Jumat, 09 Mei 2014

KAWAN(an)KU


 

Pukul sebelas siang. Terik matahari menyengat siapapun yang ada di muka bumi. Tidak terkecuali aku. Walaupun seluruh kulitku sudah terbungkus kain, sang matahari tetap tidak menyerah, bahkan untuk sedikit saja.

Hari ini lengkap. Semua sudah masuk ke dalam mobil. Dekik, Jimbon, Tole, Sasa, Itong, dan aku, Cimeng. Kami berenam sudah siap hendak berangkat kerja. Jujur sebenarnya aku sedang berdebar-debar. Ini tugas penting pertamaku, dan aku tidak bisa berkonsentrasi.

Sial, seperti mau pingsan saja.

“Loe kenape, Meng? Muke loe keringetan, kaya abis nyemplung di empang aje.” tanya Itong.

Gawat, dia menyadari kegugupanku. Pintar sekali dia, bisa melihat wajah berkeringatku di balik cadar dan jilbab panjang ini.

“Ah, tidak. Buat apa aku gugup. Ini hanya keringat karena kepanasan. Besok-besok biar kamu saja yang menggantikan posisiku menjadi wanita alim berkerudung hitam seperti ini. Menyebalkan.” jawabku sewot.

Tole tertawa terbahak. Diiringi tawa kecil Sasa yang sedang sibuk menimang bayi sebesar bantal dakronku di rumah. Entah anak siapa lagi itu yang disewa kali ini. Besar sekali badannya. Ngeri rasanya punya bayi seperti itu.

Hihh.

“Kowe tenang aja, Meng. Kan dua hari lalu wes latihan toh? Lagi pula, nih lihat cincin akikku ini,” Tole menyodorkan jari tangannya ke arah mukaku, memamerkan cincin-cincin akik yang aneh, “di sini onok mantranya. Aku bisa buat semua orang di sana nanti jadi tidak menyadari kehadiranmu, Meng. Percoyo wae, Meng. Ini sakti!”

“Sakti opo?” sindirku gemas.

“Loh, ojok sembrono kamu, Meng. Ilmuku ini sudah bertahun-tahun tak asah. Kalau tanpa pegangan seperti ini, kita gak bakal bisa sukses di pekerjaan seperti ini.”

Iya deh, iya.

Tole dan Dekik memang senior kami. Tiga tahun lebih mereka bergelut di bidang ini. Sedangkan aku, baru sebulan bergabung, dan baru kali ini terjun lansung menjadi tokoh utamanya. Biasanya adalah Sasa, tetapi mereka bilang, aku sepertinya punya bakat terpendam. Entahlah.

Kuakui mereka semua memang pemberani. Bernyali besar. Juga sangat pandai dan cerdik. Sepertinya memang diciptakan dengan memiliki keahlian di bidang begini. Heran. Kalau bukan karena pengangguran, tidak mungkin aku mau-maunya diajak gabung sama mereka. Ini Jakarta, dan aku merantau dengan hanya bermodal ijasah Sekolah Menengah Pertama. Dan itu susah sekali untuk bisa sebagai jaminan hidup di ibukota.

“Sudah, sudah. Sebentar lagi kita sampai. Kamu, Meng. Kalau gugup tenangin sama rokok dulu sana. Mumpung masih ada waktu sepuluh menit.” Dekik berseru dari kursi depan. Di antara kawanan ini, memang Dekik-lah pemimpinnya.

Benar kata Dekik, aku kudu menenangkan dulu kegugupan ini. Sebentar lagi tugas besar menanti di sana. Sebuah supermarket berkelas di Mall Taman Anggrek, target besar kami hari ini.

***

Tole berdiri tegap dengan melipat tangan di belakang sebuah timbangan buah. Matanya melirik kiri kanan, pun depan belakang. Melihat kondisi hilir mudik penjaga. Seperti orang sakti saja. Jangan-jangan, cerita soal akik itu benar adanya. Hmm, benar-benar dia ini. Membuatku jadi berpikir dua kali kalau mau berbicara dengan dia, takut sama akiknya.

Di area lorong kosmetik, Dekik dan Sasa berpenampilan sebagai pasangan suami istri yang mesra. Sasa mendorong kereta bayi raksasanya. Sementara Dekik menggandeng erat tangan wanita cantik berambut merah itu. Kereta bayi miliknya sudah dirancang sedemikian hingga agar muat menempatkan berpuluh-puluh jenis kosmetik incaran kami. Catatan target mereka panjangnya amit-amit. Shampoo, lotion, pelembab wajah, masker. Ah, entah apalagi, yang pasti semua merk ternama.

Aku tak mau ambil pusing, itu bukan tugasku. Tugasku adalah lorong susu bayi.

“Susu Fadhil apa ya, Umi? Abba kok lupa.” Jimbon yang berperan sebagai pasangan suamiku sudah mulai menikmati aktingnya. Mencoba berpura-pura kalau kami ini benar-benar membutuhkan susu untuk anak kami, yang sebenarnya sih tidak nyata.

Ditanya Jimbon, akupun beraksi. Menjawab dengan menyebutkan salah satu merk susu kaleng ternama. Aksi kami benar-benar meyakinkan. Sampai-sampai, saat kami mencari-cari letak barang yang dimaksud, seorang SPG menunjukannya dengan ramah.

“Sebelah sini, Ba.” Katanya sambil menuntun kami ke gondola yang dimaksud.

“Wah, stoknya kok cuman ini saja mbak? Kami butuh dua karton bisa?” Jimbon mencoba mengalihkan perhatian si mbak SPG. Ini memang sudah trik kami. Berpura-pura meminta barang lebih banyak dari yang dipajang di space gondola, agar penjaga pergi ke gudang. Lorong sepi, kemudian kami bisa leluasa beraksi.

“Ada, Ba. Tunggu sebentar, akan saya ambilkan di gudang.”

Bagus! Berhasil. Selalu seperti ini. Dan SPG itupun pergi meninggalkan kami.

“Terima kasih, Mbak.” Jawab Jimbon sambil melirik ke arahku.

Aku tahu maksudnya. Dengan sigap kujongkokan kaki. Di sini ada lima kaleng susu seberat delapan ratus gram. Besar. Dan itu cukup untuk bersembunyi dengan tenang di balik rok panjangku yang super lebar. Tidak akan ketahuan. Hanya butuh sedikit perjuangan saat berjalan nanti.

Lirik sana lirik sini. Demikian juga dengan Jimbon. Lalu dengan secepat kilat, secepat mata kalian berkedip, semua sudah berhasil kumasukan.

***

Jimbon tertawa terbahak. Giginya yang sebesar jagung lengkap dengan warna kuningnya terlihat dengan jelas sekali. Dia sedang senang. Juga geli. Bercerita tentang kejadian di dalam supermarket tadi.

“Kalau kalian melihat betapa bodohnya SPG tadi, kalian pasti juga akan tertawa. Mudah sekali dia dikelabui. Pasti setelah keluar dari gudang, wanita itu mencak-mencak karena kaleng-kaleng susunya sudah lenyap.”

“Aku memang tak salah menilaimu, Meng. Kau memang punya bakat. Tanganmu cekatan, dan kutahu itu sejak melihat cara dan gayamu.”

Aku tersenyum saja. Ada sedikit bangga di hati.

***

Hari ini aku hanya tiduran di dalam mobil. Tidak ikut kawananku berburu.

Badanku sakit, rasanya mau remuk semua tulang-tulang ini. Mata berkunang-kunang, kepala pun terasa sangat pening. Bahkan hendak bangun dan buang air kecil saja rasanya enggan.

Sebenarnya aku hendak ingin istirahat saja di rumah kontrakan kami. Tetapi Dekik melarang. Dia butuh ada yang menjaga mobil di area parkir, yang biasanya dibebankan pada Itong, supir kami.

Dalam ketenangan istirahatku, tiba-tiba datang Itong dan Tole menggedor-gedor pintu mobil. Wajah mereka penuh peluh dan tersirat kesan ketakutan. Tampaknya telah terjadi sesuatu.

“Ada apa?” tanyaku.

“Wes, mengko wae tekone, Meng. Kita harus cepat pergi, sekarang!”

Dihardik Tole, aku tahu kalau kami benar-benar dalam masalah. Tanpa babibu, aku minggir dari kursi supir yang langsung diambil alih oleh Itong. Namun, belum sempat mobil dilajukan, kami melihat Jimbon berlari-lari terseok-seok, menyeret kedua kakinya yang berat.

Aku tahu kaki itu telah berisi barang curian kami. Celana jeans milik Jimbon yang model komprang itu memang dirancang agar bisa muat menyembunyikan beberapa kosmetik di dalamnya. Di balik celana itu sudah dilapisi kain tebal dengan karet di ujungnya, sehingga apapun yang masuk tidak akan keluar dari sela-sela kaki.  

Jimbon masih berlari dalam langkah yang berat. Tampak sangat susah sekali laju jalannya. Kami berseru-seru agar dia cepat melajukan larinya. Tetapi tiba-tiba, dari balik rimbunan mobil yang sedang terpakir rapi, berlari pula empat satpam berpawakan tinggi tegap.

Busyet. Jantungku langsung berdebar-debar. Mungkin wajahku pun mulai memucat. Ini baru namanya ketakutan. Gila apa? Aku tidak mau tertangkap!

“Wes, Tong. Jalan aja, cepat! Biarkan si Jimbon. Kita urus saja mereka nanti.”

Itong menganggukan kepala, kemudian melajukan mobil. Dari kaca jendela mobil yang gelap, aku melihat Jimbon, menyerah dalam pelariannya. Tersengal-sengal, berusaha merangkul nafas kembali.

Tidak ada kecewa dalam matanya. Jimbon tahu benar, ini sudah resiko. Dan kepergian kami meninggalkannya adalah keputusan tepat. Karena kami nantinyalah yang akan mencari jalan untuk membebaskan mereka bertiga.

***

Dekik dan Jimbon akhirnya dipenjara.

Ketika kami menjenguk di penjara--berpura-pura sebagai keluarga dekat Dekik--keadaannya sangat mengenaskan. Bibirnya bengkak. Pipi memar membiru. Lalu pelipis mata sobek. Memang sudah dibalut perban, tetapi sisa-sisa darah yang mengering masih saja menempel di sela-selanya.

Dia sudah tak mampu bicara lagi. Semua tubuhnya terasa nyeri. Sungguh beban yang ditanggung Dekik sangat besar. Dia lebih memilih diam saat disiksa daripada memberi tahu siapa saja kawanannya yang ikut andil dalam pencurian di supermarket.

Keadaan Jimbon juga hampir sama. Hanya saja, dia masih lumayan. Tampaknya tidak sehancur wajah Dekik yang sudah hampir bisa dikatakan sebagai pelampiasan polisi-polisi gila. Sementara itu, Sasa berhasil kami bebaskan dengan uang jaminan, yang tentu saja tidak sedikit jumlahnya.

Aku kasihan melihat kondisi Sasa. Rambutnya yang merah indah bak artis-artis dangdut itu sudah petal di sana sini. Tampaknya dia shock setengah mati. Selama di dalam mobil dia hanya menangis dan menangis. Bercerita tentang perlakuan tak senonoh dari oknum polisi, juga beberapa kekerasan yang dia dapatkan.

Melihat keadaan Sasa dan mendengar cerita-ceritanya, hatiku jadi menciut. Perasaan ketakutan itu mulai muncul. Sebuah pertanyaan mencuat dalam batinku, akankah kuteruskan pekerjaan gila ini?

Aku jadi ragu ....

Perjalanan sore ini sangat mencekam. Mungkin, bagi yang lain juga begitu. Tetapi entahlah. Bukankah mereka telah lama bergelut di bidang ini?

Ah, rasa capek itu tiba jua. Rasanya ..., aku ingin berhenti dan pergi sejauh mungkin ....




Nda, 090514

PETUAH EMAKKU



Emakku pernah berkata—saat ia masih kuat untuk membuka bibirnya, bahwa berbagi dengan sesama itu tak perlu menunggu kami berada. Bahkan di saat kami tengah kekurangan pun, jika melihat ada orang yang memerlukan bantuan, wajib memberi.

"Kita manusia diberi hati oleh Tuhan, bukan untuk dibiarkan bisu atau buta. Hati harus tetap hidup, harus peka dengan keadaan sekitar kita. Jika kau memiliki hati yang mati, maka kau takkan mampu merasakan penderitaan orang lain ...." Demikian petuah emakku.

Ibuku memang bukan wanita terpelajar. Hanya seorang wanita berpendidikan Sekolah Dasar, yang memiliki hati sekuat batu. Emakku tidak pernah pantang menyerah dengan keadaan. Jiwa dedikasinya kepada keluarga sudah setinggi langit. Emakku juga terkenal sebagai tetangga yang suka menolong di desa kecil kami—Desa Petegan Makmur. Siapa yang tidak mengenal Suripah—nama emakku? Semua pasti tahu beliau.

Setiap hari selalu ada tetangga yang meminta bantuan emak. Meminta sedikit bumbu dapur, emak memberikannya—walaupun emak juga sedang memerlukan. Atau ketika ada yang berhutang untuk membeli beras, emak juga tak ragu untuk memberikan.

Aku pernah bertanya karena kurang setuju dengan tindakan emak, “mengapa Emak mau memberikan uang terakhir kita untuk dipinjam Dhe Lipa?”

Dengan lembut dan mengelus rambutku yang tertutup jilbab, emak menjawab singkat, “tenang, Jum. Beras kita masih cukup ….”

Dan benar saja. Selama dua hari kami hanya makan beras dengan lauk kerupuk dan siraman kecap seadanya. Bagi emak, selama masih bisa membantu orang yang memerlukan, kenapa tidak?

Bertahun-tahun, bisa dibilang sedikit demi sedikit aku belajar memahami ajaran emak. Bahkan rasa bangga itu muncul perlahan di dalam hati.

Namun, semakin aku beranjak dewasa dan sudah sering melihat ketidakadilan pada kehidupan masyarakat, aku lambat laun meninggalkan wejangan emak. Pikiran logisku sering bertanya pada sang hati, "bagaimana aku bisa menolong orang lain jika aku sendiri pun serba kekurangan?"

Lihatlah keadaan kami sekarang. Emak yang suka mengagung-agungkan prinsipnya itu, kini telah tersadai di atas pembaringan. Diam, dan tak mampu kembali bergerak seperti lima tahun lalu—karena stroke total. Yang mampu digerakkan hanya matanya: mengedip dan melirik. Dari keduanya itulah cara emak berkomunikasi denganku.

Sungguh, kami ini miskin. Bapak sudah tiada. Bukan karena meninggal, tetapi karena lari dengan perempuan laknat dari desa sebelah. Sedangkan aku, bisa apa dengan semua keadaan ini? Umurku baru lima belas tahun. Seharusnya aku masih wajib bersekolah layaknya para gadis yang ada di desaku. Atau bahagia mengecap cinta dari pemuda pujaan.

Tapi kini? Aku harus merawat emak dan kedua adikku yang masih seumur jagung.

Demi kelanjutan hidup, aku harus bekerja sebagai buruh cuci. Belum lagi setiap sore ikut membantu Wak Adul berjualan siomay. Dengan begitu pun semua kebutuhan masih belum kupenuhi. Apalagi, obat-obat emak sungguh mahal. Aku bahkan sudah hampir menyerah dan lari seperti bapak.

Iya. Kadang jiwa mudaku ingin berontak dari kemiskinan ... Apa aku salah? Aku hanya sudah lelah ....

Aku sering bertanya, ke manakah orang-orang yang dulu pernah dibantu oleh kebaikan hati emak itu? Mengapa mereka seolah diam? Berpura-pura membutakan kedua mata dan menutup rapat-rapat telinga mereka.

Saat emak tiba-tiba jatuh tersungkur di depan jalan desa—setelah pulang dari berjualan di pasar, tidak satupun dari mereka datang menolong emak. Sebagian hanya berbisik-bisik. Lalu sebagian lagi malah masuk ke dalam rumah dan menutup rapat pintu mereka.

Untung kala itu ada Wak Adul yang juga baru pulang dari pasar. Dengan dibantu beberapa temannya, Wak Adul membawa emak ke rumah sakit desa. Pertanyaanku tidak berhenti begitu saja di sini—tentang arti sebuah balasan dari kebaikan emak. Namun juga ketika emak harus dirawat inap di rumah sakit dan kami butuh biaya yang sangat besar.

Lagi-lagi orang-orang yang tak tahu balas budi itu menenggelamkan hati mereka dalam kebisuan. Aku yang susah payah mencari pinjaman ke tetangga sekitar untuk menebus obat emak, malah ditolak mentah-mentah.

“Kalau kamu hutang sebanyak itu, mau dibayar pakai apa? Kapan mampu membayar? Emakmu sudah tidak mampu bekerja, bapakmu hanya tukang kuli bangunan. Lalu kamu …? Apa yang bisa kalian janjikan?”

Seketika hatiku mati!

Sumpah serapah dan umpatan terus kudengungkan dalam setiap doaku. Berharap agar mereka dibalas oleh Tuhan. Bagaimana bisa mereka sekejam itu kepada wanita yang pernah menyisihkan uang terakhirnya untuk memberi makan pada mulut-mulut anaknya?

Bertahun-tahun aku hidup menjadi gadis yang sudah kecewa dengan lingkunganku. Sikap mereka yang tidak adil kepada emak membuatku acuh. Jika ada yang datang ke rumah dan meminta sedikit bumbu masak atau sekaleng beras lagi, aku bilang tidak ada (walaupun sebenarnya ada)

Entahlah … Mungkin Tuhan mendengar beribu-ribu keluh dan kecewaku. Hingga akhirnya, kala bulan sabit yang terlihat seperti sedang menertawai kelelahanku malam ini, Tuhan mempertemukan aku dengan ibu itu.

