Selasa, 28 Oktober 2014

WANITA YANG MENARI BERSAMA HUJAN







Ah, secangkir brown coffee lagi. Iya, hanya itu yang aku miliki. Tangisan langit masih menderu-deru di luar. Beberapanya tumpah pada kaca jendela yang saat ini tengah kuselingkuhi dengan keheningan. Titik-titik air itu menatapku tajam, seolah marah karena tak kupedulikan lagi.

Ah, Kalian. Bagaimana aku bisa riang bermain bersama, sementara tawa-tawaku telah menghilang? Maafkan aku. Saat ini aku hanya ingin sendiri sambil menikmati isi cangkirku yang mengepul.

"Wanita Hujan!"

Aku ingat, dia yang baru pertama kali kutemui di sana, menjulukiku dengan nama itu. Aku yang suka berlari, berdansa, tertawa senang memainkan rintik demi rintik. Lalu dia, lelaki dengan bola mata seteduh mendung, hanya melihatku dengan senyum simpulnya.

"Kau suka hujan?"

Kuanggukkan kepala. Dia membalasku dengan senyuman.

"Mengapa?" tanyanya lagi. Sebegitu ingin tahunyakah dia? Batinku kala senja yang basah itu.

"Hujan akan meluruhkan semua kenangan pahitku, Tuan. Rindu-rinduku. Juga semua kenangan yang tak ingin berlama-lama terpilin dalam ingatan. Mereka bisa lakukan itu!"

Dia menatap dengan pandangan--kutebak--sangat takjub. Bola hitamnya terlihat berbinar. Entah mengapa, dada ini berdebar. Seperti ada sesuatu yang merayapi bulir-bulir nadiku. Akhirnya, karena tak ingin merasakan lagi rasa yang telah kubuang jauh-jauh, aku pun memilih pergi. Lari dan melesat di antara rinai kesayanganku.

***

"Wanita Hujan!"

Lelaki itu kembali menampakkan wujudnya di suatu sore. Aku terkesima. Tangannya melambai-lambai dengan senyum kegirangan.

Mengapa? Mengapa dia terlihat begitu senangnya berjumpa denganku?

"K-kau." Dia berkata dengan napas yang terkapah-kapah, setelah berlari mendekat. Jari telunjuknya bergoyang-goyang mengarah padaku. Dia menekuk punggung, menopangkan tangan kanannya pada lutut. "A-apa kau selalu ada di sini?" lanjutnya kemudian.

Aku diam. Hanya menatapnya dengan penuh rasa tak percaya.

"A-aku, aku selama ini tak pernah melihatmu," tanyanya kembali, masih dengan dada yang naik turun.

"Aku baru seminggu ini ada di kotamu, Tuan."

Dia mengangguk, seolah paham. Tanpa rasa malu, dia kemudian menempatkan diri, duduk di sampingku.

"Apa yang kau lakukan di taman ini?"

"Menunggu sahabatku datang."

"Ouw! Kau sudah punya kenalan di kota ini rupanya."

"Hujan? Ah, bukan kawan baru. Ia sahabatku sejak aku dilahirkan."

Kujawab pertanyaannya dengan datar, namun tak kusangkah jika lelaki itu malah terperanga. Apakah dia tak mempercayaiku? Hujan benar-benar sesuatu yang ditakdirkan bersamaku semenjak aku dilahirkan di tempat busuk itu!

"Kau menakjubkan!" ujarnya lagi. Kali ini dia ulurkan tangannya. "Namaku Ovan. Kau?"

Diam, tak kusambut tangan itu. Beberapa detik kemudian kulirik dia menarik kembali tangannya. Ah, entahlah. Pagi itu, mengapa aku begitu bodoh? Tak mau menyambut kehangatannya.

"Okey, baiklah. Sepertinya kau sedang ingin sendiri. Kuharap, suatu saat kita akan bertemu lagi, di sini."

Sebelum beranjak, lelaki itu melambungkan lambaiannya dan menatapku penuh arti yang tak mampu kubaca. Punggungnya kuamati. Bulir-bulir darahku bergetar. Ujung-ujung tubuhku rasanya meremang tak keruan. Pagi itu, aku tahu ..., aku telah jatuh cinta.

***

Di hari selanjutnya, ketika senja mulai menggelitiki wajah angkasa, dia sudah berdiri di tempat itu. Aku mengulum senyum.

"Kau terlambat," ujarnya. Kata-kata yang seperti biasa, tanpa ada sekat, seolah kami sudah kenal sejak lama.

"Sebenarnya aku tak mau datang kemari."

"Ohya? Lalu, kenapa sekarang kau ada di sini?"

Ah, mata teduh itu lagi. Menatapku dengan binar keingintahuannya padaku. Apa istimewanya diriku ini. Dia bahkan tak mengetahui, siapa sebenarnya diriku.

"Kawanku tak datang hari ini. Tapi entah mengapa ada sesuatu yang membuat langkah kakiku mendarat di sini, Tuan," jawabku tanpa ekspresi sama sekali. Kutempatkan tubuhku di sebuah bangku taman yang terbuat dari besi bercat warna biru.

"Kawanmu? Maksudmu hujan? Akh, kau ini unik. Kata-katamu selalu membuatku terkejut."

Aku tersenyum secuil saja kala itu saat mendengar ucapannya. "Aku tak bohong, Tuan."

"Ya, sudahlah."

Sejenak kami diam. Kulihat dia menjatuhkan tatapannya pada senja di sela-sela pepohonan akasia. Wajah yang meneduhkan. Serasa, aku ingin memilikinya.

"Kalau kita bertemu lagi, kuharap kau mau mengatakan siapa namamu, dan kuharap juga kau panggil namaku Ovan, bukan Tuan," ucapnya lembut.

Sekali lagi, aku hanya tersenyum simpul, sambil terus menikmati wajahnya yang menentramkan.

***

Brown coffee yang sudah menghangat itu kusesap. Rinai hujan masih saja mengejek kediamanku pada mereka.

"Kau telah jatuh hati, Ame, kami tahu itu."

Aku diam, masih terus menikmati pahit-manisnya rasa kopi di cangkir hitamku.

"Kau tak takut terluka lagi?"

"Jangan, Ame ... Hapus rasa itu."

"Menarilah bersama kami, Ame. Jangan diam saja!" Mereka tak henti berseru-seru. Memekak telinga.

"Tak," desahku lirih. 

"Kau bodoh, Ame! Kalau kau tak menari dan membasahi dirimu bersama kami, kau akan teringat lelaki itu!"

"Lelaki itu ...."

Pelan-pelan, kenangan mulai merayuku. Kedua mata ini menimang linangan. Basah. Lalu, wajah lelaki yang pernah menjatuhkan hatiku pada kata cinta itu pun samar-samar menampakkan wujud. Suara-suaranya yang mencekik, juga amarahnya yang membumbung.

"K-kau! Bagaimana bisa kau diam selama ini, Ame? Bagaimana aku bisa mengatakan pada kedua orang tuaku, ka-kalau kau ..., kau ini anak seorang pendosa!"

Ah, malam itu segalanya tumpah. Bahkan napasku pun telah lesap.

"Sori, aku tak mungkin menikahimu!"

Akhirnya, air mataku meleleh deras. Tanpa menunggu detik berikutnya, aku beranjak dari kursi. Berdiri dan melangkah menuju pintu keluar. Titik-titik hujan yang sedari tadi menanti tampak begitu riang tatkala kakiku mulai menginjak tanah, kerikil dan rerumputan yang mereka basahi.

Iya, Sahabatku, aku datang. Terimalah tubuh kotorku ini. Basuhlah darahku yang mengalir dari keturunan sang pendosa. Lunturkan kenangan pahit itu dari pikiranku. Menelusuplah ke dalam ujung-ujung kepalaku, lalu rengkuhlah sukmaku, Sahabat!

Aku tak ingin ingat lagi ....

Kedua tanganku terlentang. Kunikmati setiap rintik yang menjamah kulit. Hangat. Aku dipeluk cinta mereka.

Ah, Ovan. Seandainya kau tahu siapa diriku, kau pun pasti akan lari seperti lelaki itu, bukan? Karena itu, Ovan, jangan mencoba dekati diriku lagi. Please. Semoga angin mengabarkan pintaku ini ke arah tempatmu bersemayam.

Selamat tinggal, Ovan. Kuluruhkan cintaku bersama hujan senja ini.



-A.M.141014-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar