Rabu, 14 Juni 2017

DANGAL: HIDUP ADALAH SEBUAH PERJUANGAN


Judul film : Dangal
Genre : action, biography, drama
Aktor : Amir Khan, Fatima Sana Shyaikh, Sakshi Tanwar, Sanya Malhotra
Sutradara : Nitesh Tiwari
Rilis : 23 Desember 2016
Durasi : 2 jam 41 menit

Sudah sangat lama saya ingin menonton film ini, tetapi selalu saja gagal karena alasan-alasan. Pagi ini, saya pun berhasil menuntaskan keinginan tersebut. 

Kepiawaian Amir Khan sudah tidak perlu diragukan lagi. Pertama kali melihat akting aktor besar ini, saya menonton film Mann, yang menguras air mata. Di zaman saya kecil, Amir Khan kerap menjadi peran yang cengeng dan sedikit lembek, berbeda dengan aktor-aktor lainnya, seperti Sanjay Dutt dan Sunil Doel. Tapi semakin ke sini, ia semakin berani mengolah kemampuan aktingnya dengan peran-peran unik, seperti dalam film PK yang konyol, kritis, dan blak-blakan. 




Film Dangal mengisahkan tentang seorang mantan atlet gulat nasional, bernama Mahavir Sigh Phogat, yang melepas impiannya--memperoleh medali emas untuk India dalam kejuaraan internasional--agar keluarganya mampu bertahan hidup. Ternyata, kehidupan seorang atlet nasional di India tidak jauh beda dengan di negara kita: miskin dan tidak mendapatkan apapun dari negara. Negara seolah tutup mata, belum lagi birokrasi departemen yang manaungi para atlet itupun banyak dihuni oleh oknum-oknum yang hanya bisa mengenyangkan perut mereka sendiri. Dalam keadaan seperti inilah, Mahavir Sigh Phogat bertahan dan berjyang mati-matian dengan dana sendiri saat melatih kedua putrinya, hingga menjadi pegulat profesional. 

Mahavir Sigh tidak begitu saja melepaskan mimpi itu. Ia berkata pada istrinya, "Jika bukan aku, maka anakkulah yang akan mendapatkan medali emas untuk negara ini." Dan itulah awal konflik film ini dimulai. 




Keinginan Mahavir Sigh untuk mempunyai anak lelaki ternyata tidak dikabulkan oleh dewa mereka. Keempat bayi yang lahir dalam keluarga itu semuanya perempuan. Mahavir Sigh kecewa dan putus asa. Ia pun menurunkan semua medali yang diperolehnya dan tidak bersemangat dalam menjalani kehidupannya. Tahun demi tahun. Hingga pada akhirnya peristiwa itu terjadi. 

Pada suatu hari, tetangganya datang dalam keadaan marah. Mereka mengadukan kedua putrinya yang menghajar anak-anak lelaki mereka hingga babak belur. Bukannya marah, Mahavir Sigh malah takjub dan bangga. Seolah ada secerca sinar harapan yang jatuh tiba-tiba dari atas langit dan membuat kepalanya yang sempat kosong itu terisi kembali dengan mimpi-mimpi. 

Mahavir Sigh pun mulai melatih kedua putrinya itu tentang cara-cara menjadi seorang pegulat. Seluruh desa mencemoohnya. Kedua putrinya pun dikucilkan dan diolok-olok. Tapi selayaknya orang gila yang tidak mau menoleh ke arah mana pun, Mahavir Sigh tidak peduli pada semuanya. Walaupun kedua putrinya itu tidak menyukai apa yang dilakukan ayahnya: merampas kebahagiaan masa kanak-kanak dan menggantinya dengan latihan yang keras dan melelahkan. 

Lalu apa yang terjadi kemudian? Apakah Mahavir Sigh berhasil mengantarkan kedua putrinya ke ajang gulat internasional dan mewujudkan impiannya? 

Film besutan Nitesh Tiwari ini sarat dengan petuah-petuah kehidupan. Pemainnya pun berakting dengan sangat totalitas. Film ini menyentuh, lucu, inspiratif, sekaligus memprihatinkan. Memprihatinkan yang saya maksud adalah, kenyataan bahwa kita sebagai orang tua terkadang lupa bahwa anak pun memiliki kehendaknya sendiri, bagaimana mereka ingin menjalani hidup mereka. Kita selalu hadir sebagai penentu, sebagai doktrin, yang terkadang timbul karena keegoisan kita sendiri. Kebanggaan kita sendiri. Memang sebagai orang tua kita ingin anak sukses, tapi kadangkala kita hanya sedikit lupa akan keinginan anak itu sendiri. Tapi bukan berarti film ini buruk. Justru film ini, bagi saya, mengajarkan banyak hal baik dalam segala sudut pandang; hubungan ayah dan anak, hubungan seluruh anggota keluarga, semangat serta sikap pantang menyerah untuk mewujudkan mimpi, kepercayaan, cinta kasih, dan kejujuran. 

'Hidup adalah sebuah perjuangan yang sangat panjang dan melelahkan, dan ada kalanya, di saat itu, kita harus berani berjuang seorang diri.'


#NulisRandom2017 #Day14 #NulisBuku #AjengMaharani 

Jumat, 09 Juni 2017

KISAH TENTANG ORANG-ORANG SAKIT DAN REALITA YANG BERPURA-PURA BAIK-BAIK SAJA


Judul: Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan (Kumpulan Cerita)
Penulis: Ajeng Maharani 
Penerbit: Basabasi
Penyunting: Gunawan Tri Atmodjo
ISBN: 978-602-391-352-7

Cerita-cerita dalam buku kumpulan cerpen 'Ia tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan', menurut saya berisi orang-orang yang sakit.  Seperti kata Freud,  kita semua sebetulnya sedang sakit,  hanya saja kita tidak menyadarinya. Sebagian dari kita pura-pura bahwa kondisi kita baik-baik saja. 

Kita hang-out bersama teman-teman,  membicarakan film, musik,  buku,  game,  atau ketertarikan kita pada asmara untuk memenuhi lubang yang semenjak dahulu kala ada di dada kita. As long as we live,  shits happen, dan cerita-cerita di dalam buku ini berusaha mengutarakan hal tersebut dengan caranya. 

'Maysa Rindu Menyusu pada Batu' misalnya,  ia secara hiperbolik berusaha mengkritisi kondisi sosial masyarakat kita.  Utamanya mengenai hubungan ibu dan anak.  Di samping banyaknya pasangan muda yang belum terlalu mengerti tentang tanggung jawab seorang ibu,  juga di masyarakat mulai terjadi asimilasi di mana peran ibu sekadar menyediakan apa yang bisa membuat anaknya bertahan hidup. Menilik kasus-kasus yang kerap saya jumpai meski tidak terlalu ekstrim, namun perilaku annoying ibu terhadap anaknya kerap terjadi.  Lihatlah di sekeliling kita, bisa kita temukan dengan mudah ibu-ibu yang asyik melakukan kegiatan sendiri dan memarahi anaknya begitu sang anak melakukan kesalahan. Kelihatannya sederhana dan remeh tetapi tugas seorang ibu tak hanya mencukupi kebutuhan material anaknya,  melainkan juga memiliki tanggung jawab terhadap perkembangan emosi sang anak serta perilakunya. Ibu memang tahu apa yang terbaik untuk sang anak,  tetapi tahukah ia bahwa kadang sang anak berbuat nakal hanya untuk mendapat perhatian? 

Cerita Maysa memang tidak menampilkan hal tersebut karena Maysa justru tergolong melankolis,  dan ia melampiaskan perasaan sedihnya itu pada khayalan yang ia buat berdasarkan perkataan ibunya. Bukankah melawan atau menurut sama-sama bentuk perhatian terhadap sesuatu? 

Dalam mbah Sumitroh, Ajeng Maharani bercerita mengenai budaya warok yang telah menghilang dan hampir tak berbekas. Zaman telah melindasnya. Dengan piawai penulis yang satu ini menampilkan kegelisahan seseorang yang melenceng dari kodratnya dan risiko-risiko yang bakal ditanggung pelaku atas kelakuannya. Meskipun dalam kasus ini termasuk tindakan kriminal sih,  tetapi kupikir jika itu terjadi pada sepasang kekasih pun, reaksi masyarakat yang buas akan tetap sama. 

Selain dua cerita di atas,  buku ini juga merangkum kasus-kasus KDRT dalam beberapa ceritanya.  Lumayan kelam dengan benturan karakter di sana-sini. 

Kita tidak sedang membicarakan agama ketika membicarakan sebuah buku, kita sedang membicarakan sebuah realitas. Tetapi selama kita tidak memahami bumi,  kita tidak akan pernah bisa memahami langit. Dan buku ini berhasil menunjukan cuilan demi cuilan realitas yang terjadi di sekitar kita melalui analogi kisah-kisah di dalamnya. 


~ Peresensi:
Damar Hening Sunyiaji, penikmat buku dan sastra

#NulisRandom2017 #Day9 #NulisBuku #AjengMaharani 

Kamis, 08 Juni 2017

NOBELIA DAN JANIN-JANIN DALAM GENDONGANNYA (bagian satu)


Oleh: Ajeng Maharani 

Ia membuka mata dan kesenyapan  itu menyergap. Ia tidak tahu pukul berapa ketika itu, tapi ia menyadari satu hal: suaminya tidak pulang lagi hari ini. 

Dibukanya ponsel yang telah ia matikan. Tidak ada chat dari lelaki itu. Keterlaluan. Sudah empat hari berjalan, dan di malam itu, ia merasakannya dengan benar, pelan-pelan, darah di dadanya mendidih. 

Puluhan makian terlahir sempurna di dada itu. Mereka mengalir layaknya sungai yang beringas, menuju ke kepalanya. Mereka meletup-letup di dalam sana. Ingin meledak. Matanya hampir saja pecah, tapi ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis lagi. Tidak akan, demikian desis batinnya. Ia harus bisa menjadi kuat. Sangat kuat. Ia tahu ia tidak sedang sendirian. Mereka, bocah-bocah itu, berkata dengan keluguannya, "Nggak mau ikut Ayah. Ikut Ibu. Kami sayang Ibu, nggak sayang Ayah. Ayah jahat." Dan itulah kekuatannya. Dengan itu pulalah ia akan berjuang untuk menyelamatkan hak-hak anaknya. Nanti, ketika ia dan suaminya akan berhadapan dengan seorang hakim. 

Ia sebenarnya ingin bertanya pada perempuan itu: sedemikian rendahnyakah seorang perempuan yang jatuh cinta hingga kamu menghalalkan tubuhmu pada suami perempuan lain dan dengan bahagia tinggal seatap bersamanya, dengan bahagia pula merampas waktu yang seharusnya masih milik istri dan anak-anaknya, dan dengan bahagia pula melakukan itu semua tanpa merasa berdosa? 

Sedemikian rendahnyakah seorang perempuan yang tengah jatuh cinta itu? 

Tapi ia, Nobelia, hingga detik ini, masih juga tidak layangkan pertanyaan-pertanyaan itu. 

Ia pernah berujar kepada suaminya perihal perkara ini pada suatu siang yang masih belia. "Tolong, jangan paksa aku menjadi manusia yang buruk di mata anak-anakku. Bisa saja aku memaki perempuan itu, mendatangi rumahnya dan berkelahi jika aku mau. Tapi aku tetap gigih pada keinginanku yang telah kuucapkan padamu, aku ingin kita berpisah dalam keadaan baik-baik saja dan melanjutkan hubungan ini sebagai seorang sahabat, demi anak-anak. Tapi lihat, apa yang sudah kalian lakukan? Kalian sengaja melupakan mereka. Kalian dengan seenaknya bertingkah dan anak-anak itulah yang menjadi korban. Apa kamu tahu bagaimana rasanya ketika mereka bertanya, 'Di mana Ayah, Bu? Kok nggak pulang?' Juga, 'Tante Amel itu apanya Ayah? Kok peluk-peluk Ayah?' Coba pikir, bagaimana rasanya?"

Lelaki itu hanya diam saja dan menatapnya sayu. 

"Aku diam karena aku butuh tenang. Aku diam karena aku menghormati kalian sebagai manusia dan berharap kalian pun menghormati kami yang ada di sini. Hak-hak kami. Bukankah aku sudah menawarkan poligami tetapi Amel yang tidak mau? Kamu bilang dia tidak bisa membagi dirimu. Bukankah itu konyol? Dia yang mencurimu, kenapa justru dia yang tidak bisa membagi dirimu?" 

Ia menarik napasnya yang sesak di siang itu, kemudian melanjutkan, "Baiklah, tidak apa-apa. Aku pun bersyukur akhirnya bisa lepas dari kamu setelah bertahun-tahun tersiksa dan sabar pada semua pengkhianatanmu. Tapi tolong dengan sangat, jangan buat diriku lebih marah dari hari ini. Kendalikan nafsu kalian berdua. Beri anak-anak waktu yang seharusnya memang milik mereka. Jangan tinggalkan mereka. Memangnya, Amel sudah lupa ya kalau kamu ini masih suami perempuan lain dan seorang ayah dari empat anakmu?"

"Tidak, dia masih ingat, kok."

"Nah!! Lalu, kenyataannya?"

Lelaki itu diam kembali. Senyap. Hanya ada suara siang yang pecah dari jendela kamarnya yang terbuka. Semilir angin yang membara merayapi dinding-dinding hijau pastel, membuat kipas angin berdebu yang tengah berputar di atas rak susun tidak mampu menyejukkan. 

"Aku berubah pikiran," ujar Nobelia kemudian, memecah hening. 

"Apa maksudmu?"

"Anak-anak akan ikut bersamaku semua. Aku yang akan merawat mereka. Dan rumah ini, aku yang akan menjaganya. Ini hak anak kita. Setelah resmi bercerai, kamu yang keluar dari sini, bukan aku."

Nobelia mengucapkan itu dengan keyakinannya. Ia menatap suaminya teguh. Tidak gentar. "Aku telah siap. Mungkin di persidangan nanti, kita akan menjadi lebih buruk daripada hari ini, tapi aku telah siap," lanjutnya. 

"Kok gitu, sih? Dulu kamu setuju membagi anak kita. Kenapa sekarang berubah pikiran?" 

Ia menarik napas dalam-dalam. Bola mata lelaki di hadapannya itu mulai memunculkan kekecewaan. Ia mahfum. 

"Karena aku telah melihat kalian berdua, beberapa bulan ini."

Lelaki di hadapannya itu mengerutkan dahi.

"Kalian terlalu asyik dengan cinta kalian. Kamu dan hubungan barumu itu."

"Bu, apa selama ini Ayah tidak tanggung jawab sama anak-anak?"

"Tanggung jawab, kok."

"Lalu?"

"Kamu memang tidak luput dari tanggung jawabmu pada materi, tapi kebutuhan anak itu tidak cukup hanya sekadar materi, kamu tahu benar itu. Kamu bilang kalau kamu dan Amel baru akan menikah dua tahun lagi. Untuk apa? Untuk menjaga nama baik dia, gitu? Kalau kalian langsung nikah setelah kita cerai, terus Amel pasti disebut sebagai pihak ketiga sama orang-orang di sekitar kalian dan kalian takut sama itu, gitu? Terus bagaimana nasib anak-anak yang ikut kamu nanti? Aku sudah pernah tanya ini, kan? Lalu kamu jawab, 'Kan mereka sudah besar, sudah bisa ditinggal.' Besar seperapa? Mereka baru sembilan dan delapan tahun loh. Kalau kamu setiap hari kerja, sibuk pacaran seperti sekarang, terus pulang tengah malam setiap hari seperti biasanya, bagaimana keadaan mereka nanti? Siapa yang mau mengawasi, membimbing, memasak, ngajak ngobrol mereka? Kamu tega seperti itu?" 

Nobelian meneteskan air mata.

"Aku tidak mau anakku diterlantarkan akibat hubungan egois kalian. Tidak. Biar aku yang menjaga mereka. Bagaimana nasib atau rencana-rencana hubungan kalian berdua bukan urusanku, tapi mereka berempat adalah tanggung jawabku. Titik. Dan aku akan berjuang untuk itu."


- bersambung - 





Rabu, 07 Juni 2017

SEPENGGAL PARAGRAF YANG JATUH DARI MATAKU

Image from Google 

Kamu jatuh dari mataku dan mengoek. Membuyarkan lamunanku petang itu. Embusan hujan menggetarkan jendela kamar kita, lalu kamu memintaku menyelimutimu dengan duka-duka. Bunyi sang waktu yang berteriak semakin lamban, dan lamban, dan lamban. Hingga senyap itu menggurui tubuhku, tubuhmu, tubuh kita.

Kalimat-kalimat berhamburan dari jari-jemarimu. Satu kalimat terseok-seok, mencari tanda petiknya yang menggelinding. Satu lagi lesat menembus dinding kamar kita, lalu kembali membawa bayi-bayi, yang mengoek lebih keras ketimbang suaramu. Satu lagi membumbung di langit-langit, mencipta pendar cahaya kebiruan. Bulan itu telah kalah olehnya. Ia bersembunyi malu-malu, sesekali mengintip, memicingkan matanya yang terlukai warna biru. Satu lagi ketakutan di bawah kolong ranjang. Tubuhnya menggigil. Ia berujar, "Selamatkan aku dari siksa neraka! Selamatkan aku dari Tuhan!"

Kamu kini tidak utuh lagi. Sebuah paragraf yang bertubuh cacat. Kamu kehilangan banyak kalimat, tapi bagaimanapun wujudmu, aku tetap mencintaimu dengan laknat. Selaknat-laknatnya seorang ibu yang marah ketika kamu tidak membelikannya popok. Aku akan kencing di kasurku tanpa popok, ujar seorang ibu itu. Tapi kamu bergeming. Tidak berjalan ke minimarket. Dan seorang ibu itu menangis. Banjir datang kala malam yang melindap. Seorang ibu itu hanyut bersama air matanya dan seprai yang berbau ompol orang dewasa.

Bagaimana aku harus mengembalikan bentukmu yang porak-poranda itu, tanyaku. Hatiku bahkan telah kusut masai, terjungkal dalam lubang jebakan tikus mondok. Aku menjelma seekor cacing tanah. Bertubuh kurus dan tinggal di bawah ketela ubi. Tapi kamu segera menggali tanah, memberiku buku dan pensil. Tulis diriku. Di mana? Di buku ini. Tentang apa? Tentang aku. Aku tidak mengenalmu. Aku adalah kamu. Aku tidak setuju. Tapi itu benar. Aku tidak suka rambutmu. Tapi ini rambutmu. Ada kutu di dalam sana.

Kamu jatuh dari mataku dan mengoek. Kamu yang masih belia, yang memiliki mata sehitam malam. Di dalam cermin, kata-kata terjebak. Mereka tidak bisa kembali padaku. []

#NulisRandom2017 #Day8 #NulisBuku #AjengMaharani



BENARKAH ADA TUHAN DI DALAM KOTAK HITAM CEPI SABRE?


‌Judul : Kotak Hitam
Penulis : Cepi Sabre
Penerbit : Mijil Publisher
Kota terbit : Jakarta
Tahun terbit : 2012, terbitan pertama
Jumlah halaman : x + 158 halaman

"... Lalu aku diam-diam membayangkan pikiran sang pengarang. Tidakkah, kataku, di dalam kotak hitamnya, ia menyimpan Tuhan untuk dirinya sendiri." (Hudan Hidayat)

Buku bersampul hitam nan sederhana ini, mula-mula dibuka oleh tulisan Hudan Hidayat, yang menggambarkan seolah ia tengah bercengkrama dengan sang pengarang dan Gieb dalam sebuah dunia imajinasi, yang memperkarakan sebuah obrolan melantur tapi juga tidak melantur. Sebuah pembuka yang sangat unik saya bilang.

Di dalamnya, saya disuguhi cerita-cerita di luar batas realis. Ada 25 cerita yang dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:

00.00 - 09.00 : GILA (berisi 10 cerpen)
11.00 - 17.00 : JATUH CINTA (berisi 8 cerpen)
19.00 - 24.00 : NEGARA (berisi 7 cerpen)

Sebagai pembuka, saya bertemu dengan 'Tokoh-tokoh Cerita dari Sebuah Kotak Kayu', yang mengisahkan tentang Frick Fritzgerald, sang penulis cerita, yang gemar menyimpan tokoh-tokoh ceritanya dalam sebuah kotak kayu. Ketika akan mengarang cerita, Frick akan membuka kotak kayu itu, mengambil beberapa tokoh dan mulai menulis. Tapi pada suatu ketika, tokoh-tokoh cerita itu keluar dari kotak kayu dan melarikan diri, membuat Frick kesulitan menulis cerita, hingga kemudian muncul Gabriel, sang malaikat, yang menganggap Frick adalah Tuhan dan meminta lelaki itu untuk juga memasukkannya ke dalam kotak kayu. Tapi Frick tidak bisa melakukannya karena tubuh Gabriel yang sangat besar, lalu terjadilah percakapan antara mereka mengenai makna Tuhan sambil mengejar satu per satu tokoh-tokoh cerita yang melarikan diri itu.

"Maksudku, bagaimana bisa, kau tidak punya kendali atas mereka, Tuan Frick? Bukankah mereka semua itu kau yang ciptakan?"
"Aku bukan Tuhan, Gabriel." (halaman 5)

"Tapi Tuhan tidak pernah mengajakmu bercerita. Kau tidak bisa menceritakan keinginanmu, dan dia tidak pernah menceritakan keinginannya...." (halaman 6)

Cerpen-cerpen Cepi memiliki kekuatan pada keberanian, keunikan, liar, dan meletup-letup. Eksperimen (demikian sang penulis ini seringkali menyebut konsep bukunya ini pada saya) yang indah. Setiap kali saya membaca, saya selalu menemukan ide-ide baru untuk ditulis. Salah satu contohnya adalah pada cerpen 'Anakku, Orang-orang yang Ingin Kugambar, dan Ayahku yang Membawa Pistol', yang menginspirasi saya menulis cerpen 'Lukisan Suara' (Solopos). Juga cerpen 'Pacar dalam Lemari', yang menginspirasi saya menulis cerpen 'Laki-laki Akan Selalu Mengencani Kunang-kunang' dan 'Rahasia Lemari Ibu'. Dan masih banyak lagi.



Ada beberapa cerpen Cepi yang sangat berani daripada cerpen-cerpen lainnya di dalam buku ini. Liar dan begitu birahi (tapi tidak murahan). Itu menurut saya, setelah membaca cerpen 'Gubrak, Nyoh, dan Din- Din- Din-' dan 'Laki-laki yang Mencari Buah Dada' (sebuah cerbung, yang ini dibagi menjadi tiga bagian). Ada pula cerpen yang ditulis dengan teknik surealis yang pure (ini salah satu favorit saya), berjudul 'Hujan Hudan, Hujan'. Narasi cerpen ini melompat-lompat, nampak tidak teratur dan di luar nalar segala macam bentuk aturan, tetapi memang demikianlah keunikannya.

Cepi Sabre bagi saya adalah seorang guru yang hidup di dalam bukunya. Tulisan-tulisannya membuat saya jatuh hati pada surealisme dan mulai mempelajarinya. Dan buku 'Kotak Hitam' ini, selayaknya sebuah kitap suci bagi saya. (padahal itu buku pinjaman, tapi saya begitu tidak rela untuk mengembalikannya bahahahaha)

Lalu, benarkah ada sosok Tuhan di dalam Kotak Hitam seorang Cepi Sabre, seperti apa yang telah diutarakan oleh Hudan Hidayat di bagian pembuka buku tersebut?

Saya jawab, "Bagi saya, IYA!"

Cepi Sabre menciptakan tuhannya sendiri, tuhan bagi tokoh-tokoh yang diciptakannya, tuhan yang bergerak bebas dan liar, yang penuh makna, tuhan dari segala bentuk sudut pandang, yang terkadang luput dari ujung mata pemahaman kita. Tuhan semacam itu, hanya dapat kita temukan di dalam 'Kotak Hitam', karena Cepi telah memasungnya rapat-rapat di dalam sana. []

#NulisRandom2017 #Day7 #NulisBuku #AjengMaharani

Senin, 05 Juni 2017

CERPEN-CERPEN SUREALISME PERTAMA YANG SAYA BACA

Beberapa sahabat yang bahagia membaca cerpen-cerpen saya, apakah itu yang berada dalam buku 'Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan' ataupun yang terposting di blog ini, mengatakan kalau cerpen-cerpen saya itu bernuansa surealisme. Ya, saya memang menggilai salah satu aliran sastra itu. Jika ditanya, sejak kapan saya mulai membuat diri saya tertarik pada surealisme, maka saya saya akan menjawab: sejak saya membaca cerpen-cerpen surealisme.

Lalu kalian mungkin akan bertanya lebih lanjut (karena rasa ingin tahu yang besar) tentang cerpen milik siapa yang telah menggugah hati saya. Maka saya akan menjawab sekali lagi: pada kenyataannya, cerpen surealisme pwrtama yang saya baca bukanlah salah satu cerpen dari Seno Gumira Adjidarma, yang digadang-gadang sebagai bapak surealisme Indonesia itu, yang terkenal dengan cerpennya 'Sepotong Senja untuk Pacarku'.

Jadi, cerpen siapa yang membuat saya takjub akan dunia surealis yang telah dibangunnya dalam sebuah tulisan?

Mula-mula, sebelum saya menunjukkan atau menyebutkan sesuatu, saya akan katakan (perlu digarisbawahi) bahwa bagi sebagian pembaca (termasuk saya) tidak semua buku laris itu adalah buku-buku yang menarik untuk dibaca. Sebelum membaca dua buku yang hendak saya utarakan dalam tulisan kali ini, saya telah membaca dua buku Tere Liye dan tiga buku Asma Nadia, tapi tidak sedikit pun memunculkan gairah untuk menuliskan sesuatu, atau lebih tepatnya terinspirasi untuk menuliskan sesuatu setelah mengkatamkan buku-buku itu. Tentu saja ini perkara selera, bukan? Dan tentu pula kita tidak akan bisa memaksakan selera kita pada orang lain.

Seorang sahabat, yang sangat prihatin dengan keadaan saya yang pada ketika itu belum mempunyai buku-buku bagus untuk dibaca, mengirimkan beberapa buku miliknya kepada saya. Dan di antaranya itu, saya jatuh cinta pada kedua buku ini: Kotak Hitam (Cepi Sabre) dan Suara Sunyi (Rose Widianingsih).



Kedua buku ini tidak diperjuajbelikan di toko-toko buku besar, namun secara online dan mulut ke mulut, sahabat ke sahabat. Kedua buku ini diterbitkan oleh penerbit indie, di mana Mijil Publisher yang menaungi Kotak Hitam, sementara Indie Book Corner menaungi Suara Sunyi.

Hal-hal apa sajakah yang telah saya pelajari dari kedua buku tersebut, dan mengapa buku-buku tersebut menakjubkan dan terus mampu menginspirasi saya berapa kali pun saya membaca berulang-ulang?

Esok, di postingan hari ketujuh dan kedelapan, saya akan mengelupasnya satu pwr satu, mengapa mereka bwgitu istimewa.

Selamat menanti dan belajar cerpen surealisme yang tidak biasa bersama saya. []


#NulisRandom2017 #Day6 #NulisBuku #AjengMaharani

Minggu, 04 Juni 2017

KAKI SEORANG IBU

image from Pinterest

kaki seorang ibu melangkah masuk ke dalam pikiranku. ia berkata lelah, menarik sebuah kursi kayu mahoni dan mendudukkan bokongnya di atas sana. anak lelakiku berulah lagi, ia berujar getir. istri anak lelakiku menangisi mayat kenangan yang mati di dalam rumah mereka. pernikahan itu tercerai-berai. seorang perempuan telah memotong urat nadi kebahagiaannya, dan istri anak lelakiku itu terpaksa menerima demi setetes ketenangan.

kaki seorang ibu terus meracau tentang anak lelakinya yang terbodohi birahi. aku tidak ikut duduk di kursi kayu mahoni itu, diam-diam berdiri dan ikut sedih. anak lelakiku telah mencuri senyum sepasang matahari. aku harus bagaimana, tanya kaki seorang ibu itu dengan melarat-larat. tidak ada matahari adalah sebuah bencana, pekikku. cucianku tidak akan kering, padahal esok pagi aku harus mengejar bus dan mengelap bibir bosku yang suka meludahi dinding kantor itu dengan bibirku.

kaki seorang ibu tertawa terpingkal melihatku gaduh. aku tekun melihat wajahnya yang memerah malu. apa kamu bahagia sekarang, wahai Kaki Seorang Ibu? tidak, jawabnya. kebahagiaan tidak muncul dari sebuah lelucon konyol. seperti lelucon anak lelakiku yang meniduri perempuan lain sementara istrinya merenungi mata malam yang hujan. jadi bagaimana caraku agar kamu bahagia, wahai Kaki Seorang Ibu, tanyaku kembali. kaki seorang ibu itu bergetar gelisah. ia mulai menangis. surga di telapak kakinya meredup sayup. aku membungkam, tidak bertanya lagi. dan kesunyian merajai isi kepalaku.

aku butuh istirahat, tapi tangisan kaki seorang ibu itu tidak reda juga. aku mengulurkan setumpuk tisu. aku jadi ingat kawanku yang dua hari lalu marah-marah karena selembar tisu tersangkut di sela-sela giginya.

kaki seorang ibu itu akhirnya berdiri dan menghentak-hentak tanah kering di dalam kepalaku. ada apalagi sekarang, tanyaku padanya. aku mau ke kamar kecil. tidak ada kamar kecil di dalam kepalaku. pulanglah. ia menekuniku. apa kau tidak punya seorang ibu, tanyanya dingin. tidak. ibuku sudah mati dan aku terlambat ikut memandikannya. kaki seorang ibu terenyuh. ia memelukku. sekarang giliranku yang menangis. sial. padahal esok aku harus bangun pagi, mengejar bus dan mengelap bibir bosku yang suka meludahi dinding kantor itu dengan bibirku. []


Sidoarjo, 2017 

#NulisRandom2017 #Day5 #NulisBuku #AjengMaharani 

Sabtu, 03 Juni 2017

PERKARA CUCU WAK PUAH YANG BERKELAMIN DENGAN SUNDARI


image from Google 

Sebelum berita tentang cucunya yang berkelamin dengan Sundari itu mengguncang desa, Wak Puah sudah mengetahuinya jauh-jauh hari jika hal ini akan terjadi. Maka, ketika Wagimin datang dengan wajah pasi ketakutan dan membisikkan kabar menggemparkan itu dengan tergopoh, Wak Puah hanya menggelengkan kepala saja sambil melebarkan bibirnya.

Pagi ini, sebenarnya Wagimin sedang melunyah tanah di sawah dengan kaki-kakinya yang kokoh saat berita itu mengembus tanpa permisi ke cuping telinganya. Ia segera mentas dari permainan kegemarannya itu dengan susah payah karena pikiran yang kalang-kabut, lalu mencuci kaki-kakinya yang berlumpur dengan menimbah air sumur buatan ala kadarnya di bibir pematang. Ia hanya ingin segera menuju rumah Wak Puah dan mengabarkan perkara tersebut, sebelum nantinya akan ada orang lain yang suka menambah-nambahkan cerita pada lelaki tua itu.

Lesat Wagimin berlari melintasi pematang yang licin dengan sedikit terhuyung. Hujan semalam membuat tanah di tempat itu menjadi adonan bubur setengah matang. Likat. Berkali-kali sandalnya tertangkap oleh tanah hingga terlepas, hingga ia terpaksa mencabutnya dengan tangan dan mendapati tanah liat menempel di alasnya, membuat sandal itu menjadi lebih berat untuk digunakan berlari. Dan saat ia berhasil naik ke jalanan, ia merasa dirinya seperti terbebas dari kepungan puluhan orang dengan golok di tangan mereka.

Wagimin tidak peduli dengan sandalnya yang menjadi bengkak dan berat. Ia melanjutkan larinya, terseok di atas bebatuan yang terselar sepanjang jalan. Desanya memang belum mencicipi rasa manis dari pembangunan. Sudah berkali-kali warga berbondong-bondong menuju kantor pemerintahan pusat dan meneriakkan harapan-harapan. Tapi seperti kisah pembesar kota lainnya yang lihai menebar janji layaknya menyemai bibit padi di sawah, selalu saja hanya janji yang warga terima. Dan seharusnya, tahun ini jalanan yang mulai dikuasai liang-liang itu sudah berubah menjadi gundukan aspal hitam keabu-abuan yang mulus tanpa batu-batu.

Sebenarnya, sejak Wak Puah mengetahui cucunya sangat mencintai Sundari, anak bungsu Juragan Codet yang cantiknya tidak main-main, dada lelaki tua itu sudah sering dibuat kembang-kempis karena rasa khawatir yang besar terhadap cucunya. Ia takut masa depan cucunya menjadi kopong, tanpa isi, karena tidak mungkin cinta cucunya akan menjadi kenyataan. Ada jarak perbedaan besar antara mereka yang tidak disadari oleh cucunya itu. Tapi berapa kali pun ia berusaha menyadarkan cucunya tentang perbedaan-perbedaan yang mengambang dengan begitu jelas di antara mereka, tetap saja orang tua seperti dirinya tidak bisa berbuat apapun pada seorang pemuda yang tengah membara karena cinta.

Sebelum Wagimin akhirnya sampai ke rumah Wak Puah, pria bertubuh pendek dengan kulit terpanggang matahari itu bertemu dengan beberapa warga yang bergerombol di sebuah warung kopi. Mereka melambai pada Wagimin, mengajaknya untuk ikut menikmati secangkir kopi dengan ditemani senyum manja dari penjualnya, janda muda yang baru saja ditinggal mati suaminya.

Nama janda itu adalah Ijah, bokongnya besar aduhai, pun demikian dengan buah dadanya yang memantul pelan setiap kali ia bergerak. Warung kopinya adalah yang paling laris di desa itu. Tidak ada satu pun laki-laki di desa yang tidak pernah menikmati kopi racikan Ijah. Tangan-tangan bulat Ijah yang putih menggemaskan sering menjadi pelampiasan mereka, dielus-elus. Juga bokongnya yang terkadang ditepuk pelan atau diremas gemas. Ijah hanya akan menjerit keenakan lalu memukul-mukul bahu penggodanya dengan manja, dan melengos genit dengan tatapan mata yang berkerling nakal. Laki-laki akan senang setiap kali mendengar Ijah menjerit. Ada yang bergetar di tubuh mereka. Pelan dan menggairahkan.

Saat mereka melambaikan tangan pada Wagimin, lelaki itu hanya menggeleng saja. Ia memang benar menghentikan kakinya sejenak, tapi tidak sedikit pun melangkah mendekat. Salah satu dari mereka, yang duduk di kedai kopi Ijah, mengangkat tubuhnya dan berjalan ke arah Wagimin yang tersengal-sengal lelah. Menanyakan akan ke mana gerangan lelaki itu berlari, mengapa begitu tergopoh padahal hari masih begitu pagi dan dingin—waktu yang pantas untuk digunakan bersantai dan minum kopi sambil menepuk bokong Ijah. Wagimin menjawab dengan kata yang patah-patah, bahwa ia akan ke rumah Wak Puah dan mengabarkan berita tentang cucunya. Mendengar jawaban itu lawan bicaranya terbahak-bahak, mengatakan bahwa betapa hebatnya cucu Wak Puah itu bisa meniduri kembang desa. Dan itu membuat Wagimin dongkol. Ia tak lagi mengacuhkan laki-laki di hadapannya itu, lalu kembali berlari.

Berita tentang cucu Wak Puah yang berkelamin dengan Sundari itu dimulai dari seorang lelaki pencari katak yang melihat gerakan-gerakan di sebuah gubuk dekat sungai pada malam lalu. Dengan degup penasaran yang meletup lelaki itu mengendap-endap, mencoba mencari tahu apa dan siapa yang sedang bermadu malam-malam di tempat itu. Ia melihat sosok perempuan molek yang cekikikan, lalu sosok pria yang mengendus-endus, membuat ia mual dan memuntahkan sisa makan malamnya di semak-semak.

Itulah yang didengar Wagimin pagi ini, walau pada kenyataannya ia menyangsikan kebenaran berita itu. Memang pemuda itu sedikit keras layaknya batu gunung saat ia berkehendak. Sejak kecil ia terkenal usil dan pemberani. Wagimin tahu cucu Wak Puah itu tidak akan menjadi rampok, atau perusuh, atau bahkan mengawini anak orang dengan seenaknya. Tapi saat ia memandangi wajah Wak Puah yang gelisah dan semakin sering melenguh panjang itu, Wagimin merasa berita itu mungkin benar adanya.

Suara gaduh sekumpulan orang yang sedang marah terdengar di halaman rumah Wak Puah. Wagimin terperanjat dibuatnya. Ia lesat menghampiri jendela dan terbeliak ketika melihat orang-orang berwajah marah sudah berkerumunun dan meneriakkan nama cucu Wak Puah. Dada Wagimin dipenuhi kegelisahan yang besar. Ia menatap mata tua Wak Puah. Dikiranya lelaki itu akan menggigil ketakutan, tapi kenyataannya tidak.

Wak Puah berjalan menyedapkan langkah menuju pintu depan. Ia menyambut orang-orang itu dengan ramah-tamah yang menurut Wagimin yang berdiri di balik punggungnya adalah sebuah kebodohan. Bagaimana mungkin seorang lelaki tua mampu meredakan amarah belasan harimau yang sedang murka? Wagimin semakin was-was. Ia menelan ludahnya sendiri.

Orang-orang itu bersahut-sahutan, mengatakan akan meringkus cucu Wak Puah dan menggiringnya penuh kemaluan ke seluruh desa, lalu membawanya ke kantor polisi atas tuduhan pemerkosaan. Wak Puah berusaha menenangkan mereka. Mengatakan hal ini butuh diselidiki terlebih dahulu. Jika benar cucunya berkelamin dengan Sundari, ia yakin itu bukan pemerkosaan. Insting tuanya mengatakan, Sundari pun mencintai cucunya.

Bergumulan antara Wak Puah dan orang-orang berwajah marah itu masih saja alot. Mereka bersikeras ingin menyeret cucu Wak Puah. Berteriak dan melempar ludah ke tanah, lalu melunyahnya kuat-kuat. Wak Puah masih sabar dan telaten. Ia menjawab semua pertanyaan dan makian-makian dengan tabah, sementara Wagimin beringsut di punggung tuanya. Ketika itulah datang ketua RW dan dua ajudan lurah dengan langkah gagah, membubarkan kerumunan warga yang sedang marah. Mengatakan ini adalah tugas mereka sebagai pamong. Dan dengan patuh, para warga itu pergi meninggalkan halaman rumah Wak Puah.

Melihat orang-orang itu sudah pergi dengan melipat bara di dada, Wagimin memutuskan untuk pulang. Sudah tidak ada lagi keperluan dengan masalah ini, dan tanah-tanah di sawah sudah terlalu lama menunggu untuk kembali dilunyah. Ia memohon diri pada Wak Puah, juga pada ketua RW dan dua ajudan lurah, lalu meninggalkan mereka yang masih bergeming di depan pintu rumah.

Kali ini Wagimin tidak lagi berlari. Ia terlalu lelah untuk berlari lagi. Dan kehausan. Ia lupa meminta segelas air di rumah Wak Puah tadi. Ia terlalu panik dan gusar. Bagi dirinya, keluarga Wak Puah sudah bagaikan saudara. Ia besar bersama anak lelaki Wak Puah yang meninggal dalam kecelakaan bus, bertahun-tahun lalu.

Ketika Wagimin melintasi warung kopi milik Ijah yang sudah sepi pengunjung, ia memutuskan untuk mampir sejenak, sekadar minum segelas es teh untuk membasahi dahaganya. Di warung kopi itu, ia hanya melihat seorang laki-laki dan Ijah saja, yang sedang saling manja dan menggoda. Itu laki-laki yang sama dengan yang memanggil dirinya tadi pagi, saat berlari menuju rumah Wak Puah. Wagimin sedikit ragu apakah ia akan mampir ke kedai milik Ijah ataukah tidak saat melihat adegan colek dan pegang yang seronok itu. Ia ingin mual, tapi dahaganya terlalu angkuh untuk mau melepaskan keinginan meminum segelas es teh yang segar.

Wagimin tahu, laki-laki yang duduk bersama Ijah itu sudah beristri, tapi tentu saja pria akan selalu sama, melupakan istri saat ia sedang bersama seorang wanita, apalagi yang bahenol dan murah seperti Ijah. Dengan kepasrahan atas rasa hausnya, Wagimin akhirnya melangkahkan kaki mendekati warung. Saat itulah, samar ia mendengarnya, ucapan yang dilontarkan laki-laki yang duduk bersama Ijah. Pernyataan yang membuatnya marah dan menggenggam kepalannya rapat-rapat. Ia pun ingat satu hal tentang laki-laki itu. Ia-lah laki-laki pemburu katak yang menguarkan berita tentang cucu Wak Puah yang berkelamin dengan Sundari pada malam di sebuah gubuk di pinggir sungai.

Seketika, Wagimin ingin sekali menghantamkan kepalannya di wajah laki-laki itu.



Sidoarjo, 2017 


#NulisRandom2017 #Day4 #NulisBuku #AjengMaharani 

Jumat, 02 Juni 2017

DI BALIK CERPEN MALAIKAT KEMATIAN DI DAPUR KITA


“Kau percaya manusia selalu terlahir dari cinta?”
Aku tercengang, ia bisa membaca pikiranku.
“Kau tidak terlahir dari sebuah cinta.”
Ia benar. Ia katakan itu dengan mata keji. Membuatku ingin menangis.
‌~ Malaikat Kematian di Dapur Kita (halaman 111)


Cuplikan dialog di atas saya kutip dari salah satu cerpen di dalam buku saya 'Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan', yang diterbitkan oleh Penerbit Basabasi. Cerpen berjudul 'Malaikat Kematian di Dapur Kita'. Dialog tersebut terjadi antara tokoh 'Aku' dan sang malaikat kematian. Kisah dimulai ketika tokoh 'Aku' pulang dari berbelanja dan terkejut saat menemukan seorang perempuan cantik bergaun hitam pekat di dapurnya. Perempuan itu mengaku sebagai malaikat kematian yang hendak mencabut nyawanya, tapi anehnya, malaikat kematian itu justru memasak makanan kesukaan si tokoh 'Aku' terlebih dahulu.

Ia berkata, “Makanlah sepuasmu, lalu izinkan aku mencabut nyawamu dengan ketenangan yang manis.” (halaman 105)

Saat menulis cerpen tersebut, mula-mula saya terilhami oleh salah satu cerpen Bamby Cahyadi dalam buku 'Perempuan Lolipop' yang saya baca bertahun-tahun lalu, di mana sang tokoh utama juga menemukan seorang perempuan di dalam rumahnya dan mengaku sebagai malaikat kematian. Hanya saja, karakter malaikat kematian di cerpen itu lebih unik, sementara dalam cerpen saya, saya lebih memfokuskan pada masa lalu tokoh 'Aku' yang kompleks beserta cintanya yang tidak biasa, dan tidak banyak mengeksplor karakter perempuan malaikat kematian.

Dalam kesempatan kali ini, saya sedang tidak ingin membahas lebih banyak lagi tentang cerpen tersebut, tetapi lebih ingin menggarisbawahi inti permasalahan yang tersirat dari dialog di atas. Pertanyaan tentang apakah semua manusia terlahir dari sebuah cinta sudah bukanlah hal baru di zaman sekarang. Jelas-jelas banyak janin lahir justru tanpa adanya cinta, bahkan walaupun mereka, janin-janin itu, terlahir dari sebuah pernikahan yang sah sekalipun. Memprihatinkan memang. Perkara cinta adalah suatu obrolan yang pelik. Setiap dari kita, sejak dilahirkan di dunia, sudah barang tentu telah ditanamkan rasa itu mulai dari sentuhan seorang ibu. Lalu ayah. Kemudian keluarga. Menjelma ke ranah hubungan sosial. Hingga mampu merasakan cinta terhadap lawan jenis, menikah, lalu berjuang dalam sebuah pernikahan tersebut. Semua demi satu kata: CINTA.

Pertanyaannya adalah, mengapa saya menyisipkan sebuah permasalahan tentang kebenaran bahwa tidak semua manusia terlahir dari sebuah cinta?

Sebagai seorang perempuan yang memiliki isi kepala selayaknya labirin besar yang berliku dan bersudut-sudut, saya menyimpan sebuah kegelisahan ini di salah satu sudut labirin itu. Berita-berita mengerikan yang terdengar hampir setiap hari; perihal bayi yang dibuang dan janin-janin yang digugurkan, membuat dada saya pedih. Saya ingin bersuara, tapi tentu dengan cara saya sendiri. Saya ingin menunjukkan, hal-hal buruk apa yang bisa terjadi pada mereka yang terlahir tidak dari sebuah cinta, pada pola didik yang salah, atau doktrin-doktrin keliru yang dicekok sejak dini.

Saya bukan tipe penulis yang mengatakan pesan-pesan moral saya secara terang-terangan. Saya senang sekali membentuk sebuah konflik cerita yang mengarah ke sebuah jalan lurus, tapi membelokkan sebuah pesan moral ke arah yang lainnya dengan menyisipkannya. Saya ingin pembaca saya ikut berpikir, memikirkan satu demi satu pesan (karena terkadang dalam satu cerpen saya tidak cukup hanya membuat satu pesan moral saja, bisa dua atau lebih), dan jeli memaknai cerita saya yang terkadang tidak semua orang mampu menerima tema-tema frontal yang saya angkat (seperti misalnya tema tentang homoseksual, transgender, dan pedofil).

Rumit sekali ya saya ini?

Well, tapi memang demikianlah cara-cara labirin di kepala saya ini bekerja. Tapi tetap tentu saja, dengan isi kepala yang demikian, saya bukan tipe pemurung. Saya justru romantis (seperti kata salah satu pembaca buku saya) dan benar sedikit melankolis walau pada akhirnya setelah tiga puluh enam tahun hidup sebagai manusia, saya sekarang tudak secengeng saya yang dulu.

Oh ya, bagi kamu yang penasaran dan berminat ingin membeli buku 'Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan', bisa langsung hubungi saya. Atau bisa dibeli di toko-toko buku Togamas.

Maturnuwun...


#NulisRandom2017 #NulisBuku #AjengMaharani #KeretaUapTuhan #PenerbitBasabasi #SastraPerjuangan

Kamis, 01 Juni 2017

THABITA DAN CAPUNG-CAPUNG YANG BERNYANYI

image from art of america


Sekali lagi Thabita hanya diam terkelu di sudut aula. Hari ini kelas tari, dan Thabita tidak sedang ingin menari. Dia hanya ingin duduk, tertunduk, dan diam, walau sudah berkali-kali Nandini, sang guru tari, mencoba menggiring bocah lima tahun itu untuk ikut menggerakkan kaki dan tanggannya sesuai petunjuk. Thabita bahkan tidak merasa tertarik untuk memerhatikan kawan-kawannya bercanda dan menari. Dia seperti berada di dunianya sendiri. Dunia yang sunyi. Dan muram.

Ketika kelas tari berakhir, Thabita masih saja duduk di tempat yang sama. Nandini melihat itu dengan pandangan yang sayu. Dia membenahi perlengkapan tarinya, lalu cepat menghampiri Thabita.

“Thabita tidak suka menari?”

Thabita menggeleng.

“Lalu, kenapa Thabita tidak mau menari bersama Bunda Dini?”

Thabita tetap bungkam, tertunduk, menekuri jari-jari kakinya sendiri. Melihat itu, Nandini mengembus napas berat.

***

Thabita tidak masuk sekolah hari ini. Nandini kecewa, padahal sebuah kejutan sudah disiapkannya. Dia pun merenung dan gelisah. Berjalan mondar-mandir, sementara anak-anak berkumpul di aula, duduk, tertawa-tawa dan melihat seorang pemuda badut yang sedang bermain sulap.

Seekor kelinci keluar dari sebuah topi, lalu bunga-bunga kertas, lalu merpati dan pita merah yang teramat panjang. Anak-anak bersorak riuh. Suara tepuk tangan saling bersaut. Nandini hanya menatap permainan pemuda badut itu dari pintu masuk aula. Tatapan redup dan kosong. Bayangan Thabita yang selalu berdiri diam di pagar beberapa hari lalu datang dalam pikirannya lagi.

“Apa yang sedang Thabita lakukan di sini? Thabita tidak ingin bermain sama teman-teman?”

Gadis kecil itu menggeleng. Matanya menerawang, lurus ke luar pagar sekolah. Dia sedang menatap kosong sebuah taman yang dipenuhi bunga. Ah, bukan. Thabita sedang memandangi seekor capung kemerahan yang sedang terbang berkeliling di sana.

“Thabita suka capung?”

Thabita mengangguk.

“Kenapa?”

“Bita ingin jadi capung, Bunda. Biar Bita bisa terbang jauh dan pergi dari rumah Mama,” ujar gadis kecil itu lirih. Tatapan matanya masih jauh. Sangat jauh. Dan juga kosong.

Nandini menggigiti bibirnya. Dia sudah tidak sabar. Dia pun beranjak dari tempatnya berdiri dan menghampiri ruang guru, mencari sesuatu di buku biodata siswa.

*** 

Rumah keluarga Thabita ternyata besar. Mereka tinggal di sebuah kompleks perumahan, yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Nandini berdiri di depan pagar setelah sepuluh menit tiba, dan tidak ada seorang pun di dalam rumah itu yang menghampirinya. Wanita itu semakin gelisah. Dia yakin hatinya bisa merasakan, Thabita sedang tidak baik-baik saja. Dia yakin sekali itu.

Dihampirinya sebuah toko kelontong yang berselisih lima rumah dari rumah Thabita. Dia mempertanyakan tentang kabar Thabita dan keluarganya. Dan ketika jawaban itu terlontar dari bibir sang pemilik toko, Nandini dibuat sedih.

Nandini tiba-tiba saja merindukan bapaknya yang telah tiada.

*** 

Badut itu duduk di salah satu bangku tunggu sekolah, menanti Nandini datang. Sekolah telah sepi. Dan ketika wanita itu tiba dengan raut muka yang menyedihkan, pemuda itu mengerti, sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi pada Thabita.

Nandini memandang pemuda badut yang telah dia siapkan untuk Thabita hari ini. Mereka bersitatap. Lama. Lalu, dengan limbung Nandini mendekati pemuda itu, duduk di sampingnya. Membisu. Tidak tahu dengan kata apa dia bisa mengungkapkan perasaannya saat ini.

Pemuda itu seperti mafhum pada reaksi Nandini. Dia ikut terdiam, menunggu. Menekuri langit yang sebagian warna birunya terhalang oleh dedaunan pohon akasia yang merimbun.

“Anaklah yang akan selalu menjadi korban. Orang dewasa itu egois.” Nandini meracau kekesalannya, lirih. “Orang dewasa selalu bilang, mereka berhak bahagia. Selalu saja begitu. Tapi mereka melupakan anak-anak mereka. Mereka pikir merekalah yang paling berhak menentukan nasib anak-anak. Mengapa begitu? Apa anak-anak juga tidak berhak untuk bahagia?”

Mata Nandini meleleh. Kemarahan yang sedari tadi bergemuruh dalam dadanya itu pun tumpah.

“Bapakku bermimpi menjadi pelukis. Suatu hari, dia rela meninggalkan mimpi itu demi keluarganya. Tapi bagi Ibu itu seolah belum cukup. Entah apa yang diinginkan Ibu. Apa yang ada di pikiran Ibu, sampai dia rela pergi meninggalkan kami? Bapak bilang, Ibu ingin bahagia dan dia tidak bisa bahagia bersama Bapak. Tentu saja itu menyakitkan kami berdua. Dan sudah pasti, itu juga menyakitkan perasaan Thabita saat ini. Orang-orang dewasa itu keterlaluan. Thabita masih lima tahun. Masih lima tahun dan ingin menjadi seekor capung agar bisa terbang ja—”

Bulir-bulir air mata Nandini semakin deras. Dadanya semakin sesak. Sesenggukan. Wanita itu tidak mampu lagi melanjutkan kata-katanya.

“Kau sama denganku. Kau, Aku, juga mungkin Thabita nantinya. Aku juga pernah kehilangan tawa. Kita semua pasti pernah kehilangan tawa. Kita tumbuh dalam dunia yang seperti itu. Tapi sebelum meninggal, kakekku pernah berkata, bagaimana pun ingatlah selalu tentang rasa pahitmu, jangan pernah takut padanya, jangan pernah berusaha untuk melupakannya. Agar kelak kau bisa memahami, apa dan untuk siapa kau dilahirkan. Tidak ada kata terlambat, bukan? Kita masih punya waktu di depan kita, dan itu lebih dari cukup.”

Pemuda itu tersenyum. Tanpa sadar, Nandini pun ikut tersenyum dan mengangguk.

*** 

Sore ini, ketika Thabita membuka mata, dia melihat sekumpulan capung berterbangan di langit-langit kamar. Capung-capung itu beraneka warna. Merah, kuning, hijau, dan oranye. Mereka terbang lesat dan meninggalkan jejak layaknya taburan bintang-bintang kecil di udara. Thabita menyungging senyum. Itu senyum pertamanya setelah berhari-hari bibirnya terbungkam rapat. Sejak dia menangis dan berteriak: Papa! Papa! Hingga suaranya hilang dan mengering.

Malam itu, papa dan mamanya bertengkar hebat. Thabita ketakutan dan meringkuk di bawah ranjang, mendekap erat-erat boneka beruangnya. Rumahnya menjadi hiruk dan ganjil dan sangat menyedihkan.

Teriakan-teriakan terhenti ketika terdengar suara pintu yang dibanting kuat-kuat. Thabita terkejut, lalu rumah mendadak menjadi hening dan mati. Gadis kecil itu merangkak pelan keluar dari kolong ranjang lalu berjalan ke arah pintu kamar. Dia mengintip, tapi tidak ada lagi papa dan mamanya. Dia keluar dan mencari, memanggil-manggil mereka. Suaranya menggigil.

Mamanya keluar dari pintu dapur dengan muka yang masih membara dan mata yang basah. Thabita bertanya: Di mana Papa, Ma? Lalu mamanya menjawab: Papamu pergi, Mama sudah mengusirnya!

Bagi Thabita, Papa adalah segalanya. Papa baik dan tidak pernah marah-marah seperti Mama. Jadi ketika dia diberitahu jika papanya itu sudah pergi untuk selamanya, dia menjadi sedih. Thabita menangis, memanggil-manggil papanya. Thabita marah pada mamanya. Sangat marah. Dia ingin papanya kembali, tetapi mamanya tetap bersikukuh pada pendiriannya.

Karena itulah gadis kecil itu jadi pendiam dan murung. Dia merajuk, tidak ingin makan atau melakukan hal apapun sebelum papanya pulang kembali. Badannya semakin hari semakin lemah. Hingga akhirnya, hari ini dia berada di kamar rawat inap ini bersama sekumpulan capung yang berputar-putar di atasnya.

Di telinga Thabita, capung-capung itu terdengar seperti bernyanyi. Seketika Thabita merasa ingin menari. Dia berusaha bangkit dari ranjangnya. Badannya terasa lemas, tapi Thabita sangat ingin menari bersama capung-capung itu. Menari dan menari. Lantai terasa dingin, namun kaki-kaki telanjang bocah itu tidak memedulikan rasa dingin. Thabita masih terus menari dan menari. Lalu tiba-tiba, nyanyian capung-capung itu terhenti. Thabita menghentikan tariannya, mendongak ke langit-langit kamar. Capung-capung itu terbang beriringan, lesat dan menghilang menembus dinding.

Mata Thabita sedih. Capung-capung sepertinya tidak mau berkawan lagi dengannya. Tidak ada Papa, tidak ada capung-capung. Thabita begitu kesepian. Dia berharap, capung-capung itu mau membawanya pergi untuk bertemu papanya. Dalam keadaan yang masih limbung ia menghampiri sebuah meja yang berada di dekat ranjangnya. Thabita melihat, sekotak crayon yang diberikan mamanya ada di sana.

***

Nandini dan pemuda itu bertemu Mama Thabita tepat di depan pintu kamar. Ketiganya saling bersalaman dan berbasa-basi singkat. Nandini mempertanyakan keadaan Thabita. Dia sudah mau makan, ujar Mama Thabita sambil menunjukkan kantong plastik hitam yang berisi puding cokelat. Nandini mengembus napas lega.

Mama Thabita mempersilakan keduanya masuk. Dia memutar knop pintu kamar itu pelan-pelan, lalu membukanya. Hawa ganjil seketika terasa menyergap ketiganya. Penuh kesedihan, sekaligus kesepian yang terbebaskan.

Kamar itu kosong dan sunyi. Tidak ada Thabita di ranjang. Mamanya gusar dan menghambur ke kamar mandi, tapi tetap saja tidak ada Thabita di sana. Nandini dan pemuda itu saling berpandangan. Rasa cemas menyelimuti dada Nandini.

Mama Thabita tergopoh dengan panik keluar kamar, memanggil-manggil nama anaknya. “Thabita! Thabita!” Nandini dan pemuda itu mengikutinya di belakang. Turut memanggil-manggil. Mereka bertiga meninggalkan kamar tempat Thabita dirawat, dengan pintu yang masih terbuka lebar-lebar. Di kamar itu, pernah ada segerombolan capung terbang berputar-putar di langit-langitnya. Capung-capung berterbangan dengan meninggalkan jejak layaknya serpihan bintang yang kelap-kelip, dan seorang gadis kecil menari-nari di bawahnya. Dan mereka (ketiga orang dewasa itu) tidak bisa menyadari sesuatu samar-samar menjelma sebuah bayangan di dinding kamar itu: Sebuah pintu yang terbuka separuh, dibentuk dari garis-garis hitam yang tidak sempurna. Di balik pintu itu, berdiri seorang laki-laki yang tersenyum dan merentangkan tangan. Segerombolan capung berputar-putar di atas kepalanya dan seorang gadis kecil menghambur ke arahnya.

Lamat, dari dalam dinding, terdengar suara nyanyian yang sangat lirih dan menggetarkan. Itulah nyanyian kesepian dan kerinduan Thabita. Nyanyian para capung.




Sidoarjo, 2017 


#NulisRandom2017 #NulisBuku #AjengMaharani 

SUATU KETIKA SAYA INGIN MENJELMA MANUSIA YANG MAMPU MEMPERMAINKAN WAKTU DENGAN BAHAGIA


Oleh: Ajeng Maharani

Mungkin sedikit konyol, tapi itulah yang tiba-tiba muncul di salah satu sudut labirin pikiran saya setelah membaca buku 'Mimpi-mimpi Einstein' karya Alan Lightman.

Mulanya, novel ini belum saya jamah sedikit pun sejak kedatangannya beberapa bulan yang lalu (seorang sahabat yang juga menggilai buku seperti saya memberikannya pada saya dan ia berkata novel ini sangat bagus), dan baru dua hari kemarin saya membacanya.

Novel setebal 137 halaman terbitan KPG (Kepustakaan Populer Gramedia) ini mengusung konsep realis magis, seperti Calvino, Borges, dan Lucius Shepard. Novel yang sangat cerdas menurut saya. Sang penulis adalah seorang fisikawan yang lahir di Memphis, Tennessee, pada tahun 1948, dan novel ini merupakan karya fiksi pertamanya. Berisi tentang dunia-dunia yang memiliki keunikan waktu. Dunia-dunia di dalam mimpi seorang lelaki muda yang jenius, Albert Einstein.

Dunia unik seperti apa saja yang termaktup dalam novel ini?

Satu dunia memiliki waktu yang berbentuk lingkaran, di mana orang-orang di dalamnya melakukan hal yang terus berulang-ulang. Satu dunia memiliki waktu yang mengalir dari muara ke arah yang sebaliknya, hingga orang-orang di dalamnya tiba-tiba saja terhempas ke masa lalu mereka. Satu dunia memiliki waktu yang berjalan melambat ketika jauh dari pusat bumi, hingga orang-orang (yang tidak i gin cepat tua dan mati) mulai membangun rumah di atas bukit, pegunungan, dan tiang-tiang. Satu dunia tidak memiliki waktu, yang ada hanyalah peristiwa-peristiwa yang membeku. Dan masih banyak lagi kegilaan di dalamnya.

Saya kemudian berpikir, bagaimana jika waktu semacam itu benar-benar ada di dunia ini? Bagaimana jika seandainya saja saya memiliki kemampuan mempermainkan waktu sesuka hati saya? Apa yang akan saya lakukan?

Pertama kali, mungkin, saya akan mengambil kembali waktu-waktu yang telah dicuri secara paksa dari saya (mungkin oleh seseorang atau beberapa orang). Saya akan mengumpulkan seluruh waktu itu ke dalam sebuah kotak. Hingga satu hari, ketika saya ingin, saya akan mengambilnya satu demi satu, dan menjalani waktu-waktu itu dengan sukacita. Tidak ada kepedihan. Tidak ada kesakitan-kesakitan. Saya akan menjadikannya sebahagia mungkin, hingga menjelma kenangan yang tidak akan pernah saya sesali nanti.

Mungkin akan ada yang bertanya, waktu semacam apa yang telah dicuri dari saya. Tapi untuk saat ini saya tidak ingin mengisahkannya. Belum. Mungkin suatu hari nanti, pada tulisan yang lain.

Hal kedua yang ingin saya lakukan adalah membuat saya awet muda, dengan cara membekukan waktu, lalu saya akan melakukan hal-hal gila yang ingin saya lakukan tapi belum sempat saya lakukan. Mungkin semacam film Korea, Vanishing Time, di mana seluruh isi pulau melambat; manusia, ombak, burung, debu, angin, lalu sang tokoh utama berjalan di antara mereka dengan penuh sukacita. Saya akan mencuri es krim dari tangan seorang bocah, membaca buku sebanyak-banyaknya dalam sebuah toko buku, mencoba baju-baju mahal dan bermerk, merampok isi restoran-restoran ternama dan menguasai dapurnya, dan yang lebih gila lagi, saya akan menculik seorang aktor Korea yang paling tampan, idola saya (mungkin Lee Min Ho atau Kim So Hyun), lalu menciumi dan memeluk mereka tanpa ampun.

Benar-benar gila. Dan edan! Tapi memang begitulah yang tercipta setelah saya membaca novel tersebut. Walau pada akhirnya, saya membangunkan diri saya sendiri dan berkata, "Oke, waktunya bangun dan kembali waras!" dan mimpi-mimpi konyol itu akan menjelma tulisan fiksi yang bisa dibaca orang lain. Setidaknya, kegilaan itu membuahkan hasil.

'Jangan takut memimpikan hal-hal gila, karena Albert Einstein pun memulai segalanya dengan pemikiran yang gila.' []


#NulisRandom2017 #NulisBuku #AjengMaharani

Minggu, 28 Mei 2017

DUA EKOR ANJING YANG MELUNJAK-LUNJAK DI ATAS KEPALAKU DAN MENJADIKANKU PELIHARAAN MEREKA

Sumber gambar : Pinterest


Dua ekor anjing itu muncul di depan rumahku pada suatu pagi yang gemuruh. Dua ekor anjing itu mengiba, dengan bola mata kurang ajar yang berbinar-binar. Dua ekor anjing itu ekornya bergoyang-goyang. Dua ekor anjing itu menggonggong bersama-sama, "Kami saling mencintai, izinkan kami tinggal di atas kepalamu." lalu aku terkesiap dengan khidmat. Merasakan punggungku yang mulai pecah.

Dua ekor anjing itu tidak mau pergi dari halaman rumahku. Dua ekor anjing itu membuat sarang di bawah pohon jambu bijiku. Dua ekor anjing itu bermesra-mesra di hadapanku tanpa peduli anjing. Dua ekor anjing itu menjilati dubur dengan suka cita, lalu berkelamin di depan mukaku. Dua ekor anjing itu menggonggong nyaring melengking bersama-sama, "Kami saling mencintai, jadi izinkan kami tinggal di atas kepalamu!"

Dua ekor anjing itu menerkamku suatu malam yang senyap. Dua ekor anjing itu merobek dadaku. Dua ekor anjing itu mencuri degup jantungku, mencukil napasku, menggerogoti jiwaku. Dua ekor anjing itu sibuk memperdayai janin-janin dalam rahimku. Dua ekor anjing itu berlari ke atas kepalaku, melunjak-lunjak di sana. Semakin tinggi, semakin tinggi. Dua ekor anjing itu menggonggong garing bersama-sama, "Kami saling mencintai, kapan kamu pergi dari sini?" Lalu aku terperanga dengan begitu tekunnya.

Dua ekor anjing itu menjadikanku tawanan mereka di dalam rumahku sendiri. Dua ekor anjing itu menyuruhku mengangguk-angguk. Dua ekor anjing itu membuatkanku rantai besi yang sangat panjang. Dua ekor anjing itu mengikatkannya di leherku. Dua ekor anjing itu mengajakku jalan-jalan layak anjing peliharaan. Dua ekor anjing itu tertawa riang tanpa dosa, dengan liur yang menetes deras dari moncongnya dan bola mata kurang ajar yang berbinar-binar. Sementara aku hanya bisa mengucap perih, "Bebaskan aku dari kutukan yang kalian ciptakan untukku." Tapi dua ekor anjing itu tidak paham eongan seekor kucing betina yang melarat-larat. []

Jumat, 28 April 2017

HIKAYAT SEORANG PENYAIR YANG MATI KARENA RASA CINTA



Oleh: Ajeng Maharani



Saya pernah mencintai seekor anjing, yang lebih anjing daripada anjing yang paling anjing. Saya juga pernah mencintai sebatang pohon, yang lebih teduh dari pohon-pohon yang paling teduh, tapi saya tidak pernah mencintai selarik puisi yang berwujud lelaki semacam dirimu, yang di kepalanya ditumbuhi kata-kata, kota mimpi yang menjulang tinggi, dan para tokoh cerita yang meraung-raung meminta keadilan atas nasib buruk mereka yang kamu tulis dengan semena-mena.

Berjumpa denganmu semacam kutukan yang harus saya hadapi. Kamu datang layaknya sebaris kabut dini hari, yang kemudian lenyap saat pagi mulai meninggi dan anak-anak angin yang baru saja menetas, dengan sukacita meniupi tubuhmu hingga lenyap. Kamu selayaknya layang-layang yang mengapung di langit tanpa seutas tali. Selayaknya udara yang tidak mungkin tergenggam. Tapi saya, bagaimanapun layaknya dirimu diumpakan, saya tetap ingin menyimpan cinta itu dalam mata saya.

Hingga hari ini, kamu duduk diam dengan sebatang rokok terapit di jari-jari lentikmu (bagaimana bisa seorang lelaki memiliki jari-jari yang panjang seperti itu?), bergumam tidak jelas dengan bibir merah mudamu yang menawan. Sementara saya berdiri di punggungmu, menekuni punggung itu tanpa sedikit pun berkedip. Membaui aroma tembakaumu yang membumbung angkuh di dalam kotak tempat kita dipertemukan.

Ada yang sedang jatuh cinta padaku, ujarmu dengan sekali tarikan napas. Aku tidak menyukai itu. Aku tidak suka dicintai. Aku ini lebih suka dibenci dan dikhianati.

Saya terhenyak mendengar ceracaumu yang aneh. Padahal kamu manusia. Bagaimana bisa seorang manusia tidak suka dicintai? Bukankah cinta yang akan membuat seluruh manusia di dunia ini bisa hidup bahagia?

Kau tahu kenapa aku lebih suka dibenci dan dikhianati, tanyamu kemudian. Asap-asap tembakau itu kini telah lenyap. Di jarimu yang lentik, sebatang rokok juga sudah menghilang.

Tidak tahu, jawab saya.

Karena aku seorang penyair.

Apa hubungannya antara cinta dan profesimu?

Karena seorang penyair butuh kebencian dan caci-maki agar bisa menulis puisi.

Omong kosong. Penyair juga butuh cinta agar puisi-puisi mereka terdengar indah.

Cinta hanya akan membuat seorang penyair menjadi tumpul.

Kamu gila!

Hidup butuh kegilaan. Kau tahu itu dengan sangat benar.

Di dalam kotak itu, kita tetap tidak saling memandang walaupun kita berbicara. Kamu terus saja mengungkapkan argumen-argumen yang menurut saya begitu dungu, sementara saya terus menekuni punggungmu tanpa berkedip. Lama kita bertahan dalam keadaan semacam itu. Hingga kotak yang menampung kita luruh, lalu hujan turun dengan derasnya, menerjang kotak dan membuat kita kuyup.

Kamu segera berlari, mencari teduh, dan meninggalkan bola matamu di tempat itu. Bola matamu meleleh, tapi saya tidak tahu, apakah itu hujan atau air mata milikmu (ataukah justru itu sebuah puisi kesedihan?). Dan saya, dalam kuyup, masih saja berdiri. Tidak beranjak. Memandangi bola matamu yang masih terus saja mengucurkan hujan, atau air mata, ataukah puisi kesedihan.

***

Malam ini kamu mendatangi saya dengan tiba-tiba. Semu bibirmu tidak lagi semerah muda ketika itu, saat kita sama-sama terperangkap di dalam sebuah kotak. Bibir itu memucat, dan likat. Seakan kamu benar-benar telah kehilangan kehidupan.

Kenapa kamu datang ke rumahku, tanya saya.

Aku tidak tahan lagi. Ada yang sangat mencintaiku. Perasaan itu menusuk-nusuk dadaku.

Kamu dengan lemah melempar bokongmu di atas sofa milik saya. Napasmu terengah-engah. Kamu berlari, tanya saya. Kamu menjawab itu dengan mengangguk-angguk. Berikan aku segelas air putih, ujarmu kemudian. Lesat saya menghambur ke dapur, merasai iba pada keadaanmu malam ini. Padahal kamu, yang saya ketahui penuh dengan kehidupan di dalam kepalamu. Tapi malam ini, kepala itu terlihat kosong.

Segelas air putih saya sodorkan ke arahmu. Kamu meraihnya dengan beringas, meneguknya penuh birahi. Gelas itu seketika kosong dan kamu menaruhnya kasar di atas meja saya, menimbulkan suara getar yang menghantam dada.

Aku bisa mati jika lama-lama seperti ini, katamu.

Bagaimana kamu tahu kalau kamu akan mati?

Karena cinta itu. Karena dia mencintaiku.

Dia? Kamu tahu siapa orangnya?

Mendadak, kamu menatap saya dalam-dalam. Dada saya berdentum. Tidak, jangan menatap saya demikian. Saya bisa mati mendahului dirimu.

Tidak tahu. Aku tidak tahu siapa yang sedang mencintaiku.

Saya menarik napas lega. Itu konyol, balas saya. Kamu tidak tahu siapa yang telah menghantam tubuhmu dengan perasaan cintanya, tapi kamu seolah-olah merasa kalau dia itu benar-benar ada!

Tidak, tidak. Aku tidak bohong. Aku bisa merasakannya.

Baiklah. Katakanlah itu benar. Apa yang akan kamu lakukan padanya. Misalnya, aku yang memiliki perasaan cinta itu? Apa kamu akan memarahiku? Membunuhku? Menguliti tubuhku dalam puisi-puisimu?

Kamu terdiam. Menatapku lagi.

Apa?

Entahlah. Kalau kau yang mencintaiku, rasanya itu tidak mungkin. Kau tidak akan mencintaiku.

Dari mana keyakinan macam itu datang? Bisa jadi aku mencintaimu diam-diam. Aku seorang perempuan. Kamu seorang lelaki. Cinta bisa saja hadir di antara kita!

Cinta tidak akan pernah hadir di antara kita! Tidak akan!

Kenapa?

Karena aku tidak melihat kau sebagai perempuan.

Saya tercengang.

Aku melihat kau sebagai sebuah buku. Buku yang layak aku baca.

Saya terhenyak. Benar-benar terhenyak dan membeku. Buku? Baiklah. Jawabanmu itu telah membuat saya patah hati, bahkan sebelum saya menyatakan cinta kepadamu.

***

Hari demi hari kamu semakin nampak hampir mati. Matamu cekung. Tubuhmu menggigil. Kulitmu pucat masai. Rambutmu yang panjang itu mulai rontok, helai demi helai.

Bagaimana keadaanmu, tanya saya ketika saya mengunjungi kotak itu lagi. Kotak itu telah tegak kembali. Apakah kamu yang telah menguatkannya?

Aku akan mati. Sebentar lagi, jawabmu lemah. Suara-suara telah hilang dari dalam mulutmu.

Tidak bisakah kamu menerima perasaan itu dan hidup kembali seperti biasa?

Tidak.

Aku hanya heran, kenapa kamu begitu membenci rasa cinta?

Kamu diam beberapa saat. Matamu yang sayu menekuri atap kotak. Awan-awan ungu semburat tidak beraturan di atas sana.

Sejak aku lahir, aku tidak pernah menelan rasa cinta dalam perutku. Ibuku membenci diriku. Dia bilang, aku seharusnya tidak lahir ke dunia, agar dia bisa menikah dengan orang kaya. Tapi aku lahir dan Ibu ditinggal pergi kekasihnya.

Kamu tidak punya seorang ayah?

Ayahku banyak. Ayahku berganti-ganti. Setiap malam, ayah-ayah itu menggonggong di perut ibuku. Jika ayah-ayah itu tidak datang, ibuku akan marah. Berteriak-teriak dan memaki-maki padaku. Aku bisa hidup karena setiap kali, aku menelan makian Ibu. Dan itu sangat mengenyangkanku.

Aku tidak tahu harus berkata apa.

Tidak perlu berkata apa-apa. Sebentar lagi aku akan mati. Aku tidak akan mampu mengingat setiap huruf yang akan keluar dari bibirmu.

Saya diam sejenak, hampir menangis. Sesungguhnya, ujar saya kemudian, dengan terbata-bata, kamu sedang butuh dicintai, tapi kamu menyangkal itu. Air mata itu leleh. Deras dan deras. Kamu mendekat ke arah saya, menyeka pipi saya.

Jangan menangis.

Bagaimana aku tidak akan menangis?

Menangis hanya akan membuatmu lemah, ucapmu. Memeluk saya. Erat dan hangat. Dada saya berdentum-dentum tak keruan. Bagiamana saya tidak akan menangis, sementara kenangan-kenangan akan dirimu, dan rasa cinta itu, masih berdiri kokoh di telapak tangan saya?

Hanya perpisahan semacam ini yang bisa aku berikan padamu. Maaf, aku belum sempat membaca dirimu seluruhnya.

Suaramu mulai melemah. Semakin lemah dan lemah. Napasmu juga. Kamu terdengar jauh. Sangat jauh. Padahal kita tengah berada dalam satu pelukan, dalam satu kotak yang langit-langitnya dikelilingi awan-awan ungu.

Seandainya saja kita bertemu jauh lebih lama ... Mungkin, aku bisa belajar mencintaimu, bisikmu.

Kemudian bisu.

Saya menggigil. Dan di ujung sana, bau hujan mulai tercium. []



Sidoarjo, 2017

Jumat, 21 April 2017

KAMA DAN DERANA (bagian dua)




° 1 °

Ia mengendarai motor itu dalam kecepatan sedang. Ini adalah pertama kalinya ia membawa ketiga bocah yang dilahirkannya itu untuk berkendara bersama-sama, dalam jarak yang lebih jauh dari biasanya. Di dalam hati, ia telah bertekad, bahwa hari ini, ia tidak ingin kalah, atau mengalah, seperti hari-hari di masa lalunya. Ia ingin segalanya terselesaikan, walau dengan hati yang sakit, walau ia tidak percaya diri dalam berkendara, ia berusaha untuk bisa.

Pesan itu masih berlangsung hingga ketiga bocah kecilnya pulang sekolah pukul sepuluh pagi. Matanya meleleh, sulungnya bertanya, "Mama nangis, ya?"  tapi ia hanya menggeleng-geleng saja. Si kecil, yang masih berusia lima tahun, menghambur dari pintu dapur dan menggelayut manja di punggungnya. Kepala mungil itu merebahkan diri di bahunya, sementara kedua tangan kecil itu, merengkuh lehernya, seolah berkata: Semua akan baik-baik saja, Mama, ada kami di sini. Ia segera menghapus air matanya, menciumi tangan mungil itu.

Denting ponselnya lagi-lagi menyeruak. Kembali ia melihat, menarik napas.

'Aku mau, Mbak, ketemuan, tapi Mbak harus bisa menjaga nama baik diriku.'

Derana menarik bibirnya. Nama baik? Ia mendesis di dalam hati. Nama baik macam apa yang ingin dijaga, sementara dirinya sendiri tidak bisa menjaga itu.

'Mbak juga tahu, kan, kalau aku di sini posisinya sebagai korban suami Mbak.'

Korban? Ya ..., korban. Lalu, disebut apa aku?

Derana memanggang dadanya dan hampir meledak, tapi lagi-lagi, perempuan berambut ikal itu berusaha menekan-nekan hingga ledakan itu tersumbat kembali.

'Kita ketemuan di rumah mertuaku, ya, Mbak Upi. Kalau boleh, aku minta nomor teleponnya, biar nanti lebih enak untuk komunikasi.'

'Iya, Mbak. Nanti sore setelah aku pulang kerja, aku akan ke rumah mertuamu. Dan tolong, jaga nama baikku, ya?'

'Tenang, Mbak. Aku tidak mungkin membunuh atau menjambaki rambutmu. Aku jauh lebih dewasa dan terkontrol daripada itu.'

Setelah mengetik kalimat itu, Derana bangkit dari lantai dapur, berjalan menggandeng bocah lima tahunnya dan bersiap berangkat.


° 2 °
POV DERANA

Dada perempuan itu sepuluh kali lebih besar dari milikku. Kulitnya cokelat gelap. Tidak ada satu pun noda bekas jerawat di wajahnya, bersih dan mulus, walau tetap ada guratan-guratan usia di bagian bawah mata dan sedikit di pipi. Postur tubuhnya montok, sedikit lebih pendek dariku. Rambutnya lurus, menggantung dengan lihai. Dan bokongnya, gumpalan lemak di bagian belakang tubuhnya itu terlihat begitu sesak saat ia duduk di sofa tunggal milik mertuaku. Hampir tidak muat.

Alis perempuan itu tergambar sempurna. Demikian pula dengan alas bedak dan pulasan bibirnya. Aku yakin, ia seorang pesolek yang handal. Dan aroma parfumnya, kuat dan menguar di udara yang kuhirup.

Ia datang dengan begitu sopan. Menyalami kedua mertuaku dan kakak iparku. Ia juga pandai berbasa-basi. Tertawa-tawa lebar, bertanya tentang kabar keluarga mertua dan juga tentang anak-anakkuapakah sehat ataukah tidak. Aku menghadapinya dengan keramah-tamahan yang hampir sama indahnya dengan miliknya. Berbasa-basi sejenak, dan balik bertanya tentang kedua anaknyasebelum ia bercerita tentang anaknya, aku sudah melihat foto profil Blackberry-nya yang menunjukkan jika ia juga seorang ibu.

"Aku janda, Mbak," ujarnya. Tebakanku benar.

Aku tidak bertanya berapa usianya, tapi dari wajah, gaya, dan penampilannya, serta usia kedua anaknya yang lebih tua dari ketiga anakku (mungkin SMP dan SMA, tapi entahlah), aku yakin perempuan itu lebih tua dariku. Jauh di atasku.

Ah, seketika aku ingat. Suamiku itu memang penyuka wanita yang lebih berumur darinya. Tante-tante, dengan wajah yang garang dan nakal. Suamiku begitu mengilai Sofia Latjubah (ia menyebutnya Tante Sofie) dan Cut Tari. Ia bisa gila saat kedua artis perempuan itu muncul di televisi.

Sebelum akhirnya Upi bersedia bertemu dengankuaku memintanya untuk bertemu dan berbicara, aku ingin kami duduk bertiga dan menanyai apa yang mereka, Upi dan suamiku, kehendaki setelah iniberkali-kali ia mengatakan: Apa Mbak bisa menjaga nama baikku? Mbak juga tahu, kan. aku di sini adalah korban. Aku ditipu suamimu. Lelaki itu sakit, Mbak. Kelainan jiwa. Sakit!

Kelainan jiwa dan pesakitan.

Ah, julukan itu sangat cocok sekali ....

Ah, baiklah. Aku tahu sekali, manusia adalah makhluk konyol. Termasuk juga diriku. Cinta membuat kami bodoh. Mabuk kepayang. Lupa akan segala hal. Apakah itu milik wanita ataukah lelaki lain ataukah bukan. Lalu ketika dikhianati, kami berubah menjadi makhluk yang paling pandai mencaci dan mengumpat. Makhluk yang menggenggam bara di dadanya.

Menanggapi kata-kata Upi yang tidak ingin nama dan kehidupannya berubah menjadi petaka gara-gara hal ini, aku berusaha menjadi baik. Kukatakan padanya semua akan baik-baik saja. Dan aku berjanji, ketika kami bertemu nanti, tidak akan terjadi hal-hal yang memalukan bagi dirinya. Ia pun menyetujui perjumpaan kami.

Rumah Upi ternyata lebih dekat dengan rumah mertua dan kakak iparku. Aku pun memutuskan bertemu dengannya di rumah mereka. Dengan susah-payah kuboyong ketiga anakku dengan menaiki motorbahkan motor itu tidak memiliki rem tangan, hanya rem kaki yang bahkan tidak sempurna. Perasaanku yang menginginkan keadilan membuatku berani melalui itu semua. Padahal sebelumnya aku begitu takut berjalan berempat di jalan raya, yang tentu saja dipenuhi mobil, truk, dan motor yang lesat begitu cepat.

Setiap saat, aku berusaha mengajak anak-anakku berbicara. Sekadar bertanya apakah mereka mengantuk atau tidak. Aku juga bercerita dan bernyanyi-nyanyi, juga sering mengecek posisi duduk anak keduaku yang ada di tengah, lalu melirik wajah  si kecil dari spion sebelah kiri, berharap ia tidak mengantuk. Aku memang sudah mengikatkan sweater cokelat agar ia menyatu denganku, tapi tentu saja akan lebih sulit lagi jika bocah itu tertidur. Dalam hati aku berkata (berkali-kali aku mengatakan ini): Aku harus kuat! Aku harus kuat! Aku harus kuat dan bisa!

Dan sungguh, aku benar-benar telah melakukannya, dalam dua jam perjalanan yang sangat melelahkan! Tangan kananku berkali-kali kram dan punggungku terasa sakit, tapi pada akhirnya, aku bersyukur kami semua baik-baik saja.

Setelah tawa basa-basi itu mereda, Upi akhirnya membuka pembicaraan mengenai dirinya dan suamiku. Bagaimana mereka bertemu, apa saja yang mereka lakukan, ke mana, kapan dan di mana saja mereka pergi. Upi bahkan tidak segan-segan meceritakan adegan ranjang mereka. Ia bercerita dengan kemarahan yang meluap-luap. Ia bahkan mengatakan, tidak sedikit pun merasa kehilangan lelaki itu, karena pada saat mereka berhubungan, ia juga memiliki hubungan dengan lelaki lain. Mendengarnya, aku ingin muntah. Bagaimana bisa perempuan bisa melakukan hal-hal seperti itu? Berhubungan dengan lebih satu lelaki, tetapi marah saat ia tahu dikhianati?

"Maaf, ya, Mbak. Kalau boleh tahu, bagaimana kegiatan ranjangmu dengan suamimu? Apakah biasa-biasa saja, atau ...."

Aku sedikit terkejut saat Upi melontarkan pertanyaan itu. Mungkin perasaan yang sama juga dirasakan oleh mertua dan kakak ipar. Bagaimana bisa perempuan yang sudah berkelamin dengan suami orang lain itu begitu berani mempertanyakan kegiatan ranjang pada istri lelakinya? Dalam mataku, Upi berubah menjadi monster betina yang menjijikkan.

Sebenarnya, Upi adalah wanita yang baik, ramah, dan menyenangkan dalam bertutur kata. Mungkin karena amarahnyalah sehingga ia begitu berani. Bisa jadi juga karena rasa penasarannya tentang kehidupan lelakinya harus dibayar tuntas.

"Suamimu itu libidonya besar, loh, Mbak. Maunya juga aneh-aneh." Upi berkata lagi, tanpa rasa malu. Aku membalasnya dengan senyuman, lalu melirik wajah ibu dan bapak mertuaku. "Kami baik-baik saja, kok, Mbak. Kalau soal itu, aku juga sudah tahu,” balasku kemudian.

Upi mengangguk-angguk. Entah apakah anggukannya itu bertanda ia percaya ataukah tidak, aku tidak tahu. Aku tidak peduli. Karena apa yang kukatakan pun bukanlah suatu kebenaran. Sudah barang tentu kamiaku dan suamikutidak sedang baik-baik saja dalam urusan ranjang.

Sudah dua tahun lelaki itu tidak menjamahku. Ah, tidak. Tepatnya jarang menjamahku. Sudah sering kutanyakan perihal ini. Ia menjawab kalau dirinya sedang lelah. Sepulang kerja, ia hanya ingin langsung istirahat, merebahkan tubuh dan menenggelamkan matanya pada layar ponsel. Ia juga sering menyuruhku memijat kakinya.

Sejak kelahiran anak ketiga kami, aku mengikuti progam KB suntik. Hingga akhirnya memutuskan berhenti lima bulan lalu. Aku ungkapkan padanya; Bukankah percuma aku suntik KB, sementara kau tidak menggunakanku? Dan ia hanya terdiam saja. Hanya berdehem, seperti biasa. Ketika lima bulan yang lalu itu, aku melalui malam tanpa sentuhannya sama sekali. Sama sekali.

Lima bulan itu juga ia banyak berubah. Lebih buruk dari biasanya. Ia kembali pulang hingga tengah malambahkan sering hingga pukul dua atau tiga pagi, dan sering beralasan pergi ke luar kota karena tugashal sama yang pernah ia lakukan saat berselingkuh dengan Hanna. Ia juga sering menerima telepon dan membiarkannya berdering lama. Hal yang tidak pernah dilakukannya. Biasanya, iia akan langsung menjawab. Terkadang, dering telepon aneh itu ia amati dalam-dalam, berkata: Siapa ini? Dan berpura-pura berkata Hallo? berkali-kali, padahal aku melihat ia menekan tombol end. Itu lucu sekali. Dan aku membiarkannya saja ia bertingkah konyol seolah-olah aku bodoh dan tidak tahu apa-apa. Ketika ada kesempatan, aku suka mengecek nomor masuk itu. Pada kenyataannya, ia selalu menghapusnya. Ini jelas suatu perkara yang mencurigakan.

Dalam urusan perempuan, ia tidak pernah berubah.

"Jadi, bagaimana, Mbak?" Upi mengejutkan lamunan sekilasku. Aku mengedip-kedip. "Apa suamimu mau datang kemari?"

Aku mengerut alis. Upi benar. Bagaimana dengan lelaki itu.

Dengan segera aku mengecek ponsel. Tidak ada balasan, padahal chat itu sudah dibacanya. Sebelum Upi datang, aku sudah menghubunginya, menunjukkan semua chat dan fotonya bersama perempuan itu. Aku yakin, saat ini, ia pasti sedang kebingungan, dan mencari-cari alasan untuk bisa menghindar.

"Belum dibalas," ujarku.

"Dia takkan berani kemari, Mbak. Dia takut sama aku. Semua kartunya ada di aku." Upi berkata dengan tatapan mata yang merendahkan.

Ya, mungkin Upi benar. Lelaki selalu seperti itu. Berani berkelakuan, tapi tidak berani bertanggung jawab. Dalam urusan seperti ini, kebanyakan lelaki adalah pengecut sejati. []


---bersambung---



Rabu, 19 April 2017

KAMA DAN DERANA (prolog dan bab satu)


° PROLOG °

"Untuk apa kamu menikahi seorang perempuan?"

Kalimat itu pertama kali kudengar ketika Ibu menangis dan melemparkan sebuah piring ke arah Bapak. Piring itu menampar dinding dapur, pecah berkeping dan menghirukkan tengah malam. Aku mengintip dari balik kusen pintu kamar tidur dengan pipi yang sama basahnya dengan milik Ibu. Usiaku masih sepuluh tahun, dan setelah malam itu, Ibu pergi, membawaku beserta dirinya. Di dalam kereta api yang membawa tubuh kami melesat, Ibu berkata, "Kita tidak butuh bapakmu lagi, Ana. Kita bisa hidup tanpa laki-laki." Setelah itu Ibu kembali diam. Diam yang sangat menakutkan. Lalu hari ini, kalimat itu kulemparkan pada suamiku.

Ia duduk di satu ujung pembaringan kami, memandangiku dengan mata penuh kelemahan, sementara aku di ujung yang lain, menatapnya dengan mata kesedihan. Aku menunggunya. Ia tidak menjawab pertanyaanku. Aku mengiba, memintanya untuk menjawab, untuk apa ia menikahiku dulu.[]



"Tolong, jangan mendekat padaku, aku takut aku jatuh cinta kepadamu."

Aku berujar kepadanya. Ia tersenyum, merengkuh leherku. Dahi itu menempel lembut di keningku. Mata kami bertaut. Malu-malu. Ia kemudian berucap, "Jatuh cintalah sejatuh-jatuhnya sampai kamu lupa bagaimana menciptakan sebuah puisi yang indah." Dasar penyair, balasku. Mataku mulai panas. Mulai meleleh. Dan leleh ...

"Mula-mula," aku mendesah, "cinta akan selalu indah, tapi setelah itu--"

"Setelah itu, akulah yang akan menelan luka-lukanya."

"Bagaimana denganku?"

Ia mengangkat kepalanya. Mengulas senyum. Ia kemudian merengkuh kepalaku dalam dekapannya. Dadanya begitu hangat.

“Kamu hanya cukup berada di sampingku saja, selamanya ....[]


° SATU °

1/
Ia tidak pernah punya alasan setiap kali akan menyeduh secangkir coffee latte. Kegiatan itu adalah satu-satunya yang membuat Derana bahagia di sela-sela tugasnya sebagai wanita rumahan. Ia baru saja menuangkan air panas ke dalam cangkir hitam kebanggaannya ketika ponsel itu berdenting. Derana masih membiarkannya. Ia meraih sebuah sendok teh di tempat rak piring besi, lalu mengaduk kopinya. Uap kopi membumbung pecah-pecah saat gerakan berputar itu menimbulkan getaran konstan. Tiga belas adukan, lalu denting itu terdengar kembali. Kali ini lebih kerap, dan berhasil membuat perempuan tiga puluh tiga tahun itu menghentikan jari-jemarinya.

Derana meletakkan sendok teh itu di samping cangkir. Ia menghirup aroma kopinya dalam satu tarikan. Dirasakannya partikel-partikel bau itu meresap masuk ke dalam tubuhnya, bergetar-getar di dalam sana, membuat jiwa-jiwa lelahnya kembali terbangkitkan. Ia kemudian mengembus napas puas, memutar tubuh dan melangkah perlahan ke arah kamar tidur. Xiomi Redmi Note 3 berwarna perak itu tertidur di atas bantalnya. Cahaya kecil berwarna keunguan berkedip-kedip teratur. Ia mengulurkan tangan, meraih ponsel dan membuka kuncinya.

Ada sebuah pesan inbox Facebook, tapi ia tidak mengenali pengirimnya. Derana mengerut alis. Foto seorang perempuan. Rambut perempuan itu jatuh begitu lembut di bahunya.

Tanpa perasaan ragu, ia menekan layar. Pesan itupun terbuka. Derana membacanya, dan seketika, dalam hitungan beberapa detik saja, degup dadanya mengencang dan dunianya mulai kacau balau.

2/
Kama kelelahan dan seketika itu juga dia menjatuhkan tubuhnya ke samping perempuan itu. Keringat mengucur, dan napasnya naik-turun tak beraturan tetapi jauh di dalam dadanya, ada kepuasan luar biasa yang pada akhirnya berhasil direngkuh.

Perempuan itu memiringkan tubuh polosnya dan memeluk dada telanjang Kama. "Aku senang bisa bikin kau bahagia," ujar perempuan bermata sedikit runcing itu. Ada sebuah tahi lalat kecil di bagian mata kanannya, hampir-hampir tidak terlihat karena setiap saat, dia selalu memoleskan riasan tebal di sana untuk mempertegas garis matanya.

Dia tidak membalas kata-kata perempuan di sampingnya itu. Matanya tekun menelanjangi langit-langit kamar losmen. Ada sebuah noda air berwarna kecokelatan. Dia teringat pada tumpahan kopi semalam. Beruntung kopi itu sudah menghangat, jadi lututnya tidak merasakan kesakitan. Tapi saat kopi itu tumpah, Kama merasa ada sesuatu yang telah lenyap.

"Kita tidak bisa seperti ini terus, Kama! Kita butuh suatu pengakuan!"

Suara rengekan itu lagi.

Kama mendesah berat. Dia meraih lengan perempuan di sampingnya dan menjatuhkannya kembali kepada sang pemilik. Kama bangkit. "Ada apa?"  tanya perempuan di sampingnya sambil mengangkat kepala. "Aku harus pergi," jawab Kama sambil meraih kausnya yang terserak di lantai kamar.

"Secepat ini? Tumben?"

“Aku ingin nulis. Aku butuh tempat yang tenang.”

"Puisi?"

Perempuan itu meraih selimut lalu ikut berdiri dan mendekat. Dia merengkuh punggung Kama, tapi lelaki itu segera menjauh. Perempuan itu mengernyit.

"Hari ini kau lain."

Kama menatap perempuan itu. Mereka terdiam sejenak. Saling menekuni dengan perasaan ganjil masing-masing. "Aku memang selalu menjadi orang lain saat aku sama kamu," ucap Kama kemudian. Setelah itu, dia meraih ranselnya, meletakkan tiga lembaran uang berwarna merah di atas meja rias, dan beranjak membuka pintu.

"Lain kali, buatkan aku sebuah puisi yang mampu menggetarkan birahiku, Kama! Kadang aku butuh yang semacam itu!"

Kama menyungging senyum. Dia mengangkat telapak tangannya ke atas, sebelum tubuh tinggi itu lenyap ditelan lorong losmen.

3/
Derana berjalan gelisah di dalam dapurnya. Ia melirik jam dinding itu sekali. Pukul sembilan pagi. Ketiga anaknya belum pulang sekolah. Dalam kesunyian ia merasa seperti tersesat.

Di dalam kepalanya, ia masih ingat jelas tentang isi pesan itu. Juga percakapan-percakapan yang pada akhirnya terjadi antara mereka berdua. Perempuan itu bernama Upi, setidaknya, itu yang tertulis sebagai nama akun perempuan itu. Upi Rahmawati.

'Bagaimana jika itu terjadi pada suamimu, Mbak?'

Mula-mula, Derana tidak memahami baris pertama dari isi pesan tersebut. Ia kemudian mencoba mengingat-ingat, lalu ia menemukannya pada kejadian dua hari yang lalu. Ketika itu, Derana sempat memposting sebuah status di Facebook-nya.

‘Sebenarnya, kami, para istri, sebagai manusia biasa yang memiliki banyak kekurangan, kami pun pernah jatuh cinta pada lelaki lain yang tentu saja memiliki banyak kelebihan yang tidak suami-suami kami miliki. (Sungguh, banyak lelaki lain di luar sana yang memiliki segala kebaikan dari segala kekuranganmu) Tapi apa kau sadar, kami justru merasa berdosa memiliki perasaan itu. Kami berusaha sekuat tenaga menguburnya, menahannya agar tidak meluap-luap, agar kami tidak menodai kemaluan-kemaluan kami. Itu milik kalian, para suami. Dan kami menjaganya demi kalian juga.

'Layaknya orang yang jatuh cinta, kami pun sama sepertimu, seperti suami-suami kami (ketika merasakan hal yang sama pada perempuan lain itu), kami juga ingin selalu dekat, berbicara, memiliki, dan bersentuhan. Sungguh! Tapi tidak. Iya, tidak. Kami masih menanam rasa percaya, bahwa kalian, suami-suami kami, masih memiliki kebaikan yang patut untuk kami hormati (kebaikan di balik keburukan, kami percaya itu ada).

'Jadi, ketika kami melakukan itu, sikap-sikap setia dan menjaga kehormatan kalian itu, apakah salah jika kami meminta kalian juga setia pada kami? Apakah salah jika kami meminta kalian juga menjaga kelamin-kelamin kalian demi kami?'

Ya, ingatan Derana masih sangat basah tentang dua hari lalu itu. Kala itu, ia begitu marah, begitu emosi, karena salah satu sahabatnya baru saja menelepon dengan berderai-derai dan berkata terbata-bata: SUAMIKU BERSELINGKUH, DE, APA YANG HARUS KULAKUKAN ...?

Derana segera menarik napas panjang, kemudian kembali menekuri layar ponselnya. Membaca.

'Ya, Tuhan, Mbak. Aku tidak menyangka jika lelaki itu sudah beristri dan memiliki anak. Sungguh, Mbak. Dia melakukan segala cara untuk mendekatiku. Dia bilang belum menikah padaku, Mbak.'

Degup Derana berpacu sangat cepat, tapi dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk tetap tenang dan tegar. Ia menurunkan layar ponselnya. Empat foto terpampang sangat jelas. Di dalam foto itu, ada perempuan itu dan suaminya, dalam posisi yang sangat mesra.

Lagi-lagi, Derana menarik napas.

'Aku sudah tidak terkejut jika suamiku melakukan itu, Mbak,' balasnya pada kotak pesan perempuan itu. 'Apakah Mbak cinta sama suamiku?'

' Aku tidak mencintainya lagi, Mbak. Aku marah.'

Ia diam. Menunggu.

'Ya, ampun, Mbak. Sungguh, jika aku tahu lelaki itu sudah berkeluarga, aku tidak akan mau menerima lelaki itu dalam kehidupanku!'

Sejak pertama ia membaca pesan, ia yakin jika perempuan itu sangat marah pada suaminya. Derana sedikit tersenyum. Sinis. Dalam hati ia menertawai kesialan perempuan itu, walaupun nasibnya juga tidak jauh lebih baik. Bertahun-tahun ia sudah ditipu suaminya. Sepuluh tahun pernikahan dan itu tidaklah sedikit.

Dalam keterkejutan menghadapi kenyataan, Derana masih berusaha memutuskan langkah-langkah berikutnya. Ia menyusun rencana. Berpikir. Pertama-tama, ia tidak ingin nampak lemah dan menyedihkan di mata perempuan itu. Aku harus terlihat kuat, batin Derana. Tidak, aku seharusnya memang sudah lebih kuat saat menghadapi kecurangan lelaki itu, karena ini bukanlah hal yang pertama, bukan? Aku sudah menjadi seorang wanita yang ahli melipat kemarahan. Sangat ahli!

'Sebelumnya maaf, ya, Mbak. Apa Mbak sudah pernah berhubungan badan dengan suamiku?'

Butuh waktu lebih lama bagi Upi, perempuan itu, untuk menjawab pertanyaan. Ia mencoba mahfum. Dan bersabar. Ia menunggu perempuan itu siap berkata jujur, sekaligus menata kesiapan hatinya sendiri.

'Iya, Mbak. Kami sering melakukannya. Semoga Tuhan memaafkan dosa-dosa kami.'

Sekali lagi ia mengembus napas panjang. Sangat panjang. Dan kali ini, matanya benar-benar meleleh. Ia mulai merasa kalah oleh dirinya sendiri.

4/
Apalagi yang lebih indah daripada puisi? Bagi Kama; langit biru yang sempurna, senja dan burung-burung yang berterbangan, gerimis yang ricis, embun yang menetas ketika fajar, daun-daun yang mengaji, angin yang menari-nari riang menerpa wajah, membawa sejuk dari puncak pegunungan.

Kama duduk di bangku taman itu, menikmati keramaian jalan raya pukul sembilan pagi lewat sepuluh menit. Dia tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk, dan diam, dan menghisap batang rokok yang membara, dan menghirup bau tembakau yang bercampur debu, dan asap knalpot kendaraan, dan bau tubuh manusia-manusia yang lalu-lalang.

Noda kopi yang tumpah semalam itu terus dibawanya di dalam kepala. Kama tidak bisa menghapusnya, atau membuangnya begitu saja ketika dia berjalan ke tempat itu, atau membakarnya saja saat dia menyulut rokoknya tadi, agar ikut mengabu.

Wajah perempuan yang bersama dirinya di malam itu, ketika secangkir kopi hitam tumpah, melesat cepat. Lalu hilang. Melesat kembali. Hilang kembali. Begitu seterusnya. Kama merasa seperti sedang dikutuk.

"Kau tidak pernah bisa paham tentang cinta, Kama! Aku tahu kau bisa menulis puisi-pusi cinta paling menggetarkan, tapi kau tidak mampu menghargai perasaan cinta itu sendiri!”

Sial!

Kama menyentuh dahinya. Memijit-mijit perlahan. Laki-laki tidak layak menangis, kecuali seorang pengecut. Tapi pagi ini, Kama tidak mampu menahan semuanya.

"Kamu benar. Aku memang pengecut." []

--bersambung--



Bilik Cinta Rani
Yosh... Terima kasih karena sudah membaca ^-^ Novel ini sengaja ditayangkan di blog, karena terkadang saya butuh menulis hal-hal ringan, yang jauh dari hiruk-pikuk. Insya Allah akan terus di-update, semangatin terus ya, biar lancar. Dan... Yapp! Novel ini juga tayang di Wattpad. 
Sekali lagi buat para readers... Maturnuwun. Semoga selalu bahagia ^-^