Wajahnya teduh, namun menyimpan rasa lelah yang berkepanjangan. Dia duduk di bawah lindungan pohon mangga yang menjulang di trotoar jalan. Dalam dada kurusnya, dia tengah menggendong seorang anak kecil yang tengah terlelap. Lalu seorang anak kecil lagi—usianya lebih besar dari yang digendong—tertidur pulas di dalam gerobak kayu.

Aku yang sudah kelelahan karena rasa lapar yang teramat, memutuskan untuk beristirahat sejenak di trotoar yang sama. Memang sedari tadi aku hanya makan sepiring nasi waktu pagi hari. Setelah itu kutinggal mencuci baju di rumah Bu Sarmin dan Bu Joko. Kemudian berjualan siomay bersama Wak Adul.

Ibu itu menatapku. Lama dia melihat sambil terus mengatur nafasnya yang hampir putus karena lelah. Kemudian, dengan sedikit berbisik dia bertanya, "kenapa kamu, Dik? Sakit perut ya?"

Kuanggukan kepalaku—masih memegang perut dan meringis karena kesakitan. Sepertinya penyakit maag-ku kumat lagi. Aku takut. Biasanya jika sudah kambuh, aku pasti akan terkapar berhari-hari. Padahal tugas mencari nafkah setiap hari adalah tugasku.

Jangan sampai aku jatuh sakit, ya Allah …, batinku berdecap doa penuh harap.

"Adek belom makan?"

Aku mengangguk lagi. Kali ini kusisipkan senyum sependek jari kelingkingku.

"Sejak kapan belom makan? Jangan sering terlambat, lambungmu bisa berdarah loh," lanjutnya lagi. Aku diam karena masih menahan perih yang teramat menusuk.

Ibu kurus itu tersenyum. Sejenak dia merogoh tasnya yang kucel, untuk mengambil sebuah bungkusan plastik berwarna hitam.

"Ini ada sebungkus nasi. Ikannya hanya telur, tapi makanlah dulu agar perutmu gak kelamaan kosong. Bisa bahaya." Ibu menyodorkan bungkusan plastik ke arahku.

Hatiku ragu. Apakah harus kuterima bungkusan itu lalu melahap isinya, ataukah menolaknya dengan sebuah alasan? Bukan karena apa, tetapi aku hanya tidak tega menerima pemberian dari tangan seseorang yang jauh lebih membutuhkan daripada aku. Bukankah nanti setelah pulang, aku bisa makan di rumah? Itu sih kalau aku bisa melanjutkan perjalanan pulangku. Upah dari Wak Adul memang ada, tetapi itu untuk jatah makan esok hari. Jadi walaupun aku kelaparan, tidak mungkin kupergunakan uang ini untuk membeli nasi bungkus di warung.

"Dek, ayo ..., dimakan nasinya." Ibu masih saja mendesak. Wajahnya berbinar keramahan. Membuatku terhanyut, dan kalah dengan prinsipku sendiri.

Akhirnya kuambil nasi ibu dan melahapnya. Rasa laparku terus menggoda. Nasi putih dan sebutir telur kukus terasa begitu sangat nikmat di lidah. Kudengar ibu malah tertawa kecil melihat caraku makan. “Pelan-pelan makannya, nanti kau bisa tersedak,” sahutnya di sela-sela sunggingan tawa.

Setelah hampir separuh nasi telah kuhabiskan, ibu tiba-tiba berdiri. "Ibu tinggal dulu ya. Masih harus berjalan lagi mencari botol bekas agar besok bisa dapat uang dan membelikan obat untuk anak ibu."

Seketika aku terhenyak mendengar perkataan ibu. Tanganku yang sejak tadi sibuk mencakup nasi pun terhenti. Dadaku sesak. Apa yang baru saja dia katakan? Anaknya sedang sakit …, dan dia sedang bekerja mencari uang untuk membeli obat anaknya? Hingga larut malam? Dia pun tengah kesusahan, tetapi masih saja ikhlas memberikan bungkusan makan malamnya untukku?

Bulir air mataku menetes. Kalimat-kalimat emak yang telah lama kubuang kini kembali memukul-mukul hatiku. Inikah yang namanya berbagi kepada sesama walaupun kita sendiri tengah kekurangan?

