Selasa, 22 April 2014

KELAM



GOA YANG TERLUPAKAN


Di dalam goa itu, jiwa kita menyatu. Kau menyetubuhiku dengan semua kegagahanmu. Kau katakan semua demi cinta. Maka sudah seharusnya kuberikan mahkotaku.

"Pay, setelah ini, apakah kau akan mencampakkan aku begitu saja?" kutanya dirimu dalam sela lenguh nafas kita. Kau kecup bibirku lembut. Lalu dengan mata yang liar, seliar macan yang sedang tak ingin diganggu saat bercinta, kau berkata, "tidak akan."

***

Sudah hampir sebulan sejak hari laknat itu. Sekuntum kabar pun tak kutemui dari dirimu. Kau seperti batu yang tertelan bumi. Seperti embun yang raib di tepi dedaunan. Hilang, tanpa bekas.

"Pay, di manakah kamu? Aku kangen."

Berkali-kali pesan singkat itu kukirim padamu, namun tidak pernah satupun kau membalasnya. Inikah arti janjimu, tidak akan mencampakkan aku, Pay?

Aku tahu kau sibuk dengan dunia kerjamu, tidak mungkin kamu menanggapi kerinduan gadis manja yang masih berseragam abu-abu sepertiku. Tapi Pay, tidak adakah sedikit cintamu lagi, seperti pertama kau goda diriku dulu?

"Pay, di mana kamu ..."

***

Hari ini kudengar dari Dayat, sahabatmu, kalau kau telah menggandeng wanita lain. Yang lebih cantik dan dewasa dariku. Benarkah itu, Pay?

Aku ingin membuktikan cuap si Dayat. Berharap kata-katanya tentang kau adalah kebohongan belaka.

Tetapi, aku tidak sedang bermimpi saat ini Pay. Kulihat dirimu bergandengan mesra dengan seorang wanita. Berambut panjang, hitam legam bak sutra berwarna kelam. Lalu kulihat kau mengecup keningnya. Membelai lembut pipi wanita itu. Membuat darahku bergejolak, mendidih dan hampir meluap ke arahmu.

Kuhampiri dirimu dengan nafas tersengal-sengal. Matamu mendelik. Aku tahu kau sangat terkejut dan malu saat kutantang kelelakianmu di hadapnya.

"Siapa dia, Pay? Jadi inikah jawabanmu setelah malam di goa itu? Kau mencampakkan aku!" tanyaku memekik.

Wanitamu bingung. Kau berkata, "aku tidak mengenalnya, dia pasti gadis gila, Wen." Lalu dengan lesat, menggandeng tangan wanitamu, kau pergi meninggalkan aku. Berdiri seorang diri, dengan amarah yang membakar hati.

***

"Maaf, Erni. Aku terpaksa meninggalkanmu. Ada wanita lain yang aku cintai," katamu. Terdengar begitu memuakan di ujung ponselku. "Kau itu masih kekanakan, tidak cocok dengan duniaku yang dewasa. Ayolah Er, bisakah kau memaafkan aku, dan melepasku dengan ikhlas?" lanjutmu kemudian.

Memaafkan katamu. Bisakah aku, setelah apa yang terjadi di antara kita? Bahkan kau tak tahu, sesakit apa jiwaku yang telah kau campakkan ini ....

"Pay, sekali lagi, ijinkan aku bersamamu. Menikmati malam di goa cinta kita. Aku janji Pay, ini yang terakhir kalinya. Setelah itu, aku takkan mencarimu lagi."

"Benarkah, Er. Kamu mau melepaskan aku?"

"Iya, Pay. Asalkan kau pun mengijinkan aku mengukir kenangan terakhir bersamamu di sana."

"Baiklah, sebelum senja datang, hari Sabtu besok aku akan menjemputmu di tempat biasa ya?"

"Iya ..."

***

Dan di sinilah kita Pay. Goa terlarang yang telah menjadi saksi cinta kita malam itu. Semuanya masih tampak sama, lembab dan gelap. Namun bunyi-bunyi kematian itu tidak kau hiraukan sama sekali. Kau sangat sibuk menikmatiku. Mengecup tubuh yang sudah tak perawan ini lagi.

"Lepaskan gelungan rambut, Er. Agar kau tampak semakin cantik malam ini," bisikmu.

Ah, Pay. Tidak kau suruh pun aku memang akan melepas tusuk rambutku yang mengkilat-kilat ini.

Dengan gemulai, kutarik tusukku. Membuat rambut ikal dan panjang ini, jatuh ke punggungku yang sudah tak berkain.

"Pay, aku mencintaimu."

"Aku juga, Er."

Sudah cukup sampai sini Pay! Dengan mata jahat, kebencian yang terpendam lalu terbuncah. Kutusuk berkali-kali lehermu. Tepat mengenai nadi, memuncratkan darah-darah segar ke wajah kita berdua. Aku mendengar kau mengerang kesakitan. Tetapi kau tak berdaya. Kutindih kau kuat-kuat, sambil terus menusuk, dan menusuk. Terus dan terus. Aku kesetanan Pay.

Hingga akhirnya kau lunglai. Mati, tak bernyawa lagi.

Ah, Pay. Akhirnya, dengan begini aku bisa bahagia. Melupakanmu dan melanjutkan hidupku yang sudah hina, bersama benih cantik yang telah kau tanam di rahimku.

Tenanglah Pay, anakmu akan kujaga baik-baik ....






Nda, 200414

_____________________________________________________________________

GADIS KECIL


Gadis kecil berkepang dua, hari ini kau kenakan gaun kebesaranmu. Kain sifon dengan warna ungu, terayun-ayun di sela-sela kelangkangmu. Kau tahu sekali hari ini dirimu teramat cantik. Bahkan lebih cantik dari kawan-kawan kecilmu, yang masih lugu, belum tahu apa artinya menjadi seorang putri.

Sore yang anggun, dengan sentuhan warna senja di ujung tawamu, kau berjalan berjingkat. Sepatu baletmu yang berbunga-bunga, terdengar sedikit berdecit. Kau merasa makin centil saja.

"Hendak ke mana kau, Lara?"

Sekejab kau dengar suara Mamak memanggil dan bertanya tentang kepergianmu. Kau tersenyum. Dengan riang, kau lambai-lambaikan tangan mungilmu kepadanya.

"Hati-hatilah kau, Lara! Sudah mau maghrib, cepat pulang ya!"

Kau mengangguk. Kemudian kembali berjingkat mesra, bersama bebatuan aspal yang melegam.

***

Matamu berkesap-kesip. Kau coba memahami di manakah dirimu kini berada. Kau lihat ruangan itu sempit. Gelap, dan pengap. Kau ingin muntah. Perutmu terasa mual karena bau-bau yang menyakitkan penciumanmu. Lalu kau rasakan tanganmu terikat kuat. Sangat kuat. Juga pada kaki-kaki cantikmu, dan mulut mungilmu.

Sekejab mukamu memucat. Kau ketakutan. Kau jadi rindu Mamakmu tersayang. Rindu omelannya. Juga bau tubuhnya yang seperti ikan goreng.

Rinaimu meleleh. Kau hendak berteriak, namun kata-katamu tersekat. Sekuat tenaga kau coba untuk meronta. Sekali lagi ... sekali lagi ... namun kau gagal. Ketakutanmu semakin menyayat.

Siapakah yang telah tega melakukan ini kepadamu? Batinmu bertanya-tanya.

Lalu tak sampai jatuh pada lima menit, kau lihat sesosok lelaki hitam datang sambil menyeringai di hadapmu. Kau pandang wajahnya, buruk. Penuh bopeng dan jerawat batu. Kau hampir pingsan. Namun kau rasakan tangan lelaki itu menarik kakimu. Kasar. Membuatmu merintih pelan.

"Kamu cantik gadis kecil."

Kau dengar dia mendesis perlahan. Tampak pula air liur lelaki itu menetes. Membuatmu makin jijik saja.

Kau berteriak, "Om siapa? Om mau apa?!"

Tetapi lelaki itu tetap menatapmu liar. Kau lihat urat-urat matanya merah. Lalu kau rasakan jari-jari besarnya merayap di kakimu. Berjalan semakin ke atas menuju paha-paha putihmu. Dan membuka kain tipismu yang masih tercium aroma melati.

Kau memperhatikannya tanpa berkedip. Tubuhmu bergetar. Kau makin ketakutan. Tangismu makin berurai, tertumpah tiada henti. Kemudian, lelaki bejat itu, kau rasakan mulai menggagahimu.

***

Kau gadis kecil lima tahun, merasakan badanmu mulai lemah. Sambil menahan sakit yang teramat, kau coba sedikit mengambil sisa-sisa udara. Dadamu mulai sesak. Gaun ungumu pun sudah bercampur merahnya darah.

Kini air matamu telah mengering. Bahkan hendak kau tangisi kembali kesakitanmu, namun tidak ada setetespun rinai yang keluar.

Kau menyesal. Dalam hati kau berbisik sedih, jika saja senja itu kau tak bermain sedikit lebih jauh dari rumahmu, kau takkan berada di neraka ini.

Sebuah neraka, yang entah kapan kau bisa keluar, dalam keadaan hidup ataupun telah mati.

Entah ....




Nda, 200414

____________________________________________________________________

PIKAT SANG PENARI


Minul melenggak-lenggok gemulai. Matanya mengerling genit ke semua lelaki yang tengah tergiur tariannya. Semua tertawa senang. Menikmati malam yang semakin nakal, diiringi bebunyian gending dan gamelan.

***

"Kau tidak lupa ke tempat Mbah Mo hari ini kan, Nduk? Ingat, ini malam Jum'at Legi, hari kelahiranmu. Jangan sampai kamu ..."

"Iya, Mbok. Minul tidak lupa kok," sahut Minul dengan senyum.

Mbok bernafas lega. Dia sangat mengkhawatirkan keberadaan Minul di panggung. Karena jika Minul lupa dengan pertapaannya, mereka akan tenggelam di perut jagad.

***

Mbah Mo mengurut punggung Minul dengan minyak. Mulutnya komat-kamit, berdecap matra pemikat. Demikian juga dengan bibir Minul yang tipis merona merah. Dalam pertapaannya, Minul terus melantunkan nyanyian mantra.

Suara Minul memerdu. Aura kecantikannya berpendar-pendar di bawah temaram sinar bulan yang separuh nyawa. Mbah Mo telah selesai dengan tugasnya. Dia berdiri, meninggalkan Minul yang duduk dalam tapa, di depan sebuah sumur tua keramat.

***

Lelaki gendut dengan kumis lebat menggantung di bawah hidungnya, tersenyum genit pada Minul. Jari jemarinya yang penuh dengan cincin emas, sebentar kemudian mencolek dagu lancip Minul. Gadis penari itu tertunduk memalu. Dikedip-kedipkan matanya. Menyebarkan aura pikat yang tidak mungkin bisa ditolak lelaki manapun.

"Bagaimana, Nul?" tanya sang lelaki.

"Pak Karto serius mau meminang Minul?"

Karto mengangguk, senang. Matanya berbinar-binar, berharap Minul segera berkata iya. "Nanti jika kau jadi istri mudaku, uang belanjamu setiap bulan akan kuberi seratus juta." Karto memberi penawaran.

Hati Minul bersorak riang. Sudah berkehendak untuk menyetujui tawaran Karto. Namun sekali lagi Minul jual mahal. Kegenitannya terus digencarkan. "Masa cuman segitu?" desisnya memanja.

"Bisa, bisa lebih, Nul. Mau berapa? Kau tinggal katakan saja." Karto terkekeh, merasa ikan pancingannya sudah hampir mencaplok umpan.

"Bener ya, Pak. Awas kalau bohong sama Minul."

"Jadi kau mau, Nul?"

Minul mengangguk. Serta merta Karto bersorak sambil merangkul pundak Minul yang terbuka, membuat kemulusan kulit gadis itu menyembul menggiurkan.

***

Wajah Sulasmi merah padam karena amarah. Wanita empatpuluh lima tahun itu mendendam, pada gadis penari yang telah merebut suami tercintanya.

"Dia harus diberi pelajaran, Mbah. Aku mau dia sekarat!"

Mbah Mo masih bimbang. Bagaimana bisa dia melaknat gadis yang selama ini telah dia didik dengan ilmu pemikatnya. Dukun tua itu masih diam.

"Mbah mau minta bayaran berapa? Limapuluh juta? Seratus juta? Katakan saja, aku siap memberikan."

Sulasmi memicingkan matanya. Berharap sang dukun tergiur dengan uang yang dijanjikan. Iya, bagi Sulasmi hanya Mbah Mo-lah yang mampu menarik kembali ajian yang telah ditanam di sukma Minul. Uang berapapun akan dia relakan, demi membalaskan dendamnya.

***

Minul tergolek lemah di ranjang. Tubuhnya makin lama makin kurus, hampir nampak seperti mayat kering. Lalu bau anyir bagaikan nanah busuk menyeruak dari sela-sela kelangkangnya.

Mbok menangis sesegukan di samping putri satu-satunya itu. Karma telah mencicip gadisnya. Membuatnya memakan semua tuah jahat yang telah dia tebarkan sendiri.

Minul, gadis penari pemilik ilmu pemikat Aji Jaran Goyang, sudah membusuk pelan-pelan, di dalam sadainya ....





Nda, 200414




Tidak ada komentar:

Posting Komentar