Selasa, 15 April 2014

PERTEMUAN PERTAMAKU DENGANNYA, PEREMPUAN BERNAMA RINA RINZ



 
Laju kereta api Bima Express melaju dengan tenang. Ah, baru kali ini aku merasa nyaman naik kereta api. Bahkan goncangan tidak kurasakan sedikitpun. Tempat duduknya juga empuk. Hawanya dingin. Selama perjalanan, yang terlihat hanya hamparan hijau sawah, langit yang biru cerah dan wajah semringah gunung yang tinggi menjulang. Benar-benar membuat perasaan tenang selama perjalanan menuju kota apel, Malang.

Kulihat suamiku tertidur lelap. Demikian juga si kecil Fiqha yang asyik duduk di pangkuanku. Sebentar-sebentar para pramusaji menawarkan segelas kopi atau teh hangat. Tetapi aku menolaknya. Sstt ...harganya sangat mahal. Masih mending membuat secangkir kopi sachet seribu rupiah di rumahku sendiri, sambil melototin laptop putih dan menulis cerpen baru.

Itu baru yang namanya gairah hidup!

Setelah hampir dua jam perjalanan, akhirnya sampai juga di Stasiun Kota Baru Malang. Segera kami berlalu meningalkan stasiun dan mencari kendaraan umum.

“Sudah jam berapa, Nda?” tanyaku pada suami setelah hampir sepuluh menit duduk di bangku kendaraan umum yang masih diam di tempat, menunggu penumpang lain. Lama, aku sudah tidak sabar.

“Jam sembilan kurang limabelas menit. Telat gak, Bund?”

“Telat ...,” jawabku sambil mewek. Tanpa pikir panjang lagi, akhirnya kuajak suami untuk menyewa taksi berplat hitam yang banyak nangkring di depan stasiun. Kami berdua turun dari mikrolet biru itu, dan menghampiri seorang bapak berbadan tinggi yang sibuk menawarkan taksinya ke pejalan kaki.

“Pak, ke jalan ini berapa tarifnya?” tanyaku sambil menunjukan sebuah kertas bertuliskan alamat tempat tujuan kami.

“Lima puluh ribu, Mbak.”

Mahal amat, batinku. Tapi, ya sudahlah. Daripada aku terlambat dan tersesat di jalan yang masih asing bagiku ini.

Maka bapak yang ramah dan sopan dalam bertutur kata itupun akhirnya mengantarkan kami ke tempat tujuan, Jalan Bendungan Sigura-gura. Sebenarnya alamat itu tidak terlalu jauh dari stasiun. Hanya saja jalan yang kami lewati arahnya berputar-putar, jadi lebih terlihat jauh. Dalam waktu sepuluh menit saja, tempat makan yang akan dipergunakan untuk acara KOPDAR KBM Malang telah berada tepat di hadapan kami.

Satu persatu wajah-wajah yang selama ini kulihat hanya melalui jejaring sosial itupun menyambut kami dengan ramah. Ada Mbak Wiwied, Mas Agus, Mas Ramaditya, Mas Bemby, Mbak Nia, serta masih ada beberapa lagi.

Sejenak mataku menyapu isi restoran cepat saji itu. Wanita yang menjadi tujuan utamaku untuk datang jauh-jauh dari Sidoarjo masih belum tampak juga batang hidungnya. Di manakah dirinya? Terlambatkah?

Hatiku deg-degan. Cemas. Takut jika wanita itu tidak datang. Bahkan sampai acara yang dinanti tiba, dia belum juga terlihat. Akhirnya kuputuskan untuk segera memasuki ruangan.

Acara dimulai. Semua panitia sudah menempatkan dirinya. Pembukaan acara tidak kuperhatikan. Aku masih gelisah memikirkan wanita itu. Akhirnya kukirim sebuah pesan singkat kepadanya.

“Mbak, ada di mana? Aku sudah masuk ke dalam ruangan. Mbak ikut Kopdar tidak? Kok gak kelihatan, ya?”

Teert! Sebuah balasan datang. “Aku di sini, duduk di bangku paling depan.”

Deg! Jantungku makin berdetak kencang. Di bangku depan? Tempat para panitia duduk dong. Tapi yang mana?

Kusapu masing-masing punggung panitia. Itu Mas Agus, itu Mbak Wiwied dan Mbak Nia. “Apa yang moderator itu, ya?” batinku, berusaha menebak-nebak kuisku sendiri. Bukan! Wajahnya tidak setembem itu di foto Facebook.

Lalu yang mana? ....

Kemudian terlihatlah punggung itu. Melebar dan besar. Wanita berjilbab yang tengah duduk di samping Mbak Wiwied sambil terus sibuk membuka laptop hitamnya. Tunggu, bukankah badan wanita yang kunanti tidak segemuk itu? Aku pun ragu. Sedetik kemudian, wanita itu menoleh ke samping. Membuatku melihat batang hidungnya yang kecil dan mancung, serta matanya yang sedikit menyipit. Aku langsung terharu. Mataku berkaca-kaca. Hatiku ingin meloncat karena senang.

Itu dia! Itu dia!

Iya, itulah pertama kali kulihat sosok nyatanya. Seorang wanita yang tangguh dalam menghadapi dilema rumah tangganya, wanita yang menginspirasiku. Seorang mentor, sahabat tempatku mencurahkan kepenatan, juga seorang pemicu adrenalinku dengan teriakan, “Hei, ayo semangat! Jika dia bisa mengapa kamu tidak? Belajarlah dari dirinya ....”

Maka itulah dia, seorang Rina Rinz, yang hingga kini masih setia mengajakku belajar menulis bersama, dan memompa semangatku agar tidak berhenti di tengah jalan hanya kerena sebuah hambatan. Yang tidak sekali pun sombong atau pun pelit untuk berbagi ilmunya. Barokalloh ya, Bunda Rina ... seneng rasanya bisa mengenalmu. Hehehe.

(peluk cium buat wanita cantik berhidung mancung)


Nda, 150414 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar