Senin, 31 Maret 2014

SALWA





“Bagaimana, Nduk?”

Ibu bertanya, aku tetap membisu dengan tatapan nanar. Seolah suara ini dicolong senja dan membawanya menjauh dari kesadaran. Entahlah, tidak mungkin kujawab pertanyaan Ibu saat ini. Menikah adalah sebuah ibadah. Akan tetapi, bagaimana jika dalam ibadah itu aku harus menyakiti perasaan wanita lain? Tak kukenal, pun tak pernah berbuat kesalahan padaku. Apa pantas itu disebut sebuah ibadah?

Ah, Ibu. Tunggulah barang sejenak. Biarkan gadismu ini bersatu dengan sujud dalam tahajud nanti. Mencari sebuah jawab dari Tuhanku.

***

Foto lelaki itu masih berada di meja. Namanya Junaedi. Telah menikah delapan tahun tetapi belum mempunyai momongan. Aku sedikit menanam haru. Bukan kepada dia, tetapi lebih kepada istrinya. Aku tahu benar bagaimana perasaan yang dirasakan wanita itu. Dalam kenyataan yang menyakitkan, masih harus membuka lebar kedua tangan untuk menerima wanita lain dalam biduk rumah tangganya. Untuk apa? Hanya demi memberikan keturunan yang tidak bisa dia berikan.

Sungguh berat beban yang dipikulnya. Bahkan jikalau itu adalah diriku belum tentu akan mampu menghadapi cobaan yang sama.

Aku masih menekuk sujud dalam sajadah. Hatiku berdecap-decap memohon petunjuk terbaik kepada Sang Pemberi Ruh pada ragaku. Mampukah aku mengemban pernikahan itu nanti? Lalu, bagaimana harus kuhadapi istri Mas Jun, jika benar aku menerima pinangan itu?

Kemudian terbesit kenangan beberapa hari lalu. Saat kami berta’aruf. Mas Jun berkata dengan kelembutannya di sela hiruk pikuk keluarga yang saling bersilahturami, “aku sangat mencintai Erica. Sebenarnya hatiku ingin menolak dorongan keluarga untuk menikah lagi dengan wanita lain. Tak mungkin kusakiti istri yang telah setia mendampingi suka dukaku selama delapan tahun itu, Salwa. Hanya saja..” kalimatnya terhenti. Dia menelan ludah sebentar. Tampak kesedihan di ujung matanya yang tegas.

“Hanya saja, melihat ketulusannya mengijinkanku menikah untuk mendapatkan keturunan, sungguh aku teramat bersyukur akan keberadaan Erica di sisiku. Dia begitu pengertian. Pengorbanannya kepada keluarga besarku sangat mengagumkan.” Lanjutnya.

Mas Jun terus berceloteh indah tentang isi hatinya. Begitu menyentuh. Sangat besar penghormatannya kepada sang istri. Membuatku iri, merasa ingin pula dicintai seperti itu.

Kemudian dalam denting-denting detik yang berlalu hening di antara kami saat itu, cinta menyapa dalam hatiku. Jantungku mulai tak beraturan saat memandangnya. Menendang, lalu menendang lagi.

“Salwa, jika engkau berkenan memberi kebahagiaan kepada Erica, maukah engkau menikah denganku? Aku janji akan belajar untuk mencintaimu, agar pernikahan kita tidak menjadi sia-sia.” tanyanya tulus, yang mampu membawaku dalam kebimbangan besar, diantara jawaban mengiyakan atau menolak.

Dalam sela sujud, aku menangis. Gadis yang tidak tahu diri ini sudah berani mencintai suami wanita lain. Tuhanku yang Maha Mengetahui segalanya, katakan dalam tegur sapamu yang lembut itu, apa yang harus aku lakukan sekarang?

***

Ini pertama kalinya aku bertemu dengan Mbak Rica. Dia sepuluh tahun lebih tua dariku. Guratan-guratan usia di wajah ayunya menggambarkan betapa dia memiliki kesabaran yang besar. Dia sangat ramah, senyumnyapun begitu indah, mampu menyejukan. Benar-benar istri yang anggun. Aku dibuatnya kagum, sekaligus iri dengan garis takdirnya, memiliki suami yang begitu mencintai dia.

“Kabarnya Dek Salwa belum memberi jawaban pada Mas Jun ya?”

Aku menganggukan kepala. Melihat itu, Mbak Rica tersenyum. Dan tentu saja berhasil membuatku semakin gugup serba salah menghadapi dirinya.

“Tujuanku bertemu di sini hanya ingin meminta pertolongan padamu. Mungkin memang berat, begitu juga bagiku. Akan tetapi, ada seseorang yang ingin kubahagiakan. Jadi sebisa mungkin aku belajar untuk ikhlas menerima keadaan sekarang.” Mbak Rica berucap lagi, sambil mengaduk-aduk kopi panas di cangkir hitamnya. Setelah berhenti berkata, direguklah sebentar isinya.

Cafe tempat kami bertemu tidak begitu ramai saat ini. Hanya ada beberapa pemuda yang sedang memadu kasih sambil bercanda-canda ringan. Seorang kasir sedang menatap nerawang, entah apa yang sedang dipikirkannya. Lalu beberapa pramusaji sibuk membersihkan mesin pembuat kopi dan beberapa cangkir yang telah tercuci bersih.

“Apa yang bisa aku bantu untuk Mbak Rica? Sungguh, sebenarnya aku tidak yakin dengan perasaanku saat ini. aku takut, Mbak.”

Mbak Rica meraih tanganku, digenggamnya rapat. Dari matanya terpancar binar tulus penuh harap, seraya berkata, “aku mohon, selamatkanlah pernikahan kami. Berikanlah kebahagiaan yang tidak pernah bisa kuberikan padanya. Mungkin sebagai wanita aku bukanlah yang baik dalam menghadapi ini, tetapi sebisa mungkin kulakukan yang terbaik buat kita bertiga. Aku janji, kita akan menghadapi apapun bersama kelak. Tolonglah Salwa, hati kecil kami kesepian tanpa kehadiran seorang anak.”

Permohonan Mbak Rica membuatku terenyuh. Mataku berkaca, hampir ingin jatuh menggelinding tetapi dengan cepat kuhapus di ujungnya. Ya, Tuhan, wanita ini sungguh mencintai Mas Jun. Mereka saling mengasihi. Aku benar-benar beruntung bisa ditakdirkan ikut hadir dalam pernikahan mereka.

“Terima kasih, Mbak sudah mengijinkan aku menikah dengan Mas Jun. Sungguh besar hatimu yang cantik itu. Kelak, saat anak pertama kami lahir, dia akan menjadi anakmu, Mbak. Asuh dan bimbinglah dia seperti anak sendiri. Aku ingin berbagi kebahagiaan bersamamu, sama seperti engkau berbagi kebahagiaan bersamaku saat ini.”

Dia tersenyum bahagia, akupun juga bahagia. Senang jika kami bisa saling memahami satu sama lain sebelum menapak pernikahan nanti. Rasanya, saat ini aku ingin memeluknya sambil menumpahkan tangis hingga puas. Dan tentu saja itu tidak mungkin bukan?

