Kamis, 20 Maret 2014

SUAMIKU PENJUAL TAHU

  

Januari 2010

Aku ingat hari itu Selasa dini hari pukul 03.15, lelaki yang baru saja terbangun dari lelapnya itu mengecup keningku perlahan. Aku masih malas untuk terbangun, tapi tidak bagi dia. Dia sudah mandi, rambutnya basah menyegarkan. Wajahnya tetap tampak cerah walaupun aku tahu dia cukup kelelahan untuk bangun di pagi buta. Sungguh bukan hal yang biasa baginya, tetapi dia tidak mengeluh sedikit pun.

“Panda berangkat ya hunz.” ucapnya.

Aku menganggukan kepalaku sambil tersenyum, “Ati-ati ya, Nda” balasku.

Kemudian dia berpaling, dan dalam kantukku, aku menatap punggungnya hingga menghilang dari balik pintu kamar tidurku.

***

Panasnya matahari sudah memuncak. Saat itu pukul 11.45, dan aku baru saja menata alamariku saat motor Yamaha Jupiter warna merah merapat di teras depan rumah. Suamiku pulang. Wajahnya lusuh menghitam dengan keringat yang berlomba-lomba memenuhi permukaannya.

“Sepi, hunz.” katanya dengan tetap berusaha tersenyum.

Aku membalasnya, “Gak apa-apa. Makan dulu yuk.”

“Iya, Panda juga udah lapar sekali. Masak apa?”

“Sayur asem ikan pindang, kesukaan Panda”

“Yes, mantap”

Sambil bercakap kami bersama memasukan ember biru berukuran sedang ke dalam dapur. Baru kemudian makan baersama. Sedikit-sedikit kami bercanda. Dia bercerita tentang situasi pasar hari itu. Bercerita tentang penjual sandal yang paling suka menggoda ibu-ibu muda dengan rayuannya agar mau melirik dagangannya. Tentang penjual buah yang suka bercanda jorok. Juga tentang Bu Wanda yang hari itu dagangan kuenya sedang laris manis.

Sedangkan aku, aku menceritakan kelucuan anak-anak kami. Tentang Arvin yang sudah pintar berhitung dalam bahasa Inggris. Lalu tentang Chesna yang saat itu baru bisa tengkurap. Hari-hari yang biasa, tetapi mampu mengibarkan bendera ketenangan yang menyejukan hati.

Setelah makan siang, tugas mengganti air di bak biru adalah tugas kami kemudian. Awalnya tahu-tahu kecil itu dipindah ke bak lain, air lama dibuang, baknya dicuci, diberi air yang PDAM yang baru, kemudian tahu-tahunya dimasukan kembali. Sore nanti tahu-tahu ini akan dikembalikan ke Pak Wahid, si juragan tahu yang membantu suamiku mendapat pekerjaan ini. Iya, syukur alhamdulillah jika bukan karena Pak Wahid mungkin suami tercinta akan jauh lebih lama menganggur sejak dikeluarkan dari perusahaan lama, tiga bulan lalu. 

“Bunda, Panda akan berjualan tahu di pasar,” begitu suatu hari dia tiba-tiba berucap niat seminggu yang lalu, “sudah cukup Panda menyusahkan Bunda bekerja sendiri mencukupi nafkah sejak Panda diPHK. Panda akan ambil kerjaan ini sambil tetap mencari-cari pekerjaan lain yang lebih baik lagi.”

Hari itu matanya terbinar-binar. Dia menemukan hal baru. Benar-benar baru. Selama ini pekerjaan yang digelutinya dengan hati selama empat tahun di sebuah perusahaan retail ternama, bisa dibilang enak. Ruangan berAC, kerja dengan wajah yang segar, tubuh yang wangi, rambut yang selalu rapi dan bergumul pun dengan hal-hal yang bersih. Sedangkan saat ini? Berbalik seratus delapanpuluh derajat. Semuanya berbeda. Pasar, cuaca yang bisa berubah dari panas yang terik lalu menjadi hujan dan becek, bertemu emak-emak yang suka menawar dengan gaya cerewet yang amburadul, pendapatan yang tidak pasti, juga kecemasan jika barang dagangan yang mudah menjadi basi jika tak laku itu bertumpuk menjadi beban.

Banyak hal yang dia pelajari dari pekerjaan barunya. Perjuangan. Kekuatan untuk tidak mau menyerah. Tanggung jawab. Sungguh, aku kagum dengan kegigihannya. Sosok itu berubah menjadi jauh lebih indah dari sebelumnya. Beneran! Aku semakin jatuh cinta padanya.

Dia, lelaki yang saat jatuh bisa bangkit kembali. Dia lelaki yang kuat. Karenanya, aku pun harus bisa kuat agar pantas mendampinginya.



Nov 16, 2013
22:16
( tertulis untuk mengenang perjuangan kami di masa sulit, agar teringat, bahwa inilah bagian kekuatan yang masih menyatukan kami di saat salah satu dari kami khilaf )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar