Kamis, 01 Juni 2017

THABITA DAN CAPUNG-CAPUNG YANG BERNYANYI

image from art of america


Sekali lagi Thabita hanya diam terkelu di sudut aula. Hari ini kelas tari, dan Thabita tidak sedang ingin menari. Dia hanya ingin duduk, tertunduk, dan diam, walau sudah berkali-kali Nandini, sang guru tari, mencoba menggiring bocah lima tahun itu untuk ikut menggerakkan kaki dan tanggannya sesuai petunjuk. Thabita bahkan tidak merasa tertarik untuk memerhatikan kawan-kawannya bercanda dan menari. Dia seperti berada di dunianya sendiri. Dunia yang sunyi. Dan muram.

Ketika kelas tari berakhir, Thabita masih saja duduk di tempat yang sama. Nandini melihat itu dengan pandangan yang sayu. Dia membenahi perlengkapan tarinya, lalu cepat menghampiri Thabita.

“Thabita tidak suka menari?”

Thabita menggeleng.

“Lalu, kenapa Thabita tidak mau menari bersama Bunda Dini?”

Thabita tetap bungkam, tertunduk, menekuri jari-jari kakinya sendiri. Melihat itu, Nandini mengembus napas berat.

***

Thabita tidak masuk sekolah hari ini. Nandini kecewa, padahal sebuah kejutan sudah disiapkannya. Dia pun merenung dan gelisah. Berjalan mondar-mandir, sementara anak-anak berkumpul di aula, duduk, tertawa-tawa dan melihat seorang pemuda badut yang sedang bermain sulap.

Seekor kelinci keluar dari sebuah topi, lalu bunga-bunga kertas, lalu merpati dan pita merah yang teramat panjang. Anak-anak bersorak riuh. Suara tepuk tangan saling bersaut. Nandini hanya menatap permainan pemuda badut itu dari pintu masuk aula. Tatapan redup dan kosong. Bayangan Thabita yang selalu berdiri diam di pagar beberapa hari lalu datang dalam pikirannya lagi.

“Apa yang sedang Thabita lakukan di sini? Thabita tidak ingin bermain sama teman-teman?”

Gadis kecil itu menggeleng. Matanya menerawang, lurus ke luar pagar sekolah. Dia sedang menatap kosong sebuah taman yang dipenuhi bunga. Ah, bukan. Thabita sedang memandangi seekor capung kemerahan yang sedang terbang berkeliling di sana.

“Thabita suka capung?”

Thabita mengangguk.

“Kenapa?”

“Bita ingin jadi capung, Bunda. Biar Bita bisa terbang jauh dan pergi dari rumah Mama,” ujar gadis kecil itu lirih. Tatapan matanya masih jauh. Sangat jauh. Dan juga kosong.

Nandini menggigiti bibirnya. Dia sudah tidak sabar. Dia pun beranjak dari tempatnya berdiri dan menghampiri ruang guru, mencari sesuatu di buku biodata siswa.

*** 

Rumah keluarga Thabita ternyata besar. Mereka tinggal di sebuah kompleks perumahan, yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Nandini berdiri di depan pagar setelah sepuluh menit tiba, dan tidak ada seorang pun di dalam rumah itu yang menghampirinya. Wanita itu semakin gelisah. Dia yakin hatinya bisa merasakan, Thabita sedang tidak baik-baik saja. Dia yakin sekali itu.

Dihampirinya sebuah toko kelontong yang berselisih lima rumah dari rumah Thabita. Dia mempertanyakan tentang kabar Thabita dan keluarganya. Dan ketika jawaban itu terlontar dari bibir sang pemilik toko, Nandini dibuat sedih.

Nandini tiba-tiba saja merindukan bapaknya yang telah tiada.

*** 

Badut itu duduk di salah satu bangku tunggu sekolah, menanti Nandini datang. Sekolah telah sepi. Dan ketika wanita itu tiba dengan raut muka yang menyedihkan, pemuda itu mengerti, sesuatu yang buruk pasti sedang terjadi pada Thabita.

Nandini memandang pemuda badut yang telah dia siapkan untuk Thabita hari ini. Mereka bersitatap. Lama. Lalu, dengan limbung Nandini mendekati pemuda itu, duduk di sampingnya. Membisu. Tidak tahu dengan kata apa dia bisa mengungkapkan perasaannya saat ini.

Pemuda itu seperti mafhum pada reaksi Nandini. Dia ikut terdiam, menunggu. Menekuri langit yang sebagian warna birunya terhalang oleh dedaunan pohon akasia yang merimbun.

“Anaklah yang akan selalu menjadi korban. Orang dewasa itu egois.” Nandini meracau kekesalannya, lirih. “Orang dewasa selalu bilang, mereka berhak bahagia. Selalu saja begitu. Tapi mereka melupakan anak-anak mereka. Mereka pikir merekalah yang paling berhak menentukan nasib anak-anak. Mengapa begitu? Apa anak-anak juga tidak berhak untuk bahagia?”

Mata Nandini meleleh. Kemarahan yang sedari tadi bergemuruh dalam dadanya itu pun tumpah.

“Bapakku bermimpi menjadi pelukis. Suatu hari, dia rela meninggalkan mimpi itu demi keluarganya. Tapi bagi Ibu itu seolah belum cukup. Entah apa yang diinginkan Ibu. Apa yang ada di pikiran Ibu, sampai dia rela pergi meninggalkan kami? Bapak bilang, Ibu ingin bahagia dan dia tidak bisa bahagia bersama Bapak. Tentu saja itu menyakitkan kami berdua. Dan sudah pasti, itu juga menyakitkan perasaan Thabita saat ini. Orang-orang dewasa itu keterlaluan. Thabita masih lima tahun. Masih lima tahun dan ingin menjadi seekor capung agar bisa terbang ja—”

Bulir-bulir air mata Nandini semakin deras. Dadanya semakin sesak. Sesenggukan. Wanita itu tidak mampu lagi melanjutkan kata-katanya.

“Kau sama denganku. Kau, Aku, juga mungkin Thabita nantinya. Aku juga pernah kehilangan tawa. Kita semua pasti pernah kehilangan tawa. Kita tumbuh dalam dunia yang seperti itu. Tapi sebelum meninggal, kakekku pernah berkata, bagaimana pun ingatlah selalu tentang rasa pahitmu, jangan pernah takut padanya, jangan pernah berusaha untuk melupakannya. Agar kelak kau bisa memahami, apa dan untuk siapa kau dilahirkan. Tidak ada kata terlambat, bukan? Kita masih punya waktu di depan kita, dan itu lebih dari cukup.”

Pemuda itu tersenyum. Tanpa sadar, Nandini pun ikut tersenyum dan mengangguk.

*** 

Sore ini, ketika Thabita membuka mata, dia melihat sekumpulan capung berterbangan di langit-langit kamar. Capung-capung itu beraneka warna. Merah, kuning, hijau, dan oranye. Mereka terbang lesat dan meninggalkan jejak layaknya taburan bintang-bintang kecil di udara. Thabita menyungging senyum. Itu senyum pertamanya setelah berhari-hari bibirnya terbungkam rapat. Sejak dia menangis dan berteriak: Papa! Papa! Hingga suaranya hilang dan mengering.

Malam itu, papa dan mamanya bertengkar hebat. Thabita ketakutan dan meringkuk di bawah ranjang, mendekap erat-erat boneka beruangnya. Rumahnya menjadi hiruk dan ganjil dan sangat menyedihkan.

Teriakan-teriakan terhenti ketika terdengar suara pintu yang dibanting kuat-kuat. Thabita terkejut, lalu rumah mendadak menjadi hening dan mati. Gadis kecil itu merangkak pelan keluar dari kolong ranjang lalu berjalan ke arah pintu kamar. Dia mengintip, tapi tidak ada lagi papa dan mamanya. Dia keluar dan mencari, memanggil-manggil mereka. Suaranya menggigil.

Mamanya keluar dari pintu dapur dengan muka yang masih membara dan mata yang basah. Thabita bertanya: Di mana Papa, Ma? Lalu mamanya menjawab: Papamu pergi, Mama sudah mengusirnya!

Bagi Thabita, Papa adalah segalanya. Papa baik dan tidak pernah marah-marah seperti Mama. Jadi ketika dia diberitahu jika papanya itu sudah pergi untuk selamanya, dia menjadi sedih. Thabita menangis, memanggil-manggil papanya. Thabita marah pada mamanya. Sangat marah. Dia ingin papanya kembali, tetapi mamanya tetap bersikukuh pada pendiriannya.

Karena itulah gadis kecil itu jadi pendiam dan murung. Dia merajuk, tidak ingin makan atau melakukan hal apapun sebelum papanya pulang kembali. Badannya semakin hari semakin lemah. Hingga akhirnya, hari ini dia berada di kamar rawat inap ini bersama sekumpulan capung yang berputar-putar di atasnya.

Di telinga Thabita, capung-capung itu terdengar seperti bernyanyi. Seketika Thabita merasa ingin menari. Dia berusaha bangkit dari ranjangnya. Badannya terasa lemas, tapi Thabita sangat ingin menari bersama capung-capung itu. Menari dan menari. Lantai terasa dingin, namun kaki-kaki telanjang bocah itu tidak memedulikan rasa dingin. Thabita masih terus menari dan menari. Lalu tiba-tiba, nyanyian capung-capung itu terhenti. Thabita menghentikan tariannya, mendongak ke langit-langit kamar. Capung-capung itu terbang beriringan, lesat dan menghilang menembus dinding.

Mata Thabita sedih. Capung-capung sepertinya tidak mau berkawan lagi dengannya. Tidak ada Papa, tidak ada capung-capung. Thabita begitu kesepian. Dia berharap, capung-capung itu mau membawanya pergi untuk bertemu papanya. Dalam keadaan yang masih limbung ia menghampiri sebuah meja yang berada di dekat ranjangnya. Thabita melihat, sekotak crayon yang diberikan mamanya ada di sana.

***

Nandini dan pemuda itu bertemu Mama Thabita tepat di depan pintu kamar. Ketiganya saling bersalaman dan berbasa-basi singkat. Nandini mempertanyakan keadaan Thabita. Dia sudah mau makan, ujar Mama Thabita sambil menunjukkan kantong plastik hitam yang berisi puding cokelat. Nandini mengembus napas lega.

Mama Thabita mempersilakan keduanya masuk. Dia memutar knop pintu kamar itu pelan-pelan, lalu membukanya. Hawa ganjil seketika terasa menyergap ketiganya. Penuh kesedihan, sekaligus kesepian yang terbebaskan.

Kamar itu kosong dan sunyi. Tidak ada Thabita di ranjang. Mamanya gusar dan menghambur ke kamar mandi, tapi tetap saja tidak ada Thabita di sana. Nandini dan pemuda itu saling berpandangan. Rasa cemas menyelimuti dada Nandini.

Mama Thabita tergopoh dengan panik keluar kamar, memanggil-manggil nama anaknya. “Thabita! Thabita!” Nandini dan pemuda itu mengikutinya di belakang. Turut memanggil-manggil. Mereka bertiga meninggalkan kamar tempat Thabita dirawat, dengan pintu yang masih terbuka lebar-lebar. Di kamar itu, pernah ada segerombolan capung terbang berputar-putar di langit-langitnya. Capung-capung berterbangan dengan meninggalkan jejak layaknya serpihan bintang yang kelap-kelip, dan seorang gadis kecil menari-nari di bawahnya. Dan mereka (ketiga orang dewasa itu) tidak bisa menyadari sesuatu samar-samar menjelma sebuah bayangan di dinding kamar itu: Sebuah pintu yang terbuka separuh, dibentuk dari garis-garis hitam yang tidak sempurna. Di balik pintu itu, berdiri seorang laki-laki yang tersenyum dan merentangkan tangan. Segerombolan capung berputar-putar di atas kepalanya dan seorang gadis kecil menghambur ke arahnya.

Lamat, dari dalam dinding, terdengar suara nyanyian yang sangat lirih dan menggetarkan. Itulah nyanyian kesepian dan kerinduan Thabita. Nyanyian para capung.




Sidoarjo, 2017 


#NulisRandom2017 #NulisBuku #AjengMaharani 

5 komentar:

  1. Karya ibu? Bagus bu,, saya suka
    Belajar nulis dimana?

    BalasHapus
  2. Iya Mbk Karsavicka ^^
    Terima kasih sudah berkenan membaca ya...
    Belajar nulisnya dengan membaca buku Mbk. Otodidak. Hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya manggil anda ibu ke tuaan gak sih? Saya baru lulus SMA sih ^^
      Oia sebelum di posting lebih baik di potong yampilannya biar saat buka beranda gak semua postongan langsung muncul

      Hapus
  3. Salam kenal, Mbak Ajeng Maharani. Cerpennya keren.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal juga Mbk Elliya ^^
      Terima kasih telah berkenan membaca...

      Hapus