Rabu, 09 April 2014

WANITA di DALAM MIMPI-MIMPI PRITA



Sekali lagi, dengan mimpi yang sama. Kulihat wanita cantik itu berjalan lunglai sambil menggendong keranjang mungil di dada. Air wajahnya menyiratkan kepedihan. Sangat dalam. Dan aku tak tahu karena apa. Mimpi itu terhenti begitu saja, menghilang di balik pepohonan hutan tempat wanita itu menapaki kaki-kakinya yang telanjang, menuju sebuah sungai yang mengalir deras.


***


“Mimpi aneh itu lagi, Prit?” tanya Dilla sahabatku. Aku mengangguk. “Mungkin kau hanya sedang kelelahan saja,” lanjut Dilla.


“Bukan, Dil. Aku yakin ini bukan mimpi yang biasa. Setiap kali aku bangun, rasanya hatiku sakit. Seolah apa yang terlihat itu nyata. Beneran.”


Dilla tersenyum. “Kau aneh Prit, mana ada mimpi yang nyata?”


“Ih, dibilangin kok,” aku melengos. Ya... sudah tentu Dilla takkan bisa mengerti perasaanku. Memang bukan dia yang sedang bermimpi.


“Entahlah, Dil. Sepertinya mimpi itu sedang memberitahuku tentang sesuatu.”


Kali ini Dilla diam. Hanya menatapku dengan mata yang hampir kosong. Sepersekian menit kemudian, dia berceletuk ngeri, “hih, kamu ini. Jangan membuatku merinding dong.”


“Dibilangin juga.”


“Prit, jangan-jangan, mimpi itu tentang kehidupanmu di masa lalu. Kau tahu kan, apa itu reinkarnasi?” Kuanggukan kepalaku. “Mungkin wanita di dalam mimpimu itu, adalah... kau.”


“Jika benar begitu, lalu, siapa wanita itu?”


Dilla mengangkat bahunya tinggi-tinggi. Membuatku semakin penasaran dengan arti mimpiku.


***


Seorang lelaki tua dengan jengot putih memanjang, duduk bersila di bawah pohon nan rindang. Matanya tengah terpejam. Sementara mulutnya komat kamit melantunkan doa-doa.


Kulihat wanita itu duduk bersila di hadapannya. Seperti sedang menunggu si lelaki tua selesai dengan ritualnya yang membosankan bagiku. Tetapi, rasa bosan itu tidak hinggap secuilpun pada sang wanita. Dia sungguh sabar menanti semua ini berakhir dengan tenang.


“Kau benar-benar gadis yang baik, Nduk.” Lelaki tua mulai berbicara.


“Terima kasih Resi Durwasa “


“Sebagai pengabdianmu kepadaku, akan kuberikan Mantra Surga untukmu. Dengan mantra ini, kau bisa memanggil Dewa sesuka hatimu. Dan dari meraka nanti, kau akan mendapatkan seorang anak sebagai keturunanmu.”


Wajah sang wanita tampak senang. Berkali-kali dia berucap terima kasih kepada lelaki tua yang disebutnya Resi Durwasa itu. Lalu, sebuah mantra dengan bahasa yang tak kukenali, dibacakan oleh sang Resi.


***


Pada siang yang teramat cerah, sang wanita berdiri di puncak bukit tertinggi dari sekitarnya. Matanya tengah terpejam. Kepalanya tertunduk. Kedua telapak tangan saling bersetubuh di depan dada. Dalam keheningan yang syahdu itu, sang wanita mengucap bait-bait doa.


Aku tak mendengar apa yang tengah ia kecap. Hanya bisik-bisik lirih. Lalu kulihat sebuah angin berhembus menerpa rambutnya. Tiupan bayu itu semakin kencang. Menerbangkan dedaunan kering yang telah gugur, ranap bersama tanah.


Sang wanita mundur beberapa langkah karena kejut. Raut wajahnya tengah bertanya-tanya, ada apa gerangan? Hingga beberapa waktu kemudian, sebuah sinar terang benderang, hampir membutakan mata semua yang menatapnya, datang menerpa tubuh sang wanita.


“Aku sudah banyak mendengar tentang pengabdianmu yang tulus dan penuh kesabaran pada Resi Durwasa, Kunti. Dan dengan keberanianmu memanggil jiwaku datang saat ini, kuhadiahkan seorang putra yang kelak akan mewarisi kekuatanku, Dewa Surya.” Sebuah suara tanpa wujud terdengar menggema ke seluruh penjuru bukit tempat sang wanita berdiri. Dan aku yang tengah memandang sebuah kisah yang diperlihatkan padaku bak sebuah film yang tengah diputar, terkejut dengan sebuah nama yang baru saja disebut suara itu.


Kunti. Aku tahu siapa dia. Tahu sekali...


***


Di tengah-tengah makan siang kami yang belum habis masa tayangnya, Dilla mendelik sambil membuka mulutnya lebar-lebar. “Apa kau bilang? Wanita dalam mimpimu itu Kunti? Dewi Kunti yang hidup dalam dongeng-dongeng pewayangan Mahabharata itu?”


Kuanggukan kepalaku.


“Ah, ngaco kamu, Prit,” Dilla menahan tawa. Kukerutkan kedua alisku. “Dengar ya, Prita sayang, wanita itu tidak nyata, hanya sebuah dongeng. Masa kau ini adalah reinkarnasi dari seorang dewi yang hidup dalam dunia yang bahkan tidak pernah ada.”


“Lah, yang bilang soal reinkarnasi itu siapa? Bukankah kamu sendiri?”


“Iya, itu karena kukira ini hanya sebuah lelucon, jadi aku sedikit menggodamu saja,” Dilla makin cekikikan. “Aku malah tidak menyangka jika akhirnya kau menganggap mimpimu adalah sebuah keseriusan. Hello... Prita sayang, kita hidup di jaman internet. Berpikirlah lebih realistis.”


Jleb! Rasanya hatiku tertusuk sebuah paku baja berkarat. Seolah-olah perkataan Dilla yang kutangkap adalah, Prita, kau itu gadis yang bodoh! Aku sangat tersinggung. Bagaimana bisa dia berkata demikian. Padahal dia tidak pernah merasakan sakitnya hatiku setiap kali bermimpi tentang Dewi Kunti. Seperti sebuah tangisan yang tertahan, tak mampu untuk diungkapkan. Sakit...


***


Iya...


Sekarang aku tahu, mengapa wanita itu begitu hancur saat berjalan dengan telanjang kaki, menyelusuri hutan sambil membawa keranjang mungil di dadanya. Aku juga tahu bagaimana berdarahnya tangisan luka yang membuncah di hari itu. Karena gadis yang ceroboh bernama Kunti, tengah menuai tuahnya sendiri. Hanya karena rasa penasaran ingin mengetahui kesaktian Mantra Surga dari Sang Resi, akhirnya dia harus membuang sebuah aib.


Kalian tahu siapakah yang digendong dalam keranjang itu? Seorang bayi mungil yang rupawan. Yang kelak akan menjadi sebuah karma yang menghantui kehidupan ibu kandungnya sendiri. Mencabik hati seorang wanita lemah karena penyesalan terdalam, kala cinta telah raib karena ketidakberdayaan masa mudanya.


Iya, bayi kecil yang dihanyutkan ke sungai Aswa itu akan diketemukan oleh seorang kusir dari kerajaan Hastinapura, dan diberi nama Karna. Seorang Karna yang gagah perkasa, dengan kekuatan Dewa Surya di tangannya, kelak akan menjadi musuh terkuat dari Pandawa Lima, anak Kunti yang lahir dikemudian hari setelah dia menikah dengan Pandu. 


Sesama saudara akan saling membunuh. Sesama saudara akan saling membenci. Karena apa? Kerena ketidakberuntungan yang dianggap Karna sebagai ketidakadilan atas kehidupannya.


Ah, Kunti... Entah apa arti kau selalu hadir dalam mimpi-mimpiku. Rasanya, aku begitu ingin bisa memelukmu kala itu. Berharap sedikit saja, sedikit saja mampu meringankan kesedihanmu. Mungkin benar kata Dilla, kau hanyalah sebuah ilusi. Sebuah dongeng yang takkan lekang oleh waktu. Berkelana pada alammu sendiri. Mengajarkan kepada para manusia, bahwa kasih ibu itu ada, untuk sepanjang masa, apapun telah yang terjadi.


Dan kau pun kini terkenal sebagai Kunti, seorang ibu yang harus menderita karena terpisah dengan anakmu.


***


Api suci perlahan mulai menjalar. Pada detik-detik di akhir masanya, Kunti menatap wajah manis abdinya yang setia menemani selama ini. Pada saat Kunti tertawa, dia ada. Saat Kunti merintih sedih karena kebodohannya, dia juga masih ada. Bahkan saat terakhir pun, setelah perang besar di Kurukshetra selesai dan Kunti bertapa di hutan terdalam, abdi yang hampir seusia dirinya itu masih mau melayani dengan setia.


“Prita, aku bangga punya abdi yang setia seperti dirimu,” desah Kunti dalam sisa-sisa lengu nafasnya yang mulai melemah. “Jika kau punya kehendak, maka katakanlah. Aku akan memohon pada Dewa, agar mereka mau mengabulkan permintaanmu,” lanjutnya.


Prita yang masih tetap duduk menemani pertapaan Kunti, berkata perlahan, “jika benar diijinkan, hamba ingin mengalami reinkarnasi tak berujung Ibu Kunti. Dalam setiap masa hidupku, aku ingin mengingat semua perjalanan kita. Tentang cinta, kesetiaan, kesedihan, kebodohan dan keserakahan yang ada di sekitar kita. Aku ingin, kisah epik tentang seorang ibu yang bijak dan penuh kasih sayang, yang menyimpan luka bahkan hingga di akhir masanya, tidak akan pernah lekang oleh waktu.”


Kunti tersenyum mendengar permintaan sang abdi, “permintaanmu akan dikabulkan, Prita. Kau akan terus menjalani pengabdian reinkarnasimu, hingga Dewa-Dewa menghancurkan dunia fana ini, dan merubahnya
menjadi kehidupan yang abadi.”


Mendengar ucapan Kunti, Prita terharu, pun juga bahagia. Air matanya meleleh pelan. Lalu jilatan-jilatan api suci dari kesaktian Kunti, tiba-tiba membumbung semakin tinggi, membakar raga Kunti yang tengah terpejam, melanjutkan semedinya.


Prita menangis sejadi-jadinya dalam keheningan hati. Melepas kepergian sang majikan yang berhati selembut kain sutra India, yang tengah terbakar di hadapannya.




Nda, 090414


Tidak ada komentar:

Posting Komentar