Jumat, 30 Oktober 2015

SUATU PAGI YANG MELESAPKAN SEGALANYA


Oleh : Ajeng Maharani


 

 

Kau terkesiap dengan begitu lihainya ketika kau membuka mata, orang-orang mulai berlarian ke arahmu dengan wajah resah. Pandangan matamu berputar-putar, dan kau berusa ha keras untuk memahami waktu-waktu yang seketika berlarian dari ingatanmu.

“Kamu nggak apa-apa, Dik?”

Seorang pria kekar yang kau tafsir berusia empat puluhan tiba-tiba jongkok di hadapanmu dan memegang bahumu. Dia mempertanyakan keadaanmu, lalu kau mencoba merasakan seluruh tubuhmu lebih tekun dari sebelumnya. Kau temukan rasa sakit di pinggang kananmu, kau pikir mungkin sebuah lebam biru bersarang di sana. Lalu nyeri hebat menusuk kepalamu yang basah dan lengket, pasti ada bagian yang sobek dan berdarah. Hingga ketika kau merasai kaki-kakimu, kau baru menyadari sebuah sakit yang luar biasa.

Kau menatap kaki kananmu itu, lalu membelalak. Ketakutan dan kesedihan mulai menyerangmu. Kau ingin berteriak, tapi pria yang ada di hadapanmu itu mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja asalkan kau bisa tenang. Maka dengan perasaan yang ditekan-tekan kau pun berusaha untuk tenang.

Dua pria dewasa lainnya berdiri membelakangimu, berusaha mengangkat tubuh motor yang menjepit kaki kananmu, sementara roda motormu tergilas ban truk. Mereka melakukannya dengan pelan, meneliti sela-sela. Kau lihat itu dengan dada yang berdegup kencang. Kau takut mereka gagal, atau merasa kesusahan dengan keadaan seperti itu. Kau harap-harap cemas, melambungkan doa-doa dalam hatimu. Dalam kepanikan yang membuatmu menelan ludah dalam-dalam itu, kau yakin kaki kirimu pasti patah, dan kau merasa dunia sudah runtuh di hadapanmu.

Sekumpulan orang dan pengendara lainnya bergerombol di sisi jalan, mereka menatapmu sambil berbisik-bisik dengan ujung bibir yang ditarik-tarik. Seorang lelaki gendut berkaos hitam dengan tulisan salah satu nama band rock Australia, bertopi hitam kumal, dan handuk hijau yang menggantung di lehernya, mendekatimu lalu berdiri tepat di samping pria yang berusaha menenangkanmu. Wajahnya panik luar biasa. Kau menebak, dia pasti supir truk yang baru saja melindas motormu. Dan dengan begitu entengnya, matanya itu memelototimu dengan marah. Seakan-akan kaulah yang paling patut untuk menanggung semua kesalahan.

Matamu hampir leleh. Kini ingatanmu pada waktu-waktu yang tadi melarikan diri muncul kembali. Satu jam sebelum kau lesatkan motormu ke jalanan menuju tempatmu bekerja, kau masih bersungut-sungut mendengarkan ocehan ibumu yang tidak memiliki titik ataupun koma. Bibirnya pecah di sembarang tempat. Dia selalu lakukan itu setiap pagi, ketika memarahi adik-adikmu yang susah dibangunkan, susah digiring ke kamar mandi, lalu sekolah.

Sejak bapakmu pergi tanpa pernah terlihat lagi ujung ekornya, kau menjadi tulang punggung satu-satunya dalam keluargamu. Ibumu terlalu disibukan oleh ketiga adik kembarmu yang masih tiga belas tahun, hingga dia tidak memiliki waktu yang cukup untuk mengurusimu. Kau tumbuh menjadi pemuda tak acuh, dan serampangan. Kau lebih suka melakukan apapun yang kau sukai. Dan satu jam yang lalu ketika rumahmu meledak-ledak oleh umpatan ibumu, kau berpikir ingin keluar saja dari rumah itu, hidup sendiri. Walaupun kau takkan mungkin tega lakukan itu.

Hari ini kau terburu ingin segera tiba di kantor, karena ini adalah hari di mana bosmu yang botak dan gembrot itu akan membagikan gaji bulanan. Adik-adikmu sudah tidak sabar mendapatkan hadiah yang kau janjikan pada hari ulang tahun mereka yang terlewat beberapa minggu lalu. Kau tidak memeliki cukup uang untuk bertahan ketika itu, lalu kau janjikan akan membelikan hadiah saat gajimu terbayarkan. Dan mereka memandangmu dengan anggukan yang keras. Mereka mempercayaimu.

Ibumu juga sudah memburumu akan uang belanja yang terhutang di tukang sayur dan toko sembako yang berdiri tepat di depan rumahmu. Toko yang pemiliknya memiliki stok bibir lebih banyak ketimbang ibumu, yang selalu siap pecah berkeping-keping kalau pembayarannya terlambat, lalu seluruh kampung akan mendengarnya berhari-hari sampai kau membayarnya.

Kau juga ingat betapa hari ini teramat penting untuk tidak dilalui dengan hambatan-hambatan, karena berita tetang karyawan berprestasi akan diumumkan. Kau telah mendengar desas-desus bahwa kaulah yang lagi-lagi berhak mendapatkan reward itu. Ini sudah tiga kali berturut-turut, dan jika itu benar kau sudah dipastikan akan dipromosikan naik jabatan. Dan kau berharap-harap cemas di waktu-waktu sebelum kau berangkat kerja. Karena kenaikan pangkat berarti kenaikan gaji, dan kenaikan gaji artinya kau lebih bisa memiliki banyak uang untuk keluargamu yang hampir di ambang kekeringan.

Alasan-alasan itu membuatmu lalai. Kau terlalu bising dengan omelan-omelan ibumu, terlalu berdebar-debar menunggu kebenaran tentang kabar baik dari kantormu, dan terlalu gelisah tentang hadiah, hutang-hutang ibumu, juga omelan pemilik toko sembako di depan rumahmu. Semua itu berputar-putar dalam pikiranmu, layaknya mesin blender yang menyala terus-menerus. Hingga di satu jam yang lalu, kau telah berhasil melupakan sesuatu.

Ibumu telah mengingatkanmu dengan berteriak di belakang punggungmu ketika kau baru saja menyalakan mesin motor. Kau mendengarnya samar-samar, tapi kau tidak mengacuhkannya. Kau pikir sudah terlalu banyak waktu yang membuatmu berdebar-debar itu terbuang sia-sia, ketika ibumu mengatakan kau harus membawa dua dus besar yang berisi baju-baju bekas keluargamu. Yang artinya, kau harus mampir dulu ke sebuah tempat dan meletakkan dus-dus itu sebelum kau menuju ke kantor.

Waktu benar-benar telah terbuang terlalu banyak, dan kau berpikir akan terbuang lebih banyak lagi jika kau harus mematikan motormu, menurunkan dus-dus yang kau letakkan di depanmu—kau jepit dengan kedua kakimu—hanya untuk kembali ke dalam rumah dan mengambil helm yang kau lupakan. Tempat kerjamu memang dekat, hanya dua puluh menit dan tidak mengharuskanmu melalui pos-pos penjagaan polisi lalu lintas yang suka meniup peluit saat melihat pengendara tanpa helm sepertimu. Jadi kau merasa aman. Kau bisa berkendara tanpa helm. Bukankah ini bukan lagi yang pertama kalinya kau berkendara tanpa helm? Dan kau selalu baik-baik saja, kan? Itu yang terbesit dalam pikiranmu.

Tetapi ternyata, tidak untuk hari ini.

Pagi yang sangat sial bagimu, dan pikuk. Entah mengapa jalanan juga kau rasakan ikut-ikutan membuatmu marah. Lalu lintas terlalu ramai di pagi ini, padahal kau sedang terburu-buru. Dengan perasaan seperti itu kau pun mengendarai motormu lebih cepat dari mereka, meliuk-liuk di antara pengendara lain. Berusaha mendahului mobil-mobil, menekan bel motormu kencang-kecang agar mereka memberimu jalan. Dalam pikiranmu dus-dus baju itu harus segera kau kirim ke tempat penampungan. Kau terburu-buru, dan merasa beruntung karena kau lihai berkendara dalam keadaan cepat. Itu sudah teramat biasa kau lakukan.

Pagi merayap pelan-pelan, kau masih terus meliuk-liuk, menekan-nekan bel, mendahului kendaraan demi kendaraan lain, hingga segalanya tiba-tiba terjadi dan kau sudah tertindih motormu yang rodanya terlindas truk.

Kejadian itu begitu cepat. Sebuah mobil dari arah berlawanan melaju begitu kencang dan binal ketika kau sedang berusaha mendahului sebuah truk hijau yang mengangkut batu-batu besar, hingga kau kelimpungan, kehilangan keseimbanganmu dan jatuh ke sisi kiri. Kepala bagian kananmu membentur tubuh truk, lalu terpental ke kanan, beradu dengan aspal begitu keras. Kau masih beruntung saja karena kepala itu tidak terlindas ban motor di belakangmu yang berhasil berhenti mendadak. Tapi kakimu tidak seberuntung kepalamu, karena kaki kanan itu kini terjepit motor yang tubuhnya masuk ke kolong truk, dan roda depannya berhasil dilindas ban truk. Dan tentu saja kaki itu telah patah, tepat di pergelangan dan tulang keringnya.

Kini kau sudah ditidurkan dengan seenaknya—hanya dialasi koran—di atas sebuah pick-up. Seorang pria kurus dengan kulit hitam menemanimu, dia duduk sambil sibuk memenceti tubuh ponselnya. Wajahnya kusam dan murung. Mungkin dia pun tengah dikecewakan oleh ketidakberuntungan pagi ini. Kau berpikir dia pasti salah satu orang yang membantumu tadi, atau salah satu yang ikut mengendarai pick-up, atau salah satu dari orang-orang yang bergerombol di pinggir jalan. Entahlah. Kau terlalu sibuk merasakan kesakitan yang luar biasa untuk menebak-nebak siapa pria di sampingmu.

Pandanganmu menekuri langit pukul delapan pagi yang biru sempurna dengan gumpalan-gumpalan awan yang mirip gula-gula kapas. Bola matamu menerawang, memikirkan semuanya. Kau berpikir seharusnya saat ini kau sudah tiba di tempatmu bekerja, menekan nomor karyawanmu di atas keyboard—absen masuk—lalu berdiri di antara rekan sejawatmu untuk briefing morning. Di saat itulah waktu yang kau tunggu-tunggu sedari kemarin akan segera kau ketahui. Berita gembira yang membuat hatimu meletup-letup. Kau menjadi karyawan terbaik bulan ini, dan kau siap dipromosikan menduduki posisi satu tingkat di atas posisimu sekarang.

Kau juga seharusnya pagi ini tersenyum selebar-lebar senyum yang biasa kau tampakkan, ketika rekan-rekanmu memberimu jabat tangan dan ucapan selamat. Kau pun bisa sedikit bangga dengan prestasimu nanti di hadapan ibumu, yang sekian tahun telah melupakan kebutuhanmu karena kesibukannya meladeni adik-adikmu yang berisik dan memiliki tenaga seperti kuda. Lalu ibumu akan semringah, mungkin juga memelukmu haru dan bangga.

Untuk adik-adikmu, kau sudah berencana akan berpura-pura kehabisan uang hingga tidak bisa membeli hadiah untuk mereka, tapi kau sudah menyimpan kado-kado yang terbungkus rapi itu di dalam lemari mereka. Kau pasti akan melihat betapa keriuhan akan menggemparkan kamar mereka yang terlalu sempit untuk ditinggali bertiga ketika mereka membuka lemari nanti. Mereka akan melompat-lompat dan berteriak girang. Mungkin juga menghambur ke arahmu, memeluk dan menciumi pipimu yang tirus.

Seharusnya hari ini pula kau telah menyumpal puluhan bibir pemilik toko sembako di depan rumah dengan lembaran-lembaran uang. Membuat wanita itu manggut-manggut kesenangan, lalu menepuk-nepuk bahumu seperti yang biasa dia lakukan setiap kali kau memberinya uang.

Namun kini, rencana-rencana itu melesat hilang seketika. Kebahagiaan yang seharusnya kau berikan pada keluargamu hanya menjadi sebuah kelakar konyol dalam otakmu, dan kau menyesali itu. Menyesali segalanya. Menghujani dirimu sendiri dengan kesalahan-kesalahan yang bertubi.

Mungkin banyak orang akan mengatakan kejadian ini adalah takdir atau nasib yang memang seharusnya kau terima, tapi kau tahu benar, semua adalah kesalahanmu. Bisa saja kau menghindari pagi yang kacau ini jika saja kau lebih berhati-hati, lebih bisa membawa dirimu agar tidak terlalu menggebu-gebu dan mengendarai motormu dengan penuh kesabaran.

Kau pun berandai-andai. Jika saja ketika ibumu meneriaki punggungmu pagi tadi, kau turun beberapa menit untuk mengambil helm merah kesayanganmu, mungkin kepalamu tidak sobek dan berdarah seperti sekarang. Jika saja kau sabar mengendarai motormu, sejengkal demi sejengkal, tidak meliuk-liuk urakan karena rasa jengkel dan cemas, mungkin kakimu tidak akan patah seperti ini. Mungkin kau bisa mendengar berita gembira di kantormu. Mungkin kau bisa menerima ucapan selamat dan kekaguman luar biasa dari rekan-rekanmu. Mungkin kau benar naik pangkat dan memperbaiki ekonomi keluargamu. Mungkin ibumu akan tersenyum bangga dan bahagia padamu. Mungkin kau bisa melihat tawa gembira adik-adikmu. Dan mungkin semua hutang bisa kau lunasi dan ibumu merasakan lega yang teramat besar dalam dadanya.

Mungkin.

Tapi sekarang, semuanya lesap. Dan masa depan yang buruk sudah menantimu setelah ini. Siapa yang akan menghidupi keluargamu nanti? Siapa yang akan membayar sekolah adik-adikmu? Siapa yang akan membayar hutang-hutang ibumu? Bosmu sudah tidak akan mungkin mempekerjakan orang cacat sepertimu. Bisa jadi kakimu nanti diamputasi, dan kau bisa apa dengan satu kaki? Lalu siapa juga yang akan membayar biaya rumah sakit nanti? Kau bahkan tidak memiliki tabungan sesen pun.

Otakmu berdenyut-denyut, lelah berpikir lagi. Kau menjadi putus asa dengan pertanyaan-pertanyaan. Bingung. Memarahi dirimu sendiri. Menyesal. Ah, bukankah sesal selalu saja datang terlambat? Tapi tentu kau tidak akan menyesal atau terlambat menyadari penyesalan jika saja kau berhati-hati, bukan? Kau tahu kau sebenarnya bisa menghindari kecelakaan ini hanya dalam beberapa menit saja. Ya, beberapa menit saja hanya untuk mengambil helm dan mengenakannya. Beberapa menit saja untuk melajukan motormu pelan-pelan dan sabar. Beberapa menit saja untuk patuh pada aturan-aturan berkendara yang sudah sering kau baca di spanduk-spanduk jalan. Beberapa menit saja untuk waspada dan menjaga dirimu sendiri.  

Ya ... Beberapa menit saja. Beberapa menit yang sudah kau sia-siakan.

Sekarang, di atas pick-up yang melaju itu, kau berharap bisa memutar waktu kembali dan memperbaiki kesalahanmu.

 

 

 

 

Sidoarjo, 311015

 

 

 

  • Blogspot ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen ‘Tertib, Aman, dan Selamat Bersepeda Motor di Jalan’.
  • #SafetyFirst diselenggarakan oleh Yayasan Astra-Honda Motor dan Nulisbuku.com 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar