Jumat, 09 Mei 2014

WANITA DENGAN KEBANGGAANNYA



 

Sekali lagi kau memaki—kepada wanita yang bahkan belum pernah menyakitimu—dengan lantang di hadapan bayangmu sendiri. Dadamu terpanggang emosi. Urat-uratmu meregang hebat. Lalu kau berteriak-teriak, “aku bukan wanita murah!”

***

Hari itu kau teringat benar—saat kau tengah menikmati dosamu yang begitu kau banggakan. Sebelum kau menemui dirinya, selama hampir satu jam kau patut dirimu di hadapan cermin. Sudah cantikkah, sudah wangikah ..., itulah yang selalu kau tanyakan dalam hatimu. Setelah kau rasa sudah cukup pantas untuk memamerkan pesonamu yang seharusnya hanya untuk suamimu, kau akhirnya rela beranjak dari kamar. Berjalan dengan menyedapkan langkahmu, untuk menemui lelaki yang seharusnya bukan hakmu untuk berkasih-kasih dengannya.

Kau lihat lelaki itu—Rama—hadir melambaikan tangannya di dalam sebuah mobil hitam. Kau lempar senyum yang termanis—seperti seorang penari jalang yang menyebarkan pikatnya—ke arah Rama. Lalu masuk ke dalam mobil, bercengkrama sebentar dengannya, hingga akhirnya melaju menyibak pagi pukul sepuluh.

Hatimu tenang. Sedamai pepohonan jati—yang kalian lalui—berdiri diam dalam gemingnya. Kau tidak sedikitpun mengkuatirkan keberadaan suamimu. Karena sebuah sekenario telah kau siapkan di mukanya. Kala itu kau hanya menikmati debaran yang meletup-letup, akan rasa cinta terlarang antara kau dan Rama.

Hari itu kau lupa, bahwa seorang istri yang baru saja melahirkan putrinya seminggu lalu, tengah menanti suaminya yang telah kau curi. Kau berpura-pura tuli, buta dan mati. Kau hanya ingin dimengerti, akan sebuah rasa yang muncul kembali saat pertemuanmu dengan Rama.

***

Kini kau membenamkan kebencian kepada istri Rama, yang telah membuatmu terpisah dengan kekasihmu. Kau yakin kau begitu menyedihkan. Hidup dalam kesakitan karena ulahmu sendiri, mencabik-cabik waktu yang kau pikir tak pernah adil pada pilihanmu.

Kau bahkan dengan begitu sombongnya mengumbar tanya, apa yang salah pada perasaanmu? Bukankah cinta datang tanpa kau harapkan? Mengetuk dengan paksa hati yang telah kau serahkan kepada lelaki halalmu. Kau bahkan tak mampu menghadapi gejolaknya. Lalu salahkah dengan ketidakmampuan itu?

Wajahmu mengisut. Ketika istri kekasihmu memberimu stempel dahi sebagai wanita murahan, kau berteriak di sela-sela kebencianmu. Bagimu, wanita itu tak tahu apapun tentang perasaanmu! Pikirmu, kau hanyalah manusia biasa, yang kapan pun juga akan melakukan kesalahan.

Lalu kau hanya terpekur dengan keegoanmu. Bergelut manja dengan rasa banggamu yang mengagung-agungkan rasa cinta dan kenanganmu dengan kekasih itu. Bagimu, sudahlah ..., bukankah kau telah mendapatkan kebahagiaan?

Dan bukankah lelaki halalmu selalu memiliki kata maaf teruntuk kelakuan konyolmu? Maka, kau akhirnya memilih untuk tertawa. Iya. Tertawa dan tertawa, walaupun kau sadar bahwa kelak, karma akan bertamu dalam jalan hidupmu.

Karma ..., karena telah menyakiti hati menusia lain.

Karma ..., yang akan menempatkan kesombonganmu pada tempat terkelam.

Kelak, dia akan datang ....




Nda, 090514

Tidak ada komentar:

Posting Komentar