***

Setelah tiga bulan menikah, aku akhirnya mengandung bayi petama kami. ini anak kami bertiga. Kukira kebahagian telah merasuk pada hati Mbak Rica juga, sama seperti Mas Jun dan aku. Tetapi ternyata aku salah besar.

Aku baru mengetahui, ternyata hati manusia itu mudah sekali rapuh dan melebur dalam kebencian. Sekuat apapun pertahanan seorang wanita memupuk sabar dalam dekapan cemburu, perasaan iri atau kemarahan, masih saja bisa terbakar hingga raib. Mungkin hatinya sudah mengeluarkan darah yang teramat kental. Mungkin juga karena pikirannya yang telah teracuni aduk-aduk muslihat setan. Sampai-sampai wanita yang kukenal begitu teguh seperti Mbak Rica mampu berbuat keji.

Janinku telah mati. Mbak Rica mendorongku hingga jatuh dari lantai atas. Aku menggelinding pada duapuluh anak tangga rumah kami. semuanya berputar, lalu menjadi gelap. Sebenarnya hatiku meradang kesakitan karena amarah, tapi juga mafhum dengan perasaannya yang tidak kuasa menahan kecemburuan. Tetapi saat ini pilihanku jatuh pada bisu. Hanya diam menatap dinding-dinding kamar ruang rawat inap rumah sakit. Sementara Mas Jun tertidur kelelahan sambil tetap menggenggam tanganku.

 Malam yang kasip. Aku terus beristighfar dengan meraba-raba tasbih, memohon pertolongan padaNya agar dibukakan pintu maafku untuk Mbak Rica. Berharap rumah tangga kami kembali bernaung dalam cinta, dan sekali lagi kesempatan untuk memeluk komitmen pernikahan.

Keesokan harinya, dalam sedu sedan, Mbak Rica datang meminta maaf. Namun Mas Jun yang sudah terlanjur marah, tidak menghiraukan dia. Bahkan saat Mbak Rica bersujudpun, suami yang dulu begitu mencintainya itu hanya membisu tak menatap. Oh Tuhan, aku tidak memperhitungakan perasaan suamiku. Dia masih tidak bisa memaafkan istri pertamanya. Lalu setelah ini, aku bisa berbuat apa? Padahal doa-doa yang kusematkan semalam adalah harapan terbaik buat kami. Aku ingin kami bertiga kembali pada perasaan yang sama dengan dua bulan lalu. Dan ini apa?

 “Mas, mengapa tak kau maafkan saja Mbak Rica? Dia hanya khilaf. Aku paham benar dengan perasaannya, Mas. Ini memang tidak mudah dilalui dengan posisi sebagai istri pertama.” kataku setelah Mbak Rica berpamit pulang.

“Tidak, Salwa. Biarkan saja dia. Aku pun juga tahu, saat ini dia bukanlah dirinya. Tetapi belum bisa kumaafkan perbuatannya kali ini.”

Mendengar jawaban Mas Jun, aku hanya bisa menghela nafas. Entahlah, mungkin sementara ini akan kubiarkan dulu perasaan kami mengalir. Aku yang masih berjuang untuk bisa memaafkan, Mas Jun yang bergulat dengan kemarahannya, lalu Mbak Rica dengan penyesalan dan sisa-sisa kecemburuan. Semoga saja masing-masing dari kami bisa belajar dari ini semua. Hanya itu harapan yang bisa kusematkan dalam setiap sholatku.

***

Hari ini hampir enam bulan telah berlalu. Rumah tangga dua istri ini mengering. Sudah tidak ada cinta pada hati Mas Jun untuk Mbak Rica. Dia masih menyimpan marah, terlebih hingga hari ini aku belum hamil lagi. Semua harapan untuk kembali normal, pupus sudah. Remuk tergerus ego.

Apalagi yang bisa aku lakukan? Tidak ada. Walaupun aku berulang-ulang meminta pada Mas Jun agar memaafkan Mbak Rica, tetap saja tidak dihiraukan. Bahkan akan menjadi marah jika kuungkit perkara itu. Menyedihkan sekali.

Mbak Rica juga menjadi lebih diam. Mengurung dirinya lama-lama dalam kamar. Saat keluar yang terlihat hanya mata yang sembab. Tidak ada lagi senyum hangatnya yang menyejukan. Bisu. Seperti boneka malang yang berjalan. Sungguh mengharukan sekali.

Kutatap lamat-lamat pintu kamar Mbak Rica. Ingin sekali mengetuk dan berbicara dengannya hari ini. sejak kejadian itu, dia selalu menghindar dariku, mungkin karena rasa malu dan sesal, atau malah semakin marah dan benci karena kehadiranku semakin merunyamkan hubungannya dengan Mas Jun. Entahlah.

“Salwa, apa wanita itu masih saja mengurung dirinya di kamar?” Mas Jun tiba-tiba datang di sampingku. Aku sedikit terkejut.

“Iya, Mas. Hari ini sudah lebih dua hari, tidak biasanya seperti ini.”

“Biarkan saja. Nanti kalau lapar pasti akan keluar juga.” Mas Jun berlalu.

“Mas, jangan begitu. Apa tidak sebaiknya kita mengetuk dan mengajaknya berbicara? Kita sudah terlalu kejam padanya karena tidak memperdulikan kehadiran dia di sini.”

Mas Jun terhenti, sebentar saja, kemudian hampir beranjak pergi lagi. Kuraih lengannya perlahan, kemudian memeluk lengan kokoh itu. “Ayolah, Mas. Aku mohon. Mari kita selesaikan kebekuan pada pernikahan kita. Aku benci harus seperti ini terus.” kataku. Tanpa terasa, air mataku mengalir pelan.

“Ah, Salwa. Sungguh aku sebenarnya malu kepada kalian,” dia memelukku, “ini salahku karena tidak bisa membimbing dua pernikahan ini dengan adil, sehingga timbul perasaan cemburu pada Ericaku. Salwa, mungkin aku terlalu kaku dengan egoku yang tidak mau meaafkannya karena menghancurkan impianku. Ah, iya sayangku. Kau benar, sudah seharusnya kita hentikan semua ini.”

Kami berpelukan cukup lama. Kutahu suamiku saat ini sedang menahan tangis. Tidak apa-apa. Itu karena dia lelaki. Aku paham benar.

“Ma,” Mas Jun mengetuk pintu kamar. “Mama tolong bukakan pintu. Ayo kita berbicara bertiga.”

Hening, tidak ada jawaban dari dalamnya.

“Mama. Papa ingin meminta maaf karena membiarkanmu terbenam sendiri dalam kesedihan. Tolong bukakan pintunya, Ma.”

“Mbak Rica.”

Masih diam. Hanya terdengar suara detik jarum jam yang menggema di atas pintu kamar.

Kami berdua berpandangan. Terbesit kecemasan di kedua mata Mas Jun. Lalu tanpa berkata lagi, dia berlari ke arah dapur, mengambil kunci cadangan kamar Mbak Rica. Berlari kembali, lalu segera secepat kilat membuka pintu.

Brak! Dibanting keras daun pintu itu. Mata kami menyapu kamar. Kosong. Tidak ada Mbak Rica. Lalu melesat ke kamar mandi. Pintunya terkunci juga. Wajah Mas Jun sudah menekuk, cemas sekali. Dan dadaku berdebar kencang, jantung seperti hendak lepas dari rongganya. Tuhan, jangan ada apa-apa, aku mohon.

Kali ini pintu didobrak kasar. Dua kali dorongan kaki baru bisa terbuka. Dan, astaghfirullohal’adzhim, tampak tubuh kaku Mbak Rica terduduk dalam lantai kamar mandi, bersandar pada dinding, dengan kepala tertunduk. Dari pergelangan tangan yang menganga, tampak gumpalan darah yang mengering dan menggenang di lantai. Lalu kulihat secarik kertas bertuliskan “maafkan aku” tenggelam dalam darah.

Mas Jun jatuh terduduk di hadapan tubuh yang tak bernyawa di depan kami. Menangis keras-keras penuh penyesalan. Kepalan tangannya menghantam lantai berkali-kali. Kutahan lengan itu, lalu kupeluk suamiku yang rapuh karena ditinggal mati istri pertama yang begitu dicintainya. Aku menemani tangis pilu Mas Jun dalam menit-menit berikutnya, dalam seguk kesedihanku. Menangis berdua, menatap pada sebuah mayat, yang ruhnya pergi dengan membawa benci dan penyesalan.

***

“Erica, Erica! Sudah mau maghrib, sayang. Ayo masuk ke dalam rumah, nak.”

Gadis kecil yang kupanggil berlari menghampiri. Dia tersenyum-senyum ceria. Wajah ayunya bahagia sekali.

“Wah, ada apa? Mengapa Erica tersenyum? Ada yang menyenangkankah, sayang?” tanyaku.

“Bunda, aku tadi betemu dengan tante yang mirip sekali dengan Mama. Dia memelukku sambil menangis,” kukerutkan alisku, berusaha memahami ceritanya barusan, “kata tante, dia berterima kasih sama Bunda dan Papa. Karena sudah memberikan anak yang cantik padanya. Tante sekarang bahagia. Aku tidak mengerti, apa tante itu temannya Bunda?”

Aku terkejut. Mataku menyapu halaman rumah. Sebuah pohon akasia yang rindang tiba-tiba membuatku merinding. Seolah ada sesuatu tersembunyi di sana. Mbak Rica, engkau kah itu?



Nda, 020114




ERICA



  
Dan ini adalah sebuah kota kecil, di mana telah kutinggalkan lama, tanpa tahu itu berapa waktu sudah berjalan dalam denting detiknya. Aku tersesat, mengembara dengan kelinglungan bodoh yang berdegup tanpa henti dalam sekat-sekat hati. Kebencian, dendam lalu teramu pula amarah, bergulat diam, memecah rasa cinta. Membuat sesuatu terganjal, mengiringi rohku yang terlunta-lunta.

“Maafkan aku..”

Itu adalah kalimat terakhir yang tertinggal dalam jejak kepergianku. Entah, apa mereka yang kutinggalkan dalam perih masih mengingatku atau tidak. Sungguh tak pantas aku berharap bisa hadir dalam kenangan, karena kehadiranku hanya memberi rasa kecewa yang teramat dalam.

Lalu, hari ini, perjalanan gontai yang kulalui kini berhenti pada sebuah rumah besar berwarna lembayung tua, dengan pohon akasia yang menjulang rindang. Itulah rumah kami, aku dan Mas Jun, juga Salwa. Di sanalah waktu bergulir dengan kejam menarik ulur takdir kami bertiga.

***

“Ini Salwa, gadis duapuluh tiga tahun, bekerja di panti anak yatim piatu An Nisa. Dia sangat ramah dengan siapapun, ulet, bertutur kata lembut. Sungguh Ibu akan bahagia sekali jika kau memilih dia sebagai penerus garis keturunan kita.”

Aku ingat sekali hari itu, di mana pertama kalinya kami mengenal sosok Salwa, walau hanya dari sebuah foto. Wajahnya ayu, terbesit kesan kesederhanaan yang anggun dalam jilbab hijau muda yang dikenakannya. Sungguh tak salah jika Ibu Mertua begitu jatuh hati pada gadis itu.

Mas Jun dan aku telah menikah hampir delapan tahun dan belum dikaruniai seorang anak. Karena itulah, keluarga mendesaknya untuk memperistri Salwa, gadis cantik anak dari salah satu sahabat kerabat. Mau tidak mau, setuju tidak setuju, akhirnya Salwa pun menjadi bagian dari keluarga kecil kami.

Pernikahannya sederhana, tetapi lebih sakral daripada pernikahan megahku bertahun-tahun lalu. Salwa hanya mengenakan kebaya putih yang teramat biasa, kerudung putih yang lebih teramat biasa lagi, dan untaian bunga melati yang juga hampir sama, sangat biasa. Tetapi binar wajah dan aura kecantikannya memancar memukau semua yang hadir.

Dia mempesona. Dan aku iri. Kecemburuan yang bertahun-tahun tidak pernah hadir dalam bingkai hatiku, saat itu berhasil mengetuk pintu, lalu mencabik-cabik dengan kejamnya, hanya dalam hitungan menit. Kemudian perasaan itu semakin membesar, saat Ibu Mertua menginginkan Salwa ikut berada dalam satu atap bersama kami.
Aku hanya bisa pasrah tidak menolak. Mengikuti alur cerita yang mereka buat untukku. Tanpa menampakan kesedihan atau melempar banyak tanya, hanya tersenyum dan melihat, akan dibawa kemana dua pernikahan ini kelak. Terserah mereka saja!

Lalu apa? Dalam satu rumah, dua istri, satu suami. Begitu menyakitkan melihat mereka bermesra-mesra sebagai pengantin baru. Tetapi apa kuasaku? Toh aku jugalah yang mengijinkan pernikahan ini. Demi kami, demi Mas Jun yang sudah mendamba momongan. Aku hanya bisa pasrah, belajar menerima kenyataan di depan mata. Karena apa? Karena aku wanita mandul, sungguh tak pantas meminta lebih dari ini.

Hanya saja, keimanan yang kubanggakan ternyata belum bisa menangkal benci yang semakin meluap ketika mendengar Salwa akhirnya hamil. Ah tidak, bukan karena itu sebenarnya. Jujur, aku ikut senang dengan kehamilan Salwa. Hanya saja, wajah bahagia dan tangis haru yang tidak pernah aku dapatkan dari Mas Jun saat mengetahui kabar tersebut, membuatku iri. Menyakitkan sekali. Rasanya seperti sebuah paku besar menancap dalam-dalam pada perasaanku.

Menangis, meradang, semakin menumpuk dan bertumpuk kebencian. Aku lupa siapa diriku. Apa tujuan pernikahan kami. Pun juga tentang komitmen yang tertoreh di dalamnya. Yang terdengar hanya bisikan setan. Semakin Salwa dan Mas Jun bahagia semakin aku marah pada mereka.

Hingga suatu hari, di mana laknat sudah menguasai hati dan pikiranku, sebuah rencana muncul begitu saja.

Iya, hari itu, Salwa kudorong dari tangga beranak duapuluh. Dia bergulingan jatuh ke lantai dasar. Kepala dan perutnya terbentur hebat. Merintih sebentar kemudian pingsan. Darah menggenang. Kakinya yang putih pucat menjadi merah karena teraliri darah yang muncrat deras dari selah keduanya. Aku puas menatap dari atas. Menyunging senyum kemenangan. Tetapi nikmat dosa itu hanya sekejab.

Janin Salwa mati.

Mas Jun teramat marah padaku. Memang tidak ada teriakan maki dari mulutnya. Hanya tatapan tajam dengan mata yang memerah, seraya berkata, “apa kamu puas dan bahagia dengan begini, Ma?” Singkat. Tetapi berhasil membunuh detak jantungku seketika.

Semua menjadi gelap. Murung. Pernikahanku mengering. Mas Jun sudah tidak memperdulikan keberadaanku. Kesedihan, penyesal, dan entah apa lagi yang tengah berkecamuk di perasaanku, ternyata jauh lebih menyakitkan daripada kebencian itu sendiri. Lebih menyesakan. Sangat!

Berbulan-bulan aku menjadi sesuatu yang ada hanya karena sebuah ikatan, itu saja. Tidak lebih. Hingga akhirnya, aku sudah tidak mampu menahan siksa malu yang mencekik leherku, dan juga menggerogoti tulang-tulangku hingga linu, memutus pergi meninggalkan segalanya.

***

“Mama?”

Seorang gadis kecil berkepang dua dengan rambut mungilnya menyapa, membuyarkan kenangan pedih yang baru saja terbesit dalam ingatanku. Dia melihatku? Bagaimana bisa? Tunggu, mengapa gadis ini memanggilku mama?

“Mama pulang? Rindu sama aku ya?” tanyanya lagi.

“Maaf nak, tante bukan mamamu.”

“Oh.” Wajahnya yang cerah tadi kini menjadi muram. Anak siapa ini? Salwakah? Dia masih kecil, mungkin sekitar tiga atau empat tahun, entahlah.

“Iya, tentu saja tante bukan Mama, dia sudah meninggal saat melahirkanku.” Mata beningnya mulai berkaca-kaca.

Aku menunduk, memegang kedua bahunya perlahan, dengan lembut sekali. “Siapa namamu sayang?”

“Namaku Erica,” aku tersentak penuh kejut. Hei, itu namaku! “Bunda memberikan nama Mama padaku, katanya biar aku, Bunda, dan Papa, tetap mengingat keberadaan Mama yang pernah menjadi bagian dari keluarga kecil kami.” lanjutnya kembali sambil terisak-isak.

“Siapa Bundamu nak?”

“Bunda Salwa.”

Sungguh aku kemudian terduduk lemas. Air mata yang seharusnya telah mengering itu berhasil jatuh berkeroyokan. Tidak kusangkah ternyata Mas Jun dan Salwa memaafkanku. Penyesalan yang terbawa serta dalam ketersesatanku, kini luntur perlahan, lega rasanya.  Mengalir bersama bulir-bulir bening air mata.

Kupeluk gadis kecil Erica. Dia anakku, anak yang dijanjikan Salwa akan diberikan dalam pelukanku, dulu sebelum dia menikah dengan Mas Jun.

“Terima kasih karena Mbak Rica sudah mengijinkan aku menikah dengan Mas Jun. Sungguh besar hati Mbak yang cantik itu. Kelak, saat anak pertama kami lahir, dia akan menjadi anakmu, Mbak. Asuh dan bimbinglah dia seperti anak sendiri. Aku ingin berbagi kebahagiaan bersamamu, sama seperti engkau berbagi kebahagiaan bersamaku saat ini.” Begitu janji Salwa. Sungguh aku teramat bodoh karena mudah sekali mendengarkan bisikan setan. Mengikuti keegoan hati, tega melukai mereka yang begitu memikirkan kebahagiaanku.

Tuhan, maafkan aku. Mungkin benar aku sudah tidak pantas mencicipi surgaMu yang abadi keindahannya, karena berani mendahului takdir kematianku yang Engkau gariskan. Tetapi ijinkanlah, setidaknya sekali untuk saat ini, doaku untuk mereka yang masih memberiku cinta dan memilih menyimpan kenangan yang baik di hati gadis kecil Erica.

Terima kasih Tuhan, sudah mempertemukanku dengan Erica. Kini, pengelanaanku yang kekalpun, bisa kujalani dengan senyuman. Sungguh, Engkaulah yang Maha Pemaaf atas semua dosa hamba-hambaMu yang hina seperti aku.



Nda, 301213

KISAH SI KASIH



 

Wanita itu datang ke rumah, dengan wajah yang tersirat benar akan kesedihan. Ada guratan keputusasaan yang besar. Lalu dua buah mata yang sembab karena lelah menguras air mata.

Namanya Kasih, kalian cukup hanya kuijinkan tahu sebuah nama itu. Duduk tenang dalam senyum ceria yang dipaksakan, mengucap basa-basi tentang kabarku, lalu berkata penuh harap, “Bund, bolehkah aku bercerita sedikit?”

Kubalas senyumnya seraya berkata, “silahkan, siapa tahu saat aku memberi advice padamu nanti, aku juga bisa menampar diriku.”

Kasih membalas senyumku, seraya berkata perlahan, “aku sedang merasakan perasaan yang kita sebut dengan lelah, Bund.”

“Ada apa?”

Dia menghela nafasnya sepenggal. Senyum yang dipaksakan tadi raib. Beberapa detik kemudian dia bercerita panjang, tentang suaminya yang pemarah, bermulut kasar padanya, dan hampir senang bermain tangan.

Air mata mulai hilir mudik di pipi tembemnya. Mengiringi kalimat tiap kalimat. Aku terenyuh. Seperti sedang mereguk pahitnya tuah cinta pada kisahku sendiri. Iya, sebenarnya pun aku sedang gundah. Hati tidak bisa tenang beberapa hari ini. Semua hal negatif, lalu andai-andai yang dihubung-hubungkan, menggerogoti pikiranku. Baru saja aku dibentak oleh sepi. Dia menegurku, “Bunda, ayo sholat dhuha! Jangan banyak-banyak, dua rokha’at saja cukup asal kau rutin. Itu jauh lebih baik daripada kau bermuram lalu berandai hal yang belum pasti.”

Lalu sekarang, dalam hiruk pikuk kesedihan, Kasih datang membawa kisahnya. Seakan memberi terang pada hatiku.

“Bund, bagaimana jika seorang suami berkata, bahwa dia tidak bisa berbahagia dengan dirimu? Engkau adalah beban baginya. Sudah banyak hal yang dia korbankan untuk hidup bersamamu. Tetapi karena sudah kepalang basah, suamimu hanya berkata bertahan pada hal yang dia benci.”

Subhanalloh, sungguh malang hai engkau Kasih. Bisa-bisanya seorang suami menganggap istrinya adalah sebuah beban hidup. Tak henti-hentinya aku beristighfar dalam hati. Pantaslah jika kau terbenam sedih seperti saat ini.

“Pertama, kuatkan dahulu hatimu, Kasih. Lalu belajarlah menerima dengan ikhlas. Kemudian kau tanyakan, apa kemauan dia sebenarnya? Jika bertahan dalam kepedihan, bukankah itu akan semakin menambah lukanya, kamu dan bisa juga buah hatimu Iyan suatu saat kelak.”

“Sudah, Bund. Aku katakan agar kami berpisah saja, tetapi dia berkata berat melepaskan aku dan Iyan. Kutahu sekali, Bund, suami sudah sangat berkorban demi kami. Dia bekerja banting tulang, ke sana sini. Tetapi aku lelah dengan sikapnya, sebentar-sebentar mudah marah. Ngomong kasar, ngambek dan berkali-kali sudah bilang ingin bercerai. Bayangkan, Bund, sudah lebih duapuluh kali dia berucap cerai. Tapi setelah itu, dia kembali baik, terlihat amat mencintai kami. Selalu saja begitu. Terkadang aku merasa sebagai wanita paling jahat di dunia karena tidak bisa membahagiakan suami.”

 Kugelengkan kepalaku, sebagai ungkapan tidak setuju dengan ucapan Kasih yang merasa dirinya jahat. “Tidak Kasih, itu bukan kesalahanmu. Berhentilah memiliki pemikiran seperti itu.”

Iya, jika mencari nafkah untuk anak dan istri dianggap suatu beban dan pengorbanan yang dibesar-besarkan, maka, melayani suamipun bisa saja kami para istri menganggapnya juga sebagai beban, bukan kewajiban. Bukankah dalam suatu ikatan pernikahan pasti akan memunculkan berbagai kewajiban bagi suami dan istri. Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab. Dalam perjalanannya, pasti ada sesuatu yang akan dikorbankan. Salah satunya adalah kebebasan.

Banyak kaum adam dan juga hawa, menganggap pernikahan itu sangat mengikat kebebasan mereka. Merasa tidak bisa lagi melakukan hal yang disukai semasa bujang dahulu. Misalnya, berkumpul dengan teman, nongkrong hingga malam pulang pagi, tidur seenaknya makan juga seenaknya. Kemana-mana tidak ada yang melarang. Tidak pulangpun tidak akan ada yang marah. Hidup itu menyenangkan.

Padahal, bukankah justru pernikahan itu membahagiakan? Di mana sisi yang dianggap sebagai suatu beban yang memberatkan? Sungguh aku tidak bisa paham dengan pemikiran suami Kasih.

“Perbanyaklah sholat tahajud. Berdoalah untuk suamimu agar Alloh membuka pintu hatinya. Susah jika kita harus memaksa seseorang untuk berubah, di saat orang itu tidak memiliki keinginan untuk berubah, Kasih. Hanya kekuatan doa istrilah yang mampu menyelamatkannya.”

Kasih menangis lagi. Terbenam dalam seguknya.

“Suamimu hanya merasa stres dan melimpahkannya padamu. Dia masih sangat labil dalam pemikirannya tentang arti sebuah pernikahan. Butuh seseorang yang menuntunnya. Tuntunlah dengan cinta. Gunakan kasih sayang untuk menyentuh lagi hati yang dulu pernah mencintaimu. Aku yakin, engkau pasti bisa.”

Ah, Kasih. Mendengar ceritamu membuat aku sadar. Bahwa permasalahan yang kuhadapi saat ini masih jauh lebih ringan dari apa yang engkau hadapi. Seharusnya aku bisa lebih menghadapi hal kecil seperti ini. Bukannya hanya bisa menumpuk perasaan ingin lari. Itu hanya pekerjaan para pecundang bukan? Dan aku bukanlah serendah itu!

Ingatlah Kasih, pun juga diriku, bahwa kita masih memiliki Tuhan yang selalu bersama hambanya yang mau bersujud meminta pertolongan padaNya.


Nda, 030114

CINTA PASTI AKAN KEMBALI


“Nduk, kalau kamu sudah memilih sebuah jalan buat dilalui, jangan pernah mundur. Hadapilah resiko dari pilihanmu. Jangan menyerah.”

Kata-kata Ibu terus mengiang di telingaku. Perih rasanya. Bagaimana tidak, di saat aku sudah putus asa, pun demikian dengan Mas Jarwo, perasaanku hampa. Bukan jalanku untuk lari, bukan!

“Kenapa kau kembali?”

“Aku kembali demi kita, Mas.”

“Apalagi yang hendak kau dekap? Kita bahkan sudah tidak memiliki apa-apa lagi, Win.”

“Cinta. Kita masing-masing masih menggenggam cinta, dan Winda yakin itulah kekuatan terbesar kita buat kembali melanjutkan mimpi.”

Mas Jarwo terdiam. Sebentar dia menatapku, sebentar membuang muka.

“Aku ini miskin, mantan preman. Tubuhku penuh tato, tidak banyak orang yang mau percaya memberikan pekerjaaan yang baik padaku, Win. Kau tahu itu. Tidak ada perubahan yang baik pada pernikahan kita, bahkan jika sekarang kau kembali setelah pelarianmu, besok-besok pasti akan lari lagi.”

Kuhela nafasku sepenggal, mencoba menguasai gejolak kesedihan saat mendengar perkataan Mas Jarwo. Memang benar, aku ini lemah dan rapuh. Ini salahku. Sudah membuat dirinya semakin tenggelam dalam penyesalan atas ketidakmampuannya memberikan yang terbaik buat rumah tangga kami.

Tidak seharusnya dua hari lalu aku pergi begitu saja, menyisakan luka pada hati kami berdua. Bukankah seharusnya cinta bisa bertahan pada setiap kondisi apapun? Dan aku telah lupa akan satu hal itu. Juga kepada tujuan awalku ketika mau dipinang oleh Mas Jarwo dua tahun lalu.

***
Nafas Bapak kembang kempis, emosinya meluap. Aku tahu dia sangat marah ketika mendengar niatku untuk menerima pinangan Mas Jarwo, lelaki dari Dusun Panekan yang terkenal akan tabiat buruknya.

“Apa kamu sudah gila, Win? Masa depan seperti apa yang akan kamu bangun dengan lelaki urakan seperti dia!” teriak Bapak.

Benar apa kata Bapak. Mungkin. Tetapi dia tidak mengerti. Semenjak pertemuan enam bulan lalu, saat aku menjadi sukarelawan sebagai tenaga pengajar anak-anak putus sekolah di kampung itu, Mas Jarwo sudah banyak berubah. Perlahan, dia mau belajar mengaji. Mau belajar sholat. Sudah banyak membantu kegiatan amal kami.

Begitulah, ketika cinta telah memanggil, bahkan pada hati seorang preman sekalipun, pasti memberikan kebaikan.

“Pak, Winda ingin menjadi penyempurna agama Mas Jarwo. Winda ingin menggapai ridho Allah.” jawabku dengan penuh senyum lembut pada Bapak. Dan sejak kalimat itu kulontarkan, Bapak memilih terdiam.

***

“Mas,” kuraih tangan kokoh Mas Jarwo yang penuh carut marut kasar. Kugenggam tangan itu lembut, “maafkan aku. Istrimu ini terlalu cepat menyerah pada tujuan pernikahan kita. Winda janji akan lebih berjuang menghadapi apapun berdua denganmu. Maafkan Winda ya, Mas.”

Bulir bening mengalir dari mata suami tercintaku. Dipeluknya aku erat. Hangat sekali kasihnya.

“Jika kita menyerah sekarang, maka di antara kita bukan cinta, tetapi hanya sebuah persinggahan belaka, Win. Dan kamu bukanlah persinggahan, kamu adalah masa depanku.”

Aku menangis terisak. Membuncahlah semua perasaan kami pada dinding-dinding rumah sepetak, yang telah rapuh karena lembab.




Nda, 280214



SOSOK IRENE DI HUTAN PARE-PARE

 
“Aku ingin bepergian seorang diri, Ren. Bolehkah? Aku sedang ingin sendiri.”
“Mengapa?”
“Aku sedang limbung. Maafkan aku. Ada hal yang sedang membuatku ragu.”
“Apa yang sedang tak kau yakini, Van? Tentang pernikahan kita? Atau.. mungkinkah ada wanita lain di hatimu?”
“Tidak, bukan wanita. Sedikit, tetapi bukan itu, Ren.”
“Lalu apa?”
“Maaf, Ren. Aku belum bisa bilang sama kamu. Beri aku waktu.”
Sekejab kau mendengus, kulihat sekilat kecewa di matamu. Kau yang ceria dan berapi-api kini redup dan membiru. Mungkin ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kau buncah, namun kau tahu bukan saatnya untuk melanjutkan percakapan kita malam ini.
Belum..
“Sabar ya, Ren. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”

***

“Kamu menikah sudah berapa tahun? Lalu mana hasilnya? Ibu ini sudah tua, sudah kangen menimang cucu. Sedangkan kamu anak lelaki Ibu satu-satunya. Jika sampai sekarang Irene belum juga hamil, lebih baik kamu..”
“Ibu.. tolong jangan menyudutkan aku dong.”
“Bukan begitu maksud Ibu, Van. Ibu juga sayang sama menantu Ibu, tetapi ini beda perkara. Jangan sampai garis keturunan keluarga kita terputus di rahim Irene.”
Kuteguk kopi di cangkir putih yang telah menghangat. Sudah kuduga suatu saat Ibu akan berbicara tentang ini. Dan aku, takkan sanggup jika harus dipaksa memilih antara Ibu atau Irene.
“Le, bagaimana jika besok Ibu meninggal dan kau belum bisa memenuhi permintaan Ibu?”
“Jangan berkata seperti itu, Bu. Perkataan itu adalah sebuah doa.”
Kugenggam tangan Ibu yang sudah mengkeriput karena dilahap usia. Jemarinya dingin. Penyakit jantung Ibu sudah semakin beranak pinak di tubuhnya. Membuat tubuh itu makin kurus. Sari pati kehidupan Ibu, hampir mengering.
“Bu, Ivan dan Irene sudah berusaha semaksimal mungkin. Apapun sudah kami coba, namun Tuhan masih berkendak lain. Tolong, mengertilah, jangan paksa aku harus memilih di antara kalian.”
Ibu menarik lengannya. “Kamu ini,” desisnya sambil melengos, “ternyata kamu lebih senang menjadi anak yang durhaka dari pada berbakti pada Ibumu.”
“Ibu..”
Wanita yang telah melahirkanku duapuluh delapan tahun lalu itu membisu. Matanya bahkan sudah tidak mau lagi menatap raut wajahku yang kebingungan, karena tak tahu hendak berkata apalagi.

***

Kesiur sang bayu membangunkanku dari sang lelap. Sebongkah kabut mengambang di antara para samun yang tengah tertidur. Kuangkat tubuhku bangun dari sadai. Lalu memecah suara hening yang bergantungan di pucuk-pucuk daun jati, dan menyibak arah pandang ke penjuru hutan.
Ini tempat kenanganku bersama Irene. Hutan Pare-pare. Di sinilah aku berteduh dari dunia yang tengah mengancam cinta kami. Berkemah, seorang diri. Mencoba mencari penyelesaian dari masalah yang beberapa hari ini mengendap di pikiranku.
Empat tahun lebih pernikahanku dengan Irena hampa tanpa diwarnai kehadiran seorang anak. Dan Ibu yang merasa hampir habis masa hidupnya di dunia, tengah menuntut kehadiran bayi kecil, secepatnya. Jika Irene tak mampu memberi, Ibu memintaku mendapatkannya dari wanita lain.
Itu artinya, aku harus menikah lagi. Dan aku tak sanggup melakukannya.
Irene memang wanita yang kuat, namun bukanlah hakku untuk menghancurkan mimpi indahnya tentang sebuah pernikahan sekali seumur hidup, dan tidak akan pernah ada orang ketiga di antara kami.
Tetapi, Ibu juga adalah nafasku. Namun..
Ah, aku ingin menghilang saja. Sungguh, aku takkan sanggup menolak permintaan Ibu. Adakah, siapapun di sana, yang bisa membantuku terlepas dari beban berat ini?
Aku teramat lelah.

***

“Mas..”
“Mas Ivan, bangun. Sudah pagi.”
Aku terbelalak. Irene tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Bagaimana mungkin?
“Irene?” tanyaku, “bagaimana kamu tahu aku ada di sini?”
Irene menyambut pertanyaanku dengan sebuah senyuman, “kamu ini bagaimana? Bukankah aku ini istrimu. Jelaslah aku tahu di mana kamu saat sedang gundah seperti saat ini.”
Kuraih tubuh Irene dan langsung memeluknya. “Aku kangen.”
“Kamu tak perlu takut lagi untuk bercerita, semalam Ibu menelepon dan mengungkapkan semuanya.”
“Benarkah?”
Seketika kulepas pelukanku, menatap mata jernih wanita ayu yang telah menjadi bagian hidupku ini. “Lalu?” tanyaku penuh kecemasan.
“Mas, aku ini istrimu. Itu artinya Ibu adalah ibuku juga. Apapun permintaan beliau itu adalah sebuah amal bagi kita, anak-anaknya.”
“Kau..?”
Irene menganggukkan kepalanya. “Aku memang tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu, tetapi bukan berarti aku tidak bisa memberikan sedikit hati demi kebahagiaan Ibu. Menikahlah kau, Mas. Turuti permintaan Ibumu.”
“Irene..”
 Degup sukmaku berlaju kencang. Jiwa cintaku pada Irene semakin bergucang hebat. Dia benar-benar wanita yang luar biasa. Irene sempurna.
Kupeluk tubuh Irene kembali. Kini tubuh itu terasa semakin dingin. Bahkan lebih dingin dari box freezer berwarna merah maroon di rumah kami. “Kau kedinginan?” bisikku padanya.
“Tidak. Bukankah sekarang kau sudah membuatku hangat?”
“Tidak, sayang. Justru kaulah yang membuat hatiku hangat.”
Irene semakin mengeratkan pelukannya. Bahkan di saat dia menerima beban berat yang seharusnya mampu mencabik hatinya menjadi keping-keping itu, Irene tidak tampak menangis sedikitpun.
Ah, apakah benar aku akan tega memperlakukan Irene yang berhati baik ini sejahat itu nanti. Membiarkannya melihatku bergandengan tangan, bermesraan, bahkan bercinta dengan wanita lain?
Tidak!
Jiwaku berontak. Aku bukanlah lelaki serendah itu!
Iya, benar. Aku adalah suaminya. Hidupnya, jiwa dan perasaannya adalah tanggung jawabku untuk menjaga itu semua. Benar, akulah yang memutuskan ke mana arah jalan kami.
“Ren, ayo kita lari saja.”
Irene melepaskan pelukan. Wajahnya tersirat rasa kejut akan perkataanku barusan. “Maksudmu?”
“Iya, kita lari. Pergi jauh dari Ibu dan semuanya. Kita hidup sendiri, hanya berdua.”
“Mas Ivan..”
“Tidak, Ren. Aku tak bisa melakukan permintaan Ibu dan membuat hatimu bernanah tiap malam. Aku mencintaimu. Aku tak mau dengan wanita lain, hanya kamu Ren!”
Bulir bening Irene meleleh. Majahnya yang sejak tadi datang begitu pucat, kini tersembul rona merah di pipinya. Dia pun terisak-isak sambil menganggukan kepalanya.


Kulihat matahari mulai mengendap-endap di sela-sela daun jati hutan Pare-pare. Melindapkan suara siulan burung yang tengah bercumbu mencari betinanya. Kuraba surih hutan, menyibak samun-samun yang hampir kering tak terjamah embun. Aku dan sosok Irene yang sedingin salju pucat di tengah hutan perawan, melesat pergi, raib ditelan rerimbun pohon.  

***

Irene tersedu-sedu meratapi nasib di atas pembaringannya. Sudah ada kehendak ingin mengakhiri kehidupannya yang kini telah hampa. Namun Irene tahu, bukan hanya dia yang akan pergi. Tetapi juga setitik benih yang kini tengah mendekam di rahimnya yang subur makmur itu.
Sudah dua purnama Ivan dinyatakan hilang di hutan Pare-pare. Dan beberapa menit lalu, kabar diketemukannya Ivan sudah sampai pada dirinya.
Ivan, diketemukan mati dengan tubuh garing, dan dalam keadaan memeluk sebuah arca tua yang tertutupi salur-salur nan rimbun. Tak seorang pun mengetahui mengapa jasad itu tersenyum begitu bahagia sambil mendekap batu. Iya, tidak ada seorang pun yang tahu.
Lalu kini, sia-sia sudah pengorbanan Irene demi mendapatkan benih lelaki lain, hanya untuk membuat binar cerah di wajah Ivan kembali. Semua sudah tak berarti. Karena lelakinya yang mandul itu, sudah takkan kembali lagi ke dalam pelukannya.
Untuk selamanya...




Nda, 010414



Jumat, 28 Maret 2014

SI BUDI KECIL




Hujan tengah menjajah tanah bumi. Sambil menenteng ransel kucelnya, Budi berlari melesat. Jejakan kakinya menyibak genangan-genangan air di tanah becek, menghasilkan bunyi merdu, seirama dengan denting sang hujan.

Entah sudah berapa kali pemuda kecil ini menggigil kedinginan. Tetapi basah dan dingin tidak sekalipun dihiraukan. Bukan itu yang tengah dipikirkan Budi. Tujuannya hanya ingin segera pulang, bertemu sang adik, dan memberikan hadiah kejutan untuk dia.

“Dek Marno! Dek Marno!” teriak Budi ketika sudah sampai di depan pintu rumah.

Emak datang tergopoh dari dalam, kaget dengan teriakan Budi. Alisnya terlihat mengkerut tajam. Terbesit sedikit kekhawatiran dari raut wajah perempuan paruh baya itu.

“Eneng opo toh, Bud? Kok pakai teriak segala.” tanya Emak.

“Dek Marno ke mana, Mak?”

“Itu lagi tidur di kamar. Memangnya ada apa kok nyari-nyari adikmu, le?”

Binar wajah Budi sangat ceria. Hatinya sungguh gembira. Janji kepada sang adik sudah terpenuhi. Pelan-pelan dia membuka penutup ransel yang sudah berkarat. Memang harus hati-hati, karena jika tidak bisa-bisa resleting tua itu rusak.

“Ini Mak,” Budi mengambil bungkusan plastik hitam dari dalam ransel lalu menyerahkannya pada Emak, “ini buku tulis sama pensil untuk dek Marno. Sudah seminggu ini dia merengek minta dibelikan. Bukunya yang lama sudah habis.”

Melihat itu Emak jadi terharu. Mata tuanya mulai berkaca-kaca.

“Tenang Mak, ini uang yang Budi tabung sendiri. Bukan uang hasil jualan koran dan bantu-bantu di pasar tadi.” Budi merogoh ranselnya kembali. Kali ini dia mengambil sekumpulan uang yang dibungkus ke dalam plastik bening. “Nah, kalau ini uang hasil kerja Budi hari ini, Mak.” katanya sambil tersenyum.

“Owala, le. Hatimu sungguh apik tenan.”

Emak memeluk Budi. Tangisannya pecah. Terisak-isak di bahu kecil anak sulungnya yang baru berumur duabelas tahun itu.

Budi memang masih sangat belia. Tapi di dalam keluarga ini, sekarang dialah yang menjadi tulang punggung keluarga. Apapun dia kerjakan untuk mendapatkan uang. Bahkan, sebelum fajar menyingsing, Budi sudah berangkat ke pasar, bekerja sebagai buruh angkut.

Ironis memang. Dalam usia yang masih pantas untuk mengenyam pendidikan sekolah itu, Budi harus rela mengalah berhenti dan memilih bertarung dengan kehidupan.

Mau bagaimana lagi? Karena jika tidak demikian, Emak, Marno dan Diah si bungsu, tidak akan bisa hidup. Lalu, kemanakah si Bapak?

Banyak tetangga bercerita pada Budi, Bapak lari dengan perempuan lain. Gadis muda dari gang sebelah, yang bekerja di cafe remang-remang. Tetapi Emak lebih bijak lagi.

“Bapak tidak seburuk itu, le. Jadi jangan kau benci dirinya. Bapak hanya sedang tersesat saja. Berdoalah kepada Allah, agar kelak dia bisa menemukan kembali jalan pulang.”

Tetapi kalimat itu sudah satu tahun yang lalu dilontarkan Emak. Sekarang, bukah hal utama lagi kemana Bapak pergi dan kapankah dia akan pulang. Yang penting, Budi harus bekerja mencari uang demi sekolah Marno dan demi dapur Emak.

***

Marno menatap kakaknya lamat-lamat. Sesuatu tengah menggelitik pikirannya. Apa itu? Marno hanya tersenyum-senyum kecil, tampak sekali dia sedang bahagia. Entah, apa yang sedang ada di hati Marno.

“Mas.”

“Apa?”

“Marno sayang sekali sama mas Budi.” Jawab Marno sambil senyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang berlubang.

Mulut Budi sedikit terbuka karena heran mendengar ucapan Marno. Wah, tumben sekali adiknya yang masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar itu berkata hal-hal manis. Padahal biasanya hanya bisa merengek dan menangis minta ini itu.

“Sudah, jangan ngomong yang aneh-aneh. Ayo, mana pekerjaan rumahmu?” sahut Budi yang sebenarnya sedang sedikit tersipu malu.

“Mas Budi ini sebenarnya pintar. Mengapa tidak melanjutkan sekolah saja?”

“Uang dari mana? Apa kamu mau menggantikan mas mencari uang, nanti mas yang sekolah, gimana?”

Marno memajukan bibirnya. Budi tertawa sambil mengacak-acak rambut adiknya yang mulai merajuk itu.

“Sudahlah, dengan menemani kamu belajar seperti sekarang, mas Budi juga sedang ikut belajar. Gak usah kuatir mas nanti jadi lelaki yang bodoh, mas ini pinter kok. Kalau di pasar, atau lagi jualan koran, aku masih sering baca-baca. Bisa dibilang itu nambah ilmu juga toh?”

“Jika seandainya mas punya kesempatan untuk sekolah lagi, apa mas mau?”

“Wah, ya jelas mau. Sekolah itu penting sekali, buat bekal masa depan.”

Marno tersenyum melihat kakaknya menjawab dengan penuh semangat. “Ya udah mas, kalau begitu, ayo belajar bareng Marno. Nanti kalau ada yang tidak diketahui, tanyakan saja sama Marno ya.”

“Sombong sekali kamu.”

Mereka berdua tertawa. Emak yang melihat dan mengikuti percakapan mereka sedari tadipun juga ikut tersenyum. Bangga dengan mereka berdua. Kakak beradik yang saling kasih mengasihi.

***

Kertas-kertas dokumen berserakan di sebuah meja. Seorang wanita berkerudung coklat tengah asik membaca kertas-kertas itu satu persatu. Diamati perlahan-lahan. Tidak lama kemudian, diraihnya sebuah ponsel hitam. Jari jemarinya yang lentik mulai asik menari di atas tombol-tombol kecil ponsel.

“Assalamu’alaikum. Bisa disambungkan kepada kepala sekolah SDN Petegan?”
***

Fajar hampir menampakan muka. Di bawah deras hujan yang garang, Budi tengah hilir mudik mengangkut karung-karung berisi sayuran. Tubuh kecil Budi yang kurus nan ringkih harus berjuang dari rasa dingin dan bertahan dari beban berat. Sesekali dia berhenti mengusap air hujan yang menggantung di bulu mata.

Berat sekali hari ini. Tetapi semangat Budi tidak kendor. Teringat akan tagihan dari si tukang sayur langganan Emak, Mpok Dilla. Sudah tiga hari ini dia menagih hutang ke Emak.

Ah, tanggung jawab di pundak Budi semakin bertumpuk saja.

Beberapa menit kemudian, Budi akhirnya bisa rehat. Duduk di lantai sebuah toko yang masih tutup, sambil mereguk sebotol air putih untuk menuntaskan dahaganya. Setelah dirasa cukup membasahi tenggorokan, Budi bergegas meraih ransel yang sedari tadi digantung di dinding toko. Diambilnya sebuah buku tebal dan sebuah bolpoin hitam dari dalam ransel. Sambil menyandarkan tubuh pada dinding toko, Budi serius melahap isi buku.

Itu adalah buku pelajaran untuk kelas tujuh. Dibeli Budi di loakan. Memang demikianlah si Budi, tidak pernah berhenti semangat untuk belajar. Bagi dirinya, bolehlah jika dia harus mengalah untuk putus sekolah demi keluarganya, tetapi kata semangat untuk belajar adalah sesuatu yang tidak boleh terhenti begitu saja hanya karena ketidakmampuan.

***

Hari sudah menjelang sore. Budi bergegas pulang. Baju yang basah terguyur hujan tadi pagi kini sudah kering karena berjemur di terik matahari yang menyengat untuk menjajahkan koran.

Begitu Budi membuka pintu pagar bambu dan meletakan sandal jepit bututnya di lantai, Emak langsung menyambut dengan wajah berseri-seri. Bola-bola matanya berair. Tampak seperti baru saja ada yang tumpah dari sana.

“Le, le.” Emak tergagap. Suaranya agar sedikit parau.

Budi heran, alis kecilnya mengkerut. “Ada apa, Mak?” tanyanya. Tetapi Emak yang ditanya tidak segera menjawab. Entah karena tidak tahu hendak berkata apa atau memang tidak mampu mulutnya bersuara. Dalam diamnya, Emak meraih tubuh Budi dan memeluknya erat-erat.

Emak menangis. Terbenam dalam seguk-seguk yang serak. Dan tentu saja, membuat si sulung Budi menjadi kelabakan. Ada apa dengan sang Emak?

“Oh ini ya yang bernama Budi.” Seorang wanita berkerudung tiba-tiba muncul dari dalam rumah, tersenyum pada Budi.

Loh, siapa ya wanita itu? Mulut Budi terbuka lebar. Semakin heran dengan apa yang sedang terjadi di rumahnya.

Adegan peluk dan tangis Emak reda. Semua akhirnya masuk kembali ke dalam rumah dan melanjutkan perbincangan. Setelah dijelaskan dengan gamblang, akhirnya jelas sudah, tentang siapa wanita berwajah ramah itu, juga sebuah alasan mengapa Emak menangis seperti sedang kehilangan seorang suami.

Wanita itu adalah ketua pengurus dari Al-Khaafah. Sebuah yayasan yang peduli dengan pendidikan anak usia sekolah. Mereka mencari anak-anak yang putus sekolah dikarenakan faktor kemiskinan. Target utama adalah dusun-dusun terpencil. Seperti dusun Petegan tempat tinggal keluarga Budi ini.

Kepala Budi berputar-putar mendengar cerita wanita itu. Bukan karena pusing atau hal lain, tetapi karena terlalu gembira.

Benarkah apa yang dia dengar saat ini? Budi akan bersekolah lagi? Gratis? Hingga jenjang Sekolah Menengah Atas?

Mimpikah? Bahkan cita-cita yang takut untuk diimpikannya itu sudah ada di depan mata! Lalu bagaimana dia harus berlaku sekarang? Berteriak? Menangis?

Budi hanya diam. Kaku, dengan muka yang tersipu. Ada gembira, haru juga perasaan yang entah harus bagaimana.



 Nda, 290314