Jumat, 09 Oktober 2015

BAPAK ADA DI MANA, BU?


Ini sudah sebulan lebih anak-ibu itu berlomba-lomba untuk diam. Semua berawal dari hari itu, ketika sinar matahari yang terik memanggang atap rumah hingga membuat penghuninya gerah. Wanita bernama Shinta itu tengah disibukkan oleh kain-kainnya, lalu tiba-tiba anak gadisnya yang baru pulang sekolah, berteriak dengan penuh kemarahan.

“Semua gara-gara Ibu!” Rahma membanting ranselnya ke atas kursi kayu yang hampir melapuk. “Mengapa dulu Ibu tak bisa memperjuangkan hak-hak Ibu sendiri? Mengapa? Setidaknya, berjuanglah untuk anakmu! Aku pun membutuhkan sebuah keluarga yang lengkap, sama seperti teman-temanku, Bu!”

Kalimat-kalimat anaknya menerobosi hati Shinta. Mencabik lalu membuatnya tercerai-berai.

“Rahma sudah bosan, Bu. Dihina melulu. Sakit rasanya jadi anak yang tak berbapak! Tak jelas asal-usulnya!”

Hati Shinta semakin hancur. Pelan-pelan, mata wanita empat puluh lima tahun itu meleleh.

Sebenarnya, Rahma tak bermaksud menyakiti perasaan ibunya. Namun kekuatan hati remajanya sudah tak mampu lagi menahan rasa malu dan kebencian, setiap kali ada yang mengoloknya. Entah itu di sekolah. Entah itu suara-suara yang menukik dari tetangga-tetangga dekat rumah.

 

“Jangan-jangan kamu ini anak haram ya, Rah?”

“Bapakmu lari dengan wanita lain, dan ibumu hanya diam saja membiarkan mereka pergi!”

“Rah, apa benar kau ini anak tak berbapak? Ibu melarangku untuk berteman denganmu. Katanya, dia takut ikut dijauhi oleh tetangga.”

 

Ah, selalu saja seperti itu. rahma sering kehilangan teman. Dijauhi, dihina, dipojokkan. Entah apa lagi sebutan yang pantas bagi perlakuan orang-orang itu padanya. Sakit yang menyayat. Bahkan dia ingin menghilang diculik oleh senja atau pun tenggelam ke perut bumi. Sudah cukup dia menahan hinaan. Hingga akhirnya, hati gadis belia itu meradang teramat merah, lalu menumpahkan pada ibunya.

Rahma tak pernah tahu, sejak kapan bapaknya pergi meninggalkan rumah. Ibunya tak pernah mau bercerita, walaupun setiap kali Rahma merayu. Yang Rahma tahu hanya selembar foto yang memberinya sekelumit kisah. Foto seorang lelaki bermata tegas yang tengah menggendong seorang balita cantik berambut ikal bergelombang. Kata ibunya, itu fotonya bersama lelaki yang selama ini dia cari. Bapaknya.

“Maafkan Ibu, Rah,” desis Shinta.

“Di mana Bapak, Bu?”

Shinta menggeleng. Hanya suara-suara seguk yang keluar dari setiap desahannya. Rahma tahu, ibunya jauh lebih sakit dari dirinya. Namun usia mudanya menepik perasaan iba itu. Satu yang ingin dia tuntaskan hari ini. Kebenaran. Baginya, dia sudah bukan lagi anak-anak. Sudah layaknya dia tahu tentang kisah masa lalu yang disimpan rapat oleh ibunya.

“Mengapa Bapak meninggalkan kita, Bu?” tanya Rahma kembali. Kali ini nadanya lebih tegas.

“Kau benar, Rah. Jika saja Ibu bisa berjuang mempertahankan hak-hak kita ....”

Shinta diam sejenak. Ia mencoba menarik napasnya dalam-dalam, sebelum melanjutkan kalimatnya. Shinta berusaha tegar kembali.

“Tetapi, seandainya waktu itu diulang kembali dan memberi Ibu untuk memilih sekali lagi, Ibu akan tetap mengijinkan Bapak pergi.”

Brak!

Rahma menggebrak meja di hadapannya. Mukanya merah madam. Amarah gadis tujuh belas tahun itu terbakar hingga di ubun-ubun. Dengan langkah membara, Rahma pergi meninggalkan ibunya, masuk ke dalam kamar sambil membanting pintu.

 

***

 

Senja lenyap ditelan kegelapan ketika suara pintu rumah Shinta diketuk oleh seseorang. Ia bangkit dari lantai. Meletakkan baju pesanan yang tengah ia payet, lalu melangkah mendekati daun pintu. Sesaat setelah jari-jemarinya menyentuh gagang pintu, lalu membukanya perlahan, mata Shinta terbelalak. Seorang wanita sebaya dirinya dan seorang pemuda yang lebih tua dari anaknya sudah berdiri di sana, sambil melempar senyum yang hangat.

“Aku menjemputmu, Shin,” ujar wanita berbaju merah menyala itu. Sekejab, degub jantung Shinta bertalu-talu. Sebulir air mata pun menetes haru.

Rahma melihat ibunya memeluk tubuh wanita yang baru pertama kali dilihatnya itu. Sebuah pertanyaan menukik. Siapakah sebenarnya tamu yang misterius itu? Mengapa ibunya begitu terharu melihat mereka datang?

Namun, sebelum semua pertanyaan Rahma terjawab—setidaknya oleh ibunya, kesadaran gadis itu tiba-tiba sudah mengajaknya berada di dalam mobil Audy berwarna hitam yang sedang melaju menembus kegelapan.

“Kau sungguh wanita yang kuat, Shin. Aku begitu malu pada diriku sendiri,” ujar wanita itu.

“Semua sudah berlalu, Mbak. Aku hanya sedang menepati janjiku pada kalian.”

“Enam belas tahun bukanlah waktu yang sebentar untuk melalui semua hinaan yang kulontarkan padamu dulu, Shin. Kau pun masih penuh kata maaf.”

“Mbak ....”

“Tidak, Shin, akulah yang egois. Tak seharusnya aku dulu emngikat Mas Bram hanya untuk diriku sendiri. Padahal aku tahu, ada Rahma di antara kalian.”

Mendengar percakapan antara ibunya dan wanita itu di belakang mobil, membuat hati Rahma berkebat-kebit. Gadis itu semakin penasaran.

Tiga jam berlalu. Kini mobil itu berhenti di depan seuah rumah yang teramat besar. Rahma terperangah. Melihat itu, Shinta merengkuh bahu Rahma.

“Di dalam sana, ada bapakmu, Rah. Kau sudah sangat merindukannya, bukan?”

Dada Rahma berdegup semakin kencang. Dia menelan ludahnya dalam-dalam.

 

***

 

Rahma terduduk lemas di atas bangku semen di taman rumah besar itu. Hatinya tengah diselimuti kegalauan. Dia baru saja berlari kencang meninggalkan kamar milik bapaknya, di mana lelaki yang sangat dirindukannya itu terbaring lemah di atas ranjang.

Tak lama kemudian, Shinta datang menghampiri Rahma.

“Kau kenapa, Rah?”

“Entahlah, Bu. Aku hanya ....”

“Kau kecewa?”

Rahma mengangguk.

“Mengapa harus ketika Bapak seperti ini, lalu aku dipertemukan kembali dengannya? Padahal, banyak hal yang ingin kutanyakan padanya, Bu.”

Shinta meraih jemari Rahma. Mengelusnya penuh rasa sayang.

“Ibu dan Bapak bertemu pertama kali di Halte Bus. Selalu saja di sana, di tempat yang sama. Seolah ada waktu tersendiri yang diciptakan untuk kami berdua. Kala itu Bapak seorang mahasiswa di salah satu universitas di Surabaya, sedangkan ibu pekerja di baprik garmen. Setelah berkenalan, Bapak sering mangajak Ibu berkencan, akhirnya kami pun menjalin kasih. Itu masa-masa terindah kami, Rah. Hingga akhirnya, hari itu datang ....”

Shinta mengembus napasnya sepenggal. Kemudian ia melanjutkan ceritanya kembali.

“Bapak berpamit pulang kembali ke kampung halaman. Dia berjanji akan kembali ke Surabaya dan menjemput Ibu.”

“Lalu ..., Bapak kembali?”

“Iya, dua tahun kemudian bapakmu kembali dan menepati janjinya. Kami pun menikah dan hidup bahagia.”

“Aku senang mendengar Bapak menepati janjinya pada Ibu, tapi ....”

“Suatu malam, Bapak menerima telepon. Dua hari setelahnya, dia menjadi pemurung. Setiap kali Ibu tanya, Bapak bilang tak ada apa-apa. Ibu jadi semakin khawatir. Hingga akhirnya ....”

 

***

 

Enam belas tahun yang lalu ...

 

“Mengapa tak kau tinggalkan saja aku dalam sebuah harapan, Mas? Daripada kau kembali datang, tapi membunuhku pelan-pelan seperti ini.” Air mata Shinta terus beruraian. Ia tak lagi mampu memandang lelaki yang sangat dicintainya itu.

“Shin, bukan maksudku menyakitimu. Aku kembali karena kau benar-benar mencintaimu.”

“Karena cinta? Benarkah karena cinta? Aku tak habis pikir kau mampu menyakiti hati dua wanita yang sangat mencintaimu, Mas. Harusnya kau malu!”

“Aku tak berdaya, Shin. Pernikahanku dengannya itu karena paksaan. Ada sebuah tanggung jawab yang harus aku tuntaskan. Aku tak pernah mencintainya, Shin. Tak pernah!

“Tapi dia pasti sangat mencintaimu, Mas! Harusnya kau bisa menjaga hati istrimu. Jangan hanya karena aku, kau rela menjadi lelaki hina seperti ini.”

Suaminya semakin mendekat ke punggung Shinta. Dia berusaha merengkuh bahu wanita itu, namun Shinta menolaknya.

“Shin, maafkan aku,” desisnya.

“Maaf. Entahlah, Mas. Apa aku bisa memaafkanmu?”

Hening. Keduanya diam terpaku. Hanya ada isak tangis, yang terus mengalir bagaikan sungai yang tak kunjung kering.

Dua bulan kemudian, istri pertama Bram datang, hendak menjemput suaminya itu pulang kembali.

“Pokoknya aku ingin Mas Bram kembali padaku. Aku stri sah. Aku jauh lebih berhak atas dirinya!” Nada yang ketus. Wajah wanita itu dingin.

“Tri, Shanti sudah paham tentang hal itu. jangan makin kau pojokkan. Akulah yang salah. Aku tak pernah mengatakan padanya kalau aku sudah menikah denganmu,” ujar Bram.

“Tapi aku marah, Mas. Gara-gara dia kau berani menelantarkan aku dan anakmu!” teriak Tri kembali. Wajahnya memerah. Matanya melotot tajam.

“Iya, Tri. Iya,” jawab Bram.

“Mbak, maaf jika aku membuatmu terluka. Aku sungguh-sungguh tak kalau Mas Bram sudah ....”

“Alesan!” jawab Tri ketus. Bibirnya melengos.

“Tri!” Bram berusaha mengingatkan istri pertamanya itu.

“Kau benar, Mbak. Tempat Mas Bram memang seharusnya ada bersamamu. Kuijinkan dia kembali. Aku janji, selamanya tak akan menganggu atau pun menuntut hakku sebagai istri pada Mas Bram. Asal Mbak dan Mas Bram pun berjanji, tak akan menganggu aku dan anakku. Biarlah kita hidup sendiri-sendiri.”

“Shinta ....”

“Tidak, Mas. Inilah pilihanku. Lebih baik begini, dari pada aku disebut sebagai perebut suami wanita lain. Jika Rahma besar nanti, aku tak mau dia dipanggil anak kotor.”

Siang mulai luntur. Kepercayaan dan cinta yang terinjak-injak di hati ketiganya, kini mulai diam. Keputusan sudah diambil. Lelakinya pergi, dan ia akan menjalani hidupnya dalam kesendirian.

 

***

 

Rahma tak tahu lagi harus mengatakan apa pada ibunya. Kisah tentang ketegaran yang ibunya ceritakan sungguh membuatnya malu kini. Dia menyesal telah berani berkata kasar. Padahal, satu-satunya yang dipikirkan oleh wanita yang telah melahirkannya itu adalah dirinya. Iya. Hanya demi nama baik anaknya.

“Maafkan Rahma, Bu,” ucap Rahma di sela-sela isak tangisnya.

“Tak ada yang perlu dimaafkan, Rah. Tak ada yang salah. Sekarang, temui bapakmu. Dia pasti sangat merindukanmu.”

Rahma mengangguk. segera dia menghapus air matanya, kemudian berjalan memasuki rumah bapaknya. Shinta mengulum senyum. Memandangi punggung anaknya, hingga menghilang dari balik pintu rumah suaminya.

 

 

 

Sidoarjo—2014

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar