Senin, 31 Maret 2014

SOSOK IRENE DI HUTAN PARE-PARE

 
“Aku ingin bepergian seorang diri, Ren. Bolehkah? Aku sedang ingin sendiri.”
“Mengapa?”
“Aku sedang limbung. Maafkan aku. Ada hal yang sedang membuatku ragu.”
“Apa yang sedang tak kau yakini, Van? Tentang pernikahan kita? Atau.. mungkinkah ada wanita lain di hatimu?”
“Tidak, bukan wanita. Sedikit, tetapi bukan itu, Ren.”
“Lalu apa?”
“Maaf, Ren. Aku belum bisa bilang sama kamu. Beri aku waktu.”
Sekejab kau mendengus, kulihat sekilat kecewa di matamu. Kau yang ceria dan berapi-api kini redup dan membiru. Mungkin ada begitu banyak pertanyaan yang ingin kau buncah, namun kau tahu bukan saatnya untuk melanjutkan percakapan kita malam ini.
Belum..
“Sabar ya, Ren. Aku hanya butuh waktu untuk berpikir.”

***

“Kamu menikah sudah berapa tahun? Lalu mana hasilnya? Ibu ini sudah tua, sudah kangen menimang cucu. Sedangkan kamu anak lelaki Ibu satu-satunya. Jika sampai sekarang Irene belum juga hamil, lebih baik kamu..”
“Ibu.. tolong jangan menyudutkan aku dong.”
“Bukan begitu maksud Ibu, Van. Ibu juga sayang sama menantu Ibu, tetapi ini beda perkara. Jangan sampai garis keturunan keluarga kita terputus di rahim Irene.”
Kuteguk kopi di cangkir putih yang telah menghangat. Sudah kuduga suatu saat Ibu akan berbicara tentang ini. Dan aku, takkan sanggup jika harus dipaksa memilih antara Ibu atau Irene.
“Le, bagaimana jika besok Ibu meninggal dan kau belum bisa memenuhi permintaan Ibu?”
“Jangan berkata seperti itu, Bu. Perkataan itu adalah sebuah doa.”
Kugenggam tangan Ibu yang sudah mengkeriput karena dilahap usia. Jemarinya dingin. Penyakit jantung Ibu sudah semakin beranak pinak di tubuhnya. Membuat tubuh itu makin kurus. Sari pati kehidupan Ibu, hampir mengering.
“Bu, Ivan dan Irene sudah berusaha semaksimal mungkin. Apapun sudah kami coba, namun Tuhan masih berkendak lain. Tolong, mengertilah, jangan paksa aku harus memilih di antara kalian.”
Ibu menarik lengannya. “Kamu ini,” desisnya sambil melengos, “ternyata kamu lebih senang menjadi anak yang durhaka dari pada berbakti pada Ibumu.”
“Ibu..”
Wanita yang telah melahirkanku duapuluh delapan tahun lalu itu membisu. Matanya bahkan sudah tidak mau lagi menatap raut wajahku yang kebingungan, karena tak tahu hendak berkata apalagi.

***

Kesiur sang bayu membangunkanku dari sang lelap. Sebongkah kabut mengambang di antara para samun yang tengah tertidur. Kuangkat tubuhku bangun dari sadai. Lalu memecah suara hening yang bergantungan di pucuk-pucuk daun jati, dan menyibak arah pandang ke penjuru hutan.
Ini tempat kenanganku bersama Irene. Hutan Pare-pare. Di sinilah aku berteduh dari dunia yang tengah mengancam cinta kami. Berkemah, seorang diri. Mencoba mencari penyelesaian dari masalah yang beberapa hari ini mengendap di pikiranku.
Empat tahun lebih pernikahanku dengan Irena hampa tanpa diwarnai kehadiran seorang anak. Dan Ibu yang merasa hampir habis masa hidupnya di dunia, tengah menuntut kehadiran bayi kecil, secepatnya. Jika Irene tak mampu memberi, Ibu memintaku mendapatkannya dari wanita lain.
Itu artinya, aku harus menikah lagi. Dan aku tak sanggup melakukannya.
Irene memang wanita yang kuat, namun bukanlah hakku untuk menghancurkan mimpi indahnya tentang sebuah pernikahan sekali seumur hidup, dan tidak akan pernah ada orang ketiga di antara kami.
Tetapi, Ibu juga adalah nafasku. Namun..
Ah, aku ingin menghilang saja. Sungguh, aku takkan sanggup menolak permintaan Ibu. Adakah, siapapun di sana, yang bisa membantuku terlepas dari beban berat ini?
Aku teramat lelah.

***

“Mas..”
“Mas Ivan, bangun. Sudah pagi.”
Aku terbelalak. Irene tiba-tiba sudah ada di hadapanku. Bagaimana mungkin?
“Irene?” tanyaku, “bagaimana kamu tahu aku ada di sini?”
Irene menyambut pertanyaanku dengan sebuah senyuman, “kamu ini bagaimana? Bukankah aku ini istrimu. Jelaslah aku tahu di mana kamu saat sedang gundah seperti saat ini.”
Kuraih tubuh Irene dan langsung memeluknya. “Aku kangen.”
“Kamu tak perlu takut lagi untuk bercerita, semalam Ibu menelepon dan mengungkapkan semuanya.”
“Benarkah?”
Seketika kulepas pelukanku, menatap mata jernih wanita ayu yang telah menjadi bagian hidupku ini. “Lalu?” tanyaku penuh kecemasan.
“Mas, aku ini istrimu. Itu artinya Ibu adalah ibuku juga. Apapun permintaan beliau itu adalah sebuah amal bagi kita, anak-anaknya.”
“Kau..?”
Irene menganggukkan kepalanya. “Aku memang tidak bisa memberikan keturunan untuk keluargamu, tetapi bukan berarti aku tidak bisa memberikan sedikit hati demi kebahagiaan Ibu. Menikahlah kau, Mas. Turuti permintaan Ibumu.”
“Irene..”
 Degup sukmaku berlaju kencang. Jiwa cintaku pada Irene semakin bergucang hebat. Dia benar-benar wanita yang luar biasa. Irene sempurna.
Kupeluk tubuh Irene kembali. Kini tubuh itu terasa semakin dingin. Bahkan lebih dingin dari box freezer berwarna merah maroon di rumah kami. “Kau kedinginan?” bisikku padanya.
“Tidak. Bukankah sekarang kau sudah membuatku hangat?”
“Tidak, sayang. Justru kaulah yang membuat hatiku hangat.”
Irene semakin mengeratkan pelukannya. Bahkan di saat dia menerima beban berat yang seharusnya mampu mencabik hatinya menjadi keping-keping itu, Irene tidak tampak menangis sedikitpun.
Ah, apakah benar aku akan tega memperlakukan Irene yang berhati baik ini sejahat itu nanti. Membiarkannya melihatku bergandengan tangan, bermesraan, bahkan bercinta dengan wanita lain?
Tidak!
Jiwaku berontak. Aku bukanlah lelaki serendah itu!
Iya, benar. Aku adalah suaminya. Hidupnya, jiwa dan perasaannya adalah tanggung jawabku untuk menjaga itu semua. Benar, akulah yang memutuskan ke mana arah jalan kami.
“Ren, ayo kita lari saja.”
Irene melepaskan pelukan. Wajahnya tersirat rasa kejut akan perkataanku barusan. “Maksudmu?”
“Iya, kita lari. Pergi jauh dari Ibu dan semuanya. Kita hidup sendiri, hanya berdua.”
“Mas Ivan..”
“Tidak, Ren. Aku tak bisa melakukan permintaan Ibu dan membuat hatimu bernanah tiap malam. Aku mencintaimu. Aku tak mau dengan wanita lain, hanya kamu Ren!”
Bulir bening Irene meleleh. Majahnya yang sejak tadi datang begitu pucat, kini tersembul rona merah di pipinya. Dia pun terisak-isak sambil menganggukan kepalanya.


Kulihat matahari mulai mengendap-endap di sela-sela daun jati hutan Pare-pare. Melindapkan suara siulan burung yang tengah bercumbu mencari betinanya. Kuraba surih hutan, menyibak samun-samun yang hampir kering tak terjamah embun. Aku dan sosok Irene yang sedingin salju pucat di tengah hutan perawan, melesat pergi, raib ditelan rerimbun pohon.  

***

Irene tersedu-sedu meratapi nasib di atas pembaringannya. Sudah ada kehendak ingin mengakhiri kehidupannya yang kini telah hampa. Namun Irene tahu, bukan hanya dia yang akan pergi. Tetapi juga setitik benih yang kini tengah mendekam di rahimnya yang subur makmur itu.
Sudah dua purnama Ivan dinyatakan hilang di hutan Pare-pare. Dan beberapa menit lalu, kabar diketemukannya Ivan sudah sampai pada dirinya.
Ivan, diketemukan mati dengan tubuh garing, dan dalam keadaan memeluk sebuah arca tua yang tertutupi salur-salur nan rimbun. Tak seorang pun mengetahui mengapa jasad itu tersenyum begitu bahagia sambil mendekap batu. Iya, tidak ada seorang pun yang tahu.
Lalu kini, sia-sia sudah pengorbanan Irene demi mendapatkan benih lelaki lain, hanya untuk membuat binar cerah di wajah Ivan kembali. Semua sudah tak berarti. Karena lelakinya yang mandul itu, sudah takkan kembali lagi ke dalam pelukannya.
Untuk selamanya...




Nda, 010414



Tidak ada komentar:

Posting Komentar