Selasa, 01 April 2014

PUSPA (GADIS YANG TERTIDUR)



keabadian adalah makna dari kesejatian cintaku padamu…



Malam kasip. Bulan pucat menggantung pada tembok kelam, membuat temaramnya jatuh menelungkup di wajahku yang sedang menengada menatap gelap. Aku berhasil menangis. Setelah berminggu-minggu tak ada lagi tumpahan nanah yang mampu meluapkan semua sayatan luka di hati.

“Bulan, pernahkah kau kecewa dengan perlakuan malam yang tak adil padamu? Lihatlah dia, begitu angkuh merajai, membuatmu sendirian mematung di langit sana.”

Bergumam kututurkan hinaan pada malam, pun pada nasib yang tak bisa ramah. Mulut kering yang terpecah-pecah ini mengkomat-kamitkan kata. Membuat dahaga yang telah lama tak terguyur nikmatnya kasih basah, semakin terserak dan nyeri.

“Jika benar sang takdir memaksaku berdansa pada derita, memahat jalan penuh luka yang harus kulalui pada buku Sang Raja Langit, aku ingin menantangnya, hai bulan gendut!”

Tangisku semakin menjadi. Berkelebat kenangan pahit yang telah lama bersemayam pada jiwa kotor ini. Luka itu kembali mengangah, hatiku berdarah. Panas, mendendam. Tetapi kepada siapa?

 Kuketuk-ketuk kaki telanjangku pada besi dingin yang memanjang. Rel kereta api tempatku berpijak itu bergetar perlahan. Mendengung sebuah suara yang semakin mendekat. Dekat, dan semakin dekat. Lalu sebuah cahaya, dengan lesat menyambar kegelapan malam.

Bulan menatap tanpa suara, pekiknya tertahan. Dan kegelapan yang selalu menjadi teman bermainku pun pingsan seketika, melihat tubuhku berhamburan dikoyak sang Malaikat Maut.

***

Si Emak Puspa meraung-raungkan tangisnya padaku. Bercerita tentang anak gadisnya yang sudah lama mematung tanpa hati. Gadis perawan paling cantik, kehilangan mahkotanya. Tersembunyi pada cela-cela pepohonan tebu, tidur dalam telanjang, senja, tujuh September lalu.

Cinta di hatiku marah. Ingin membunuh binatang serupa manusia itu. Lihatlah perlakuannya, menghasilkan Puspa bagai gundukan batu yang hanya bisa diam dan bernafas. Tidak makan, pun tidak meneguk air. Bibirnya kering pecah bak nyanyian hutan tandus yang merindu hujan.

Matanya mati. Otaknya membeku. Lalu hatinya entah hilang, atau bersembunyi pada apa.

Ah, Puspaku sayang. Kutahu kau sedang menderita sendiri dalam bisumu. Apa yang mampu aku lakukan pada dirimu, agar kau kembali tersenyum pada dunia?

Lihatlah impian-impian kita yang telah tergerus masih hidup dalam hatiku. Aku tak peduli, walaupun selaput gadismu terkoyak, cinta ini tak berkurang sedikitpun.

Kumohon, kembalilah hai gadis perawanku Puspa.. Aku rindu lenguh nafas kehidupanmu di sisiku.

***

Ini pertengahan Oktober.

Tarian hujan mulai menyapa tanah-tanah yang hampir gila karena menanti. Debu jalan terhanyut banyu dari langit, membuat yang terkotorkan menjadi bersih.

Aku ingin pula terbersihkan olehnya, sang hujan itu, bisakah?

Sudah enam minggu hampir berlalu, terasa hidup begitu membosankan. Aku lupa bagaimana rasanya bahagia, bagaimana caranya tertawa, bahkan lupa cara berbicara pada manusia. Apa benar mereka tulus menantiku menemukan hati yang dicolong senja biadab di ladang tebu?

Aku meragu…

Aku sudah ingin mati. Terlalu berat menopang kenangan yang menggoreskan carut marut pada tubuhku. Sosok yang berhasil melucuti kebanggaanku masih jelas melekat di mata hitam ini.

Mereka berlima. Semuanya, menjambak, mencabik, dan menindih tubuhku. Memahat bejat pada kelangkang. Menerkam jiwa kegadisan yang bertahun-tahun kujaga lelapnya, yang kelak kan kuberikan pada dia kekasihku tercinta.

Apakah ini yang namanya hidup?

Bahkan aku tengah takut ketika aku membuka mata dan sosok-sosok itu tertawa penuh puas dalam dinding-dinding kamarku!

Aku sudah hina!

Sudah tak pantas bersamanya lagi.. Bahkan, aku telah mati di hari itu. Di mana senja menelan semua keceriaanku, membawanya tenggelam ke dalam dasar bumi terdalam.

Jadi, buat apa aku takut mati untuk yang kedua kalinya?

Menggelikan!

***

Aku terduduk lemas dalam keterkejutanku. Emak Puspa menangis tak hilang kepalang. Dipukul-pukulnya dada busung yang menggendut karena lemak itu. Berteriak menggema, memanggil-manggil nama Tuhan. Deritanya membanjiri hati siapa yang mendengar.

Puspa kini bagai puing-puing batu yang pecah. Ah, Puspaku. Pantaskah apa yang kau korbankan ini, Sayang?

Bahkan mereka yang telah menyakitimu itu masih berkeliaran menikmati hidupnya yang berkubang dosa. Dari hasil memakan tubuh para gadis-gadis yang nestapa. Apa kau tak ingin membenamkan mereka dalam kepahitan hukum?

Ah, mengapa kau lebih memilih untuk mati…


Nda, 180314


Tidak ada komentar:

Posting Komentar