image from Google
Sebelum berita tentang cucunya yang berkelamin dengan Sundari itu mengguncang desa, Wak Puah sudah mengetahuinya jauh-jauh hari jika hal ini akan terjadi. Maka, ketika Wagimin datang dengan wajah pasi ketakutan dan membisikkan kabar menggemparkan itu dengan tergopoh, Wak Puah hanya menggelengkan kepala saja sambil melebarkan bibirnya.
Pagi ini, sebenarnya Wagimin sedang melunyah tanah di sawah dengan kaki-kakinya yang kokoh saat berita itu mengembus tanpa permisi ke cuping telinganya. Ia segera mentas dari permainan kegemarannya itu dengan susah payah karena pikiran yang kalang-kabut, lalu mencuci kaki-kakinya yang berlumpur dengan menimbah air sumur buatan ala kadarnya di bibir pematang. Ia hanya ingin segera menuju rumah Wak Puah dan mengabarkan perkara tersebut, sebelum nantinya akan ada orang lain yang suka menambah-nambahkan cerita pada lelaki tua itu.
Lesat Wagimin berlari melintasi pematang yang licin dengan sedikit terhuyung. Hujan semalam membuat tanah di tempat itu menjadi adonan bubur setengah matang. Likat. Berkali-kali sandalnya tertangkap oleh tanah hingga terlepas, hingga ia terpaksa mencabutnya dengan tangan dan mendapati tanah liat menempel di alasnya, membuat sandal itu menjadi lebih berat untuk digunakan berlari. Dan saat ia berhasil naik ke jalanan, ia merasa dirinya seperti terbebas dari kepungan puluhan orang dengan golok di tangan mereka.
Wagimin tidak peduli dengan sandalnya yang menjadi bengkak dan berat. Ia melanjutkan larinya, terseok di atas bebatuan yang terselar sepanjang jalan. Desanya memang belum mencicipi rasa manis dari pembangunan. Sudah berkali-kali warga berbondong-bondong menuju kantor pemerintahan pusat dan meneriakkan harapan-harapan. Tapi seperti kisah pembesar kota lainnya yang lihai menebar janji layaknya menyemai bibit padi di sawah, selalu saja hanya janji yang warga terima. Dan seharusnya, tahun ini jalanan yang mulai dikuasai liang-liang itu sudah berubah menjadi gundukan aspal hitam keabu-abuan yang mulus tanpa batu-batu.
Sebenarnya, sejak Wak Puah mengetahui cucunya sangat mencintai Sundari, anak bungsu Juragan Codet yang cantiknya tidak main-main, dada lelaki tua itu sudah sering dibuat kembang-kempis karena rasa khawatir yang besar terhadap cucunya. Ia takut masa depan cucunya menjadi kopong, tanpa isi, karena tidak mungkin cinta cucunya akan menjadi kenyataan. Ada jarak perbedaan besar antara mereka yang tidak disadari oleh cucunya itu. Tapi berapa kali pun ia berusaha menyadarkan cucunya tentang perbedaan-perbedaan yang mengambang dengan begitu jelas di antara mereka, tetap saja orang tua seperti dirinya tidak bisa berbuat apapun pada seorang pemuda yang tengah membara karena cinta.
Sebelum Wagimin akhirnya sampai ke rumah Wak Puah, pria bertubuh pendek dengan kulit terpanggang matahari itu bertemu dengan beberapa warga yang bergerombol di sebuah warung kopi. Mereka melambai pada Wagimin, mengajaknya untuk ikut menikmati secangkir kopi dengan ditemani senyum manja dari penjualnya, janda muda yang baru saja ditinggal mati suaminya.
Nama janda itu adalah Ijah, bokongnya besar aduhai, pun demikian dengan buah dadanya yang memantul pelan setiap kali ia bergerak. Warung kopinya adalah yang paling laris di desa itu. Tidak ada satu pun laki-laki di desa yang tidak pernah menikmati kopi racikan Ijah. Tangan-tangan bulat Ijah yang putih menggemaskan sering menjadi pelampiasan mereka, dielus-elus. Juga bokongnya yang terkadang ditepuk pelan atau diremas gemas. Ijah hanya akan menjerit keenakan lalu memukul-mukul bahu penggodanya dengan manja, dan melengos genit dengan tatapan mata yang berkerling nakal. Laki-laki akan senang setiap kali mendengar Ijah menjerit. Ada yang bergetar di tubuh mereka. Pelan dan menggairahkan.
Saat mereka melambaikan tangan pada Wagimin, lelaki itu hanya menggeleng saja. Ia memang benar menghentikan kakinya sejenak, tapi tidak sedikit pun melangkah mendekat. Salah satu dari mereka, yang duduk di kedai kopi Ijah, mengangkat tubuhnya dan berjalan ke arah Wagimin yang tersengal-sengal lelah. Menanyakan akan ke mana gerangan lelaki itu berlari, mengapa begitu tergopoh padahal hari masih begitu pagi dan dingin—waktu yang pantas untuk digunakan bersantai dan minum kopi sambil menepuk bokong Ijah. Wagimin menjawab dengan kata yang patah-patah, bahwa ia akan ke rumah Wak Puah dan mengabarkan berita tentang cucunya. Mendengar jawaban itu lawan bicaranya terbahak-bahak, mengatakan bahwa betapa hebatnya cucu Wak Puah itu bisa meniduri kembang desa. Dan itu membuat Wagimin dongkol. Ia tak lagi mengacuhkan laki-laki di hadapannya itu, lalu kembali berlari.
Berita tentang cucu Wak Puah yang berkelamin dengan Sundari itu dimulai dari seorang lelaki pencari katak yang melihat gerakan-gerakan di sebuah gubuk dekat sungai pada malam lalu. Dengan degup penasaran yang meletup lelaki itu mengendap-endap, mencoba mencari tahu apa dan siapa yang sedang bermadu malam-malam di tempat itu. Ia melihat sosok perempuan molek yang cekikikan, lalu sosok pria yang mengendus-endus, membuat ia mual dan memuntahkan sisa makan malamnya di semak-semak.
Itulah yang didengar Wagimin pagi ini, walau pada kenyataannya ia menyangsikan kebenaran berita itu. Memang pemuda itu sedikit keras layaknya batu gunung saat ia berkehendak. Sejak kecil ia terkenal usil dan pemberani. Wagimin tahu cucu Wak Puah itu tidak akan menjadi rampok, atau perusuh, atau bahkan mengawini anak orang dengan seenaknya. Tapi saat ia memandangi wajah Wak Puah yang gelisah dan semakin sering melenguh panjang itu, Wagimin merasa berita itu mungkin benar adanya.
Suara gaduh sekumpulan orang yang sedang marah terdengar di halaman rumah Wak Puah. Wagimin terperanjat dibuatnya. Ia lesat menghampiri jendela dan terbeliak ketika melihat orang-orang berwajah marah sudah berkerumunun dan meneriakkan nama cucu Wak Puah. Dada Wagimin dipenuhi kegelisahan yang besar. Ia menatap mata tua Wak Puah. Dikiranya lelaki itu akan menggigil ketakutan, tapi kenyataannya tidak.
Wak Puah berjalan menyedapkan langkah menuju pintu depan. Ia menyambut orang-orang itu dengan ramah-tamah yang menurut Wagimin yang berdiri di balik punggungnya adalah sebuah kebodohan. Bagaimana mungkin seorang lelaki tua mampu meredakan amarah belasan harimau yang sedang murka? Wagimin semakin was-was. Ia menelan ludahnya sendiri.
Orang-orang itu bersahut-sahutan, mengatakan akan meringkus cucu Wak Puah dan menggiringnya penuh kemaluan ke seluruh desa, lalu membawanya ke kantor polisi atas tuduhan pemerkosaan. Wak Puah berusaha menenangkan mereka. Mengatakan hal ini butuh diselidiki terlebih dahulu. Jika benar cucunya berkelamin dengan Sundari, ia yakin itu bukan pemerkosaan. Insting tuanya mengatakan, Sundari pun mencintai cucunya.
Bergumulan antara Wak Puah dan orang-orang berwajah marah itu masih saja alot. Mereka bersikeras ingin menyeret cucu Wak Puah. Berteriak dan melempar ludah ke tanah, lalu melunyahnya kuat-kuat. Wak Puah masih sabar dan telaten. Ia menjawab semua pertanyaan dan makian-makian dengan tabah, sementara Wagimin beringsut di punggung tuanya. Ketika itulah datang ketua RW dan dua ajudan lurah dengan langkah gagah, membubarkan kerumunan warga yang sedang marah. Mengatakan ini adalah tugas mereka sebagai pamong. Dan dengan patuh, para warga itu pergi meninggalkan halaman rumah Wak Puah.
Melihat orang-orang itu sudah pergi dengan melipat bara di dada, Wagimin memutuskan untuk pulang. Sudah tidak ada lagi keperluan dengan masalah ini, dan tanah-tanah di sawah sudah terlalu lama menunggu untuk kembali dilunyah. Ia memohon diri pada Wak Puah, juga pada ketua RW dan dua ajudan lurah, lalu meninggalkan mereka yang masih bergeming di depan pintu rumah.
Kali ini Wagimin tidak lagi berlari. Ia terlalu lelah untuk berlari lagi. Dan kehausan. Ia lupa meminta segelas air di rumah Wak Puah tadi. Ia terlalu panik dan gusar. Bagi dirinya, keluarga Wak Puah sudah bagaikan saudara. Ia besar bersama anak lelaki Wak Puah yang meninggal dalam kecelakaan bus, bertahun-tahun lalu.
Ketika Wagimin melintasi warung kopi milik Ijah yang sudah sepi pengunjung, ia memutuskan untuk mampir sejenak, sekadar minum segelas es teh untuk membasahi dahaganya. Di warung kopi itu, ia hanya melihat seorang laki-laki dan Ijah saja, yang sedang saling manja dan menggoda. Itu laki-laki yang sama dengan yang memanggil dirinya tadi pagi, saat berlari menuju rumah Wak Puah. Wagimin sedikit ragu apakah ia akan mampir ke kedai milik Ijah ataukah tidak saat melihat adegan colek dan pegang yang seronok itu. Ia ingin mual, tapi dahaganya terlalu angkuh untuk mau melepaskan keinginan meminum segelas es teh yang segar.
Wagimin tahu, laki-laki yang duduk bersama Ijah itu sudah beristri, tapi tentu saja pria akan selalu sama, melupakan istri saat ia sedang bersama seorang wanita, apalagi yang bahenol dan murah seperti Ijah. Dengan kepasrahan atas rasa hausnya, Wagimin akhirnya melangkahkan kaki mendekati warung. Saat itulah, samar ia mendengarnya, ucapan yang dilontarkan laki-laki yang duduk bersama Ijah. Pernyataan yang membuatnya marah dan menggenggam kepalannya rapat-rapat. Ia pun ingat satu hal tentang laki-laki itu. Ia-lah laki-laki pemburu katak yang menguarkan berita tentang cucu Wak Puah yang berkelamin dengan Sundari pada malam di sebuah gubuk di pinggir sungai.
Seketika, Wagimin ingin sekali menghantamkan kepalannya di wajah laki-laki itu.
Sidoarjo, 2017
#NulisRandom2017 #Day4 #NulisBuku #AjengMaharani
Jadi si laki2 pemburu katak itu yang memperkosanya?
BalasHapus