Selasa, 15 April 2014

AJARAN BIJAK PAPAKU



  
Aku tahu keluargaku bukan bintang di kampung ini. Papa hanya seorang penjahit lepas. Ada jahitan maka kami akan makan sedikit enak. Jika tidak ada, sudah pasti berhutang menjadi andalan Mama. Sudah sering tetangga datang ke rumah untuk menagih hutang. Dan itu menjadi hal biasa bagi kami berempat, anak-anaknya.

Papa mengajarkan kami hidup sederhana. Nrimo. Dan tidak boleh meminta hal berlebih jika Papa belum mempunyai uang. Kami semua mengerti. Walaupun sepatu sekolahku telah berlubang di ujung jari, atau seragam putih telah menjadi kuning dengan krah yang sobek lipatannya, aku tetap sabar menanti Papa membelikan yang baru. Tas sekolah sering dijahit sendiri oleh Papa dari kain-kain perca. Disambung dengan cantik, membentuk gambar bunga atau sebuah rumah dengan cerobong asap yang mengepul.

Buku tulis sekolah kadang juga kami buat sendiri. Jika buku catatan sudah habis dan Papa belum mampu membeli, dengan telaten Papa menyobek sisa-sisa halaman kosong di buku tulis lama. Semua disatukan, lalu dijahit bagian atasnya. Kata Papa, yang terpenting itu masih bisa digunakan untuk mencatat. Dan lagi-lagi kami semua menerima dengan senang hati.

Pernah suatu ketika, adik terkecilku ingin dibelikan boneka barbie seperti milik anak tetangga. Mendengar rengekan adik, Papa hanya tersenyum saja. Semua kain perca dikumpulkan. Kalian tahu apa yang sedang dibuat Papaku kala itu? Sebuah boneka kain sederhana. Sebuah kain yang agak lebar disumpal dengan kain-kain kecil lalu diikat dengan benang hingga tampak seperti kepala. Bentuknya dibulatkan. Lalu sebuah batang lidi sepanjang jari orang dewasa dikaitkan di bawah leher boneka dan diikat dengan benang. Maka tampaklah itu sebagai tangan yang kurus kering.

Aku tersenyum melihat ide Papa. Tapi tidak berhenti di situ saja loh. Kain-kain lain dipotong membentuk sebuah pola baju, lalu bagian atas dilubangi untuk tempat masuknya kepala. Dan, viola ... jadilah boneka kain dengan bajunya yang panjang.

Kalian ingat dengan boneka penolak hujan dari Jepang yang biasanya digantung di atas jendela? Nah, seperti itulah penampakannya. Hanya saja, boneka kami memiliki tangan sapu lidi dan baju indah bak putri raja.

Pernah juga adik lelakiku meminta pedang mainan. Tanpa babibu, Papa mengambil pisau dapur milik Mama, dan berjalan ke pekarangan belakang. Pohon-pohon pisang itu dahannya ditebas oleh Papa. Lalu daunnya dihilangkan, hingga tersisa batang daun pisang yang panjang.

Dahan itu dipotong. Satu pendek, satunya panjang. Bagian yang pendek ditempelkan di pangkal bagian yang panjang, lalu diikat dengan tali rafia. Maka jadilah pedang pelepah pisang yang gagah.

Begitulah, aku bangga dengan kehidupan kami. Walaupun tetangga banyak yang acuh dan tidak menghiraukan keberadaan kami, itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Kata Papa, selama sesama saudara rukun, hidup kami pasti akan tenang.

Akhirnya, kamipun mulai belajar mengacuhkan hal-hal yang tidak penting tentang mereka. Walaupun keluarga kami sering dijadikan bahan bergunjing, toh hidup kami selalu ceria. Berempat, kami sering dibilang kompak. Baju kembar. Kainnya sama, hanya berbeda model saja. Tas sekolah juga kembar. Rasanya senang dibilang rukun. Padahal, ada juga loh pertengkaran antar saudara. Sama seperti yang lainnya. Hanya saja, Papa selalu bisa menenangkan hati-hati kami yang masih belia dan mudah terbakar marah.

Ada peribahasa iseng berkata, “susahnya hidup di Jawa” dan aku rasa itu benar (tertawa)

Kebiasaan yang sudah terlanjur hidup di masyarakat kita ini sudah salah kaprah. Mereka hidup senang berkelompok. Yang sering memberi makanan, uang atau apapun, akan semakin dielu-elukan. Dan mereka yang kurang mampu memberi, terkadang disisihkan. Tetapi, lagi-lagi, dengan bijak Papaku berkata, “yang penting, kita tidak pernah menyakiti orang lain, tidak pernah ikut-ikut bergunjing, dan tetap selalu menyapa siapapun jika bertemu muka.”

Ah, Papa. Aku jadi kangen sama dirimu. Semua ajaranmu dulu, kini kuturunkan ke anak-anakku. Berharap mereka juga bisa belajar bersyukur dengan apapun keadaan yang diterima.



Nda, 150414 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar