Kamis, 20 Maret 2014

APAKAH AKU CANTIK?





Ayu membenamkan sengguknya pada bantal. Tangisnya belum mereda sejak sore tadi. Mengapa?

Pertanyaannya selalu sama.

Seorang sahabat bercuap penuh kekhawatiran kepadanya, “mengapa kau tetap nekat berjilbab walaupun suamimu tidak menyetujuinya? Berhati-hatilah, ketika suami belum siap menerima perubahanmu, bisa jadi dia akan mencari wanita lain yang bisa memuaskan pandangannya.”

Lalu seorang sahabat lagi mengiyakan, “iya, Yu. Sudah banyak temanku yang diselingkuhi suaminya karena berjilbab. Alasannya, sudah tidak cantik lagi, sudah tak bisa dipamerkan ke rekan-rekannya. Di rumah tertutup, di luar tertutup, lalu apa yang bisa dinikmati?!”

Perasaannya menghambur. Melompat-lompat ingin berteriak. Tekad hijabnya hampir pudar tergerus keraguan dan ketakutan. Apa benar suaminya akan kehilangan cinta hanya karena sang istri mulai berjilbab?

Beberapa hari yang lalu, di suatu sore yang belum menampilkan sang senja, Ayu dengan binar cerahnya mematut di depan cermin. Dua jilbab baru yang dibeli dari pasar dicoba. Lama dia mengutak-atik kain panjang itu. Setelah dirasa puas sesuai dengan hatinya, Ayu melangkah mendekati sang suami.

“Pa, apa aku cantik?” tanya Ayu sambil tersenyum.

Suami diam sejenak. Hanya memandang tanpa sebuah ekspresi sama sekali.

“Tidak.” jawabnya datar.

Ayu tersentak. Hatinya langsung layu. Sungguh bukan sebuah jawaban yang ingin didengar dari mulut suaminya.

“Kenapa?”

“Ya karena Papa tidak suka wanita berjilbab. Mama tahu tentang hal itu bukan?” suami menjawab dengan ketus.

Alis Ayu mengendur. Rasanya seperti tercabik beribu-ribu kuku tajam harimau terbuas di dunia ini. Sakit. Hatinya bernanah sudah. Mati.

Semangat Ayu dalam naungan hijab sedang dipertanyakan lagi. Sudah benarkah langkahnya memilih berjilbab walaupun suami tidak suka?  

Dalam keheningan dukanya, Ayu mendecap doa kepada sang Maha Kuasa, “ya Allah, kumohon, berikanlah petunjuk-Mu untuk hamba yang hina ini.”

***

Pada malam yang lindap, Ayu bersetubuh dengan sajadahnya. Menekuk sujud, mencari sebuah ketenangan dari tangan Tuhan. Bekas aliran air mata sudah mengering. Tertumpah semua pada doa.

“Ayu, apa kamu sudah lupa apa tujuan saat berniat menjilbabkan hati dan auratmu?”

Suara hati Ayu menggugah kekalutannya. Perlahan ia teringat kembali akan kalimat-kalimat sang da’i pada sebuah pengajian.

“Jilbab itu hukumnya wajib bagi muslimah, sama kuatnya dengan hukum sholat lima waktu. Ibadah kalian tidak akan sempurna tanpa jilbab, tidak akan diterima oleh Allah. Masya’alloh. Apa sampeyan tahu bahwa dosa-dosa kaum wanita yang tidak berjilbab itu akan menyeret bapakmu, suamimu, saudara lelaki serta anak lelakimu kelak ke dalam api neraka! Naudzubillah..”

Deg! Hati Ayu tergetar kembali.

“Iya, selama ini aku telah meremehkan kewajibanku kepada Sang Ilahi. Ketika cinta kepada-Nya telah memanggil, apakah aku masih tetap bersikukuh pada sesuatu yang bahkan tidak abadi? Bukankah dengan jilbab telahku buktikan betapa besar rasa cinta kepada suami, menutup pandangan lelaki lain kepada diriku? Pun juga menyelamatkan orang-orang yang kukasihi dari jilatan api neraka? Lalu, apa lagi yang membuat ragu? Apa yang kutakutkan? Bukankah Allah masih menggenggam tangan kotorku ini?.. Astaghfirullohal’adzhim.. Sungguh berdosa aku telah meragukan panggilan-Nya hanya karena takut kehilangan cinta dari seorang manusia.”

Ayu pun menangis. Sujudnya semakin menekuk ke dalam, memohon segala ampunan kepada Sang Maha Pencipta. Kemudian anak-anak embun yang bergelantungan di ketiak-ketiak ranting dan dedaunan, turut mengharu biru. Berdecap syukur kepada Sang Illah, karena seorang lagi manusia telah kembali pada kodratnya sebagai hamba Allah. Semoga anak-anak gadis itu, lalu para istri itu pula, segera menyadari makna hijab yang sebenarnya.

Aamiin, Ya Robbal’alaamiin....




 Nda, 210314 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar