Jumat, 28 Maret 2014

SI BUDI KECIL




Hujan tengah menjajah tanah bumi. Sambil menenteng ransel kucelnya, Budi berlari melesat. Jejakan kakinya menyibak genangan-genangan air di tanah becek, menghasilkan bunyi merdu, seirama dengan denting sang hujan.

Entah sudah berapa kali pemuda kecil ini menggigil kedinginan. Tetapi basah dan dingin tidak sekalipun dihiraukan. Bukan itu yang tengah dipikirkan Budi. Tujuannya hanya ingin segera pulang, bertemu sang adik, dan memberikan hadiah kejutan untuk dia.

“Dek Marno! Dek Marno!” teriak Budi ketika sudah sampai di depan pintu rumah.

Emak datang tergopoh dari dalam, kaget dengan teriakan Budi. Alisnya terlihat mengkerut tajam. Terbesit sedikit kekhawatiran dari raut wajah perempuan paruh baya itu.

“Eneng opo toh, Bud? Kok pakai teriak segala.” tanya Emak.

“Dek Marno ke mana, Mak?”

“Itu lagi tidur di kamar. Memangnya ada apa kok nyari-nyari adikmu, le?”

Binar wajah Budi sangat ceria. Hatinya sungguh gembira. Janji kepada sang adik sudah terpenuhi. Pelan-pelan dia membuka penutup ransel yang sudah berkarat. Memang harus hati-hati, karena jika tidak bisa-bisa resleting tua itu rusak.

“Ini Mak,” Budi mengambil bungkusan plastik hitam dari dalam ransel lalu menyerahkannya pada Emak, “ini buku tulis sama pensil untuk dek Marno. Sudah seminggu ini dia merengek minta dibelikan. Bukunya yang lama sudah habis.”

Melihat itu Emak jadi terharu. Mata tuanya mulai berkaca-kaca.

“Tenang Mak, ini uang yang Budi tabung sendiri. Bukan uang hasil jualan koran dan bantu-bantu di pasar tadi.” Budi merogoh ranselnya kembali. Kali ini dia mengambil sekumpulan uang yang dibungkus ke dalam plastik bening. “Nah, kalau ini uang hasil kerja Budi hari ini, Mak.” katanya sambil tersenyum.

“Owala, le. Hatimu sungguh apik tenan.”

Emak memeluk Budi. Tangisannya pecah. Terisak-isak di bahu kecil anak sulungnya yang baru berumur duabelas tahun itu.

Budi memang masih sangat belia. Tapi di dalam keluarga ini, sekarang dialah yang menjadi tulang punggung keluarga. Apapun dia kerjakan untuk mendapatkan uang. Bahkan, sebelum fajar menyingsing, Budi sudah berangkat ke pasar, bekerja sebagai buruh angkut.

Ironis memang. Dalam usia yang masih pantas untuk mengenyam pendidikan sekolah itu, Budi harus rela mengalah berhenti dan memilih bertarung dengan kehidupan.

Mau bagaimana lagi? Karena jika tidak demikian, Emak, Marno dan Diah si bungsu, tidak akan bisa hidup. Lalu, kemanakah si Bapak?

Banyak tetangga bercerita pada Budi, Bapak lari dengan perempuan lain. Gadis muda dari gang sebelah, yang bekerja di cafe remang-remang. Tetapi Emak lebih bijak lagi.

“Bapak tidak seburuk itu, le. Jadi jangan kau benci dirinya. Bapak hanya sedang tersesat saja. Berdoalah kepada Allah, agar kelak dia bisa menemukan kembali jalan pulang.”

Tetapi kalimat itu sudah satu tahun yang lalu dilontarkan Emak. Sekarang, bukah hal utama lagi kemana Bapak pergi dan kapankah dia akan pulang. Yang penting, Budi harus bekerja mencari uang demi sekolah Marno dan demi dapur Emak.

***

Marno menatap kakaknya lamat-lamat. Sesuatu tengah menggelitik pikirannya. Apa itu? Marno hanya tersenyum-senyum kecil, tampak sekali dia sedang bahagia. Entah, apa yang sedang ada di hati Marno.

“Mas.”

“Apa?”

“Marno sayang sekali sama mas Budi.” Jawab Marno sambil senyum lebar, memperlihatkan deretan giginya yang berlubang.

Mulut Budi sedikit terbuka karena heran mendengar ucapan Marno. Wah, tumben sekali adiknya yang masih duduk di bangku kelas tiga Sekolah Dasar itu berkata hal-hal manis. Padahal biasanya hanya bisa merengek dan menangis minta ini itu.

“Sudah, jangan ngomong yang aneh-aneh. Ayo, mana pekerjaan rumahmu?” sahut Budi yang sebenarnya sedang sedikit tersipu malu.

“Mas Budi ini sebenarnya pintar. Mengapa tidak melanjutkan sekolah saja?”

“Uang dari mana? Apa kamu mau menggantikan mas mencari uang, nanti mas yang sekolah, gimana?”

Marno memajukan bibirnya. Budi tertawa sambil mengacak-acak rambut adiknya yang mulai merajuk itu.

“Sudahlah, dengan menemani kamu belajar seperti sekarang, mas Budi juga sedang ikut belajar. Gak usah kuatir mas nanti jadi lelaki yang bodoh, mas ini pinter kok. Kalau di pasar, atau lagi jualan koran, aku masih sering baca-baca. Bisa dibilang itu nambah ilmu juga toh?”

“Jika seandainya mas punya kesempatan untuk sekolah lagi, apa mas mau?”

“Wah, ya jelas mau. Sekolah itu penting sekali, buat bekal masa depan.”

Marno tersenyum melihat kakaknya menjawab dengan penuh semangat. “Ya udah mas, kalau begitu, ayo belajar bareng Marno. Nanti kalau ada yang tidak diketahui, tanyakan saja sama Marno ya.”

“Sombong sekali kamu.”

Mereka berdua tertawa. Emak yang melihat dan mengikuti percakapan mereka sedari tadipun juga ikut tersenyum. Bangga dengan mereka berdua. Kakak beradik yang saling kasih mengasihi.

***

Kertas-kertas dokumen berserakan di sebuah meja. Seorang wanita berkerudung coklat tengah asik membaca kertas-kertas itu satu persatu. Diamati perlahan-lahan. Tidak lama kemudian, diraihnya sebuah ponsel hitam. Jari jemarinya yang lentik mulai asik menari di atas tombol-tombol kecil ponsel.

“Assalamu’alaikum. Bisa disambungkan kepada kepala sekolah SDN Petegan?”
***

Fajar hampir menampakan muka. Di bawah deras hujan yang garang, Budi tengah hilir mudik mengangkut karung-karung berisi sayuran. Tubuh kecil Budi yang kurus nan ringkih harus berjuang dari rasa dingin dan bertahan dari beban berat. Sesekali dia berhenti mengusap air hujan yang menggantung di bulu mata.

Berat sekali hari ini. Tetapi semangat Budi tidak kendor. Teringat akan tagihan dari si tukang sayur langganan Emak, Mpok Dilla. Sudah tiga hari ini dia menagih hutang ke Emak.

Ah, tanggung jawab di pundak Budi semakin bertumpuk saja.

Beberapa menit kemudian, Budi akhirnya bisa rehat. Duduk di lantai sebuah toko yang masih tutup, sambil mereguk sebotol air putih untuk menuntaskan dahaganya. Setelah dirasa cukup membasahi tenggorokan, Budi bergegas meraih ransel yang sedari tadi digantung di dinding toko. Diambilnya sebuah buku tebal dan sebuah bolpoin hitam dari dalam ransel. Sambil menyandarkan tubuh pada dinding toko, Budi serius melahap isi buku.

Itu adalah buku pelajaran untuk kelas tujuh. Dibeli Budi di loakan. Memang demikianlah si Budi, tidak pernah berhenti semangat untuk belajar. Bagi dirinya, bolehlah jika dia harus mengalah untuk putus sekolah demi keluarganya, tetapi kata semangat untuk belajar adalah sesuatu yang tidak boleh terhenti begitu saja hanya karena ketidakmampuan.

***

Hari sudah menjelang sore. Budi bergegas pulang. Baju yang basah terguyur hujan tadi pagi kini sudah kering karena berjemur di terik matahari yang menyengat untuk menjajahkan koran.

Begitu Budi membuka pintu pagar bambu dan meletakan sandal jepit bututnya di lantai, Emak langsung menyambut dengan wajah berseri-seri. Bola-bola matanya berair. Tampak seperti baru saja ada yang tumpah dari sana.

“Le, le.” Emak tergagap. Suaranya agar sedikit parau.

Budi heran, alis kecilnya mengkerut. “Ada apa, Mak?” tanyanya. Tetapi Emak yang ditanya tidak segera menjawab. Entah karena tidak tahu hendak berkata apa atau memang tidak mampu mulutnya bersuara. Dalam diamnya, Emak meraih tubuh Budi dan memeluknya erat-erat.

Emak menangis. Terbenam dalam seguk-seguk yang serak. Dan tentu saja, membuat si sulung Budi menjadi kelabakan. Ada apa dengan sang Emak?

“Oh ini ya yang bernama Budi.” Seorang wanita berkerudung tiba-tiba muncul dari dalam rumah, tersenyum pada Budi.

Loh, siapa ya wanita itu? Mulut Budi terbuka lebar. Semakin heran dengan apa yang sedang terjadi di rumahnya.

Adegan peluk dan tangis Emak reda. Semua akhirnya masuk kembali ke dalam rumah dan melanjutkan perbincangan. Setelah dijelaskan dengan gamblang, akhirnya jelas sudah, tentang siapa wanita berwajah ramah itu, juga sebuah alasan mengapa Emak menangis seperti sedang kehilangan seorang suami.

Wanita itu adalah ketua pengurus dari Al-Khaafah. Sebuah yayasan yang peduli dengan pendidikan anak usia sekolah. Mereka mencari anak-anak yang putus sekolah dikarenakan faktor kemiskinan. Target utama adalah dusun-dusun terpencil. Seperti dusun Petegan tempat tinggal keluarga Budi ini.

Kepala Budi berputar-putar mendengar cerita wanita itu. Bukan karena pusing atau hal lain, tetapi karena terlalu gembira.

Benarkah apa yang dia dengar saat ini? Budi akan bersekolah lagi? Gratis? Hingga jenjang Sekolah Menengah Atas?

Mimpikah? Bahkan cita-cita yang takut untuk diimpikannya itu sudah ada di depan mata! Lalu bagaimana dia harus berlaku sekarang? Berteriak? Menangis?

Budi hanya diam. Kaku, dengan muka yang tersipu. Ada gembira, haru juga perasaan yang entah harus bagaimana.



 Nda, 290314

Tidak ada komentar:

Posting Komentar