Jumat, 02 Juni 2017

DI BALIK CERPEN MALAIKAT KEMATIAN DI DAPUR KITA


“Kau percaya manusia selalu terlahir dari cinta?”
Aku tercengang, ia bisa membaca pikiranku.
“Kau tidak terlahir dari sebuah cinta.”
Ia benar. Ia katakan itu dengan mata keji. Membuatku ingin menangis.
‌~ Malaikat Kematian di Dapur Kita (halaman 111)


Cuplikan dialog di atas saya kutip dari salah satu cerpen di dalam buku saya 'Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan', yang diterbitkan oleh Penerbit Basabasi. Cerpen berjudul 'Malaikat Kematian di Dapur Kita'. Dialog tersebut terjadi antara tokoh 'Aku' dan sang malaikat kematian. Kisah dimulai ketika tokoh 'Aku' pulang dari berbelanja dan terkejut saat menemukan seorang perempuan cantik bergaun hitam pekat di dapurnya. Perempuan itu mengaku sebagai malaikat kematian yang hendak mencabut nyawanya, tapi anehnya, malaikat kematian itu justru memasak makanan kesukaan si tokoh 'Aku' terlebih dahulu.

Ia berkata, “Makanlah sepuasmu, lalu izinkan aku mencabut nyawamu dengan ketenangan yang manis.” (halaman 105)

Saat menulis cerpen tersebut, mula-mula saya terilhami oleh salah satu cerpen Bamby Cahyadi dalam buku 'Perempuan Lolipop' yang saya baca bertahun-tahun lalu, di mana sang tokoh utama juga menemukan seorang perempuan di dalam rumahnya dan mengaku sebagai malaikat kematian. Hanya saja, karakter malaikat kematian di cerpen itu lebih unik, sementara dalam cerpen saya, saya lebih memfokuskan pada masa lalu tokoh 'Aku' yang kompleks beserta cintanya yang tidak biasa, dan tidak banyak mengeksplor karakter perempuan malaikat kematian.

Dalam kesempatan kali ini, saya sedang tidak ingin membahas lebih banyak lagi tentang cerpen tersebut, tetapi lebih ingin menggarisbawahi inti permasalahan yang tersirat dari dialog di atas. Pertanyaan tentang apakah semua manusia terlahir dari sebuah cinta sudah bukanlah hal baru di zaman sekarang. Jelas-jelas banyak janin lahir justru tanpa adanya cinta, bahkan walaupun mereka, janin-janin itu, terlahir dari sebuah pernikahan yang sah sekalipun. Memprihatinkan memang. Perkara cinta adalah suatu obrolan yang pelik. Setiap dari kita, sejak dilahirkan di dunia, sudah barang tentu telah ditanamkan rasa itu mulai dari sentuhan seorang ibu. Lalu ayah. Kemudian keluarga. Menjelma ke ranah hubungan sosial. Hingga mampu merasakan cinta terhadap lawan jenis, menikah, lalu berjuang dalam sebuah pernikahan tersebut. Semua demi satu kata: CINTA.

Pertanyaannya adalah, mengapa saya menyisipkan sebuah permasalahan tentang kebenaran bahwa tidak semua manusia terlahir dari sebuah cinta?

Sebagai seorang perempuan yang memiliki isi kepala selayaknya labirin besar yang berliku dan bersudut-sudut, saya menyimpan sebuah kegelisahan ini di salah satu sudut labirin itu. Berita-berita mengerikan yang terdengar hampir setiap hari; perihal bayi yang dibuang dan janin-janin yang digugurkan, membuat dada saya pedih. Saya ingin bersuara, tapi tentu dengan cara saya sendiri. Saya ingin menunjukkan, hal-hal buruk apa yang bisa terjadi pada mereka yang terlahir tidak dari sebuah cinta, pada pola didik yang salah, atau doktrin-doktrin keliru yang dicekok sejak dini.

Saya bukan tipe penulis yang mengatakan pesan-pesan moral saya secara terang-terangan. Saya senang sekali membentuk sebuah konflik cerita yang mengarah ke sebuah jalan lurus, tapi membelokkan sebuah pesan moral ke arah yang lainnya dengan menyisipkannya. Saya ingin pembaca saya ikut berpikir, memikirkan satu demi satu pesan (karena terkadang dalam satu cerpen saya tidak cukup hanya membuat satu pesan moral saja, bisa dua atau lebih), dan jeli memaknai cerita saya yang terkadang tidak semua orang mampu menerima tema-tema frontal yang saya angkat (seperti misalnya tema tentang homoseksual, transgender, dan pedofil).

Rumit sekali ya saya ini?

Well, tapi memang demikianlah cara-cara labirin di kepala saya ini bekerja. Tapi tetap tentu saja, dengan isi kepala yang demikian, saya bukan tipe pemurung. Saya justru romantis (seperti kata salah satu pembaca buku saya) dan benar sedikit melankolis walau pada akhirnya setelah tiga puluh enam tahun hidup sebagai manusia, saya sekarang tudak secengeng saya yang dulu.

Oh ya, bagi kamu yang penasaran dan berminat ingin membeli buku 'Ia Tengah Menanti Kereta Uap Tuhan yang Akan Membawanya ke Bulan', bisa langsung hubungi saya. Atau bisa dibeli di toko-toko buku Togamas.

Maturnuwun...


#NulisRandom2017 #NulisBuku #AjengMaharani #KeretaUapTuhan #PenerbitBasabasi #SastraPerjuangan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar