Jumat, 07 Maret 2014

SUARA KYNA





Seisi rumah pada ribut. Papa, Mama, Oma, Opa, Iyem, bahkan Ulla, si kucing anggora betinapun juga ribut mengeong tak henti-henti. Mereka bingung bertanya-tanya, kemanakah perginya suara Kyna?

Anak gadis satu-satunya itu secara gaib kehilangan suaranya. Berteriak sekeras apapun, membuka mulut selebar apapun, tetap saja tidak ada suara yang keluar. Hampa, dan kosong.

Dokter terhebat sudah didatangkan. Orang-orang pintar, bahkan para dedukun sudah berdatangan. Tetapi tetap saja semua angkat tangan. Seolah benar, suara Kyna telah ditelan oleh sang gaib.

Siapa?

Apa?

Semua saling berpandangan. Menelan ludah mereka masing-masing. Kalimat-kalimat mereka saling tergagap karena ketakutan yang teramat sangat.

Benarkah “dia” yang telah menelan suara Kyna? Ah, tidak. Bisa saja mereka salah. Itu hanya sebuah mitos. Hanya dongeng isapan jempol semata.

Tetapi, bagaimana jika dongeng sedih dan penuh kengerian itu benar-benar ada? Apa yang diinginkan Kyna? Dendam dan kebencian seperti apa yang disimpan Kyna selama ini, sehingga gadis cantik itu datang pada “dia”?

Tidak ada yang tahu.

Keributan yang sedari kemarin itupun akhirnya mereda dengan menyimpan sesak pada hati keluarga Kyna. Mama dan Oma menangis tersedu. Papa geram, ingin sekali meneriakan makian pada anaknya. Bagaimana Kyna bisa sebodoh itu?

“Arghh!” teriak Papa.

Rumah Kyna dirundung mendung.

Lalu sementara itu, di dalam kamar yang bersemu merah jambu, Kyna terduduk dalam hening. Matanya menerawang pada langit-langit kamar. Sendu. Haru membiru. Bunyi detak hatinya tergantung lemah pada penyesalan yang teramat dalam. Sudah banyak bulir perih yang dia alirkan.

Dalam keheningan dia membatin, Tuhan, tidak bisakah semuanya kembali?

***

Sekali lagi Kyna menahan nafas. Berusaha meyakinkan bahwa apa yang hendak dilakukannya adalah benar.

Kyna, ayo, kuatkan keinginanmu, besarkan keberanianmu. Melangkahlah lebih ke dalam lagi..

Glek!

Ditelannya setetes ludah.

Ayolah, pemuda itu pantas mendapatkan ini semua, Kyna. Dia mencampakkanmu, mengatai kau sebagai gadis manja yang tak pantas untuk dicintai.

Buktikan!

Buktikan jika dia telah salah...

Glek!

Sekali lagi menelan, tetapi kali ini dengan membusungkan dada. Memantapkan hatinya. Iya, benar apa kata sang batin yang berdengung-dengung di otak, pemuda itu harus dibuat menyesal. Harus!

Bagaimana tidak pantas? Deo yang teramat dicintainya itu, ternyata berselingkuh dengan sahabat Kyna sendiri, Rara. Sudah lama, bahkan sudah berlabuh pada hitungan tahun. Dan selama itupun Kyna begitu tulus menyayangi mereka berdua. Apapun diberikan. Hati, cinta, waktu, bahkan tubuh. Apa yang kurang? Apa!

Benarkah Kyna semanja itu? Yang hanya bisa memikirkan keinginannya sendiri? Argh! Masa bodoh dengan sebutan itu, hanya alasan Deo saja, agar dia bisa lepas dari tangan Kyna.

Iya, pasti begitu..

Akhirnya Kyna berani menjejakkan kakinya semakin dalam. Suara hening mulai melindap. Desir angin yang berliku di sela-sela dedaunan membuat suasana Bukit Perawan makin menyeramkan. Pohon-pohon yang menjulang tinggi, angkuh menutup sinar matahari. Bukit seram yang dijauhi para penduduk kampung itu, tampak semakin likat karena gelap.

Perlahan Kyna melangkah mendekat pada sebuah pohon beringin tua, berbadan hampir sebesar rumah. Suasananya mencekat, begitu mencekam. Aura kebencian dan amarah yang terpancar dari sang pohon, membuat bulu-bulu halus gadis limabelas tahun itu berdiri tegak.

Ah, di tempat inikah semua manusia membuang kebusukannya? Mengikuti kemana arah dendam akan berjalan? Menyedihkan. 

Panggil dia Kyna. Panggil peri itu..

Sepenggal dua penggal, dihembuskan nafas dingin dari mulutnya. Kyna gemetaran. Dia benar-benar sedang ketakutan.

“Bagaimana bila rupa peri itu menyeramkan?” desahnya.

Kyna, ingatlah lukamu. Dengarkan kembali tangisan-tangisanmu di tiap malam itu, sayang. Ingatlah Deo, ingatlah Rara...

“Iya, kau benar. Tangisan itu harus dibayar sama Deo dan Rara!”

Gadis berambut sebahu itu sudah menguatkan tekad. Benar-benar bulat sempurna. Tanpa perlu menunggu berlama-lama lagi, Kyna duduk bersujud, merapatkan kedua telapak tangan di depan dada. Dalam hati dia mengucap sebuah nama.

Iya, sebuah nama, yang seharusnya tak boleh disebut dengan gamblang.

Tiba-tiba angin mendesir kencang. Sebuah sinar dengan kerlipnya berdenyar ke arah Kyna. Diiringi sebuah tawa cekikikan yang menyayat pilu.

Kyna terkejut. Seketika itu juga melompat mundur. Tubuhnya lemas. Kaki-kakinya ngilu. Kini rasa takut Kyna, sudah diambang batas wajarnya.

Sinar itu terbang mendekat pada wajah Kyna. Perlahan kerlipnya mulai berpendar. Menampakkan sebuah sosok mungil sebesar mentimun telunjuk, memiliki rupa manusia berhidung mancung, dan bersayap seperti seekor capung.

“Apa yang hendak kau pinta?”

“Aa, aku, aku..” Kyna tergagap. Jantungnya masih berdegup kencang, tak ingin berhenti.

Makhluk itu terkekeh sekejab. Wajahnya kesenangan. Entah sudah berapa lama dia tidak menemui manusia yang akan memberikan makanan kesukaannya untuk ditukar dengan sebuah keinginan.

Setahun. Dua tahun. Atau seabad, dua abad. Entahlah.

“Suaramu indah.”

Kyna menelan ludah untuk kesekian kalinya. Wajahnya masih memucat. Hati kecil Kyna mulai ragu. Apakah benar ini yang dia inginkan? Lalu jika nanti permohonannya terkabulkan, apakah dia bisa berbahagia lagi? Sekali lagi...

Terbesit wajah Deo. Lalu samar-samar muncul bayangan Rara. Kyna benci sekali dengan mereka. Benci! Bahkan jika harus kehilangan sesuatu demi membalas sakit hati, Kyna rela. Sangat rela. Sudah muak dia dengan pengkhianatan mereka berdua.

Iya Kyna, kesakitanmu harus dirasakan juga oleh mereka..

Kyna mengangkat kepalanya, sudah tidak ada lagi rasa takut dan terkejut. Sudah bukan waktunya menyesali apa yang sudah dikehendaki. Lalu serta merta, dengan suara lantang, Kyna berteriak membabi buta pada keheningan.

“Aku, aku ingin mereka berdua merasakan sakit! Hei kau peri penunggu Bukit Perawan, lahaplah seluruh suaraku. Lalu hancurkan mereka, buat aku puas melihat Deo dan Rara menderita! Aku ingin mereka hancur, sama seperti hatiku!”

 Awan langit tiba-tiba menggulung hitam. Desir angin semakin kencang, menerbangkan daun-daun, ranting, bahkan tanah hitam di bawah kaki Kyna. Peri kecil itu tertawa terbahak-bahak karena terlalu senang. Sudah lama dia kelaparan, dan akhirnya ada seorang anak Adam yang sedang mengikat sebuah perjanjian dengan dirinya.

Pohon beringin bergoyang. Terdengar suara tangisan yang melolong panjang. Tidak hanya satu, tetapi banyak. Berpuluh-puluh, bahkan beratus-ratus! Menangis, berteriak. Suara-suara mereka menyanyat hati Kyna. Menggema ke semua arah bukit. Merobek telinga siapapun yang bisa mendengar tangisan kesedihan.

Apakah itu suara-suara manusia yang telah dicuri oleh sang peri? Sepedih itukah hidup dalam kebisuan?

Kyna ketakutan. Air matanya mengalir deras. Getar tubuhnya menghebat.

Hei! Tidak bisakah ini dihentikan? Tidak bisakah kalian diam! Cukup, hentikan. Hentikan kataku!

Gadis itu menutup telinganya rapat-rapat. Jiwanya terguncang hebat. Dia berteriak. Berteriak! Berusaha sekencang apa yang dia bisa.

Tetapi terlambat. Suara Kyna telah hilang.

***

Itulah Bukit Perawan

Menjulang gagah di ujung desa kami. Sebuah mitos bersemayam dalam ketenangannya. Cerita tentang seorang peri jahat, yang akan mewujudkan semua keinginan. Dia bisa membalaskan dendam dan kebencianmu. Tetapi dengan satu syarat, berikan suara indahmu kepadanya.

Dan kau, apakah kau punya sebuah dendam yang ingin diwujudkan? Datanglah kemari, akan kutunjukan di mana letak Bukit Perawan itu.



Feb 6, 2014
22:40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar