Sabtu, 31 Oktober 2015

SUARA MISTERIUS


Rei, aku ada di sini. Kau tak lihat aku?

Kemarilah, Rei. Di sini dingin ....

 

Sayup-sayup gadis itu mendengar namanya disebut berkali-kali. Sebuah suara yang lindap. Pelan tapi mencekik. Dada Rei berdegup. Semakin kencang seolah ingin retas.

 

Rei, jangan tinggalkan aku. Jangan pergi sendiri. Aku kesepian, Rei.

Dingin ... Huuh ... Huuh ....

 

 Kini, tangisan yang menyayat mulai terdengar. Telinga Rei meradang. Rasa takut mulai mukik ke dada gadis itu.

 

“Siapa itu?!” teriaknya lantang.

 

Hening.

 

Ia mundurkan langkahnya beberapa. Kegelapan yang menggagahi sekelilingnya masih menghitam pekat. Hembusan angin merengkuh tubuhnya yang entah kenapa tiba-tiba saja sudah basah kuyup. Rei menggigil.

 

Tangisan itu terdengar kembali.

 

“Siapa kau? Jawab! Siapa kau?!”

 

Tangisan itu menjadi diam.

 

Kau tak ingat aku, Rei?

 

Rei menggeleng.

 

Tengoklah ke belakang, Rei. mendekatlah pada pohon maple yang kau gunakan sebagai tempat menunggu cintamu. Kemarilah, Rei. Lihat aku ....

 

Gadis itu menelan ludahnya dalam-dalam. Ketakutannya masih kuat.

 

Jangan takut, Rei. Kemarilah, lihat aku.

 

Pelan-pelan, Rei maju. Menghampiri pohon maple yang hampir gersang karena musim gugur. Dedaunan kuning tua yang jatuh meranggas terinjak kaki-kaki Rei. Sinar mentari mengintip gadis itu dari sela-sela bayangan pepohonan. Lindap. Langkah Rei terhenti. Ia menyapu sekitarnya dengan bola mata yang berkesap-kesip. Mencoba mencari sosok yang sedari tadi memanggil namanya.

 

Pelan-pelan, halimun yang sedari tadi menyelimuti permukaan danau, menyibak. Seonggok tubuh mengambang. Jantung gadis itu meledak. Matanya membuntang. Samar-samar ia teringat kembali tentang sebuah siluet kenangan semalam.

 

Saat ia menanti kekasihnya di bawah pohon maple dekat Danau Angsa untuk kabur bersama, tiba-tiba seseorang menambatkan tali di lehernya. Ia tercekik. Napasnya terputus-putus. Lemas, lalu jatuh, terbenam bersama dedaunan kering.

 

“Kau pantas mati! Siapa yang mau lari sama kamu, hah?! Kau itu aibku, tak mungkin aku mau meninggalkan kekayaan papaku demi gadis miskin seperti kamu!”

 

Suara lelaki yang menggema. Mata Rei meleleh sudah.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar