Selasa, 22 April 2014

KELAM



GOA YANG TERLUPAKAN


Di dalam goa itu, jiwa kita menyatu. Kau menyetubuhiku dengan semua kegagahanmu. Kau katakan semua demi cinta. Maka sudah seharusnya kuberikan mahkotaku.

"Pay, setelah ini, apakah kau akan mencampakkan aku begitu saja?" kutanya dirimu dalam sela lenguh nafas kita. Kau kecup bibirku lembut. Lalu dengan mata yang liar, seliar macan yang sedang tak ingin diganggu saat bercinta, kau berkata, "tidak akan."

***

Sudah hampir sebulan sejak hari laknat itu. Sekuntum kabar pun tak kutemui dari dirimu. Kau seperti batu yang tertelan bumi. Seperti embun yang raib di tepi dedaunan. Hilang, tanpa bekas.

"Pay, di manakah kamu? Aku kangen."

Berkali-kali pesan singkat itu kukirim padamu, namun tidak pernah satupun kau membalasnya. Inikah arti janjimu, tidak akan mencampakkan aku, Pay?

Aku tahu kau sibuk dengan dunia kerjamu, tidak mungkin kamu menanggapi kerinduan gadis manja yang masih berseragam abu-abu sepertiku. Tapi Pay, tidak adakah sedikit cintamu lagi, seperti pertama kau goda diriku dulu?

"Pay, di mana kamu ..."

***

Hari ini kudengar dari Dayat, sahabatmu, kalau kau telah menggandeng wanita lain. Yang lebih cantik dan dewasa dariku. Benarkah itu, Pay?

Aku ingin membuktikan cuap si Dayat. Berharap kata-katanya tentang kau adalah kebohongan belaka.

Tetapi, aku tidak sedang bermimpi saat ini Pay. Kulihat dirimu bergandengan mesra dengan seorang wanita. Berambut panjang, hitam legam bak sutra berwarna kelam. Lalu kulihat kau mengecup keningnya. Membelai lembut pipi wanita itu. Membuat darahku bergejolak, mendidih dan hampir meluap ke arahmu.

Kuhampiri dirimu dengan nafas tersengal-sengal. Matamu mendelik. Aku tahu kau sangat terkejut dan malu saat kutantang kelelakianmu di hadapnya.

"Siapa dia, Pay? Jadi inikah jawabanmu setelah malam di goa itu? Kau mencampakkan aku!" tanyaku memekik.

Wanitamu bingung. Kau berkata, "aku tidak mengenalnya, dia pasti gadis gila, Wen." Lalu dengan lesat, menggandeng tangan wanitamu, kau pergi meninggalkan aku. Berdiri seorang diri, dengan amarah yang membakar hati.

***

"Maaf, Erni. Aku terpaksa meninggalkanmu. Ada wanita lain yang aku cintai," katamu. Terdengar begitu memuakan di ujung ponselku. "Kau itu masih kekanakan, tidak cocok dengan duniaku yang dewasa. Ayolah Er, bisakah kau memaafkan aku, dan melepasku dengan ikhlas?" lanjutmu kemudian.

Memaafkan katamu. Bisakah aku, setelah apa yang terjadi di antara kita? Bahkan kau tak tahu, sesakit apa jiwaku yang telah kau campakkan ini ....

"Pay, sekali lagi, ijinkan aku bersamamu. Menikmati malam di goa cinta kita. Aku janji Pay, ini yang terakhir kalinya. Setelah itu, aku takkan mencarimu lagi."

"Benarkah, Er. Kamu mau melepaskan aku?"

"Iya, Pay. Asalkan kau pun mengijinkan aku mengukir kenangan terakhir bersamamu di sana."

"Baiklah, sebelum senja datang, hari Sabtu besok aku akan menjemputmu di tempat biasa ya?"

"Iya ..."

***

Dan di sinilah kita Pay. Goa terlarang yang telah menjadi saksi cinta kita malam itu. Semuanya masih tampak sama, lembab dan gelap. Namun bunyi-bunyi kematian itu tidak kau hiraukan sama sekali. Kau sangat sibuk menikmatiku. Mengecup tubuh yang sudah tak perawan ini lagi.

"Lepaskan gelungan rambut, Er. Agar kau tampak semakin cantik malam ini," bisikmu.

Ah, Pay. Tidak kau suruh pun aku memang akan melepas tusuk rambutku yang mengkilat-kilat ini.

Dengan gemulai, kutarik tusukku. Membuat rambut ikal dan panjang ini, jatuh ke punggungku yang sudah tak berkain.

"Pay, aku mencintaimu."

"Aku juga, Er."

Sudah cukup sampai sini Pay! Dengan mata jahat, kebencian yang terpendam lalu terbuncah. Kutusuk berkali-kali lehermu. Tepat mengenai nadi, memuncratkan darah-darah segar ke wajah kita berdua. Aku mendengar kau mengerang kesakitan. Tetapi kau tak berdaya. Kutindih kau kuat-kuat, sambil terus menusuk, dan menusuk. Terus dan terus. Aku kesetanan Pay.

Hingga akhirnya kau lunglai. Mati, tak bernyawa lagi.

Ah, Pay. Akhirnya, dengan begini aku bisa bahagia. Melupakanmu dan melanjutkan hidupku yang sudah hina, bersama benih cantik yang telah kau tanam di rahimku.

Tenanglah Pay, anakmu akan kujaga baik-baik ....






Nda, 200414

_____________________________________________________________________

GADIS KECIL


Gadis kecil berkepang dua, hari ini kau kenakan gaun kebesaranmu. Kain sifon dengan warna ungu, terayun-ayun di sela-sela kelangkangmu. Kau tahu sekali hari ini dirimu teramat cantik. Bahkan lebih cantik dari kawan-kawan kecilmu, yang masih lugu, belum tahu apa artinya menjadi seorang putri.

Sore yang anggun, dengan sentuhan warna senja di ujung tawamu, kau berjalan berjingkat. Sepatu baletmu yang berbunga-bunga, terdengar sedikit berdecit. Kau merasa makin centil saja.

"Hendak ke mana kau, Lara?"

Sekejab kau dengar suara Mamak memanggil dan bertanya tentang kepergianmu. Kau tersenyum. Dengan riang, kau lambai-lambaikan tangan mungilmu kepadanya.

"Hati-hatilah kau, Lara! Sudah mau maghrib, cepat pulang ya!"

Kau mengangguk. Kemudian kembali berjingkat mesra, bersama bebatuan aspal yang melegam.

***

Matamu berkesap-kesip. Kau coba memahami di manakah dirimu kini berada. Kau lihat ruangan itu sempit. Gelap, dan pengap. Kau ingin muntah. Perutmu terasa mual karena bau-bau yang menyakitkan penciumanmu. Lalu kau rasakan tanganmu terikat kuat. Sangat kuat. Juga pada kaki-kaki cantikmu, dan mulut mungilmu.

Sekejab mukamu memucat. Kau ketakutan. Kau jadi rindu Mamakmu tersayang. Rindu omelannya. Juga bau tubuhnya yang seperti ikan goreng.

Rinaimu meleleh. Kau hendak berteriak, namun kata-katamu tersekat. Sekuat tenaga kau coba untuk meronta. Sekali lagi ... sekali lagi ... namun kau gagal. Ketakutanmu semakin menyayat.

Siapakah yang telah tega melakukan ini kepadamu? Batinmu bertanya-tanya.

Lalu tak sampai jatuh pada lima menit, kau lihat sesosok lelaki hitam datang sambil menyeringai di hadapmu. Kau pandang wajahnya, buruk. Penuh bopeng dan jerawat batu. Kau hampir pingsan. Namun kau rasakan tangan lelaki itu menarik kakimu. Kasar. Membuatmu merintih pelan.

"Kamu cantik gadis kecil."

Kau dengar dia mendesis perlahan. Tampak pula air liur lelaki itu menetes. Membuatmu makin jijik saja.

Kau berteriak, "Om siapa? Om mau apa?!"

Tetapi lelaki itu tetap menatapmu liar. Kau lihat urat-urat matanya merah. Lalu kau rasakan jari-jari besarnya merayap di kakimu. Berjalan semakin ke atas menuju paha-paha putihmu. Dan membuka kain tipismu yang masih tercium aroma melati.

Kau memperhatikannya tanpa berkedip. Tubuhmu bergetar. Kau makin ketakutan. Tangismu makin berurai, tertumpah tiada henti. Kemudian, lelaki bejat itu, kau rasakan mulai menggagahimu.

***

Kau gadis kecil lima tahun, merasakan badanmu mulai lemah. Sambil menahan sakit yang teramat, kau coba sedikit mengambil sisa-sisa udara. Dadamu mulai sesak. Gaun ungumu pun sudah bercampur merahnya darah.

Kini air matamu telah mengering. Bahkan hendak kau tangisi kembali kesakitanmu, namun tidak ada setetespun rinai yang keluar.

Kau menyesal. Dalam hati kau berbisik sedih, jika saja senja itu kau tak bermain sedikit lebih jauh dari rumahmu, kau takkan berada di neraka ini.

Sebuah neraka, yang entah kapan kau bisa keluar, dalam keadaan hidup ataupun telah mati.

Entah ....




Nda, 200414

____________________________________________________________________

PIKAT SANG PENARI


Minul melenggak-lenggok gemulai. Matanya mengerling genit ke semua lelaki yang tengah tergiur tariannya. Semua tertawa senang. Menikmati malam yang semakin nakal, diiringi bebunyian gending dan gamelan.

***

"Kau tidak lupa ke tempat Mbah Mo hari ini kan, Nduk? Ingat, ini malam Jum'at Legi, hari kelahiranmu. Jangan sampai kamu ..."

"Iya, Mbok. Minul tidak lupa kok," sahut Minul dengan senyum.

Mbok bernafas lega. Dia sangat mengkhawatirkan keberadaan Minul di panggung. Karena jika Minul lupa dengan pertapaannya, mereka akan tenggelam di perut jagad.

***

Mbah Mo mengurut punggung Minul dengan minyak. Mulutnya komat-kamit, berdecap matra pemikat. Demikian juga dengan bibir Minul yang tipis merona merah. Dalam pertapaannya, Minul terus melantunkan nyanyian mantra.

Suara Minul memerdu. Aura kecantikannya berpendar-pendar di bawah temaram sinar bulan yang separuh nyawa. Mbah Mo telah selesai dengan tugasnya. Dia berdiri, meninggalkan Minul yang duduk dalam tapa, di depan sebuah sumur tua keramat.

***

Lelaki gendut dengan kumis lebat menggantung di bawah hidungnya, tersenyum genit pada Minul. Jari jemarinya yang penuh dengan cincin emas, sebentar kemudian mencolek dagu lancip Minul. Gadis penari itu tertunduk memalu. Dikedip-kedipkan matanya. Menyebarkan aura pikat yang tidak mungkin bisa ditolak lelaki manapun.

"Bagaimana, Nul?" tanya sang lelaki.

"Pak Karto serius mau meminang Minul?"

Karto mengangguk, senang. Matanya berbinar-binar, berharap Minul segera berkata iya. "Nanti jika kau jadi istri mudaku, uang belanjamu setiap bulan akan kuberi seratus juta." Karto memberi penawaran.

Hati Minul bersorak riang. Sudah berkehendak untuk menyetujui tawaran Karto. Namun sekali lagi Minul jual mahal. Kegenitannya terus digencarkan. "Masa cuman segitu?" desisnya memanja.

"Bisa, bisa lebih, Nul. Mau berapa? Kau tinggal katakan saja." Karto terkekeh, merasa ikan pancingannya sudah hampir mencaplok umpan.

"Bener ya, Pak. Awas kalau bohong sama Minul."

"Jadi kau mau, Nul?"

Minul mengangguk. Serta merta Karto bersorak sambil merangkul pundak Minul yang terbuka, membuat kemulusan kulit gadis itu menyembul menggiurkan.

***

Wajah Sulasmi merah padam karena amarah. Wanita empatpuluh lima tahun itu mendendam, pada gadis penari yang telah merebut suami tercintanya.

"Dia harus diberi pelajaran, Mbah. Aku mau dia sekarat!"

Mbah Mo masih bimbang. Bagaimana bisa dia melaknat gadis yang selama ini telah dia didik dengan ilmu pemikatnya. Dukun tua itu masih diam.

"Mbah mau minta bayaran berapa? Limapuluh juta? Seratus juta? Katakan saja, aku siap memberikan."

Sulasmi memicingkan matanya. Berharap sang dukun tergiur dengan uang yang dijanjikan. Iya, bagi Sulasmi hanya Mbah Mo-lah yang mampu menarik kembali ajian yang telah ditanam di sukma Minul. Uang berapapun akan dia relakan, demi membalaskan dendamnya.

***

Minul tergolek lemah di ranjang. Tubuhnya makin lama makin kurus, hampir nampak seperti mayat kering. Lalu bau anyir bagaikan nanah busuk menyeruak dari sela-sela kelangkangnya.

Mbok menangis sesegukan di samping putri satu-satunya itu. Karma telah mencicip gadisnya. Membuatnya memakan semua tuah jahat yang telah dia tebarkan sendiri.

Minul, gadis penari pemilik ilmu pemikat Aji Jaran Goyang, sudah membusuk pelan-pelan, di dalam sadainya ....





Nda, 200414




Kamis, 17 April 2014

RORO JONGGRANG



“Apaan tuh?” tanya adikku Sarah.

“Candi Prambanan,” jawabku.

“Kenapa harus ke sini sih? Membosankan tahu!”

“Hush ...” Papa menyelah Sarah, “gak boleh ngomong begitu. Di sini kita bisa belajar banyak hal. Kamu tahu tidak, candi ini adalah Candi Hindu terbesar di Indonesia dan sudah menjadi salah satu situs warisan dunia UNESCO. Kamu seharusnya harus bangga bisa dateng kemari, Sarah.”

Sarah melengos tajam. 

“Masih enak nonton film, Pa. Lebih seru. Apaan coba, yang dilihat cuman batu. Ba – tu ... mana menariknya.”

Ih, aku jadi gemas dengan adikku yang baru naik kelas enam sekolah dasar itu. Ingin kucubit saja pipinya yang tembem bak kue apem. Sukanya nge-mall melulu. Disuruh belajar saja susahnya minta ampun. Dan sifat manjanya, amit-amit, kebangetan!

“Sarah gak mau ikutan naik ke atas. Capek!”

“Yah, pake ngambek segala,” sindirku, “ingat umur dong, Sar. Kamu kan sudah kelas enam.”

“Dasar tua, bawel!”

“Hih, kamu itu ya ....”

“Sudah, jangan bertengkar di sini. Malu tahu.” 

Mama melerai kami yang hampir saling main tonjok.

“Sarah, ingat tidak sama dongeng tentang putri cantik bernama Roro Jonggrang?” Mama mendekati Sarah yang sedang merajuk. Pundak Sarah dipeluknya dengan lembut.

“Tahu. Kisah tentang terjadinya gunung perahu ... apaan itu namanya? Sarah lupa.”

Aku tertawa dengan nada mengejek, “Itu dongeng Takuban Perahu kalee ...” 

Sarah marah, menarik bibirnya ke arahku. Dia mencibir.

“Sarah Cuma lupa saja, Key. Jangan terus dipojokkan seperti itu,” Papa kembali menengahi. Aku akhirnya mengalah. Memilih diam dan asyik bermain Clash Of Clan di ponsel Android-ku. Samar-samar, aku mendengar Mama tengah membujuk Sarah kembali. Mencoba menceritakan dongeng lama yang pernah kudengar bertahun-tahun lalu.

“Konon, pada jaman dahulu kala, di tanah Jawa Tengah ini terdapatlah dua kerajaan yang bertetangga. Yaitu kerajaan Pengging yang subur dan makmur, dipimpin oleh Prabu Damar Maya. Dan kerajaan Baka yang dipimpin oleh raja raksasa pemakan manusia, bernama Prabu Baka ...”

Iya, aku ingat kisah itu. Cerita tentang Raden Bandung Bondowoso, pangeran dari kerajaan Pengging yang jatuh hati pada Putri Roro Jonggrang nan cantik jelita, dari kerajaan Baka. Kedua kerajaan yang saling bermusuhan hingga terjadilah perang besar. Hingga akhirnya, perang berhasil dimenangkan oleh Raden Bandung Bondowoso yang membunuh Prabu Baka.

Putri Roro Jonggrang yang mengetahui kabar tersebut, merasa marah dan meratapi kematian sang ayah. Hingga ketika Raden Bandung Bondowoso menyerbu kerajaan Baka dan langsung terpesona dengan kecantikan sang putri, dia ingin meminangnya. Putri Roro Jonggrang yang membenci dan dendam pada pemuda pembunuh ayahnya, menolak mentah-mentah pinangan itu.

Putri pun mengajukan dua syarat.

“Syarat pertama, dia meminta dibuatkan sumur yang dinamakan sumur Jalatunda. Lalu syarat yang kedua, sang putri meminta Bandung Bondowoso untuk membangun seribu candi untuknya. Semua itu harus selesai dalam semalam, sebelum matahari terbit.” Mama masih terus bercerita tentang kisah itu. Aku yang sedari tadi tak memedulikan soal Sarah yang sedang merajuk, akhirnya ikut mendengarkan kisah Mama.

“Lalu?” Sarah mulai tertarik. Kulihat matanya ceria kembali. Kisah putri cantik yang dikutuk karena telah mengingkari janjinya, kembali mengalir dari bibir Mama. Tidak kusangka jika Mama sungguh lihai dalam berdongeng.

“Setelah melihat kesaktian Bandung Bondowoso, Roro Jonggrang akhirnya mulai panik. Dia mengajak seluruh dayang dan wanita desa untuk menumbuk padi dan membakar jerami di sisi timur. Karena mengira matahari akan segera terbit, para makhluk halus yang membantu Bandung Bondowoso menyelesaikan candinya, takut dan lari bersembunyi di balik bumi.”

Wajah Sarah serius, demikian juga diriku. Walaupun aku sudah tahu akhir dari kisah ini, tetap saja penasaran dengan cara bercerita Mama.

“Mengetahui dirinya telah ditipu oleh sang putri, Bandung Bondowoso murka. Dia mengutuk Putri Roro Jonggrang menjadi sebuah arca. Lalu jumlah kesembilanratus sembilanpuluh sembilan candi itu dinamakan Candi Sewu, dan arca berupa sosok wanita bertangan empat, yang dikisahkan adalah wujud arca Roro Jonggrang, disebut Arca Durga.”

“Wah ... menarik sekali, Ma. Mengharukan. Kasihan ya putri itu, harus menjadi batu,” sahut Sarah.

“Itu jika berdasarkan dongeng, sayang,” Papa menimpali. “Berdasarkan sejarahnya, Candi Prambanan ini dibangun oleh Rakai Pikatan, raja dari Dinasti Sanjaya yang memeluk agama Hindu di tanah Jawa. Tujuan dibangunnya candi ini adalah untuk menyaingi Candi Borobudur yang sudah dibangun terlebih dahulu oleh Dinasti Syailendra, penganut agama Budha.”

“Wah, Papa tahu juga ya sejarahnya,” sahutku kagum.

“Lah wong Papa sudah baca di Mbah Google semalam.” Papa tertawa lebar. Diikuti oleh kami.

“Bagaimana? Sarah mau ikut melihat candinya atau tidak? Ada arca sang putri loh, tidak penasaran ingin tahu sosok Roro Jonggrang?” tanya Mama.

Sarah mengangguk cepat. Wah, sudah semangat sekali adik kecilku ini. “Ayo, Ma. Nanti Sarah mau berfoto selfi di depan Arca Durga. Mau tak pamerin di Path, biar teman-teman Sarah pada ngiri.”

Sarah yang semangat langsung melompat, berlari meninggalkan kami yang masih duduk. Ah, dasar Sarah. Harus didongengin dulu baru mau bergerak. Ya sudahlah, aku pun sudah tidak sabar ingin melihat putri cantik yang dikutuk itu. Maka aku, Papa dan Mama menyusul Sarah yang sudah jauh mendahului kami.



Nda, 170414

MENGAPA AKU MENULIS?





PERTAMA ....

Sebagai seorang ibu rumah tangga dengan seabrek tugas yang tidak akan pernah ada habisnya hingga menjelang malam, aku sering merasakan jenuh. Bosan dan terkadang mencapai titik stres. Bukan hanya soal pekerjaan rumah. Kedua anakku, yang terkenal dengan sebutan Upin-Ipin di komplek perumahan kami, termasuk anak-anak yang super aktif. Tidak bisa diam. Tangannya selalu usil. Mulutnya selalu bertanya. Sedikit-sedikit bertengkar, berteriak, adu jotos (maklum anak laki-laki) juga bawel.

Otak, rasanya mau meledak. Berhamburan ke lantai. Aku yang bukan wanita penyabar, dipaksa melawan amarah yang sudah bergemuruh di dada. Dulu, ketika pertama kali menjalani profesi sebagai ibu rumah tangga, full time ada di rumah dan tidak bekerja lagi sejak melahirkan putri kami satu-satunya, aku masih sering marah-marah. Iya, omonganku kasar. Tanganku juga sering bermain di tubuh kecil mereka, hikkss (jangan dicontoh ya ibu-ibu)

Hingga aku sadar. Jika seperti ini terus, aku akan menjadi wanita terjahat di kehidupan mereka. Aku tidak mau seperti itu.

Sebuah artikel pernah aku baca. Kalimat sederhananya seperti ini, “menulislah, karena dengan menulis anda akan mampu menenangkan jiwa anda sendiri ....”

Set! Seketika hatiku terpanggil. Oh iya, bukannya dahulu aku ini suka menulis. Bagaimana jika aku kembali menulis ya? Maka, segera laptop putih kesayangan suami aku embat. Tiap malam, asyik menulis (waktu itu, setiap pagi sampai malam, laptop selalu dibawa suami kerja)

Menulis apa? Ya apapun ....

Tentang ketiga malaikat kecilku, tentang perjalanan kami ke Pantai Bedul, tentang pernikahan kami delapan tahun lalu, pengalaman suami waktu di PHK, banyak. Saat itu aku masih suka menceritakan kisah keluarga kami. Lama kelamaan, aku mulai bermain imaji. Bercerita tentang kebahagiaan seorang gadis yang akan segera menikah. Lalu dendam seorang wanita tua kepada suaminya yang nikah lagi. Ah, makin lama imajiku semakin liar. Aku suka. Aku terhibur. Hatiku berangsur-angsur tenang.

Mau kerjaan rumah setumpuk apapun, ayo! Lihat Upin-Ipin teriak-teriak karena rebutan mainan, santai aja. Tinggal dideketin, diajak bicara, dilerai, sudah ....hahaha

Melalui sekelumit tulisan sederhana ini, aku mengajak para ibu rumah tangga yang suka menulis namun masih merasa tidak bisa melakukannya. Lihatlah, anakku tiga. Aku juga hidup sendiri tanpa bantuan orang tua ataupun asisten rumah tangga. Tetapi masih bisa menulis di sela-sela tugas rumah. Kenapa? Satu, niat. Dua, karena suka. Tiga, menulis itu banyak manfaatnya.

Dengan menulis aku bisa memahami semua karakter, belajar peka dengan setiap kejadian yang tampak di sekitarku. Ambil positifnya, bagikan dalam sebuah tulisan. Yang negatif, monggo dibuang. Jangan ditiru.

Nah, ayo menulis ^^ dan sebarkan amal dalam tulisan kalian ....
(keep writing ya Emak-Emak, ayo berbagi kebaikan dalam karya!)





Nda, 170414

(loh habis? Mana yang kedua? Hehehe... kalau ada waktu akan kutuliskan alasan kedua, “mengapa aku menulis” bye-bye Emak-Emak cantik J )

Rabu, 16 April 2014

ASTAGHFIRULLOH, AKU HAMPIR MENJADI ISTRI YANG DURHAKA



 

Aku ingat, malam itu hari Sabtu. Saat ketiga anakku telah berkelana di alam mimpi mereka, aku dan suami tengah bermandikan kemesraan di kamar sebelah. Lengan suami melingkar di leherku. Jari jemarinya asyik memilin helai-helai rambut. Sementara aku bersandar di dadanya yang bidang. Menghirup aroma tubuh lelaki yang selama ini sangat kucintai.

“Panda,” desisku memanja.

“Iya beibz, ada apa?” tanya suami lembut.

Sejenak aku memilih diam, masih enggan untuk mengungkapkan pertanyaan. Suami menunggu. Sekali lagi dia bertanya. Hingga akhirnya, kalimat yang sejak beberapa hari lalu tersekat di hatiku, tertumpah juga di bibir.

“Seandainya Bunda dipercaya oleh teman-teman KBM Surabaya untuk menjadi pembawa materi di hadapan peserta lain, bolehkah Bunda terima? Bunda ingin ikut Kopdar bulan depan.”

“Tidak boleh.” Suamiku menjawab mantap. Deg! Seketika hatiku sakit.

“Kenapa?” tanyaku.

“Ya, pokoknya tidak boleh.”

Kuangkat kepala. Dengan mata memelas, kutatap binar wajah suami yang tersinari lampu putih kamar. “Panda ... Bunda ingin serius di kegiatan kepenulisan ini. Bunda ingin maju, ingin berkembang. Dan di Kopdar nanti adalah kesempatan Bunda. Mengapa tidak boleh?”

“Bunda,” sahut suami, “bukankah dulu kamu pernah bilang, jika Bunda sudah mulai terlalu serius dalam menulis, maka Panda berhak menegur. Ingat?”

Deg! Iya memang benar. Aku termakan omonganku sendiri. Tetapi, bukan itu sebenarnya maksud perkataanku saat itu. Lihatlah, walaupun aku menulis dan getol dengan laptop putih, bukan berarti melalaikan tugasku.

Aku tahu bagaimana kodrat seorang wanita itu. Sebagai istri dan seorang ibu. Menulis pun aku lakukan di sela-sela memasak, mencuci, membersihkan rumah, menemani anak-anak menonton televisi, ataupun saat mereka sedang belajar. Aku bahkan masih bisa memainkan jemariku di atas keyboard sambil menggendong Afiqha yang tengah rewel ataupun sedang sakit.

Memang kesalahanku, selama ini jarang mengungkapkan mengapa aku begitu suka menulis. Dan ketika aku sedang semangat bercerita tentang kemenanganku mengikuti event menulis, suami malah tertidur. Hikss ....

Jadi, bagaimana dia bisa tahu bahwa menulis sudah menjadi bagian nafasku. Jika sebagian itu hilang, maka akupun bisa limbung. Padahal dengan menulis aku bisa melupakan trauma batin yang pernah hinggap selama dua tahun di otakku. Juga bisa mengalihkan berbagai pikiran negatif yang singgah tiap waktu di hati. Itulah! Karena itulah menulis itu sangat membantu menenangkan jiwaku.

Dalam beberapa hari aku, hampir menyerah. Apalagi laptopku tidak bisa digunakan. Tiba-tiba, entah disengaja atau tidak, akun user-ku terkunci. Jika mau manggunakan laptop harus menggunakan akun user sang suami yang dikunci dengan pasword pribadi.

Ah, aku bahkan sudah ingin menghapus impian menerbitkan satu buku milikku sendiri. Tiap malam saat suami sudah terlelap, aku sering menangis. Membenamkan segukku yang menggila di sela-sela bantal, agar tidak terdengar olehnya.

“Mbak, jangan menyerah.” Pesan singkat dari Rina Rinz kubaca berulang-ulang. “Memang kita sebagai istri, mengikuti perintah suami adalah hal utama. Sama seperti diriku dulu. Tetapi, jangan menyerah untuk berhenti menulis. Kemampuan Mbak Ajeng itu sudah sejajar dengan diriku. Eman. Mbak punya bakat dan harus diberhentikan begitu saja. Cobalah berbicara baik-baik dengan suami, insya’alloh pasti ada jalan terbaik.”

Bulir-bulir air mataku meleleh. Rina Rinz sangat kejam, membelah kepalaku, dan mengisi otak dengan wejangan-wejangan yang indah. Semua kata-katanya menusuk hatiku.

Iya, dia benar. Aku takkan menyerah!

Maka dengan kelembutan, aku akan takklukan hati suamiku. Walaupun tidak ada laptop, aku masih bisa menggunakan ponsel Blackberry-ku. Atau akan kutulis di buku kecil berwarna biru yang sudah lama nganggur di almari.

Aku berjuang. Berusaha menerima, mengerti dan memahami. Dalam beberapa hari jiwaku terus menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” yang bertubi-tubi menghujam hati. Melawan setitik ego yang telah bangun malam itu. Aku ingin dimengerti. Juga ingin bisa mengerti dirinya.

Pagi sampai sore, saat suami bekerja, kugunakan untuk menulis. Lalu ketika dia pulang, kuputuskan untuk berhenti. Demikian terus kulakukan dalam tiga hari ini. Hingga malam kemarin, saat suami telah merebahkan tubuhnya di peraduan kami dan bercerita tentang kenaikan jabatannya, hatiku terketuk.

Kalian tahu apa?

Jiwaku menangis. Meronta-ronta karena sesal atas kebodohanku sendiri. Iya, aku telah tersadar ... beberapa hari lalu, aku hampir menjadi seorang istri yang durhaka. Tuhan, mengetuk pintu hatuku. Membuatnya berseru-seru, mencabik sisi ego, yang bersarang lama di bilik batinku.

Hei!

Lihatlah perjuangannya selama lima tahun ini. Dia ingin menaikkan roda kehidupan keluarga. Ingin memeperbaiki finansial yang selama ini masih saja ada titik kekurangannya. Tengok dia yang bahkan tidak memeperdulikan kesehatannya sendiri. Pulang kerja hingga malam, untuk menutupi kekurangan keuangan. Dia berubah bukan? Dari lelaki yang pernah berbuat kesalahan, menjadi lelaki yang semakin bertanggung jawab dengan keluarganya. Raba kembali kelembutannya. Sentuh kembali ingatanmu tentang semua kebaikannya.

Lalu kamu? Lihat dirimu sendiri. Kau hanya membuka matamu pada kesalahannya di masa lalu, dan menutup untuk melihat pengorbanannya.

Ah, aku menghela nafas. Selama masih bisa menulis mengapa aku harus berhenti? Mungkin larangan suami diberlakukan karena hari libur adalah waktu dia menikmati waktunya bersamaku dan anak-anak. Tidak ingin kehangatan keluarga ini terganggu hanya karena egoku yang ingin menuruti kesenanganku sendiri. Iyakan? Maka turutilah permintaannya. Bukankah ridho suami adalah ridho Tuhanmu?

Dear Panda, aku telah berdosa besar kepadamu. Nanti jika kau pulang kerja, seluruh cintaku akan mendarat di hatimu. Akan kubuncah semua pengabdianku yang kurang maksimal selama ini. Maafkan Bunda ya, sayang. Karena Bunda berhasil menjadi istri yang khilaf ... janji, ke depannya akan Bunda perbaiki semuanya. Ingin segalanya berjalan sesuai kehendak kita. Yang terbaik, untuk kita bersama ....



Nda, 160414

Selasa, 15 April 2014

NIKMAT DARI ALLAH



 

“Bund, lihat ini,” suamiku yang sedang tertidur di samping, tiba-tiba menyodorkan beberapa lembar kertas. Aku yang sedang asyik bermain Blacberry seketika melirik ke arahnya, mengamati kertas-kertas yang penuh dengan tulisan tercetak tebal itu.

“Apa itu?” tanyaku.

“Lihatlah, dari gaji Panda yang selama ini, sekarang jadi segini.” Jari suami menunjuk sebuah deretan nominal angka, “alhamdulillah ya, Bund?” lanjutnya.

Kulihat angka-angka itu. Jumlahnya lebih besar dari gaji suami.

“Bukan ini saja, Panda juga mendapatkan tunjangan makan dan uang transport setiap hari. Belum lagi tunjangan lain, seperti pengobatan, tunjangan hari tua dan THR, yang selama ini tidak pernah Panda dapatkan. Nanti jika anak-anak sakit dan opname di rumah sakit, kita tidak perlu keluar uang lagi.”

Suamiku terus beceloteh dengan riang, menjelaskan satu persatu manfaat yang telah dia dapatkan dari kenaikan status kepekerjaannya. Dari golongan A menjadi golongan A1.

“Alhamdulillah ...” kusebut kata hamdalah, bersyukur kepada Allah SWT. Yang telah meluluskan perjuangan suami dalam lima tahun.

Selama bekerja di salah satu perusahaan yang bergerak di bidang pakan ternak ternama di Indonesia, PT. JAPFA COMFEED INDONESIA Tbk, suami masih berstatus pegawai kontrakan. Sudah berkali-kali dia mengikuti tes kenaikan status, namun selalu kalah dengan pesaing yang rata-rata bergelar S1. Sedangkan suamiku hanya lulusan Sekolah Menengah Atas.

“Gung, kamu itu sebenarnya memiliki skill yang lebih berkualitas daripada pesaingmu. Hanya saja, bos besar lebih memprioritaskan yang begelar sarjana. Kemampuan Bahasa Inggrismu oke, bahkan melebihi aku. Lalu adminitrasimu juga lumayan, kamu teliti. Cuman ya itu, keputusan bos besar.”

Demikian kata Pak Tony, kepala cabang di Gedangan. Suami hanya pasrah dengan ketidakberuntungannya.

Dua tahun lalu, sempat suami down berat karena kembali tidak lulus. Begitu pulang kerja, badannya lemas. Dari wajahnya tersirat kekecewaan yang besar. Memang sejak kelahiran putri kami, Afiqha, aku sudah tidak bekerja lagi. Dan semua tanggungan hidup dibebankan ke pundak suami seorang diri. Anak tiga, dua diantaranya bersekolah. Uang makan, uang transportasi, cicilan rumah, dan keperluan lainnya. Tetapi suami tidak pernah menyerah. Setiap ada peluang di luar kerja kantor, dia selalu sigap menangkapnya. Ikut teman meretail mobil, bisnis tiket pesawat terbang online, disewa mengantarkan orang ke luar kota, ya apapun itu.

Dia suami yang sangat bertanggung jawab. Dan aku bersyukur memilikinya. Pulang kerja hingga tengah malam, besoknya harus bangun pagi untuk kembali bekerja. Subhanalloh ....

Tahun 2013 suami kembali mengikuti test kenaikan status. Kala itu, dia tidak begitu menaruh besar harapannya. Sekedar mengikuti dan berdoa saja. Jika memang ini adalah rejeki, pasti akan dia dapatkan.

Menunggu lama hingga bulan ketiga tahun ini, akhirnya tiba juga kabar baik itu. Beberapa hari lalu, suamiku Agung Budi Nugroho, telah menandatangani surat perjanjian kerja tertanggal 1 April 2014.

Maka, nikmat mana lagikah yang akan kau dustakan ^^ Allah akan selalu memberi setelah kita berjuang dengan sabar dan tidak berhenti untuk selalu berdoa, meminta kepada-Nya. Cukup percayalah kepada-Nya, karena janji Allah itu nyata.



Nda, 160414

AJARAN BIJAK PAPAKU



  
Aku tahu keluargaku bukan bintang di kampung ini. Papa hanya seorang penjahit lepas. Ada jahitan maka kami akan makan sedikit enak. Jika tidak ada, sudah pasti berhutang menjadi andalan Mama. Sudah sering tetangga datang ke rumah untuk menagih hutang. Dan itu menjadi hal biasa bagi kami berempat, anak-anaknya.

Papa mengajarkan kami hidup sederhana. Nrimo. Dan tidak boleh meminta hal berlebih jika Papa belum mempunyai uang. Kami semua mengerti. Walaupun sepatu sekolahku telah berlubang di ujung jari, atau seragam putih telah menjadi kuning dengan krah yang sobek lipatannya, aku tetap sabar menanti Papa membelikan yang baru. Tas sekolah sering dijahit sendiri oleh Papa dari kain-kain perca. Disambung dengan cantik, membentuk gambar bunga atau sebuah rumah dengan cerobong asap yang mengepul.

Buku tulis sekolah kadang juga kami buat sendiri. Jika buku catatan sudah habis dan Papa belum mampu membeli, dengan telaten Papa menyobek sisa-sisa halaman kosong di buku tulis lama. Semua disatukan, lalu dijahit bagian atasnya. Kata Papa, yang terpenting itu masih bisa digunakan untuk mencatat. Dan lagi-lagi kami semua menerima dengan senang hati.

Pernah suatu ketika, adik terkecilku ingin dibelikan boneka barbie seperti milik anak tetangga. Mendengar rengekan adik, Papa hanya tersenyum saja. Semua kain perca dikumpulkan. Kalian tahu apa yang sedang dibuat Papaku kala itu? Sebuah boneka kain sederhana. Sebuah kain yang agak lebar disumpal dengan kain-kain kecil lalu diikat dengan benang hingga tampak seperti kepala. Bentuknya dibulatkan. Lalu sebuah batang lidi sepanjang jari orang dewasa dikaitkan di bawah leher boneka dan diikat dengan benang. Maka tampaklah itu sebagai tangan yang kurus kering.

Aku tersenyum melihat ide Papa. Tapi tidak berhenti di situ saja loh. Kain-kain lain dipotong membentuk sebuah pola baju, lalu bagian atas dilubangi untuk tempat masuknya kepala. Dan, viola ... jadilah boneka kain dengan bajunya yang panjang.

Kalian ingat dengan boneka penolak hujan dari Jepang yang biasanya digantung di atas jendela? Nah, seperti itulah penampakannya. Hanya saja, boneka kami memiliki tangan sapu lidi dan baju indah bak putri raja.

Pernah juga adik lelakiku meminta pedang mainan. Tanpa babibu, Papa mengambil pisau dapur milik Mama, dan berjalan ke pekarangan belakang. Pohon-pohon pisang itu dahannya ditebas oleh Papa. Lalu daunnya dihilangkan, hingga tersisa batang daun pisang yang panjang.

Dahan itu dipotong. Satu pendek, satunya panjang. Bagian yang pendek ditempelkan di pangkal bagian yang panjang, lalu diikat dengan tali rafia. Maka jadilah pedang pelepah pisang yang gagah.

Begitulah, aku bangga dengan kehidupan kami. Walaupun tetangga banyak yang acuh dan tidak menghiraukan keberadaan kami, itu bukan hal yang perlu dikhawatirkan. Kata Papa, selama sesama saudara rukun, hidup kami pasti akan tenang.

Akhirnya, kamipun mulai belajar mengacuhkan hal-hal yang tidak penting tentang mereka. Walaupun keluarga kami sering dijadikan bahan bergunjing, toh hidup kami selalu ceria. Berempat, kami sering dibilang kompak. Baju kembar. Kainnya sama, hanya berbeda model saja. Tas sekolah juga kembar. Rasanya senang dibilang rukun. Padahal, ada juga loh pertengkaran antar saudara. Sama seperti yang lainnya. Hanya saja, Papa selalu bisa menenangkan hati-hati kami yang masih belia dan mudah terbakar marah.

Ada peribahasa iseng berkata, “susahnya hidup di Jawa” dan aku rasa itu benar (tertawa)

Kebiasaan yang sudah terlanjur hidup di masyarakat kita ini sudah salah kaprah. Mereka hidup senang berkelompok. Yang sering memberi makanan, uang atau apapun, akan semakin dielu-elukan. Dan mereka yang kurang mampu memberi, terkadang disisihkan. Tetapi, lagi-lagi, dengan bijak Papaku berkata, “yang penting, kita tidak pernah menyakiti orang lain, tidak pernah ikut-ikut bergunjing, dan tetap selalu menyapa siapapun jika bertemu muka.”

Ah, Papa. Aku jadi kangen sama dirimu. Semua ajaranmu dulu, kini kuturunkan ke anak-anakku. Berharap mereka juga bisa belajar bersyukur dengan apapun keadaan yang diterima.



Nda, 150414 

PERTEMUAN PERTAMAKU DENGANNYA, PEREMPUAN BERNAMA RINA RINZ



 
Laju kereta api Bima Express melaju dengan tenang. Ah, baru kali ini aku merasa nyaman naik kereta api. Bahkan goncangan tidak kurasakan sedikitpun. Tempat duduknya juga empuk. Hawanya dingin. Selama perjalanan, yang terlihat hanya hamparan hijau sawah, langit yang biru cerah dan wajah semringah gunung yang tinggi menjulang. Benar-benar membuat perasaan tenang selama perjalanan menuju kota apel, Malang.

Kulihat suamiku tertidur lelap. Demikian juga si kecil Fiqha yang asyik duduk di pangkuanku. Sebentar-sebentar para pramusaji menawarkan segelas kopi atau teh hangat. Tetapi aku menolaknya. Sstt ...harganya sangat mahal. Masih mending membuat secangkir kopi sachet seribu rupiah di rumahku sendiri, sambil melototin laptop putih dan menulis cerpen baru.

Itu baru yang namanya gairah hidup!

Setelah hampir dua jam perjalanan, akhirnya sampai juga di Stasiun Kota Baru Malang. Segera kami berlalu meningalkan stasiun dan mencari kendaraan umum.

“Sudah jam berapa, Nda?” tanyaku pada suami setelah hampir sepuluh menit duduk di bangku kendaraan umum yang masih diam di tempat, menunggu penumpang lain. Lama, aku sudah tidak sabar.

“Jam sembilan kurang limabelas menit. Telat gak, Bund?”

“Telat ...,” jawabku sambil mewek. Tanpa pikir panjang lagi, akhirnya kuajak suami untuk menyewa taksi berplat hitam yang banyak nangkring di depan stasiun. Kami berdua turun dari mikrolet biru itu, dan menghampiri seorang bapak berbadan tinggi yang sibuk menawarkan taksinya ke pejalan kaki.

“Pak, ke jalan ini berapa tarifnya?” tanyaku sambil menunjukan sebuah kertas bertuliskan alamat tempat tujuan kami.

“Lima puluh ribu, Mbak.”

Mahal amat, batinku. Tapi, ya sudahlah. Daripada aku terlambat dan tersesat di jalan yang masih asing bagiku ini.

Maka bapak yang ramah dan sopan dalam bertutur kata itupun akhirnya mengantarkan kami ke tempat tujuan, Jalan Bendungan Sigura-gura. Sebenarnya alamat itu tidak terlalu jauh dari stasiun. Hanya saja jalan yang kami lewati arahnya berputar-putar, jadi lebih terlihat jauh. Dalam waktu sepuluh menit saja, tempat makan yang akan dipergunakan untuk acara KOPDAR KBM Malang telah berada tepat di hadapan kami.

Satu persatu wajah-wajah yang selama ini kulihat hanya melalui jejaring sosial itupun menyambut kami dengan ramah. Ada Mbak Wiwied, Mas Agus, Mas Ramaditya, Mas Bemby, Mbak Nia, serta masih ada beberapa lagi.

Sejenak mataku menyapu isi restoran cepat saji itu. Wanita yang menjadi tujuan utamaku untuk datang jauh-jauh dari Sidoarjo masih belum tampak juga batang hidungnya. Di manakah dirinya? Terlambatkah?

Hatiku deg-degan. Cemas. Takut jika wanita itu tidak datang. Bahkan sampai acara yang dinanti tiba, dia belum juga terlihat. Akhirnya kuputuskan untuk segera memasuki ruangan.

Acara dimulai. Semua panitia sudah menempatkan dirinya. Pembukaan acara tidak kuperhatikan. Aku masih gelisah memikirkan wanita itu. Akhirnya kukirim sebuah pesan singkat kepadanya.

“Mbak, ada di mana? Aku sudah masuk ke dalam ruangan. Mbak ikut Kopdar tidak? Kok gak kelihatan, ya?”

Teert! Sebuah balasan datang. “Aku di sini, duduk di bangku paling depan.”

Deg! Jantungku makin berdetak kencang. Di bangku depan? Tempat para panitia duduk dong. Tapi yang mana?

Kusapu masing-masing punggung panitia. Itu Mas Agus, itu Mbak Wiwied dan Mbak Nia. “Apa yang moderator itu, ya?” batinku, berusaha menebak-nebak kuisku sendiri. Bukan! Wajahnya tidak setembem itu di foto Facebook.

Lalu yang mana? ....

Kemudian terlihatlah punggung itu. Melebar dan besar. Wanita berjilbab yang tengah duduk di samping Mbak Wiwied sambil terus sibuk membuka laptop hitamnya. Tunggu, bukankah badan wanita yang kunanti tidak segemuk itu? Aku pun ragu. Sedetik kemudian, wanita itu menoleh ke samping. Membuatku melihat batang hidungnya yang kecil dan mancung, serta matanya yang sedikit menyipit. Aku langsung terharu. Mataku berkaca-kaca. Hatiku ingin meloncat karena senang.

Itu dia! Itu dia!

Iya, itulah pertama kali kulihat sosok nyatanya. Seorang wanita yang tangguh dalam menghadapi dilema rumah tangganya, wanita yang menginspirasiku. Seorang mentor, sahabat tempatku mencurahkan kepenatan, juga seorang pemicu adrenalinku dengan teriakan, “Hei, ayo semangat! Jika dia bisa mengapa kamu tidak? Belajarlah dari dirinya ....”

Maka itulah dia, seorang Rina Rinz, yang hingga kini masih setia mengajakku belajar menulis bersama, dan memompa semangatku agar tidak berhenti di tengah jalan hanya kerena sebuah hambatan. Yang tidak sekali pun sombong atau pun pelit untuk berbagi ilmunya. Barokalloh ya, Bunda Rina ... seneng rasanya bisa mengenalmu. Hehehe.

(peluk cium buat wanita cantik berhidung mancung)


Nda, 150414 


KEBENCIAN GANDHARI



  
Aku tahu kau itu hebat Kunti. Dengan kecantikanmu yang berpendar bak sinar rembulan yang keemasan itu, kau memikat semua hati para pembesar Hastinapura.

Apa kau telah lupa, Kunti? Aku yang tertua di sini. Maka akulah yang lebih pantas mendapatkan kejayaan, dielu-elukan dan dipuja dari pada dirimu. Kau yang datang paling belakang, Kunti. Kau tak berhak berdiri di atas kepalaku!

Lihatlah, aku yang kini hidup dalam kegelapan karena sumpahku sendiri, tak mampu melebihi binar-binar keagunganmu. Aku tahu matamu indah, pasti. Dengannya kau bisa menatap dan berkeling manis pada semua. Semuanya, Kunti. Namun tidak dengan diriku.

Apa aku telah ceroboh, dengan membutakan pandanganku sendiri? Hingga aku pun telah menutup sinar keindahanku...

Ah Kunti, aku hanya ingin berbakti kepada suamiku yang buta itu. Jika yang dia lihat hanyalah kegelapan, maka akan kulihat pula kegelapan itu, tanpa warna yang lainnya. Jika yang dia rasakan hanyalah kehampaan, maka akan kuajak kehampaan itu sebagai bantal tidurku pula.

Tapi kini, kau datang dengan menyedapkan langkahmu di istana yang seharusnya adalah milikku. Lalu kau bangga-banggakan kelahiran putra pertamamu Yudhistira. Membuat Hastinapura berteriak kegirangan. Berpendar bersama para bintang yang menerangi pekatnya malam.

Aku iri, Kunti. Pun juga menyimpan kemarahan yang membuncah teramat terang.

Karena kaulah, suamiku menangis darah karena tahtanya terancam keberadaan anakmu. Sedangkan aku belum mempunyai seorang pun.

Mana seratus anak yang dijanjikan Dewa Siwa akan menjadi keturunanku? Mana ramalan Resi Byasa yang maha sakti itu? Mana! Bahkan setitik benih pun belum berteduh di rahimku. Kosong...

Kunti, kau harus segera dilenyapkan dari istana ini. Harus!

“Kak Sangkuni! Kak Sangkuni!”

“Iya adikku sayang, ada apa gerangan?”

“Aku ingin, kau lenyapkan sinar kesombongan Kunti dari istana ini! Jika tidak, lebih baik kau menjadi kematianku saja!”

“Tanpa diminta pun, dengan senang hati akan kulakukan...”




Nda, 110414

NAMAMU MERAH


Lihatlah dirimu kini. Lusuh, penuh coreng di sana-sini. Tubuhmu yang cantik sudah tak semulus dahulu. Bagian atasmu sudah robek. Menyembul serabut-serabut rambut berwarna kuning kucel. Semakin membuatmu tampak begitu menyedihkan.

Berapa usiamu sekarang? Sebelas tahun?

Ah, iya... Selama itulah kau setia menemani sepasang kekasih yang sekarang telah beranak pinak itu. Mereka mengajakmu menjelajah jalanan Surabaya yang gegap gempita. Menaiki daerah pegunungan di Malang. Mengejar kekasih tercinta ke Lamongan. Pun juga bergembira ria mengarungi jalanan Pantai Balekambang.

Kau adalah pahlawan mereka, Merah!

Lalu sekarang, di usia tuamu, bahkan suami istri itu tak menghargai semua pengorbanan yang pernah hampir membuatmu gila karenanya. Kotoranmu telah setebal tiga sentimeter. Berangkat ke tempat perbaikan pun lima bulan belum tentu pernah terjadi.

Ah, kasihan...

Pernah suatu ketika, karena saking marahnya hatimu, kau memutuskan untuk menghancurkan sebuah rencana. Ya, kau ingat benar hari itu. Di mana pasangan yang saling kasih mengasihi itu saling menggenggam marah. Saling diam dan membuncahkan semua ego yang mengapung deras di antara samudra cinta mereka.

Sang suami pergi, mengancam tak pulang dan membawa kedua putranya pergi berpulang ke rumah orang tua. Lalu sang istri yang tak mau kalah, pun beranjak pergi meninggalkan rumah bersama si mungil cantik yang masih berusia setahun saja belum genap. Dia mengajakmu, berjalan menelusuri jalanan aspal yang tak pernah rata. Menaiki bukit kecil yang melayang ke arah sebuah desa.

Lalu kau merasa lelah. Capai karena usia tua yang tak terurus, pun juga dengan jalanan yang menanjak begitu tajam. Dalam detik-detik menegangkan itu, kau memilih diam. Tak bergerak lagi. Mesin-mesinmu mati. Dan kedua kaki bulatmu tak bisa digerakkan.

Dan wanita tigapuluh tahun itu, hampir pingsan karena kebingungan. Kau macet, anak gadisnya menangis tak henti-henti.

Dirimu pikir dengan kegalauan di jalan kala itu, sang istri akan kapok terhadapmu. Berharap dia melepasmu dalam keheningan, dan mau menggantikan kepemilikanmu pada orang lain yang lebih bisa menghargai dirimu.

Tetapi tidak. Kau gagal, Merah.

Bukannya lupa ataupun marah kepadamu, sang istri malah berucap terima kasih. Dia berkata, jika bukan karena peristiwa pahit itu, dia tak mungkin bisa mengerti. Bahwa lari dari sebuah pertengkaran bukanlah penyelesaian. Malah akan semakin merunyamkan keadaan. Dan dia kapok, lari bersamamu.

Dia hanya ingin kembali kepada rasa cinta. Pun juga semakin memperbaiki keadaanmu.

Merah, entah kini kau bisa dibilang bahagia atau tidak. Yang kutahu, kau kembali cantik dan bersinar. Kau tahu sudah tak mungkin bisa lepas dari kedua manusia yang telah menorehkan banyak kenangan indah bersama dirimu.

Jauh, di lubuk hati mereka, kau adalah kekasih yang tak pernah tergantikan. Mungkin kelak, saat kau mati dan hancur lebur, mereka masih ada bersamamu. Duduk di sampingmu, dan menangisi kepergianmu.

Merah... sungguh, kau adalah pahlawan yang gagah...



Nda, 110414  

LIBUR DALAM CINTA




“Bisa tidak kita libur sebentar dari perasaan ini?” Roy menyibak rambutnya yang gondrong ke arah belakang. Itu sangat membuatku muak. Dia hampir mirip seperti penjajah cinta di jalanan lampu merah, yang selalu menggoda para lelaki hidung belang.

“Libur bagaimana maksudmu?” tanyaku ketus.

“Aku bosan sama kamu. Setiap hari hanya ngomel tentang hobiku.”

“Apa, hobi? Kamu bilang tidur dan bermalas-malasan itu kau bilang hobi?” suaraku mulai meninggi. Kesal dengan ucapan enteng Roy yang seakan tidak perduli dengan perasaanku. Tentang hubungan kami juga. Bukankah kami akan segera menikah? Lalu bagaimana pernikahan ini akan berjalan harmonis jika bekerja saja dia tidak bisa.

Ah, bukan. Sebenarnya bukan tentang apakah Roy bisa kerja atau tidak. Sudah sering Roy diterima di beberapa perusahaan, tetapi ujung-ujungnya selalu sama. Kerja sebulan dua bulan, berhenti. Beralasan tidak cocok dengan si bos-lah. Atau tidak sepaham dengan rekan kerjanya-lah. Ih, banyak sekali alasan yang dia borong. Entah, terkadang aku heran. Dari mana dia kulak segitu banya alasan buat stok. Apa di pasar loakan ya?

Sebal!

“Loh, jangan dikira aku tidur itu bukannya sedang tidak bekerja, Nes. Aku sedang mencari inspirasi. Tahukan apa arti ins-pi-ra-si itu?”

Aku melotot. Roy cuek. Dia malah lebih asik dengan gedget daripada melihat mataku yang mendelik bulat ke arahnya.

Memang benar, Roy ini adalah seorang penulis lepas. Sedikit banyak, dia menghasilkan uang dari hasilnya menulis. Tetapi, apakah dengan begitu saja mampu menghidupi rumah tangga kami kelak? Apa menulis itu bisa menjamin segala keperluan kami? Hei, ini masalah masa depan. Bukan sebuah mainan. Kau tahu benar itu ...

“Roy, aku butuh penghasilan yang setiap bulan pasti! Bukannya seperti ini. lihalah dirimu. Kau bahkan tidak memperdulikan penampilanmu!”

“Ah, sudahlah Nes!” Roy memekik, “pokoknya, saat ini aku ingin libur!”

Aku tersentak dengan ucapan Roy yang sudah berteriak kasar itu. Hatiku kesal. Egoku juga semakin meninggi. “Ya sudah! Tidak usah pake libur segala. Kita putus!”

Setelah berkata demikian aku beranjak dari ruang tamu rumah Roy. Pergi berlalu meninggalkan lelaki egois yang sedang bergeming dari tempat duduknya. Dia, kekasih yang sudah dua tahun bersamaku, tidak memperdulikan keputusanku lagi.

Ah, biarlah. Aku masih bisa mencari yang lebih baik dari dia. Lelaki yang tak tahu diuntung. Diajak ke jalan yang lebih baik saja susah amat. Huh!

***

Kekasihku berlalu pergi. Hati ini sebenarnya ingin mengejar dan berkata maaf kepada Nessa. Namun ego masih bertengger kuat dengan kuku-kukunya yang tajam, mencengkeram hatiku. Buat apa aku terus bersama dirinya jika dia tidak mau mengerti siapa sejatinya diriku. Tentang mimpiku. Juga tentang sesuatu yang sudah menjadi bagian dari duniaku.

Nessa memang wanita yang baik. Bahkan sangat baik. Hanya saja, ada satu titik yang entah bagaimana dunia di situ tidak bisa menerima keberadaanku.

Aku seorang penulis. Impianku besar. Dan aku ingin menjadi salah satu yang bersinar di dunia ini melalui sebuah nama yang tercetak di buku-buku best seller.

Roy Bratayuda. Kau bisa membayangkan bukan? Itu sangat indah ...

Jika dia benar mencintaiku dan akan hidup bersama hingga kematian menjemput salah satu dari kami, seharunya dia mengerti benar akan perasaan ini bukan? Ah! Menyebalkan sekali kau Nessa.

Satu menit ... dua menit ...

Akhirnya tanpa babibu lagi, kubanting gadget hitamku ke sofa biru. Dengan lesat, kukejar wanita yang sudah begitu banyak mengisi suka duka di hati itu. Nessa, please ...ayo kita saling memberi kesempatan pada diri masing-masing untuk memperbaiki yang salah selama ini.