Senin, 10 Maret 2014

KEMUNING



  

Adalah dia, Kemuning, wanita berhati tangguh. Dalam usia yang hampir tigapuluh tiga, sudah mampu menaklukan musuh terkuatnya, aku, dirinya sendiri. Sempat tidak percaya bagaimana dia mampu menjegalku masuk ke dalam rongga hati yang terdalam, paling dasar dan paling gelap. Menguncinya rapat, tersenyum sebentar, lalu menghilang tanpa memandang ke belakang. Meninggalkan aku dalam perasaan kelam yang pernah kuciptakan sendiri, dahulu sekali, ketika aku masih mengagahi hatinya.

Sudah dua atau tiga bulan ini, dia membiarkanku kelaparan. Tidak sekalipun berbicara atau bahkan hanya sekedar menyapa hai. Padahal, sejak aku diciptakan oleh perasaan kalutnya, kami selalu bersama. Berjalan beriring-iring. Tak pernah dia meninggalkan aku dibelakang, melepas tangan, atau mengacuhkan perkataanku.

Lalu mengapa sekarang dia berkhianat?

Sudah lupakah siapa yang mengajarinya tentang hidup? Bahwa jangan pernah mempercayai seorang pun, hanya kita. Aku juga sering berkata padanya, jika hidup itu harus bisa membalas, jangan mau menjadi pihak yang lemah, begitu mudah diinjak dan disakiti. Tidak! Kita bukan wanita yang harus menjadi sandal bagi pria manapun.

Tetapi lihatlah kini? Dia diam padaku. Seolah aku ini sudah bukan bagian dari dirinya lagi. Benda asing. Sesuatu yang harus dibuang jauh-jauh dari kehidupannya. Baginya aku adalah hal buruk yang tak pantas bersemayam lagi di otak. Hei, padahal diriku ini nyata keberadaannya. Lupakah kau, Kemuning?

Ah, sebentar, kuhela nafas dahulu. Aku sudah terlalu lelah menunggunya datang menghampiri lalu menjulurkan tangannya kembali. Sama seperti dulu. Ingin menari bersama, dan meneriakan isi hati kami seru-seru dengan nada pedas.   

Oh ya, aku teringat. Terakhir kali kami bersama adalah malam itu, saat kepedihan luka lama menyeruak berhamburan, keluar dari pori-pori. Denting sepi, bulan durjana lalu anak embun yang mulai menampakan wajahnya. Mereka bertigalah yang menemani deru tangis Kemuning, yang sudah lama begitu dia rindukan.

Tangisannya memilu, menyayat hati. Berteriak, menangis, tertawa terbahak, kemudian menangis lagi kencang-kencang. Bulan bahkan malu untuk melihat Kemuning, tidak berdaya dilahap dendam amarah yang meluap-luap. Dalam remang cahaya dia menelungkupkan kaki, memeluk dengan kedua tangannya, sesegukan di dapur sendirian. Iya sendirian. Sebenarnya aku tahu lelaki itu, suami Kemuning, bisa mendengar teriakan dan tangisannnya, tetapi apa? Dia berpura-pura tuli. Hanya diam merebahkan tubuh di kamar.

Makhluk yang menyedihkan. Lelaki paling egois yang pernah kutemui!

Lalu apa kau tahu ke mana Kemuning setelah itu? Membenamkan dirinya dalam kamar mandi, dengan deru air kran yang deras, berkali-kali menyiram kepalanya dengan gayung sebesar panci air. “Byur! Byur! Byur!” Seperti sedang mengusir roh jahat dalam tubuhnya, sebuah ritual, sambil terus terisak. Kau tahu pukul berapa saat itu? Duabelas malam. Aku pikir saat itu dia sudah gila. Tetapi ternyata dugaanku salah.

Setelah malam itu, sekali pun dia tak pernah tertawa lagi padaku. Muncul sebuah kekuatan baru yang entah datang dari mana. Dan itu menakutkan. Dengannya Kemuning berhasil melawanku. Menindih semakin ke dalam. Terpuruk. Lalu beginilah akhirnya. Dia bebas, dari cekikan dendam dan kebencian yang telah bertahun-tahun menggerogoti pikirannya. Itulah aku, dendam dan amarah Kemuning pada suaminya sendiri.

Ah, ini tidak boleh seperti ini. Tak bisa dia terus-terusan mengacuhkan aku. Sungguh, harus segera bertindak sebelum kekuatannya semakin membesar. Maka, dengan sisa tenaga yang tersimpan, aku berusaha memanggilnya sekali lagi. Untuk yang terakhir kalinya, mungkin, tapi bisa saja juga tidak yang terakhir, kita lihat saja nanti.

“Kemuning.” Hening menggema.

“Hai, bisakah kau mendengarkan. Sebentar saja, berbicaralah padaku.”

Diam, masih tak ada jawaban. “Kemuning. Kemuning!” kali ini lebih keras.

“Apa?” akhirnya dia menyahut walaupun dengan perasaaan malas.

“Apakah kau benar sudah menyerah pada perjuanganmu selama ini? Menuntut hakmu untuk bahagia dari lelaki itu?”

Kemuning membisu sebentar, sambil terus merajut baju hangat untuk bayi perempuannya. “Tidak. Aku bukan orang yang mudah putus asa, kau tahu benar itu.”

“Lalu, mengapa sekarang kau melepaskan dirimu dari aku? Bukankah aku ini kekuatanmu untuk melawan keegoisannya.”

“Bukan, kau salah.”

“Apa maksudmu aku salah?” Hatiku meradang. Tersinggung benar aku akan perkataan Kemuning barusan.

“Kekuatanku bukan kamu, tetapi anak-anakku. Kau hanya sisi gelap yang mengaku menjadi penolong. Kau merusakku.”

Hah? Apa! Huh, geregetan aku. Dia malah menyungging senyum, bukti kalau benar-benar membenciku. “Jadi kau akan diam saja dengan perlakuan lelaki itu? Dia itu pembohong, banyak menyimpan rahasia di belakangmu, dia bajingan, maen perempuan. Kamu tahu benar itu! Bagaimana kau hanya bisa diam saja melihatnya menari kegirangan, meloncat-loncat, dan menganggapmu bodoh karena begitu pemaaf, begitu mudah dibohongi. Padahal sebenarnya kau tahu semua kebohongannya. Kau tahu itu!”

Kemuning terdiam.

“Aku tidak bisa terima, Kemuning. Kau itu sedang dilecehkan. Apa gunanya dia menikahimu jika hanya mampu menyiramimu dengan kebohongan saja? Bukan itu guna kamu menjadi pendamping hidupnya.”

Dia menghela nafas panjang. Sekarang menatap mataku dalam-dalam sambil berkata panjang. “Kau tahu, tidak ada gunanya menyimpan dendam dan kebencian dalam hati. Justru akan membuat kita bobrok saja, hati akan semakin membusuk. Tidak pantas aku memberi tangisku pada lelaki yang semaunya itu, biarlah sudah, dia bukan menjadi prioritas lagi dalam hidupku. Kau tahu apa yang terpenting sekarang? Anak-anakku, ibadahku, kebahagiaanku. Kan kukejar itu sampai malaikat maut datang. Bukan lagi kesetiaannya, bukan lagi kejujurannya. Percuma. Kita tidak akan bisa merubah sesuatu jika sesuatu itu sendiri tidak memiliki keinginan untuk berubah. Sama saja menyayat tangan kita dengan belati, menyakiti diri sendiri. Biarkan saja dia mau menumpuk dosa, itu hak dia menjalani hidupnya, mungkin memang hanya segitulah batas kemampuannya. Lebih baik rubah diri sendiri menjadi lebih baik lagi. Bukankah aku ini wanita yang tidak sempurna, belum mampu menjadi istri yang baik.”

Sekarang aku yang membisu.

“Aku lebih memilih berdoa pada Tuhan, agar hati lelaki itu dibuka, disentuh dengan tangan agungNya. Kau tahu kekuatan doa bukan?”

Benar, wanita ini semakin kuat. Dan aku menjadi lemah dihadapnya.

“Kau tidur saja di sana, renungkan perkataanku. Rubah dirimu menjadi hal yang baik jika kau masih mau bersamaku. Aku tidak mendendam, pun tidak marah dengan dirimu. Kau masih bagian dari jiwaku.”

Huh, apa katamu, merubah diriku. Dendam saja belum bisa terbalaskan, enak saja. Sudahlah, mungkin saat ini kau menang, dan aku akan kembali kaku di pojok gelap sana. Tetapi ingatlah Kemuning, bahwa aku masih ada, tersimpan di hatimu. Ya, walaupun aku terbenam semakin dalam, tetapi kelak, saat kau putus asa kembali, itulah saatnya kemenanganku akan berkibar.

Maka dengan bersungut-sungut aku kembali terdiam, malas berbicara kembali, sementara Kemuning melanjutkan rajutannya.




Des 19, 2013
9:19

Tidak ada komentar:

Posting Komentar