewah yang ditinggali oleh mantan dewa terkasih kami itu.
Semoga ....

Selasa, 28 Oktober 2014

WANITA YANG MENARI BERSAMA HUJAN







Ah, secangkir brown coffee lagi. Iya, hanya itu yang aku miliki. Tangisan langit masih menderu-deru di luar. Beberapanya tumpah pada kaca jendela yang saat ini tengah kuselingkuhi dengan keheningan. Titik-titik air itu menatapku tajam, seolah marah karena tak kupedulikan lagi.

Ah, Kalian. Bagaimana aku bisa riang bermain bersama, sementara tawa-tawaku telah menghilang? Maafkan aku. Saat ini aku hanya ingin sendiri sambil menikmati isi cangkirku yang mengepul.

"Wanita Hujan!"

Aku ingat, dia yang baru pertama kali kutemui di sana, menjulukiku dengan nama itu. Aku yang suka berlari, berdansa, tertawa senang memainkan rintik demi rintik. Lalu dia, lelaki dengan bola mata seteduh mendung, hanya melihatku dengan senyum simpulnya.

"Kau suka hujan?"

Kuanggukkan kepala. Dia membalasku dengan senyuman.

"Mengapa?" tanyanya lagi. Sebegitu ingin tahunyakah dia? Batinku kala senja yang basah itu.

"Hujan akan meluruhkan semua kenangan pahitku, Tuan. Rindu-rinduku. Juga semua kenangan yang tak ingin berlama-lama terpilin dalam ingatan. Mereka bisa lakukan itu!"

Dia menatap dengan pandangan--kutebak--sangat takjub. Bola hitamnya terlihat berbinar. Entah mengapa, dada ini berdebar. Seperti ada sesuatu yang merayapi bulir-bulir nadiku. Akhirnya, karena tak ingin merasakan lagi rasa yang telah kubuang jauh-jauh, aku pun memilih pergi. Lari dan melesat di antara rinai kesayanganku.

***

"Wanita Hujan!"

Lelaki itu kembali menampakkan wujudnya di suatu sore. Aku terkesima. Tangannya melambai-lambai dengan senyum kegirangan.

Mengapa? Mengapa dia terlihat begitu senangnya berjumpa denganku?

"K-kau." Dia berkata dengan napas yang terkapah-kapah, setelah berlari mendekat. Jari telunjuknya bergoyang-goyang mengarah padaku. Dia menekuk punggung, menopangkan tangan kanannya pada lutut. "A-apa kau selalu ada di sini?" lanjutnya kemudian.

Aku diam. Hanya menatapnya dengan penuh rasa tak percaya.

"A-aku, aku selama ini tak pernah melihatmu," tanyanya kembali, masih dengan dada yang naik turun.

"Aku baru seminggu ini ada di kotamu, Tuan."

Dia mengangguk, seolah paham. Tanpa rasa malu, dia kemudian menempatkan diri, duduk di sampingku.

"Apa yang kau lakukan di taman ini?"

"Menunggu sahabatku datang."

"Ouw! Kau sudah punya kenalan di kota ini rupanya."

"Hujan? Ah, bukan kawan baru. Ia sahabatku sejak aku dilahirkan."

Kujawab pertanyaannya dengan datar, namun tak kusangkah jika lelaki itu malah terperanga. Apakah dia tak mempercayaiku? Hujan benar-benar sesuatu yang ditakdirkan bersamaku semenjak aku dilahirkan di tempat busuk itu!

"Kau menakjubkan!" ujarnya lagi. Kali ini dia ulurkan tangannya. "Namaku Ovan. Kau?"

Diam, tak kusambut tangan itu. Beberapa detik kemudian kulirik dia menarik kembali tangannya. Ah, entahlah. Pagi itu, mengapa aku begitu bodoh? Tak mau menyambut kehangatannya.

"Okey, baiklah. Sepertinya kau sedang ingin sendiri. Kuharap, suatu saat kita akan bertemu lagi, di sini."

Sebelum beranjak, lelaki itu melambungkan lambaiannya dan menatapku penuh arti yang tak mampu kubaca. Punggungnya kuamati. Bulir-bulir darahku bergetar. Ujung-ujung tubuhku rasanya meremang tak keruan. Pagi itu, aku tahu ..., aku telah jatuh cinta.

***

Di hari selanjutnya, ketika senja mulai menggelitiki wajah angkasa, dia sudah berdiri di tempat itu. Aku mengulum senyum.

"Kau terlambat," ujarnya. Kata-kata yang seperti biasa, tanpa ada sekat, seolah kami sudah kenal sejak lama.

"Sebenarnya aku tak mau datang kemari."

