Selasa, 01 April 2014

TEMUI AKU KALA SENJA


“…cinta Anne, harus segera diakhiri, Bang, harus!”



Bang, mengapa kau tak datang jua. Bukankah engkau yang membuat janji bertemu di gubuk tengah sawah ini. 

Tak tahukah kau Bang, aku kesepian menanti. Bahkan senja sudah hampir menghilang namun sosokmu tak jua kunjung datang. Apa kau telah merubah pikiran? Sudah tidak ada lagikah keberanian yang mengajakku untuk lari?

Ke manakah engkau pergi? Aku begitu merindukanmu. Tolong, cepatlah datang dan selamatkan aku dari rasa takut ini. 

Tolong aku Bang, mungkin kekasihmu ini akan mati…

***

“Mak, Mamak! Anne ada di mana? Mengapa dari tadi sore aku tak lihat anak itu sama sekali?”

Bapak berteriak parau. Sudut-sudut rumah telah ditelusuri, namun tetap tidak menemukan sosok anak gadis satu-satunya itu. 

Mamak lari tergopoh dari halaman depan. Mulutnya monyong-monyong, tengah penuh dengan kue bingke. Sambil terus mengunyah, Mamak menjawab pertanyaan Bapak, “mana aku tahulah, Pak. Sedari sore aku sudah repot membantu Wak Cuah memasak bingke.”

“Ah, kau ini. Tidak perhatian sama sekali dengan anakmu. Ini sudah hampir malam, seharusnya gadis penakut itu sudah berada di dalam kamarnya, belajar.”

“Ah sudahlah, Pak. Mungkin juga lagi main ke rumah si Wati. Biasalah, anak muda.”

Setelah berkata, Mamak kembali melesat keluar rumah menuju rumah Mak Cuah. Sedangkan Bapak masih saja bingung, khawatir dengan keberadaan sang anak.

Malam semakin larut. Sudah pukul sembilan malam. Namun Anne belum juga pulang. Mamak sudah mendengkur di kamar tidur. Seakan tidak peduli dengan keadaan anak gadisnya. Beda dengan Bapak, yang masih menunggu di halaman depan, sambil menyedot belasan batang rokok.
 
Hatinya gelisah.

Sementara itu, jauh di sebuah bangsal tentara angkatan darat, dua orang pemuda tengah berbisik-bisik dalam sunyi. Suaranya dipelan-pelankan, berharap tak seorang pun tahu apa yang sedang mereka ucapkan.

“Bagaimana, Ru? Apa kau sudah..”

“Ssstt.. Cukup sampai di situ sajalah kau bercuap, Wan. Nanti ada yang mendengar kita.”

“Lalu hasilnya bagaimana?”

“Aman. Semua sudah beres.”

Pemuda berkulit putih bertubuh ramping, menganggukkan kepalanya, “bagus, kau selalu bisa dihandalkan bro.”

Sedangkan pemuda satunya yang berkulit lebih gelap, nyengir menunjukan deretan gigi yang sudah kuning.

Mereka berdua tersenyum puas. Merasa kemenangan kini berpihak kepada keduanya.

***

Malam lekat telah berlalu pergi. Berganti fajar merah yang menangis sedu di antara Lembah Harau. Sawah menguning masih sepi melengang. Hanya terdengar hiruk pikuk burung gereja yang saling bercerita tentang sosok gadis setengah telanjang di dalam gubuk.

Mati.

Meninggalkan sebuah tanya pada kisah janin dua bulan yang tengah dikandung dalam dekap rahimnya. Juga pada Sang Malaikat Maut dari dusun mana yang tega menculik paksa nyawa sang gadis…

Anne, telah dijemput kematian, memetik tuah cintanya sendiri…



Nda, 100314


Tidak ada komentar:

Posting Komentar