Rabu, 16 April 2014

ASTAGHFIRULLOH, AKU HAMPIR MENJADI ISTRI YANG DURHAKA



 

Aku ingat, malam itu hari Sabtu. Saat ketiga anakku telah berkelana di alam mimpi mereka, aku dan suami tengah bermandikan kemesraan di kamar sebelah. Lengan suami melingkar di leherku. Jari jemarinya asyik memilin helai-helai rambut. Sementara aku bersandar di dadanya yang bidang. Menghirup aroma tubuh lelaki yang selama ini sangat kucintai.

“Panda,” desisku memanja.

“Iya beibz, ada apa?” tanya suami lembut.

Sejenak aku memilih diam, masih enggan untuk mengungkapkan pertanyaan. Suami menunggu. Sekali lagi dia bertanya. Hingga akhirnya, kalimat yang sejak beberapa hari lalu tersekat di hatiku, tertumpah juga di bibir.

“Seandainya Bunda dipercaya oleh teman-teman KBM Surabaya untuk menjadi pembawa materi di hadapan peserta lain, bolehkah Bunda terima? Bunda ingin ikut Kopdar bulan depan.”

“Tidak boleh.” Suamiku menjawab mantap. Deg! Seketika hatiku sakit.

“Kenapa?” tanyaku.

“Ya, pokoknya tidak boleh.”

Kuangkat kepala. Dengan mata memelas, kutatap binar wajah suami yang tersinari lampu putih kamar. “Panda ... Bunda ingin serius di kegiatan kepenulisan ini. Bunda ingin maju, ingin berkembang. Dan di Kopdar nanti adalah kesempatan Bunda. Mengapa tidak boleh?”

“Bunda,” sahut suami, “bukankah dulu kamu pernah bilang, jika Bunda sudah mulai terlalu serius dalam menulis, maka Panda berhak menegur. Ingat?”

Deg! Iya memang benar. Aku termakan omonganku sendiri. Tetapi, bukan itu sebenarnya maksud perkataanku saat itu. Lihatlah, walaupun aku menulis dan getol dengan laptop putih, bukan berarti melalaikan tugasku.

Aku tahu bagaimana kodrat seorang wanita itu. Sebagai istri dan seorang ibu. Menulis pun aku lakukan di sela-sela memasak, mencuci, membersihkan rumah, menemani anak-anak menonton televisi, ataupun saat mereka sedang belajar. Aku bahkan masih bisa memainkan jemariku di atas keyboard sambil menggendong Afiqha yang tengah rewel ataupun sedang sakit.

Memang kesalahanku, selama ini jarang mengungkapkan mengapa aku begitu suka menulis. Dan ketika aku sedang semangat bercerita tentang kemenanganku mengikuti event menulis, suami malah tertidur. Hikss ....

Jadi, bagaimana dia bisa tahu bahwa menulis sudah menjadi bagian nafasku. Jika sebagian itu hilang, maka akupun bisa limbung. Padahal dengan menulis aku bisa melupakan trauma batin yang pernah hinggap selama dua tahun di otakku. Juga bisa mengalihkan berbagai pikiran negatif yang singgah tiap waktu di hati. Itulah! Karena itulah menulis itu sangat membantu menenangkan jiwaku.

Dalam beberapa hari aku, hampir menyerah. Apalagi laptopku tidak bisa digunakan. Tiba-tiba, entah disengaja atau tidak, akun user-ku terkunci. Jika mau manggunakan laptop harus menggunakan akun user sang suami yang dikunci dengan pasword pribadi.

Ah, aku bahkan sudah ingin menghapus impian menerbitkan satu buku milikku sendiri. Tiap malam saat suami sudah terlelap, aku sering menangis. Membenamkan segukku yang menggila di sela-sela bantal, agar tidak terdengar olehnya.

“Mbak, jangan menyerah.” Pesan singkat dari Rina Rinz kubaca berulang-ulang. “Memang kita sebagai istri, mengikuti perintah suami adalah hal utama. Sama seperti diriku dulu. Tetapi, jangan menyerah untuk berhenti menulis. Kemampuan Mbak Ajeng itu sudah sejajar dengan diriku. Eman. Mbak punya bakat dan harus diberhentikan begitu saja. Cobalah berbicara baik-baik dengan suami, insya’alloh pasti ada jalan terbaik.”

Bulir-bulir air mataku meleleh. Rina Rinz sangat kejam, membelah kepalaku, dan mengisi otak dengan wejangan-wejangan yang indah. Semua kata-katanya menusuk hatiku.

Iya, dia benar. Aku takkan menyerah!

Maka dengan kelembutan, aku akan takklukan hati suamiku. Walaupun tidak ada laptop, aku masih bisa menggunakan ponsel Blackberry-ku. Atau akan kutulis di buku kecil berwarna biru yang sudah lama nganggur di almari.

Aku berjuang. Berusaha menerima, mengerti dan memahami. Dalam beberapa hari jiwaku terus menjawab pertanyaan “mengapa” dan “bagaimana” yang bertubi-tubi menghujam hati. Melawan setitik ego yang telah bangun malam itu. Aku ingin dimengerti. Juga ingin bisa mengerti dirinya.

Pagi sampai sore, saat suami bekerja, kugunakan untuk menulis. Lalu ketika dia pulang, kuputuskan untuk berhenti. Demikian terus kulakukan dalam tiga hari ini. Hingga malam kemarin, saat suami telah merebahkan tubuhnya di peraduan kami dan bercerita tentang kenaikan jabatannya, hatiku terketuk.

Kalian tahu apa?

Jiwaku menangis. Meronta-ronta karena sesal atas kebodohanku sendiri. Iya, aku telah tersadar ... beberapa hari lalu, aku hampir menjadi seorang istri yang durhaka. Tuhan, mengetuk pintu hatuku. Membuatnya berseru-seru, mencabik sisi ego, yang bersarang lama di bilik batinku.

Hei!

Lihatlah perjuangannya selama lima tahun ini. Dia ingin menaikkan roda kehidupan keluarga. Ingin memeperbaiki finansial yang selama ini masih saja ada titik kekurangannya. Tengok dia yang bahkan tidak memeperdulikan kesehatannya sendiri. Pulang kerja hingga malam, untuk menutupi kekurangan keuangan. Dia berubah bukan? Dari lelaki yang pernah berbuat kesalahan, menjadi lelaki yang semakin bertanggung jawab dengan keluarganya. Raba kembali kelembutannya. Sentuh kembali ingatanmu tentang semua kebaikannya.

Lalu kamu? Lihat dirimu sendiri. Kau hanya membuka matamu pada kesalahannya di masa lalu, dan menutup untuk melihat pengorbanannya.

Ah, aku menghela nafas. Selama masih bisa menulis mengapa aku harus berhenti? Mungkin larangan suami diberlakukan karena hari libur adalah waktu dia menikmati waktunya bersamaku dan anak-anak. Tidak ingin kehangatan keluarga ini terganggu hanya karena egoku yang ingin menuruti kesenanganku sendiri. Iyakan? Maka turutilah permintaannya. Bukankah ridho suami adalah ridho Tuhanmu?

Dear Panda, aku telah berdosa besar kepadamu. Nanti jika kau pulang kerja, seluruh cintaku akan mendarat di hatimu. Akan kubuncah semua pengabdianku yang kurang maksimal selama ini. Maafkan Bunda ya, sayang. Karena Bunda berhasil menjadi istri yang khilaf ... janji, ke depannya akan Bunda perbaiki semuanya. Ingin segalanya berjalan sesuai kehendak kita. Yang terbaik, untuk kita bersama ....



Nda, 160414

Tidak ada komentar:

Posting Komentar