Sekilas, sosok ibu mengingatkan aku akan emak yang pernah kubanggakan dahulu. Iya. Ibu asing yang tengah berdiri di hadapanku ini, memiliki prinsip seperti emak. Aku benar-benar bodoh! Hanya kerena rasa kecewa kepada orang-orang yang menyedihkan itu, aku telah membuang hati.

Kuhampiri ibu. Tangisanku masih terisak-isak. Membuatnya heran bukan kepalang akan lakuku. Tiga lembar uang sepuluh ribu kuletakkan di telapak tangannya. "Bu, ini ada uang tak seberapa, ambillah. Untuk berobat adik besok. Terima kasih sudah memberikan makanan lezat itu untukku ...."

Ibu sempat menolak, namun genggaman tangannya makin kurapatkan. Dalam malam yang hampir menenggelamkan manusia dalam mimpinya itu, kami berdua berpelukan sambil menangis. Seucap kata terima kasih disebut lirih oleh ibu. Hatiku tentram. Mungkin demikian pula hati ibu. Aku sekarang yakin, jika hatiku sebagai manusia tidak pernah mati. Dan ajaran emak bertahun-tahun lalu tidak pernah sia-sia ....

Dunia ini luas. Menurutku masih ada seseorang nun jauh di sana, yang masih menjunjung tinggi rasa kemanusiaan. Mau membantu sesamanya, walaupun diri sendiri masih serba kekurangan. Lalu, bagaimana dengan Anda, wahai pembaca? Masihkah hati Anda hidup dan bernafas di dalam sarangnya …, atau bahkan mati dan menutup mata terhadap sesama?

Naudzubillah …, semoga kita dijauhkan dari sifat yang sedemikian ….






Nda, 070514

WANITA DENGAN KEBANGGAANNYA



 

Sekali lagi kau memaki—kepada wanita yang bahkan belum pernah menyakitimu—dengan lantang di hadapan bayangmu sendiri. Dadamu terpanggang emosi. Urat-uratmu meregang hebat. Lalu kau berteriak-teriak, “aku bukan wanita murah!”

***

Hari itu kau teringat benar—saat kau tengah menikmati dosamu yang begitu kau banggakan. Sebelum kau menemui dirinya, selama hampir satu jam kau patut dirimu di hadapan cermin. Sudah cantikkah, sudah wangikah ..., itulah yang selalu kau tanyakan dalam hatimu. Setelah kau rasa sudah cukup pantas untuk memamerkan pesonamu yang seharusnya hanya untuk suamimu, kau akhirnya rela beranjak dari kamar. Berjalan dengan menyedapkan langkahmu, untuk menemui lelaki yang seharusnya bukan hakmu untuk berkasih-kasih dengannya.

Kau lihat lelaki itu—Rama—hadir melambaikan tangannya di dalam sebuah mobil hitam. Kau lempar senyum yang termanis—seperti seorang penari jalang yang menyebarkan pikatnya—ke arah Rama. Lalu masuk ke dalam mobil, bercengkrama sebentar dengannya, hingga akhirnya melaju menyibak pagi pukul sepuluh.

Hatimu tenang. Sedamai pepohonan jati—yang kalian lalui—berdiri diam dalam gemingnya. Kau tidak sedikitpun mengkuatirkan keberadaan suamimu. Karena sebuah sekenario telah kau siapkan di mukanya. Kala itu kau hanya menikmati debaran yang meletup-letup, akan rasa cinta terlarang antara kau dan Rama.

Hari itu kau lupa, bahwa seorang istri yang baru saja melahirkan putrinya seminggu lalu, tengah menanti suaminya yang telah kau curi. Kau berpura-pura tuli, buta dan mati. Kau hanya ingin dimengerti, akan sebuah rasa yang muncul kembali saat pertemuanmu dengan Rama.

***

Kini kau membenamkan kebencian kepada istri Rama, yang telah membuatmu terpisah dengan kekasihmu. Kau yakin kau begitu menyedihkan. Hidup dalam kesakitan karena ulahmu sendiri, mencabik-cabik waktu yang kau pikir tak pernah adil pada pilihanmu.

Kau bahkan dengan begitu sombongnya mengumbar tanya, apa yang salah pada perasaanmu? Bukankah cinta datang tanpa kau harapkan? Mengetuk dengan paksa hati yang telah kau serahkan kepada lelaki halalmu. Kau bahkan tak mampu menghadapi gejolaknya. Lalu salahkah dengan ketidakmampuan itu?

Wajahmu mengisut. Ketika istri kekasihmu memberimu stempel dahi sebagai wanita murahan, kau berteriak di sela-sela kebencianmu. Bagimu, wanita itu tak tahu apapun tentang perasaanmu! Pikirmu, kau hanyalah manusia biasa, yang kapan pun juga akan melakukan kesalahan.

Lalu kau hanya terpekur dengan keegoanmu. Bergelut manja dengan rasa banggamu yang mengagung-agungkan rasa cinta dan kenanganmu dengan kekasih itu. Bagimu, sudahlah ..., bukankah kau telah mendapatkan kebahagiaan?

Dan bukankah lelaki halalmu selalu memiliki kata maaf teruntuk kelakuan konyolmu? Maka, kau akhirnya memilih untuk tertawa. Iya. Tertawa dan tertawa, walaupun kau sadar bahwa kelak, karma akan bertamu dalam jalan hidupmu.

Karma ..., karena telah menyakiti hati menusia lain.

Karma ..., yang akan menempatkan kesombonganmu pada tempat terkelam.

Kelak, dia akan datang ....




Nda, 090514

BAJANG




Semua tahu, kau adalah bajang tua pemangsa perawan muda. Juga orok bayi yang masih memerah. Semua juga tahu kau singgah pada mereka yang tengah berjiwa kosong. Hidup, dengan meninggalkan Tuhan.

Mereka takut padamu. Pada rumbai mahkota yang gimbal di kepalamu, tergerai mengerikan sepanjang lutut. Juga pada kedua mata yang merah darah itu. Setiap kali kau melengking, keduanya akan mengalirkan nanah busuk berbau anyir. Aroma yang sama seperti mayatmu.

Kuku-kukumu tajam. Siap mencabik dan merobek rongga dada mangsamu. Mereka hitam legam, karena sisa-sisa darah yang telah kering menggumpal. Juga kulit tubuhmu itu. Bersisik keras dengan gurat-gurat seram. Dengan penampakan seperti itu, takkan ada seorang manusiapun yang mau mendekati istanamu yang menjulang tinggi, merindang di tengah-tengah pekuburan tua.

Tidak seorang manusiapun.

Hingga datanglah gadis jelita yang menggendong luka di balik cupingnya. Kepada siapa dia bisa menyuarakan cerita sedih yang tercekat pada suaranya yang melindap? Bahkan jejangkrik malam pun takkan mampu mendengarnya bernyayi.

Kau lihat dia dengan mata sembab menghampiri rumahmu. Menyematkan sebuah tali kain pada dedahan yang kokoh, lalu mengikatnya kuat-kuat. Kau yakin sudah, gadis jelita itu hendak berakhir di sini, di rumahmu, tempat kau mengakhiri jiwa, puluhan tahun lalu. Sama seperti dia.

Tak terasa kengerianmu melebur. Kau menjadi haru dan tersentuh padanya. Apa gerangan yang telah membuatnya menjadi ingin mati? Apa? Kau coba menebak-nebak alur cerita kehidupan sang gadis.

Bajang, akankah kau menerkamnya juga? Menjadikannya santapan pada malam jum’at kliwon ini?

Matamu yang merah membeliak itu tengah menatap sang gadis yang sedang pelan-pelan meletakkan leher jenjangnya pada ikatan tali.

“Tunggu!” teriakmu seketika, memecah sepi di pekuburan.

Gadis itu menengadah, menatapmu yang tengah berdiri melayang. Seketika dia jatuh tersungkur. Suaranya tak keluar. Hanya cekik-cekik ketakutan yang terekam telingamu. Tunggu, kau baru menyadarinya. Iya, kini kau yakin sudah.

Bajang, gadis itu bisu.

***

 Nda, 090514

ANAKKU PEREMPUAN, SAYANG






Darah itu warnanya merah—baunya masih sangat segar . Mengucur deras di paha kurusku—membuat jantung yang berdetak ini semakin berdegup kencang. Aku sangat ketakutan!

Seketika air mata yang telah lama tidak pernah kulelehkan akhirnya jatuh juga. Menangisi hati yang tercabik penyesalan—karena pernah berkata, “mengapa dia harus datang sekarang?”

Tuhan, inilah teguran-Mu padaku ....

***

“Aku hamil ....” desahku pada suami. Wajahnya kecewa. Demikian juga dengan aku.

“Kok bisa sih, Bund?” tanyanya. Benar-benar sebuah pertanyaan yang tidak memberikan kepuasan btinku. Bisanya dia bertanya demikian? “Bunda sih tidak pernah mau kalau disuruh KB, alesannya banyak,” lanjut suami dengan tampang buram.

Iya aku salah. Bukannya malas untuk ber-KB. Hanya saja, aku takut dengan efek yang akan ditimbulkan darinya. Flek hitam, menstruasi yang tidak teratur, lalu kegemukan. Iya, apalagi yang paling ditakutkan oleh kaum wanita bersuami seperti aku? Gemuk—penuh tumpukan lemak—dan tidak seksi lagi di mata suami.

“Mengapa dia harus datang sekarang?” desisku.

Tahun 2011, aku dan suami baru saja membeli rumah. Uang tabungan telah ludes. Apalagi setiap bulan harus mencicil kreditan rumah. Anak kami dua, lelaki semua. Mereka sangat aktif. Maka, jika akan ditambah satu lagi, aku jelas akan kewalahan. Siapa yang akan menjaga mereka? Kami berdua bekerja. Masih banyak yang harus kami tanggung ....

“Apa kita bisa menjalani ini semua dengan seorang anak lagi?”

“Entahlah ....”

Kami berdua lunglai. Lemas—merasa tidak berdaya dengan anugrah yang baru saja kami dapatkan.

***

“Aku akan berhenti bekerja saja ... Bagaimana?” tanyaku suatu malam.

Suamiku diam seribu kata. Matanya menerawang. Aku tahu dia akan sangat terbebani dengan ini. Berjuang sendiri dengan gaji yang bahkan masih jauh lebih kecil dari apa yang aku dapatkan dari perusahaan.

Kugenggam tangan suami, mencoba membuat hatinya kuat. “Panda ..., ijinkan dia hadir. Aku yakin kali ini pasti perempuan.”

“Bagaimana Bunda tahu? Kan masih kecil. Bagamana jika laki-laki lagi? Bisa ruwet rumah kita.”

“Tidak ... Percaya sama Bunda. Anakku perempuan.”

***

“Bagaimana, Dok?”

“Bayinya sehat kok, Pak. Detak jantungnya kuat. Hanya saja, posisinya sedang bergeser. Hampir mencapai mulut rahim. Istri Bapak harus bedrest total selama sebulan.”

“Jadi bayi kami masih bisa diselamatkan, Dok?” tanyaku.

“Iya, Bu. Dia sehat sekali kok.” Dokter tersenyum.

“Alhamdulillah ....”

Rasa bahagia, syukur bercampur dengan penyesalan—karena pernah meragukan kehadirannya—mengaduk-aduk perasaanku. Selama tiga hari di rumah sakit, aku hanya bisa terus berdoa demi kesehatan janinku. Allah Maha Mendengar. Dengan kuasanya yang menakjubkan, Dia menyelamatkan jiwa cantik ini terus hidup.

Dalam perjalanan mengandung anak ketiga ini, aku terus diliputi perasaan bahagia. Mengapa? Keajaiban ... Mungkin karena itulah aku bahagia.

Entah mengapa, aku begitu yakin jika janinku perempuan. Seorang gadis kecil yang cantik. Sejak awal kusebut dia sebagai “adek cantik”

Hingga akhirnya hari itu tiba ....

Pukul dua dini hari, tanda-tanda kelahiran itu datang. Aku dan suami segera beranjak menuju rumah bidan langganan. Proses yang begitu cepat, kekhawatiran yang membuncah, dan semua perjuangan itu terbayar juga akhirnya ....

Dengan syukur dan bangga kukatakan pada suami, “anakku perempuan, sayang ....”

Dan bulir-bulir air mata itupun mengalir di pipinya. Inilah impiannya, inilah harapannya. Memiliki seorang bidadari cantik sejak pertama kali kami menikah. Dan tiada kesempurnaan bagiku, sebelum aku mampu memenuhi keinginan suami.

Alhamdulillah, puji syukur kepada yang telah menghadirkan sosok mungil ini di antara keluarga kecil kami. Dengan kelahirannya, telah banyak hal yang kami alami. Hingga saat ini aku selalu bangga, karena jika tanpa semua kejadian dan cobaan itu, tidak akan pernah kurasakan bagaimana menikmati ketentraman. Juga bagaimana memahami jiwa kami masing-masing.

Maka, jika kelak ujian itu datang kembali, aku sudah mampu berkata, insya’allah aku bisa menghadapinya. Karena cinta ada di antara kami berlima ....

Subhanalloh ..., kalian tahu apa? Berumah tangga itu sungguh menakjubkan! Kalian akan banyak belajar, akan banyak mengalami perubahan cara pandang, juga akan mendewasakan diri masing-masing. Percayalah!



Nda, 070514