Kamis, 03 April 2014

TENTANG RASA YANG BELUM KAMI MENGERTI




Aku teringat tentang sebuah rasa. Yang teramat manis dan renyah. Kau tahu wanginya seperti apa? Aroma strawberry, kesukaanmu. Warnanya merona merah, seperti warnamu.

Kala kita masih sama-sama tak mengerti perasaan apa itu. Apakah tentang sebuah persahabatan yang terjalin karena saling merasa nyaman. Ataukah tentang rasa saling memiliki, memikirkan satu sama lain, sedikit perhatian, merindukan tawa masing-masing, yang tidak seorangpun dari kita sadar bahwa itulah sebuah cinta.

Sosokmu yang ramah pada semua. Berjiwa humoris dan mampu menarik perhatian banyak gadis lain. Bagiku kau bukanlah sesuatu yang pantas aku inginkan. Mengapa? Karena aku hanyalah sebuah edelweis kecil, dan tak menarik bagimu. Sedangkan mereka itu mawar, cantik. Lihat saja warna-warna mahkota yang mereka tawarkan kepadamu. Sedangkan mahkotaku?

Hanya kehampaan. Kering dan tanpa warna.

Kau yang menyukai keindahan, selama tiga tahun kebersamaan kita, hanya menganggapku sebagai teman. Tempatmu bercuap keluh kesah. Bercerita tentang nikmatnya masa-masa mudamu bersama para gadis itu. Dan kau lihat, dengan begitu sabarnya aku hanya sebagai pendengar. Tersenyum sedikit, tertawa sedikit, dan itu sudah mampu membuatmu bahagia.

Namun, jauh di lubuk hatimu, tak kusangkah jika kau ternyata menyimpan rasa padaku. Iya, sedikit. Walaupun tak kau sadari itu. Ah, atau mungkin sudah tetapi kau lebih suka untuk menyangkalnya? Entahlah..

Hingga datang malam itu. Di mana aku menangis karena suatu hal dan kau tak menghiraukanku. Lalu datanglah sahabatmu Er, yang memberikanku bahu untuk bersandar.

Kau tahu? Pemuda itu mendengarkanku. Memberiku sedikit cerita konyol yang mampu membuatku tersenyum kembali. Hingga akhirnya dia berkata, “Ran, aku selama ini selalu memperhatikanmu. Maukah kau menjadi pacarku?”

Satu hal yang kuingat saat suara lembutnya mendarat di sukmaku adalah kamu. Iya, kamu. Yang bahkan mengatakan sahabatku tetapi tak memperhatikan aku kala aku terluka. Kau bahkan hanya sibuk bersama gadismu, yang entah siapa lagi, aku tak tahu.

Al, mampukah kulepaskan tanganku darimu? Ada pemuda lain yang hendak mengulurkan tangannya kepadaku penuh cinta. Terkadang, akupun ingin menikmati masaku sendiri. Berbahagia. Dan merasakan apa yang sering kau perdengarkan kepadaku.

Lepaskan aku, Al. Ijinkan burung kecil yang tak cantik ini terbang mencari kebahagiaannya sendiri.

***

Kini kau memilih diam padaku.

Katakan, apa kesalahanku, Al? Apa aku telah menyakiti hatimu? Kapan? Ataukah karena aku telah egois meninggalkanmu, dan menyambut uluran kasih Er?

Al, pernahkah kau berpikir jika aku telah lama menjadi boneka pendengarmu? Kau biarkan aku tak menunjukan siapa sejatinya diriku, sedangkan kau begitu bersinar dengan duniamu.

Kau curang, Al. Egois. Bukankah kau telah memiliki mereka yang memperhatikanmu? Apa yang kurang?

Jangan-jangan, kau ingin menangkap kembali burung kecil ini dan mengurungnya dalam sangkar emasmu seperti dulu?

Al, belajarlah kau untuk dewasa, sejenak saja...

***

Tiga bulan telah berlalu, Al. Namun bisumu tetap sunyi.

Ada luka di sini Al, di hati yang dulu selalu menatap dirimu. Menangis sudah bukan lagi hal aneh bagiku. Bahkan setiap menit saat kudengar suaramu yang merdu itu, jiwaku tercabik lalu tercabik lagi. Al, kita tak bisa saling menjauh, tetapi pun tak mungkin bersama kembali. Apa yang sebenarnya yang ada di hatimu? Cobalah, sedikit saja kau jujur padaku.

Katakan kau menginginkan aku di sampingmu. Atau katakan kau sedang hampa tanpa senyumku, tanpa sedikit tawaku, katakan.. Akupun sedang tak mengerti perasaan apa ini, Al. Begitu kau diam, duniaku menjadi kelam. Aku sudah tak mengenali lagi, mana warna merah, mana warna biru lalu mana yang ungu.

Bagiku semua sama. Putih, Al.

Ah, jiwa-jiwaku pada berlarian mencari sosokmu. Sungguh, hanya kamu dan kamu. Al, aku merindukanmu...




Malam sudah menetas, hampir menjemput pukul duabelas. Laptop putih yang sedari tadi menemaniku menulis sebuah kisah di tubuh mungilnya masih menyala dengan ceria. Menungguku sampai selesai berceloteh, lalu tidur dalam mati.

“Bunda belum mengantuk?” tanya Panda, suamiku, yang tiba-tiba sudah meletakan dagunya dibahuku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum.

“Bunda kali ini lagi menulis tentang apa lagi?”

Ditanya begitu, aku sedikit tersipu. “Panda, ah..”

“Leh, ditanya kok malah senyum-senyum sendiri. Dasar Bunda yang aneh.”

“Ini loh kisah tentang dua hati yang memiliki rasa namun belum memahaminya. Terinspirasi dari kenangan kita waktu jaman SMP dulu.”

Alis Panda mengkerut, “yang mana?”

“Itu, yang waktu Panda diam dan marah sama Bunda selama tiga bulan. Inget gak?”

“Ah, masak Panda pernah begitu? Rugi dong mengabaikan gadis cantik seperti Bunda.”

“Hem, lak gak ngaku..”

Panda tertawa terkekeh. Tiba-tiba sebuah kecupan kecil mendarat di pipi kiriku.

“Lupyu..” desahnya sambil tersenyum..


Nda, 030414


Tidak ada komentar:

Posting Komentar