Sabtu, 31 Oktober 2015

CINTA


 

Kisah Terlarang ...

 

“Kapan kau akan menikah?” tanya kekasihku. Matanya nanar. Aku tahu beban kecewa tengah merasuki jiwa kosongnya.

“Dua bulan lagi,” jawabku melemah. Sesak rasanya karena harus jujur kepada kekasih yang telah lama mendampingiku selama dua tahun ini.

Bulir air matanya menggenang.

“Mengapa tak kau tolak saja pernikahan itu, Ca? Apa kau sudah tak mencintaiku lagi?”

“Aku tak mampu menolak, Re ... Mamakku sudah sakit parah!” kupekik kekecewaan. Tidak seharusnya perasaan itu tertumpah pada dirinya yang tak bersalah.

“Jadi kau lebih mencintai Mamakmu, lalu mencampakkan aku ... Iya?!”

“Re, jangan ngomong seperti itu, please. Kau pun sebenarnya tahu, bukan, aku tak berdaya sama sekali ....”

Wajah kekasihku kembali sayu. Tangis yang tertahan sejak, akhirnya tumpah juga. Kupeluk dirinya erat. Berusaha menenangkan jiwanya yang kini tengah rapuh karena ketidakberdayaan kami.

Aku yang terlalu takut menolak perjodohan keluarga, dan dirinya yang memendam kenyataan. Sejak awal hubungan ini, sudah jelas kami takkan bisa menyatu. Kini, kami hanya bisa saling menguatkan batin masing-masing.

“Ca, apa setelah ini kita masih bisa bertemu?”

“Bisa, Re ..., pasti bisa.”

“Jangan pernah tinggalkan aku.”

“Tidak akan. Walaupun aku menikah, bukan berarti cintaku padamu telah hilang. Kita satu. Kau dan aku sudah terpaut takdir yang tidak akan bisa dimengerti oleh mereka.”

Kekasihku tersenyum. Bibirnya yang merona membuatku semakin berdebar. Dia cantik, seindah bulan yang bulat sempurna. Setiap cinta yang dia dekapkan di hatiku begitu sedap. Pengertiannya, kelembutannya, perhatiannya ..., semua. Begitu nikmat menjerat bilik-bilik hati yang sudah lama dikecewakan oleh banyak lelaki.

“Re, aku cinta padamu ....”

“Aku juga, Ca. Dan selamanya hanya akan ada namamu di hatiku.”

Kukecup kening kekasihku. Hangat.

“Re, bagaimana jika kau menikah juga, seperti aku. Temukanlah lelaki yang baik untukmu. Bangunlah keluarga yang bahagia.”

Mata kekasihku masih menggantung tanya.

“Aku, menikah? Haruskah itu?”

Aku mengangguk cepat. Tersenyum hangat kepadanya.

“Harus, Re. Karena kita adalah seorang wanita. Menikah dan membangun rumah tangga adalah kewajiban yang telah dipatri secara paksa sebagai kodrat kita. Kau mengerti, bukan?”

“Ah, kau benar. Wanita yang tak menikah akan dikucilkan oleh masyarakat kita yang kolot. Baiklah, aku akan mencari pria yang mau kunikahi. Yaa ..., walaupun itu tak mudah bagiku memilih satu di antara banyak pria yang sangat kubenci itu. Tapi, sebelumnya aku punya permintaan, Ca.”

“Permintaan, apa itu?”

“Berjanjilah. Jika suatu saat kau melahirkan anak dari lelaki itu, maka ijinkan aku ikut memilikinya, ya? Please ..., sudah lama aku ingin menjadi ibu. Tapi kau tahu, kan, aku sangat membenci lelaki. Jadi tak mungkin aku memiliki anak dari mereka. Ya?”

Aku mengangguk. Dia tersenyum.

Pelukan Reyna semakin erat. Kubelai rambutnya yang lurus sebahu itu. Aroma vanila bercampur mint, menyeruak di cupingku. Lalu, dalam senja yang hampir mati, aku dan dirinya kini semakin mengerti bahwa cinta tidak akan pernah bisa terpisahkan walaupun takdir berkata lain pada kami.

 

Lelakiku, Habib ...

 

“Ca, aku kangen. Bisa ketemu gak malam ini?”

Sebuah pesan singkat kuterima dari Reyna. Sejenak aku meragu. Bimbang. Tak tahu harus kubalas dengan kata-kata apa.

Pernikahanku dengan Habib bisa dibilang bahagia. Dia lelaki yang baik dan sopan. Soleh. Tak pernah sekali pun marah, walau sering kubuat hatinya naik pitam. Habib sangat sabar menghadapi sifat kekanak-kanakkanku.

Setiap subuh dia selalu membangunkan aku dengan lembut. Mengecup kening dan berbisik mesra di cuping.

“Bunda, ayo bangun. Malu dong sama sang fajar, jam segini dia sudah menekuk subuhnya kepada Allah.”

Awalnya aku marah. Bahkan almarhum Mamak tidak pernah berani membangunkan lelapku di kala pagi. Habib sering kuomeli panjang lebar. Menggerutu tak jelas. Tetapi dia bukanlah lelaki yang mudah menyerah. Walaupun aku bangun dengan menyungging manyun dan bertampang dongkol, dia tetap memelukku erat. Mencoba meredakan amarahku.

“Bunda kalau cemberut tambah terlihat cantik, deh.” Demikian rayunya.

Tidak hanya itu ulah Habib. Setiap pukul tujuh malam, setelah menunaikan sholat isya’, dia selalu mengajarkan aku mengaji. Satu persatu ayat Allah yang terucap dari bibirnya, menusuk-nusuk hatiku. Suara Habib merdu. Lantunan surah-surah itu semakin terdengar indah di telinga.

Sungguh, perasaan tentram seperti ini belum pernah kurasakan sebelumnya. Selama ini jiwaku hanya diisi dengan kebencian dan amarah, kepada semua lelaki yang telah mengkhianati cintaku. Hingga akhirnya datanglah sumpah itu, bahwa selamanya aku takkan mau mencintai lelaki lagi.

Lama perjalanan hidupku berayun pada dosa. Berkelana mencari keindahan cinta pada hati seorang wanita bernama Reyna. Perhatiannya membuatku luluh. Cintanya yang sewangi aroma vanila dan mint itu membuatku lupa, bahwa kami telah melakukan dosa besar.

Astaghfirulloh ....

Air mataku berlinang deras. Sesak rasanya. Membuncah ke seluruh ujun-ujung sukma yang telah menyebarkan aroma api Neraka Jahanam.

Iya, aku harus mengakhiri ini. Semua kesalahan yang telah membuatku durhaka kepada agamaku. Kepada Tuhanku.

“Ya Allah, ampunilah aku ...,” desisku melirih.

“Bunda, kenapa kok tiba-tiba menangis?” Habib datang mendekat. Jemarinya yang hangat mengusap lelehan air mata.

Kutatap lelaki pilihan Mamak itu. Aku sadar, Tuhan telah memberikan amanah yang besar. Dari jiwa suamiku inilah tangan-Nya bekerja. Menegur kesombonganku sebagai manusia. Mungkin saat itu Dia berkata, “Ingatlah Oca, siapa Penciptamu!”

Kudecap sekali lagi istighfar di dalam hati. Habib meraih tubuhku dan memeluknya. Aku menangis kencang. Membuang semua penyesalan di bahu suami tercinta. Karena dirinya-lah yang telah mengenalkanku akan rasa cinta kepada Tuhan ....

 

Perempuan yang Terluka ...

 

Malam yang begitu senyap di antara kami berdua. Keheningan yang mencekik. Aku dan Reyna terduduk pada sudut salah satu cafe di kota kami. Tempat yang selalu kujadikan saksi, untuk pertemuan-pertemuan yang memabukkan bersamanya.

Kulihat Reyna meremas jemarinya yang lentik. Matanya basah. Menandakan hati lembut yang selalu terjaga tidurnya itu, kini tengah tercabik-cabik. Untuk kedua kali.

“Kau pernah ngomong, kan, kita masih bisa saling bertemu. Lalu kenapa sekarang kau bilang semuanya telah berakhir?” Bibir merahnya digigit. Kedua katup itu sudah bergetar sejak tadi.

“Bukan begitu, Re. Hanya saja ....”

“Hanya saja apa! Kau telah berubah, Ca!” Reyna memekik. Bola matanya memerah. Aku bisa memaklumi kepedihannya.

Iya, aku memang sudah jauh berubah. Bahkan saat ini aku telah menutup auratku dengan jilbab. Sesuatu yang tak disukai oleh Reyna. Ah, apalagi yang tak dibenci olehnya pada diriku kini? Tidak ada!

Kopi kami dingin, terbiarkan begitu saja tanpa terminum sedikit pun. Reyna masih terbungkam dalam kemarahan. Memelototkan mata bulatnya yang cantik ke arahku. Mulutnya masih bergetar, seperti hendak segera melontarkan umpatan namun ditahan.

“Maafkan aku, Re. Ini sudah bukan jalanku lagi. Seharusnya kau juga. Segeralah menikah dan bangun keluarga yang baik sepertiku.”

“Bukan jalanmu lagi? Lalu bagaimana denganku, memangnya aku bisa hidup tanpamu?”

Reyna menggertakkan giginya. Geram. Aku semakin iba melihatnya. Kuraih jemari Reyna yang sedari tadi masih dimainkan. Dingin, hampir sebeku kabut pagi yang mengambang di antara rerumputan.

“Re, apa yang telah kita lakukan selama ini salah. Itu semua dosa. Sudah waktunya bagi kita bertaubat dan kembali ke jalan-Nya. Umur tidak bisa kita tebak, Rey. Siapa tahu besok kita mati dan belum sempat memohon ampunan-Nya.”

Re menepis tanganku dengan kasar.

“Siapa yang telah merubahmu? Lelaki itukah, yang sudah kau nikahi enam bulan lalu? Dasar pengkhianat!”

“Re ....”

“Akh, cukup! Kau pikir semua jalan hidup itu mudah untuk diperbaiki begitu saja? Tidak, Ca! Mungkin iya bagimu, kau bisa bahagia bersamanya. Tapi tolong ..., buka matamu. Lihat aku. Lihatlah apa yang telah kualami selama ini tanpa kau di sisiku!”

Dia bangkit dari kursi, berdiri membelakangiku, lalu mengangkat kemejanya tinggi-tinggi. Aku tersentak. Sebuah lebam yang melebar di punggung Reyna, tertangkap oleh mataku.

"Lihat ini! Siksaan inilah yang kudapat dari pria itu. Pria yang kudapatkan agar bisa menikah dan membangun rumah tangga. Demi siapa? Demi kau! Ini permintaanmu, bukan?!"

Jiwaku seketika menjadi kerdil. Terluka. Tak mampu lagi menatap bekas luka yang diderita oleh Reyna.

"Kau enak, Ca. Kau bisa berpaling dan mencampakkan aku! Kau bahagia, sedangkan aku tidak!"

Teriakan-teriakan Reyna semakin kencang. Tangisannya membuncah. Membuat pengunjung cafe memperhatikan. Semua mata, menghujam keras ke arah kami ....

 

Jeda ...

 

Hari-hari telah berlalu. Menggulung berminggu-minggu. Kisah tentang Reyna telah menghilang bagaikan ditelan kebenciannya di malam itu. Tak satu pun suara dering telepon dari Reyna. Senyap. Dalam hati sebenarnya aku mengkhawatirkan dia. Tetapi aku telah berjanji, cukuplah sudah lembaran hitam bersama Reyna kututup saat ini juga.

“Ngelamun apa, Bund?” tanya Habib. Dia sudah berdiri di sampingku.

“Tak ada.”

“Jika tak ada, ngapain Bunda diam di teras malam-malam begini?”

Aku mengulum senyum. Pahit.

“Aku hanya teringat akan sahabatku, Reyna, Yah.”

“Sahabat? Yang mana? Kok Ayah tak pernah tahu nama Reyna sebelum ini?”

Deg! Ah, aku telah salah mengucapkan nama Reyna. Memang tak satu pun keluarga atau kawan-kawan lain yang pernah kuperkenalkan padanya. Itu aturan main kami berdua. Hei, kami sedang melakukan hubungan gelap yang hina. Tak mungkin kami berdua mengenalkan pasangan kami dengan begitu mudahnya.

“E-ehm, anu ... I-itu ...,” aku tergugup.

Kulihat kedua alis Habib mengernyit tajam.

“Ah, maksudku, Reyna itu sahabat lama yang baru saja kembali bertemu tadi malam.”

“Ooohh ....”

“Ayah tenang saja. Bunda tak sedang memikirkan hal-hal aneh kok.”

Habib tersenyum. Hatiku meluluh.

“Kita masuk, yuk? Sudah malam. Nanti Bunda bisa sakit karena terkena angin.”

Aku mengangguk. Dengan gontai, kuikuti langkah Habib memasuki rumah kami. Dalam hati aku mendecap sebuah doa teruntuk Reyna, semoga dia akan baik-baik saja. Di sana. Entah, di mana pun dia kini berada.

 

 

Mati ...

 

“Ayah ..., cepet. Sakiitt ....”

Aku terus merintih kesakitan. Mobil kami tak bisa melaju kencang. Jalanan pagi ini lumayan ramai. Perutku yang membuntal sudah menusuk-nusuk sejak tadi. Rasa sakit yang tak tertahankan itu mulai menyerang dalam hitungan setiap sepuluh menit sekali.

“Sabar, Bund. Istighfar. Minta sama Allah supaya rasa sakitnya reda,” kata Habib. Nada suaranya terdengar gugup. Aku yakin sekali dia pun tengah bingung dan cemas saat ini.

“Mana bisa reda, Ayaaah. Makin lama akan makin pendek jarak kontraksinya. Aduuh please ..., cepetan nyetirnya!”

“Iya, Bunda ... Iya. Ini sedang diusahakan cepet.”

Sakitku melilit. Aku terus menggeliat. Bahu kursi mobil kuremas sekuat tenaga. Berharap semua ini cepat berlalu, agar aku bisa istirahat dengan tenang.

 

***

 

Putri pertama kami lahir dengan sehat. Namanya Shifa. Wajahnya secantik bulan yang tengah mengintip kami di balik kaca jendela rumah sakit.

Habib tertidur di sisiku. Tangannya masih setia menggenggam jari-jemariku. Hangat. Kubelai rambutnya yang ikal dan tebal. Kasar. Tak terasa, air mataku menetes perlahan.

Hening. Entahlah. Aku merasakan suatu keheningan yang menusuk. Sakit dan perih. Menyesakkan. Perasaan apa ini? Mengapa sebuah rasa yang tak enak muncul begitu saja di hari yang bahagia ini?

Hei, ada apa? katakan padaku!

Suara langkah kaki yang berat datang ke kamar kami. Seorang perawat bertubuh sintal menghampiri. Dia memohon ijin padaku agar diperbolehkan membangunkan Habib. Aku mengangguk. Saat suamiku telah terbangun dari mimpinya, perawat itu menggiringnya menjauh dari ranjangku.

Sayup-sayup terdengar sebuah perbincangan. Kuintip mereka dari balik tirai panjang yang melingkar di atas ranjang. Untuk sesaat, Habib sempat menoleh ke arahku. Rona wajahnya memucat. Kecemasan tampak menggantung di sana.

Perasaan yang menusuk sejak tadi, kini terasa semakin dalam. Dadaku bergemuruh. Panik. Ada apa? Lalu, tanpa berkata sepatah kata pun, Habib melesat pergi bersama perawat itu.

Hilang. Meninggalkan aku sendirian, yang hampir mati terbunuh oleh rasa sakit di dada.

 

***

 

Aku pernah membaca, seseorang berkata dalam tulisannya. Bahwa dosa dan semua kesalahan-kesalahan yang kita lakukan di dunia, bagaikan hutang. Suatu waktu kita harus membayarnya. Entah saat masih hidup di dunia, atau membayarnya saat kita sudah ada di alam baka.

Celoteh itu benar. Sekarang, inilah hutang yang harus kubayar. Shifa menghilang. Diculik. Awalnya kami tak tahu siapa yang tega mencuri bayi kecilku itu. Namun setelah ditemukan sepucuk surat yang terselip di ranjang bayi, aku tahu ... inilah balasan atas kesalahanku padanya.

“Kau boleh pergi dan meninggalkanku begitu saja, Ca. Tapi sebagai gantinya, kuambil apa yang sudah kau janjikan. Anakku!”

Ah, Reyna ... Akhirnya kau datang juga menagih dosa-dosa yang telah kuperbuat padamu. Kau berhasil membunuhku sekarang. Lihatlah, aku mati di sini. Diam, dan bisu. Terduduk di teras rumahku, sambil melihat senja yang dulu pernah kita nikmati bersama. Jiwaku kosong. Kau telah membawanya pergi. Jauh. Tanpa mampu kukejar lagi.

 

 

 

 

Februari – 2014

SUARA MISTERIUS


Rei, aku ada di sini. Kau tak lihat aku?

Kemarilah, Rei. Di sini dingin ....

 

Sayup-sayup gadis itu mendengar namanya disebut berkali-kali. Sebuah suara yang lindap. Pelan tapi mencekik. Dada Rei berdegup. Semakin kencang seolah ingin retas.

 

Rei, jangan tinggalkan aku. Jangan pergi sendiri. Aku kesepian, Rei.

Dingin ... Huuh ... Huuh ....

 

 Kini, tangisan yang menyayat mulai terdengar. Telinga Rei meradang. Rasa takut mulai mukik ke dada gadis itu.

 

“Siapa itu?!” teriaknya lantang.

 

Hening.

 

Ia mundurkan langkahnya beberapa. Kegelapan yang menggagahi sekelilingnya masih menghitam pekat. Hembusan angin merengkuh tubuhnya yang entah kenapa tiba-tiba saja sudah basah kuyup. Rei menggigil.

 

Tangisan itu terdengar kembali.

 

“Siapa kau? Jawab! Siapa kau?!”

 

Tangisan itu menjadi diam.

 

Kau tak ingat aku, Rei?

 

Rei menggeleng.

 

Tengoklah ke belakang, Rei. mendekatlah pada pohon maple yang kau gunakan sebagai tempat menunggu cintamu. Kemarilah, Rei. Lihat aku ....

 

Gadis itu menelan ludahnya dalam-dalam. Ketakutannya masih kuat.

 

Jangan takut, Rei. Kemarilah, lihat aku.

 

Pelan-pelan, Rei maju. Menghampiri pohon maple yang hampir gersang karena musim gugur. Dedaunan kuning tua yang jatuh meranggas terinjak kaki-kaki Rei. Sinar mentari mengintip gadis itu dari sela-sela bayangan pepohonan. Lindap. Langkah Rei terhenti. Ia menyapu sekitarnya dengan bola mata yang berkesap-kesip. Mencoba mencari sosok yang sedari tadi memanggil namanya.

 

Pelan-pelan, halimun yang sedari tadi menyelimuti permukaan danau, menyibak. Seonggok tubuh mengambang. Jantung gadis itu meledak. Matanya membuntang. Samar-samar ia teringat kembali tentang sebuah siluet kenangan semalam.

 

Saat ia menanti kekasihnya di bawah pohon maple dekat Danau Angsa untuk kabur bersama, tiba-tiba seseorang menambatkan tali di lehernya. Ia tercekik. Napasnya terputus-putus. Lemas, lalu jatuh, terbenam bersama dedaunan kering.

 

“Kau pantas mati! Siapa yang mau lari sama kamu, hah?! Kau itu aibku, tak mungkin aku mau meninggalkan kekayaan papaku demi gadis miskin seperti kamu!”

 

Suara lelaki yang menggema. Mata Rei meleleh sudah.

 

Jumat, 30 Oktober 2015

SUATU PAGI YANG MELESAPKAN SEGALANYA


Oleh : Ajeng Maharani


 

 

Kau terkesiap dengan begitu lihainya ketika kau membuka mata, orang-orang mulai berlarian ke arahmu dengan wajah resah. Pandangan matamu berputar-putar, dan kau berusa ha keras untuk memahami waktu-waktu yang seketika berlarian dari ingatanmu.

“Kamu nggak apa-apa, Dik?”

Seorang pria kekar yang kau tafsir berusia empat puluhan tiba-tiba jongkok di hadapanmu dan memegang bahumu. Dia mempertanyakan keadaanmu, lalu kau mencoba merasakan seluruh tubuhmu lebih tekun dari sebelumnya. Kau temukan rasa sakit di pinggang kananmu, kau pikir mungkin sebuah lebam biru bersarang di sana. Lalu nyeri hebat menusuk kepalamu yang basah dan lengket, pasti ada bagian yang sobek dan berdarah. Hingga ketika kau merasai kaki-kakimu, kau baru menyadari sebuah sakit yang luar biasa.

Kau menatap kaki kananmu itu, lalu membelalak. Ketakutan dan kesedihan mulai menyerangmu. Kau ingin berteriak, tapi pria yang ada di hadapanmu itu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja asalkan kau bisa tenang. Maka dengan perasaan yang ditekan-tekan kau pun berusaha untuk tenang.

Dua pria dewasa lainnya berdiri membelakangimu, berusaha mengangkat tubuh motor yang menjepit kaki kananmu, sementara roda motormu tergilas ban truk. Mereka melakukannya dengan pelan, meneliti sela-sela. Kau lihat itu dengan dada yang berdegup kencang. Kau takut mereka gagal, atau merasa kesusahan dengan keadaan seperti itu. Kau harap-harap cemas, melambungkan doa-doa dalam hatimu. Dalam kepanikan yang membuatmu menelan ludah dalam-dalam itu, kau yakin kaki kirimu pasti patah, dan kau merasa dunia sudah runtuh di hadapanmu.

Sekumpulan orang dan pengendara lainnya bergerombol di sisi jalan, mereka menatapmu sambil berbisik-bisik dengan ujung bibir yang ditarik-tarik. Seorang lelaki gendut berkaos hitam dengan tulisan salah satu nama band rock Australia, bertopi hitam kumal, dan handuk hijau yang menggantung di lehernya, mendekatimu lalu berdiri tepat di samping pria yang berusaha menenangkanmu. Wajahnya panik luar biasa. Kau menebak, dia pasti supir truk yang baru saja melindas motormu. Dan dengan begitu entengnya, matanya itu memelototimu dengan marah. Seakan-akan kaulah yang paling patut untuk menanggung semua kesalahan.

Matamu hampir leleh. Kini ingatanmu pada waktu-waktu yang tadi melarikan diri muncul kembali. Satu jam sebelum kau lesatkan motormu ke jalanan menuju tempatmu bekerja, kau masih bersungut-sungut mendengarkan ocehan ibumu yang tidak memiliki titik ataupun koma. Bibirnya pecah di sembarang tempat. Dia selalu lakukan itu setiap pagi, ketika memarahi adik-adikmu yang susah dibangunkan, susah digiring ke kamar mandi, lalu sekolah.

Sejak bapakmu pergi tanpa pernah terlihat lagi ujung ekornya, kau menjadi tulang punggung satu-satunya dalam keluargamu. Ibumu terlalu disibukan oleh ketiga adik kembarmu yang masih tiga belas tahun, hingga dia tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengurusimu. Kau tumbuh menjadi pemuda tak acuh, dan serampangan. Kau lebih suka melakukan apapun yang kau sukai. Dan satu jam yang lalu ketika rumahmu meledak-ledak oleh umpatan ibumu, kau berpikir ingin keluar saja dari rumah itu, hidup sendiri. Walaupun kau takkan mungkin tega lakukan itu.

Hari ini kau terburu ingin segera tiba di kantor, karena ini adalah hari di mana bosmu yang botak dan gembrot itu akan membagikan gaji bulanan. Adik-adikmu sudah tidak sabar mendapatkan hadiah yang kau janjikan pada hari ulang tahun mereka yang terlewat beberapa minggu lalu. Kau tidak memeliki cukup uang untuk bertahan ketika itu, lalu kau janjikan akan membelikan hadiah saat gajimu terbayarkan. Dan mereka memandangmu dengan anggukan yang keras. Mereka mempercayaimu.

Ibumu juga sudah memburumu akan uang belanja yang terhutang di tukang sayur dan toko sembako yang berdiri tepat di depan rumahmu. Toko yang pemiliknya memiliki stok bibir lebih banyak ketimbang ibumu, yang selalu siap pecah berkeping-keping kalau pembayarannya terlambat, lalu seluruh kampung akan mendengarnya berhari-hari sampai kau membayarnya.

Kau juga ingat betapa hari ini teramat penting untuk tidak dilalui dengan hambatan-hambatan, karena berita tetang karyawan berprestasi akan diumumkan. Kau telah mendengar desas-desus bahwa kaulah yang lagi-lagi berhak mendapatkan reward itu. Ini sudah tiga kali berturut-turut, dan jika itu benar kau sudah dipastikan akan dipromosikan naik jabatan. Dan kau berharap-harap cemas di waktu-waktu sebelum kau berangkat kerja. Karena kenaikan pangkat berarti kenaikan gaji, dan kenaikan gaji artinya kau lebih bisa memiliki banyak uang untuk keluargamu yang hampir di ambang kekeringan.

Alasan-alasan itu membuatmu lalai. Kau terlalu bising dengan omelan-omelan ibumu, terlalu berdebar-debar menunggu kebenaran tentang kabar baik dari kantormu, dan terlalu gelisah tentang hadiah, hutang-hutang ibumu, juga omelan pemilik toko sembako di depan rumahmu. Semua itu berputar-putar dalam pikiranmu, layaknya mesin blender yang menyala terus-menerus. Hingga di satu jam yang lalu, kau telah berhasil melupakan sesuatu.

Ibumu telah mengingatkanmu dengan berteriak di belakang punggungmu ketika kau baru saja menyalakan mesin motor. Kau mendengarnya samar-samar, tapi kau tidak mengacuhkannya. Kau pikir sudah terlalu banyak waktu yang membuatmu berdebar-debar itu terbuang sia-sia, ketika ibumu mengatakan kau harus membawa dua dus besar yang berisi baju-baju bekas keluargamu. Yang artinya, kau harus mampir dulu ke sebuah tempat dan meletakkan dus-dus itu sebelum kau menuju ke kantor.

Waktu benar-benar telah terbuang terlalu banyak, dan kau berpikir akan terbuang lebih banyak lagi jika kau harus mematikan motormu, menurunkan dus-dus yang kau letakkan di depanmu—kau jepit dengan kedua kakimu—hanya untuk kembali ke dalam rumah dan mengambil helm yang kau lupakan. Tempat kerjamu memang dekat, hanya dua puluh menit dan tidak mengharuskanmu melalui pos-pos penjagaan polisi lalu lintas yang suka meniup peluit saat melihat pengendara tanpa helm sepertimu. Jadi kau merasa aman. Kau bisa berkendara tanpa helm. Bukankah ini bukan lagi yang pertama kalinya kau berkendara tanpa helm? Dan kau selalu baik-baik saja, kan? Itu yang terbesit dalam pikiranmu.

Tetapi ternyata, tidak untuk hari ini.

Pagi yang sangat sial bagimu, dan pikuk. Entah mengapa jalanan juga kau rasakan ikut-ikutan membuatmu marah. Lalu lintas terlalu ramai di pagi ini, padahal kau sedang terburu-buru. Dengan perasaan seperti itu kau pun mengendarai motormu lebih cepat dari mereka, meliuk-liuk di antara pengendara lain. Berusaha mendahului mobil-mobil, menekan bel motormu kencang-kecang agar mereka memberimu jalan. Dalam pikiranmu dus-dus baju itu harus segera kau kirim ke tempat penampungan. Kau terburu-buru, dan merasa beruntung karena kau lihai berkendara dalam keadaan cepat. Itu sudah teramat biasa kau lakukan.

