Kamis, 08 Juni 2017

NOBELIA DAN JANIN-JANIN DALAM GENDONGANNYA (bagian satu)


Oleh: Ajeng Maharani 

Ia membuka mata dan kesenyapan  itu menyergap. Ia tidak tahu pukul berapa ketika itu, tapi ia menyadari satu hal: suaminya tidak pulang lagi hari ini. 

Dibukanya ponsel yang telah ia matikan. Tidak ada chat dari lelaki itu. Keterlaluan. Sudah empat hari berjalan, dan di malam itu, ia merasakannya dengan benar, pelan-pelan, darah di dadanya mendidih. 

Puluhan makian terlahir sempurna di dada itu. Mereka mengalir layaknya sungai yang beringas, menuju ke kepalanya. Mereka meletup-letup di dalam sana. Ingin meledak. Matanya hampir saja pecah, tapi ia telah berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menangis lagi. Tidak akan, demikian desis batinnya. Ia harus bisa menjadi kuat. Sangat kuat. Ia tahu ia tidak sedang sendirian. Mereka, bocah-bocah itu, berkata dengan keluguannya, "Nggak mau ikut Ayah. Ikut Ibu. Kami sayang Ibu, nggak sayang Ayah. Ayah jahat." Dan itulah kekuatannya. Dengan itu pulalah ia akan berjuang untuk menyelamatkan hak-hak anaknya. Nanti, ketika ia dan suaminya akan berhadapan dengan seorang hakim. 

Ia sebenarnya ingin bertanya pada perempuan itu: sedemikian rendahnyakah seorang perempuan yang jatuh cinta hingga kamu menghalalkan tubuhmu pada suami perempuan lain dan dengan bahagia tinggal seatap bersamanya, dengan bahagia pula merampas waktu yang seharusnya masih milik istri dan anak-anaknya, dan dengan bahagia pula melakukan itu semua tanpa merasa berdosa? 

Sedemikian rendahnyakah seorang perempuan yang tengah jatuh cinta itu? 

Tapi ia, Nobelia, hingga detik ini, masih juga tidak layangkan pertanyaan-pertanyaan itu. 

Ia pernah berujar kepada suaminya perihal perkara ini pada suatu siang yang masih belia. "Tolong, jangan paksa aku menjadi manusia yang buruk di mata anak-anakku. Bisa saja aku memaki perempuan itu, mendatangi rumahnya dan berkelahi jika aku mau. Tapi aku tetap gigih pada keinginanku yang telah kuucapkan padamu, aku ingin kita berpisah dalam keadaan baik-baik saja dan melanjutkan hubungan ini sebagai seorang sahabat, demi anak-anak. Tapi lihat, apa yang sudah kalian lakukan? Kalian sengaja melupakan mereka. Kalian dengan seenaknya bertingkah dan anak-anak itulah yang menjadi korban. Apa kamu tahu bagaimana rasanya ketika mereka bertanya, 'Di mana Ayah, Bu? Kok nggak pulang?' Juga, 'Tante Amel itu apanya Ayah? Kok peluk-peluk Ayah?' Coba pikir, bagaimana rasanya?"

Lelaki itu hanya diam saja dan menatapnya sayu. 

"Aku diam karena aku butuh tenang. Aku diam karena aku menghormati kalian sebagai manusia dan berharap kalian pun menghormati kami yang ada di sini. Hak-hak kami. Bukankah aku sudah menawarkan poligami tetapi Amel yang tidak mau? Kamu bilang dia tidak bisa membagi dirimu. Bukankah itu konyol? Dia yang mencurimu, kenapa justru dia yang tidak bisa membagi dirimu?" 

Ia menarik napasnya yang sesak di siang itu, kemudian melanjutkan, "Baiklah, tidak apa-apa. Aku pun bersyukur akhirnya bisa lepas dari kamu setelah bertahun-tahun tersiksa dan sabar pada semua pengkhianatanmu. Tapi tolong dengan sangat, jangan buat diriku lebih marah dari hari ini. Kendalikan nafsu kalian berdua. Beri anak-anak waktu yang seharusnya memang milik mereka. Jangan tinggalkan mereka. Memangnya, Amel sudah lupa ya kalau kamu ini masih suami perempuan lain dan seorang ayah dari empat anakmu?"

"Tidak, dia masih ingat, kok."

"Nah!! Lalu, kenyataannya?"

Lelaki itu diam kembali. Senyap. Hanya ada suara siang yang pecah dari jendela kamarnya yang terbuka. Semilir angin yang membara merayapi dinding-dinding hijau pastel, membuat kipas angin berdebu yang tengah berputar di atas rak susun tidak mampu menyejukkan. 

"Aku berubah pikiran," ujar Nobelia kemudian, memecah hening. 

"Apa maksudmu?"

"Anak-anak akan ikut bersamaku semua. Aku yang akan merawat mereka. Dan rumah ini, aku yang akan menjaganya. Ini hak anak kita. Setelah resmi bercerai, kamu yang keluar dari sini, bukan aku."

Nobelia mengucapkan itu dengan keyakinannya. Ia menatap suaminya teguh. Tidak gentar. "Aku telah siap. Mungkin di persidangan nanti, kita akan menjadi lebih buruk daripada hari ini, tapi aku telah siap," lanjutnya. 

"Kok gitu, sih? Dulu kamu setuju membagi anak kita. Kenapa sekarang berubah pikiran?" 

Ia menarik napas dalam-dalam. Bola mata lelaki di hadapannya itu mulai memunculkan kekecewaan. Ia mahfum. 

"Karena aku telah melihat kalian berdua, beberapa bulan ini."

Lelaki di hadapannya itu mengerutkan dahi.

"Kalian terlalu asyik dengan cinta kalian. Kamu dan hubungan barumu itu."

"Bu, apa selama ini Ayah tidak tanggung jawab sama anak-anak?"

"Tanggung jawab, kok."

"Lalu?"

"Kamu memang tidak luput dari tanggung jawabmu pada materi, tapi kebutuhan anak itu tidak cukup hanya sekadar materi, kamu tahu benar itu. Kamu bilang kalau kamu dan Amel baru akan menikah dua tahun lagi. Untuk apa? Untuk menjaga nama baik dia, gitu? Kalau kalian langsung nikah setelah kita cerai, terus Amel pasti disebut sebagai pihak ketiga sama orang-orang di sekitar kalian dan kalian takut sama itu, gitu? Terus bagaimana nasib anak-anak yang ikut kamu nanti? Aku sudah pernah tanya ini, kan? Lalu kamu jawab, 'Kan mereka sudah besar, sudah bisa ditinggal.' Besar seperapa? Mereka baru sembilan dan delapan tahun loh. Kalau kamu setiap hari kerja, sibuk pacaran seperti sekarang, terus pulang tengah malam setiap hari seperti biasanya, bagaimana keadaan mereka nanti? Siapa yang mau mengawasi, membimbing, memasak, ngajak ngobrol mereka? Kamu tega seperti itu?" 

Nobelian meneteskan air mata.

"Aku tidak mau anakku diterlantarkan akibat hubungan egois kalian. Tidak. Biar aku yang menjaga mereka. Bagaimana nasib atau rencana-rencana hubungan kalian berdua bukan urusanku, tapi mereka berempat adalah tanggung jawabku. Titik. Dan aku akan berjuang untuk itu."


- bersambung - 





1 komentar:

  1. Casino Finder (SALT LAKE) - Mapyro
    Find 용인 출장샵 Casino 울산광역 출장샵 Finder 청주 출장마사지 (SALT LAKE) location, map, reviews and 대전광역 출장마사지 information for 포항 출장안마 Casino Finder (SALT LAKE) in Salt Lake City, UT.

    BalasHapus