"Ohya? Lalu, kenapa sekarang kau ada di sini?"

Ah, mata teduh itu lagi. Menatapku dengan binar keingintahuannya padaku. Apa istimewanya diriku ini. Dia bahkan tak mengetahui, siapa sebenarnya diriku.

"Kawanku tak datang hari ini. Tapi entah mengapa ada sesuatu yang membuat langkah kakiku mendarat di sini, Tuan," jawabku tanpa ekspresi sama sekali. Kutempatkan tubuhku di sebuah bangku taman yang terbuat dari besi bercat warna biru.

"Kawanmu? Maksudmu hujan? Akh, kau ini unik. Kata-katamu selalu membuatku terkejut."

Aku tersenyum secuil saja kala itu saat mendengar ucapannya. "Aku tak bohong, Tuan."

"Ya, sudahlah."

Sejenak kami diam. Kulihat dia menjatuhkan tatapannya pada senja di sela-sela pepohonan akasia. Wajah yang meneduhkan. Serasa, aku ingin memilikinya.

"Kalau kita bertemu lagi, kuharap kau mau mengatakan siapa namamu, dan kuharap juga kau panggil namaku Ovan, bukan Tuan," ucapnya lembut.

Sekali lagi, aku hanya tersenyum simpul, sambil terus menikmati wajahnya yang menentramkan.

***

Brown coffee yang sudah menghangat itu kusesap. Rinai hujan masih saja mengejek kediamanku pada mereka.

"Kau telah jatuh hati, Ame, kami tahu itu."

Aku diam, masih terus menikmati pahit-manisnya rasa kopi di cangkir hitamku.

"Kau tak takut terluka lagi?"

"Jangan, Ame ... Hapus rasa itu."

"Menarilah bersama kami, Ame. Jangan diam saja!" Mereka tak henti berseru-seru. Memekak telinga.

"Tak," desahku lirih. 

"Kau bodoh, Ame! Kalau kau tak menari dan membasahi dirimu bersama kami, kau akan teringat lelaki itu!"

"Lelaki itu ...."

Pelan-pelan, kenangan mulai merayuku. Kedua mata ini menimang linangan. Basah. Lalu, wajah lelaki yang pernah menjatuhkan hatiku pada kata cinta itu pun samar-samar menampakkan wujud. Suara-suaranya yang mencekik, juga amarahnya yang membumbung.

"K-kau! Bagaimana bisa kau diam selama ini, Ame? Bagaimana aku bisa mengatakan pada kedua orang tuaku, ka-kalau kau ..., kau ini anak seorang pendosa!"

Ah, malam itu segalanya tumpah. Bahkan napasku pun telah lesap.

"Sori, aku tak mungkin menikahimu!"

Akhirnya, air mataku meleleh deras. Tanpa menunggu detik berikutnya, aku beranjak dari kursi. Berdiri dan melangkah menuju pintu keluar. Titik-titik hujan yang sedari tadi menanti tampak begitu riang tatkala kakiku mulai menginjak tanah, kerikil dan rerumputan yang mereka basahi.

Iya, Sahabatku, aku datang. Terimalah tubuh kotorku ini. Basuhlah darahku yang mengalir dari keturunan sang pendosa. Lunturkan kenangan pahit itu dari pikiranku. Menelusuplah ke dalam ujung-ujung kepalaku, lalu rengkuhlah sukmaku, Sahabat!

Aku tak ingin ingat lagi ....

Kedua tanganku terlentang. Kunikmati setiap rintik yang menjamah kulit. Hangat. Aku dipeluk cinta mereka.

Ah, Ovan. Seandainya kau tahu siapa diriku, kau pun pasti akan lari seperti lelaki itu, bukan? Karena itu, Ovan, jangan mencoba dekati diriku lagi. Please. Semoga angin mengabarkan pintaku ini ke arah tempatmu bersemayam.

Selamat tinggal, Ovan. Kuluruhkan cintaku bersama hujan senja ini.



-A.M.141014-

Senin, 27 Oktober 2014

FLASH FICTION




 
Sebuah Pilihan

“Apakah semua orang mati itu akan tenang jiwanya?” tanyamu pada waktu yang berjalan lambat di hadapanmu. Kau lihat dirinya. Jarum-jarum itu berdetak pelan, diam tak menjawab.

“Apakah dengan mati aku benar-benar bisa tenang? Tak merasakan lagi rasa sakit itu ...?” desismu kembali.

Malam semakin pekat. Keraguanmu bergejolak. Jemarimu masih kuat mencengkeram sebatang pisau yang berkilat-kilat. Pilihanmu hanya satu. Akankah kau akhiri napasmu, ataukah kau lanjutkan hidupmu yang makin membusuk?

Entah ....

Kau hanya terus bertanya pada waktu. Walaupun diam adalah jawaban abadi darinya.


Pertanyaan

“Mak, kapan Bapak pulang?”

Pertanyaan anaknya mendekap sesak yang telah lama ia pendam.

“Belum tahu, Nduk. Semoga saja Bapak cepet memberi kabar,” jawab ia seadanya.

Perempuan itu hanya sedang tenggelam dalam kesedihan. Hingga ia tak tahu harus berkata apa agar anak lima tahunnya itu bisa paham tentang arti kerasnya kehidupan yang tengah ia kunyah. Bahkan duri binatang jantan itu telah menancap kuat di hati. Membuat organ merah itu pucat, karena luka yang menjelma nanah.

“Aku kangen Bapak, Mak,” kata anaknya lagi. Kali ini diiringi linangan di sudut matanya.

“Sabar, Nduk. Doakan saja Bapakmu cepat pulang. Mintalah pada Allah, agar Dia membuat hati Bapak ingat kembali pada kita.”

Anaknya mengangguk. lalu dalam rumah sepetak itu, seorang gadis kecil menaburkan doa. Meminta kepada Tuhan agar bapaknya segera dikembalikan. Dia benar-benar tak tahu, bahwa emaknya sedang terisak. Teringat suaminya yang tengah dimabukkan wanita jalang.


Gadis Jingga

Aku menelan ludah. Gadis berkerudung jingga tampak semakin bercahaya. Rona wajahnya menyiratkan keanggunan hati yang ia miliki. Lindap langkahnya membuat debar jantungku semakin kencang mengoyak dada. Rasanya dia ingin keluar, untuk menjumpai jantung gadis itu, lalu bersanding bersama selamanya.

Namun akulah yang pengecut. Mencinta, tapi tak kuasa menatap matanya.

Gadis Jingga mendekat. Jiwaku hendak lari berhamburan, tetapi tubuh kakuku hanya bisa terdiam. Kini jarak antara ia dan aku sudah sebatas jari telunjuk. Ia menjamahku. Lembut. Lalu menaburkan pesonaku pada kerudung dan lengan bajunya yang putih pucat. Sejenak ia menghirup udara yang telah tercampur aromaku. Tenang. Lalu gadisku pun beranjak pergi. Dengan ucapan basmallah, ia menyedapkan langkah kaki, menuju ke arah dunia yang hingar bingar.

“Pergilah. Bercahayalah, Gadisku. Kutunggu kau pulang malam nanti,” desahku lirih. Tak mungkin terdengar olehnya. Hanya dia, sebatang lipstik merah jambu, yang cekikikan di samping saat melihat tingkah konyolku.

Pembantaian Pagi Hari

Pagi ini, kala matahari masih belum terlalu menyengat, kulihat para lelaki itu. Datang berbondong-bondong, dengan celurit yang menyeringai di tangan mereka.

Jantungku tersibak. Ketakutan yang menusuk-nusuk. Perih.

Kudengar jeritan-jeritan di ujung. Lalu lolongan tangis yang menyayat. Hatiku melarat-larat. Sahabat, kawan, rekan dan tetangga yang tinggal di depan, berhasil dibantai mereka terlebih dahulu.

“Tolong! Tolong! Adakah yang bisa menolong kami?”

Ah, tidak. Suaraku tercekat. Tak seorang pun yang mampu mendengarnya. Iya, tak ada.

“Kakak, aku takut.”

Adikku merintih. Aku bergeming. Tak mampu berbuat apa pun.

“Kakak ...,” ia merengek kembali.

Air mataku menetes. Pedih. Jika seandainya aku bisa lari, pasti akan melesat dari tanah ini. Tapi ..., itu hal yang mustahil. Kaki-kakiku tertanam!

Angin pagi berhembus perlahan. Aroma peluh dari para pembantai itu sudah hampir dekat di hidungku. Amis. Bau keringat yang terpanggang matahari. Semakin dekat. Semakin dekat. Hingga akhirnya, benda tajam itu pun menebasku. Hingga tubuhku terputus. Cairan pekat dari dalam terasa menetes. Jutuh terbenam di tanah.

Gelap. Samar-samar, kudengar suara berat dari seorang lelaki berteriak memerintah.

“Cepat! Kumpulkan tebu-tebu itu lalu angkat ke dalam truk. Sebelum pukul dua belas, kita sudah harus sampai ke pabrik!”

Rei dan Suara Misterius

Rei, aku ada di sini. Kau tak lihat aku?
Kemarilah ..., kemarilah, Rei. Di sini dingin.

Sayup-sayup gadis itu mendengar namanya disebut berkali-kali. Sebuah suara yang lindap. Pelan, tapi mencekik. Dada Rei berdegup. Semakin mengencang.

Rei, jangan tinggalkan aku. Jangan pergi sendiri. Aku kesepian, Rei.

Kini, tangisan yang menyayat terdengar. Telinganya meradang. Rasa takut itu pun menusuk.

Siapa itu?! teriaknya lantang.

Hening.

Ia mundurkan langkahnya beberapa. Kegelapan yang menggagahi sekelilingnya masih menghitam pekat. Hembusan angin merengkuh tubuhnya yang entah kenapa tiba-tba saja sudah basah kuyup. Rei menggigil.

Tangisan itu terdengar lagi.

Siapa kau? Jawab! Siapa kau?!

Tangisan itu menjadi diam.

Kau tak ingat aku? Benar kau tak tahu siapa aku, Rei?

Rei menggeleng.

Bukalah matamu, Rei. Jangan terpejam. Buka!

Gadis itu menelan ludah. Suara itu benar. Ia sedang terpejam!

Pelan-pelan, Rei membuka mata. Hitam, lalu berubah menjadi abu-abu. Perlahan, sinar mentari menyibak pandangannya. Sejenak ia menyapu sekitar dengan bola mata yang berkesip. Mencoba menemukan sosok suara itu. Hingga akhirnya, tubuh itu tampak juga. Di sana. Mengambang di atas danau dengan air yang dingin. Sebuah tali mengikat di lehernya.

Rei terperanga. Wajah itu ..., adalah miliknya.

Kau tahu, kan, siapa aku, Rei? Aku adalah kamu. Kau ingat?

Iya, aku ingat.

Tangisan Rei membuncah. Kejadian semalam itu pun mengapung di otaknya. Saat ia menanti kekasihnya di tepi danau ini untuk lari bersama, tiba-tiba sebuah tali melingkar di lehernya.

Kau pantas mati! Siapa yang mau manikah denganmu, hah? Kau itu aibku. Matilah kau dengan anak yang kau kandung itu, Rei! kata seorang lelaki dari belakang. Itu suara kekasihnya.


MIRAT

Pertama kali kau menceritakan kemarahanmu, aku sudah jatuh hati. Kau laksana seonggok daging yang terpanggang. Baumu harum memikat. Menggairahkan. Kau yang berjalan hilir mudik dengan napas yang meledak-ledak, memburuh kebencian yang mengambang di kamar kita.

“Kau bisa bayangkan, kan? Bagaimana marahnya aku!” teriakmu. Matamu yang berbinar merah, menatapku dengan begitu angkuhnya. Lalu jalanmu mengendap-endap, memiringkan kepalamu ke arah kiri, kemudian berbisik lembut dengan memicing mata, “Rasanya, aku ingin memakan dangingnya. Apa kau mau?”

Kau terkekeh. Kebengisan yang menggema. Telingaku tersayat. Tapi, aku puas melihatmu demikian, Kirei.

Siang yang mencekam. Keringat dinginmu mengalir deras. Aku tetap bergeming pada tempat yang telah kau tentukan. Hingga sore, saat senja telah kau laknat itu berani menunjukkan wajahnya padamu, akhirnya rencana-rencana yang kau susun sudah bulat. Sebulat matamu yang membuntang.

Malamnya, lelaki itu datang. Seperti biasa, kulihat kau menggandeng tangannya dan memasuki kamar kita. Pikat-pikat kemolekkanmu kau tebar. Aku tahu itulah keahlianmu. Anugerah yang diberikan Tuhan padamu, Kirei, dan kau tahu bagaimana cara menggunakannya. Sangat tahu ....

Apa kau lihat itu, Kirei? Tangan-tangan rembulan yang hampir kehilangan binarnya malam ini pelan-pelan menyelar ke arah gairahmu. Namun, kutahu kau tak peduli. Seperti katamu siang tadi, kau ingin menelan bulat-bulat daging lelaki itu.

Aku menunggumu, Kirei. Tetap dengan berdiri menggantung di dinding ini. hingga akhirnya, mataku melumat tubuh lelakimu yang kelojotan. Napas yang terkapah-kapah dan mata yang terbeliak, nanap. Setelah itu, hening. Kepuasan kurasakan meluncur dari senyummu.

Kirei, ini lelaki ketiga yang akan kau tanam belulangnya di belakang rumah, dan kau kunyah dagingnya.

“Kau tahu, aku benci dikhianati!” desismu geram, dengan seulas senyum jahat pada bayanganmu sendiri, yang memantul di tubuhku.