Pagi merayap pelan-pelan, kau masih terus meliuk-liuk, menekan-nekan bel, mendahului kendaraan demi kendaraan lain, hingga segalanya tiba-tiba terjadi dan kau sudah tertindih motormu yang rodanya terlindas truk.

Kejadian itu begitu cepat. Sebuah mobil dari arah berlawanan melaju begitu kencang dan binal ketika kau sedang berusaha mendahului sebuah truk hijau yang mengangkut batu-batu besar, hingga kau kelimpungan, kehilangan keseimbanganmu dan jatuh ke sisi kiri. Kepala bagian kananmu membentur tubuh truk, lalu terpental ke kanan, beradu dengan aspal begitu keras. Kau masih beruntung saja karena kepala itu tidak terlindas ban motor di belakangmu yang berhasil berhenti mendadak. Tapi kakimu tidak seberuntung kepalamu, karena kaki kanan itu kini terjepit motor yang tubuhnya masuk ke kolong truk, dan roda depannya berhasil dilindas ban truk. Dan tentu saja kaki itu telah patah, tepat di pergelangan dan tulang keringnya.

Kini kau sudah ditidurkan dengan seenaknya—hanya dialasi koran—di atas sebuah pick-up. Seorang pria kurus dengan kulit hitam menemanimu, dia duduk sambil sibuk memenceti tubuh ponselnya. Wajahnya kusam dan murung. Mungkin dia pun tengah dikecewakan oleh ketidakberuntungan pagi ini. Kau berpikir dia pasti salah satu orang yang membantumu tadi, atau salah satu yang ikut mengendarai pick-up, atau salah satu dari orang-orang yang bergerombol di pinggir jalan. Entahlah. Kau terlalu sibuk merasakan kesakitan yang luar biasa untuk menebak-nebak siapa pria di sampingmu.

Pandanganmu menekuri langit pukul delapan pagi yang biru sempurna dengan gumpalan-gumpalan awan yang mirip gula-gula kapas. Bola matamu menerawang, memikirkan semuanya. Kau berpikir seharusnya saat ini kau sudah tiba di tempatmu bekerja, menekan nomor karyawanmu di atas keyboard—absen masuk—lalu berdiri di antara rekan sejawatmu untuk briefing morning. Di saat itulah waktu yang kau tunggu-tunggu sedari kemarin akan segera kau ketahui. Berita gembira yang membuat hatimu meletup-letup. Kau menjadi karyawan terbaik bulan ini, dan kau siap dipromosikan menduduki posisi satu tingkat di atas posisimu sekarang.

Kau juga seharusnya pagi ini tersenyum selebar-lebar senyum yang biasa kau tampakkan, ketika rekan-rekanmu memberimu jabat tangan dan ucapan selamat. Kau pun bisa sedikit bangga dengan prestasimu nanti di hadapan ibumu, yang sekian tahun telah melupakan kebutuhanmu karena kesibukannya meladeni adik-adikmu yang berisik dan memiliki tenaga seperti kuda. Lalu ibumu akan semringah, mungkin juga memelukmu haru dan bangga.

Untuk adik-adikmu, kau sudah berencana akan berpura-pura kehabisan uang hingga tidak bisa membeli hadiah untuk mereka, tapi kau sudah menyimpan kado-kado yang terbungkus rapi itu di dalam lemari mereka. Kau pasti akan melihat betapa keriuhan akan menggemparkan kamar mereka yang terlalu sempit untuk ditinggali bertiga ketika mereka membuka lemari nanti. Mereka akan melompat-lompat dan berteriak girang. Mungkin juga menghambur ke arahmu, memeluk dan menciumi pipimu yang tirus.

Seharusnya hari ini pula kau telah menyumpal puluhan bibir pemilik toko sembako di depan rumah dengan lembaran-lembaran uang. Membuat wanita itu manggut-manggut kesenangan, lalu menepuk-nepuk bahumu seperti yang biasa dia lakukan setiap kali kau memberinya uang.

Namun kini, rencana-rencana itu melesat hilang seketika. Kebahagiaan yang seharusnya kau berikan pada keluargamu hanya menjadi sebuah kelakar konyol dalam otakmu, dan kau menyesali itu. Menyesali segalanya. Menghujani dirimu sendiri dengan kesalahan-kesalahan yang bertubi.

Mungkin banyak orang akan mengatakan kejadian ini adalah takdir atau nasib yang memang seharusnya kau terima, tapi kau tahu benar, semua adalah kesalahanmu. Bisa saja kau menghindari pagi yang kacau ini jika saja kau lebih berhati-hati, lebih bisa membawa dirimu agar tidak terlalu menggebu-gebu dan mengendarai motormu dengan penuh kesabaran.

Kau pun berandai-andai. Jika saja ketika ibumu meneriaki punggungmu pagi tadi, kau turun beberapa menit untuk mengambil helm merah kesayanganmu, mungkin kepalamu tidak sobek dan berdarah seperti sekarang. Jika saja kau sabar mengendarai motormu, sejengkal demi sejengkal, tidak meliuk-liuk urakan karena rasa jengkel dan cemas, mungkin kakimu tidak akan patah seperti ini. Mungkin kau bisa mendengar berita gembira di kantormu. Mungkin kau bisa menerima ucapan selamat dan kekaguman luar biasa dari rekan-rekanmu. Mungkin kau benar naik pangkat dan memperbaiki ekonomi keluargamu. Mungkin ibumu akan tersenyum bangga dan bahagia padamu. Mungkin kau bisa melihat tawa gembira adik-adikmu. Dan mungkin semua hutang bisa kau lunasi dan ibumu merasakan lega yang teramat besar dalam dadanya.

Mungkin.

Tapi sekarang, semuanya lesap. Dan masa depan yang buruk sudah menantimu setelah ini. Siapa yang akan menghidupi keluargamu nanti? Siapa yang akan membayar sekolah adik-adikmu? Siapa yang akan membayar hutang-hutang ibumu? Bosmu sudah tidak akan mungkin mempekerjakan orang cacat sepertimu. Bisa jadi kakimu nanti diamputasi, dan kau bisa apa dengan satu kaki? Lalu siapa juga yang akan membayar biaya rumah sakit nanti? Kau bahkan tidak memiliki tabungan sesen pun.

Otakmu berdenyut-denyut, lelah berpikir lagi. Kau menjadi putus asa dengan pertanyaan-pertanyaan. Bingung. Memarahi dirimu sendiri. Menyesal. Ah, bukankah sesal selalu saja datang terlambat? Tapi tentu kau tidak akan menyesal atau terlambat menyadari penyesalan jika saja kau berhati-hati, bukan? Kau tahu kau sebenarnya bisa menghindari kecelakaan ini hanya dalam beberapa menit saja. Ya, beberapa menit saja hanya untuk mengambil helm dan mengenakannya. Beberapa menit saja untuk melajukan motormu pelan-pelan dan sabar. Beberapa menit saja untuk patuh pada aturan-aturan berkendara yang sudah sering kau baca di spanduk-spanduk jalan. Beberapa menit saja untuk waspada dan menjaga dirimu sendiri.  

Ya ... Beberapa menit saja. Beberapa menit yang sudah kau sia-siakan.

Sekarang, di atas pick-up yang melaju itu, kau berharap bisa memutar waktu kembali dan memperbaiki kesalahanmu.

 

 

 

 

Sidoarjo, 311015

 

 

 

  • Blogspot ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan’.
  • #SafetyFirst diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com 

 

Jumat, 09 Oktober 2015

NERAKA DI KAMAR IBU


Apa kalian tahu? Aku pernah bermimpi buruk. Seumur hidupku, itulah yang terburuk. Menakutkan!

Rasanya malam itu kegelapan melata pelan-pelan. Aku dibangunkan oleh suara-suara yang mendesis. Aroma kemarahan dan kebencian. Mata yang berat. Kukucak perlahan lalu bangkit dari ranjang. Karena rasa penasaran yang teramat, kuputuskan untuk meninggalkan tubuhku yang tengah direngkuh oleh lelap.

Bunyi yang mengusik itu terdengar dari kamar Ibu. Ada bunyi tertawa cekikikan. Namun tiba-tiba saja berganti oleh tangisan yang terisak-isak. Hatiku terenyuh. Bertanya-tanya, ada apakah gerangan dengan Ibu di kamar. Di mana Bapak? Mengapa tak ada suara darinya? Bahkan itu desah lenguh napasnya?

Tanpa banyak berpikir lagi, kuintip kamar Ibu dari lubang kunci. Aroma yang belum pernah kukenali, menyambutku pada detik pertama. Apa itu? Entah. Kosong. Tak ada Ibu maupun Bapak di atas ranjang mereka. Kukelilingi isi kamar semampu pandanganku. Sepi. Tiba-tiba, semua mata yang mendelik, dengan warna merah yang bagaikan darah, menantangku dari balik lubang yang sama.

Jantungku berdegup. Aku mundur beberapa langkah lalu terjatuh karena limbung oleh rasa ketakutan. Kulihat gagang pintu berdecit-decit. Pelan-pelan, daun pintu itu terbuka. Hatiku menciut. Pemandangan seperti neraka—merah membara—muncul di hadapanku.

Tanpa banyak bicara lagi, dengan tertatih-tatih, aku berlari kembali ke kamar. Memasuki tubuhku, dan berusaha terpejam.

Paginya, tak kujumpai Bapak lagi. Esok, lusa, lalu lusanya lagi. Entah Bapak lari karena ketakutan melihat wajah Ibu malam itu—seperti diriku, tapi sayangnya aku tak bisa lari—atau mungkin Bapak lenyap ditelan neraka milik Ibu. Namun yang kutahu, ada sebuah gundukan baru di halaman belakang rumah, yang di atasnya ditancapkan benih pohon nangka setinggi tubuhku.

Aku tak pernah bertanya.

 

 

Sidoarjo—2014

 

PEREMPUAN BERHATI NYALANG


Pada Bukit Kesunyian, di bawah pohon yang merindang bayangan hitam, terduduklah kau di sana, hai, Perempuan Berhati Nyalang. Jiwamu yang berkelana ke Dunia Keheningan, membuat tatapmu kosong tanpa binar. Sesekali kau meratap tangis kehilangan, yang kau tuang pada lusuh kain bajumu.

Ada kisah yang ingin kau pendam. Ingin kau ranggaskan kenangan kelam yang merajah. Tentang keadilan yang raib. Tentang bau peluh malam yang menggelinjangkan kebusukkan. Juga tentang dangau bisu yang membusuk di tengah sawah bapakmu.

Suaramu seakan lenyap saat itu, Perempuan. Walaupun teriakanmu menulikan kunang-kunang yang bersenggama dengan pucuk-pucuk padi, namun kesiur angin menelannya. Tak ada seseorang pun yang datang padamu. Hingga kesendirian itu menelantarkanmu, membiarkan tubuh telanjangmu dicecap nyamuk-nyamuk biadab.

Air matamu menanah. Kau asah kebencian dalam hatimu. Membuatnya tajam, nyalang tak memejam.

Saat kau bertanya tentang keadilan, tak satu pun percaya. Kau berteriak, mereka membisu. Kau meminta, mereka pergi menjauh. Ah, Perempuan ..., kau terus bertanya pada hatimu, masih sudihkah dunia menerima tubuh kotormu? Bahkan sekarang kau telah menjadi manusia yang terbuang.

“Apalagi yang tersisa sekarang?” desismu siang ini. Kosong kau menatap domba-domba itu melumat rerumputan. Lalu tanpa kau sadari, awan-awan yang sejatinya lembut bagai kapas itu berubah menjadi hitam. Menggulung, lalu pecah. Hujan pun menelanjangimu, Perempuan. Mengalir jatuh bersama air matamu yang tak pernah mengering. Gigil menyentuh ragamu.

 

***

 

Malam kini menjemputmu, Perempuan. Tetes terakhir lesap sudah ke dalam tanah. Kau masih bergeming, menempatkan pantat basahmu di sana. Kuyup tubuhmu tak kau hirau. Kemudian, lamat-lamat kau dengar derap yang mendekat. Kau buka pelupukmu. Keremangan menyambut. Dari sela-sela kegelapan yang pekat, obor-obor itu pun menari.

Tatapanmu masih diam. Tak sedikit pun rona ketakutan muncul di sana. Kau hanya bergeming, menunggu mereka yang kesetanan itu datang menghampirimu dengan langkah yang membara.

“Itu dia! Perempuan laknat itu di sana!”

“Bakar dia!”

“Iya! Bakar dia. Biar dosa-dosa itu ikut mengabu bersamanya!”

“Biar kampung kita ini tak dilaknat oleh Tuhan karena kegenitannya!”

Suara-suara yang menggema itu lesat ke angkasa, memekakkan telinga rembulan yang tengah mati suri. Kau masih memeluk kesunyian. Diam dan menanti.

“Tunggu!”

Kau melihatnya. Seorang wanita baya menghadang kerumunan.

“Hentikan, anakku tak bersalah. Dia hanya korban. Dia difitnah!” teriak wanita itu mengiba. Suaranya parau dan terisak. Kau yakin sekali, wanita tua yang dulu pernah kau sebut ibu itu, saat ini psati sedang menangis.

“Akh! Diam kau wanita tua!” teriak seorang pria jangkung. Tangan kurusnya mendorong ibumu kuat-kuat. Membuat dia jatuh, hingga bibirnya mencium tanah.

“Hiraukan wanita itu! bakar saja anaknya!”

“Iya, cepat bakar! Sebelum ia lari kembali!”

Malam pikuk. Keramaian menanammu dalam kesendirian. Perlahan, kau belai lembut perutmu yang makin membuntal. Perlahan, bibirmu yang kering dan berkecai itu pun terbuka.

“Maafkan aku, Nak. Tak bisa membiarkanmu hidup di dunia ini,” ujarmu. Kemudian matamu membuntang. Menatap penuh amarah pada mereka yang menyulutmu dengan api-api yang berkobar. Darah merembes dari ujung-ujung penglihatanmu. Kau pun mendecap laknat, lalu tertawa kesetanan, menggelegar membelah malam.

Nyali mereka menciut sekarang, Perempuan. Ketakutan yang besar menggagahi jiwa-jiwa mereka saat melihat dirimu terselimuti kobaran api. Asap membumbung ke langit. Di sudut gerombolan, seorang lelaki bersorban tersenyum bangga. Satu lagi kebusukannya berhasil tertutupi. Hikayat tentang janin yang dia tanam pada rahimmu, tentang kau yang meronta dalam kegelapan, juga tentang kedurjanaannya memaksamu melayani renjananya, kini terkubur sudah bersama aroma daging yang terpanggang.

 

 

Sidoarjo—2014

BAPAK ADA DI MANA, BU?


Ini sudah sebulan lebih anak-ibu itu berlomba-lomba untuk diam. Semua berawal dari hari itu, ketika sinar matahari yang terik memanggang atap rumah hingga membuat penghuninya gerah. Wanita bernama Shinta itu tengah disibukkan oleh kain-kainnya, lalu tiba-tiba anak gadisnya yang baru pulang sekolah, berteriak dengan penuh kemarahan.

“Semua gara-gara Ibu!” Rahma membanting ranselnya ke atas kursi kayu yang hampir melapuk. “Mengapa dulu Ibu tak bisa memperjuangkan hak-hak Ibu sendiri? Mengapa? Setidaknya, berjuanglah untuk anakmu! Aku pun membutuhkan sebuah keluarga yang lengkap, sama seperti teman-temanku, Bu!”

Kalimat-kalimat anaknya menerobosi hati Shinta. Mencabik lalu membuatnya tercerai-berai.

“Rahma sudah bosan, Bu. Dihina melulu. Sakit rasanya jadi anak yang tak berbapak! Tak jelas asal-usulnya!”

Hati Shinta semakin hancur. Pelan-pelan, mata wanita empat puluh lima tahun itu meleleh.

Sebenarnya, Rahma tak bermaksud menyakiti perasaan ibunya. Namun kekuatan hati remajanya sudah tak mampu lagi menahan rasa malu dan kebencian, setiap kali ada yang mengoloknya. Entah itu di sekolah. Entah itu suara-suara yang menukik dari tetangga-tetangga dekat rumah.

 

“Jangan-jangan kamu ini anak haram ya, Rah?”

“Bapakmu lari dengan wanita lain, dan ibumu hanya diam saja membiarkan mereka pergi!”

“Rah, apa benar kau ini anak tak berbapak? Ibu melarangku untuk berteman denganmu. Katanya, dia takut ikut dijauhi oleh tetangga.”

 

Ah, selalu saja seperti itu. rahma sering kehilangan teman. Dijauhi, dihina, dipojokkan. Entah apa lagi sebutan yang pantas bagi perlakuan orang-orang itu padanya. Sakit yang menyayat. Bahkan dia ingin menghilang diculik oleh senja atau pun tenggelam ke perut bumi. Sudah cukup dia menahan hinaan. Hingga akhirnya, hati gadis belia itu meradang teramat merah, lalu menumpahkan pada ibunya.

Rahma tak pernah tahu, sejak kapan bapaknya pergi meninggalkan rumah. Ibunya tak pernah mau bercerita, walaupun setiap kali Rahma merayu. Yang Rahma tahu hanya selembar foto yang memberinya sekelumit kisah. Foto seorang lelaki bermata tegas yang tengah menggendong seorang balita cantik berambut ikal bergelombang. Kata ibunya, itu fotonya bersama lelaki yang selama ini dia cari. Bapaknya.

“Maafkan Ibu, Rah,” desis Shinta.

“Di mana Bapak, Bu?”

Shinta menggeleng. Hanya suara-suara seguk yang keluar dari setiap desahannya. Rahma tahu, ibunya jauh lebih sakit dari dirinya. Namun usia mudanya menepik perasaan iba itu. Satu yang ingin dia tuntaskan hari ini. Kebenaran. Baginya, dia sudah bukan lagi anak-anak. Sudah layaknya dia tahu tentang kisah masa lalu yang disimpan rapat oleh ibunya.

“Mengapa Bapak meninggalkan kita, Bu?” tanya Rahma kembali. Kali ini nadanya lebih tegas.

“Kau benar, Rah. Jika saja Ibu bisa berjuang mempertahankan hak-hak kita ....”

Shinta diam sejenak. Ia mencoba menarik napasnya dalam-dalam, sebelum melanjutkan kalimatnya. Shinta berusaha tegar kembali.

“Tetapi, seandainya waktu itu diulang kembali dan memberi Ibu untuk memilih sekali lagi, Ibu akan tetap mengijinkan Bapak pergi.”

Brak!

Rahma menggebrak meja di hadapannya. Mukanya merah madam. Amarah gadis tujuh belas tahun itu terbakar hingga di ubun-ubun. Dengan langkah membara, Rahma pergi meninggalkan ibunya, masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu.

 

***

 

Senja lenyap ditelan kegelapan ketika suara pintu rumah Shinta diketuk oleh seseorang. Ia bangkit dari lantai. Meletakkan baju pesanan yang tengah ia payet, lalu melangkah mendekati daun pintu. Sesaat setelah jari-jemarinya menyentuh gagang pintu, lalu membukanya perlahan, mata Shinta terbelalak. Seorang wanita sebaya dirinya dan seorang pemuda yang lebih tua dari anaknya sudah berdiri di sana, sambil melempar senyum yang hangat.

“Aku menjemputmu, Shin,” ujar wanita berbaju merah menyala itu. Sekejab, degub jantung Shinta bertalu-talu. Sebulir air mata pun menetes haru.

Rahma melihat ibunya memeluk tubuh wanita yang baru pertama kali dilihatnya itu. Sebuah pertanyaan menukik. Siapakah sebenarnya tamu yang misterius itu? Mengapa ibunya begitu terharu melihat mereka datang?

Namun, sebelum semua pertanyaan Rahma terjawab—setidaknya oleh ibunya, kesadaran gadis itu tiba-tiba sudah mengajaknya berada di dalam mobil Audy berwarna hitam yang sedang melaju menembus kegelapan.

“Kau sungguh wanita yang kuat, Shin. Aku begitu malu pada diriku sendiri,” ujar wanita itu.

“Semua sudah berlalu, Mbak. Aku hanya sedang menepati janjiku pada kalian.”

“Enam belas tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melalui semua hinaan yang kulontarkan padamu dulu, Shin. Kau pun masih penuh kata maaf.”

“Mbak ....”

“Tidak, Shin, akulah yang egois. Tak seharusnya aku dulu emngikat Mas Bram hanya untuk diriku sendiri. Padahal aku tahu, ada Rahma di antara kalian.”

Mendengar percakapan antara ibunya dan wanita itu di belakang mobil, membuat hati Rahma berkebat-kebit. Gadis itu semakin penasaran.

Tiga jam berlalu. Kini mobil itu berhenti di depan seuah rumah yang teramat besar. Rahma terperangah. Melihat itu, Shinta merengkuh bahu Rahma.

“Di dalam sana, ada bapakmu, Rah. Kau sudah sangat merindukannya, bukan?”

Dada Rahma berdegup semakin kencang. Dia menelan ludahnya dalam-dalam.

 

***

 

Rahma terduduk lemas di atas bangku semen di taman rumah besar itu. Hatinya tengah diselimuti kegalauan. Dia baru saja berlari kencang meninggalkan kamar milik bapaknya, di mana lelaki yang sangat dirindukannya itu terbaring lemah di atas ranjang.

Tak lama kemudian, Shinta datang menghampiri Rahma.

“Kau kenapa, Rah?”

“Entahlah, Bu. Aku hanya ....”

“Kau kecewa?”

Rahma mengangguk.

“Mengapa harus ketika Bapak seperti ini, lalu aku dipertemukan kembali dengannya? Padahal, banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, Bu.”

Shinta meraih jemari Rahma. Mengelusnya penuh rasa sayang.

“Ibu dan Bapak bertemu pertama kali di Halte Bus. Selalu saja di sana, di tempat yang sama. Seolah ada waktu tersendiri yang diciptakan untuk kami berdua. Kala itu Bapak seorang mahasiswa di salah satu universitas di Surabaya, sedangkan ibu pekerja di baprik garmen. Setelah berkenalan, Bapak sering mangajak Ibu berkencan, akhirnya kami pun menjalin kasih. Itu masa-masa terindah kami, Rah. Hingga akhirnya, hari itu datang ....”

Shinta mengembus napasnya sepenggal. Kemudian ia melanjutkan ceritanya kembali.

“Bapak berpamit pulang kembali ke kampung halaman. Dia berjanji akan kembali ke Surabaya dan menjemput Ibu.”

“Lalu ..., Bapak kembali?”

“Iya, dua tahun kemudian bapakmu kembali dan menepati janjinya. Kami pun menikah dan hidup bahagia.”

“Aku senang mendengar Bapak menepati janjinya pada Ibu, tapi ....”

“Suatu malam, Bapak menerima telepon. Dua hari setelahnya, dia menjadi pemurung. Setiap kali Ibu tanya, Bapak bilang tak ada apa-apa. Ibu jadi semakin khawatir. Hingga akhirnya ....”

 

***

 

Enam belas tahun yang lalu ...

 

“Mengapa tak kau tinggalkan saja aku dalam sebuah harapan, Mas? Daripada kau kembali datang, tapi membunuhku pelan-pelan seperti ini.” Air mata Shinta terus beruraian. Ia tak lagi mampu memandang lelaki yang sangat dicintainya itu.

“Shin, bukan maksudku menyakitimu. Aku kembali karena kau benar-benar mencintaimu.”

“Karena cinta? Benarkah karena cinta? Aku tak habis pikir kau mampu menyakiti hati dua wanita yang sangat mencintaimu, Mas. Harusnya kau malu!”

“Aku tak berdaya, Shin. Pernikahanku dengannya itu karena paksaan. Ada sebuah tanggung jawab yang harus aku tuntaskan. Aku tak pernah mencintainya, Shin. Tak pernah!

“Tapi dia pasti sangat mencintaimu, Mas! Harusnya kau bisa menjaga hati istrimu. Jangan hanya karena aku, kau rela menjadi lelaki hina seperti ini.”

Suaminya semakin mendekat ke punggung Shinta. Dia berusaha merengkuh bahu wanita itu, namun Shinta menolaknya.

“Shin, maafkan aku,” desisnya.

“Maaf. Entahlah, Mas. Apa aku bisa memaafkanmu?”

Hening. Keduanya diam terpaku. Hanya ada isak tangis, yang terus mengalir bagaikan sungai yang tak kunjung kering.

Dua bulan kemudian, istri pertama Bram datang, hendak menjemput suaminya itu pulang kembali.

“Pokoknya aku ingin Mas Bram kembali padaku. Aku stri sah. Aku jauh lebih berhak atas dirinya!” Nada yang ketus. Wajah wanita itu dingin.

“Tri, Shanti sudah paham tentang hal itu. jangan makin kau pojokkan. Akulah yang salah. Aku tak pernah mengatakan padanya kalau aku sudah menikah denganmu,” ujar Bram.

“Tapi aku marah, Mas. Gara-gara dia kau berani menelantarkan aku dan anakmu!” teriak Tri kembali. Wajahnya memerah. Matanya melotot tajam.

“Iya, Tri. Iya,” jawab Bram.

“Mbak, maaf jika aku membuatmu terluka. Aku sungguh-sungguh tak kalau Mas Bram sudah ....”

“Alesan!” jawab Tri ketus. Bibirnya melengos.

“Tri!” Bram berusaha mengingatkan istri pertamanya itu.

“Kau benar, Mbak. Tempat Mas Bram memang seharusnya ada bersamamu. Kuijinkan dia kembali. Aku janji, selamanya tak akan menganggu atau pun menuntut hakku sebagai istri pada Mas Bram. Asal Mbak dan Mas Bram pun berjanji, tak akan menganggu aku dan anakku. Biarlah kita hidup sendiri-sendiri.”

“Shinta ....”

“Tidak, Mas. Inilah pilihanku. Lebih baik begini, dari pada aku disebut sebagai perebut suami wanita lain. Jika Rahma besar nanti, aku tak mau dia dipanggil anak kotor.”

Siang mulai luntur. Kepercayaan dan cinta yang terinjak-injak di hati ketiganya, kini mulai diam. Keputusan sudah diambil. Lelakinya pergi, dan ia akan menjalani hidupnya dalam kesendirian.

 

***

 

Rahma tak tahu lagi harus mengatakan apa pada ibunya. Kisah tentang ketegaran yang ibunya ceritakan sungguh membuatnya malu kini. Dia menyesal telah berani berkata kasar. Padahal, satu-satunya yang dipikirkan oleh wanita yang telah melahirkannya itu adalah dirinya. Iya. Hanya demi nama baik anaknya.

“Maafkan Rahma, Bu,” ucap Rahma di sela-sela isak tangisnya.

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Rah. Tak ada yang salah. Sekarang, temui bapakmu. Dia pasti sangat merindukanmu.”

Rahma mengangguk. segera dia menghapus air matanya, kemudian berjalan memasuki rumah bapaknya. Shinta mengulum senyum. Memandangi punggung anaknya, hingga menghilang dari balik pintu rumah suaminya.

 

 

 

Sidoarjo—2014