Pada Bukit
Kesunyian, di bawah pohon yang merindang bayangan hitam, terduduklah kau di
sana, hai, Perempuan Berhati Nyalang. Jiwamu yang berkelana ke Dunia
Keheningan, membuat tatapmu kosong tanpa binar. Sesekali kau meratap tangis
kehilangan, yang kau tuang pada lusuh kain bajumu.
Ada kisah yang ingin kau pendam. Ingin kau ranggaskan kenangan kelam yang
merajah. Tentang keadilan yang raib. Tentang bau peluh malam yang
menggelinjangkan kebusukkan. Juga tentang dangau bisu yang membusuk di tengah
sawah bapakmu.
Suaramu seakan lenyap saat itu, Perempuan. Walaupun teriakanmu menulikan
kunang-kunang yang bersenggama dengan pucuk-pucuk padi, namun kesiur angin
menelannya. Tak ada seseorang pun yang datang padamu. Hingga kesendirian itu
menelantarkanmu, membiarkan tubuh telanjangmu dicecap nyamuk-nyamuk biadab.
Air matamu menanah. Kau asah kebencian dalam hatimu. Membuatnya tajam,
nyalang tak memejam.
Saat kau bertanya tentang keadilan, tak satu pun percaya. Kau berteriak,
mereka membisu. Kau meminta, mereka pergi menjauh. Ah, Perempuan ..., kau terus
bertanya pada hatimu, masih sudihkah dunia menerima tubuh kotormu? Bahkan
sekarang kau telah menjadi manusia yang terbuang.
“Apalagi yang tersisa sekarang?” desismu siang ini. Kosong kau menatap
domba-domba itu melumat rerumputan. Lalu tanpa kau sadari, awan-awan yang
sejatinya lembut bagai kapas itu berubah menjadi hitam. Menggulung, lalu pecah.
Hujan pun menelanjangimu, Perempuan. Mengalir jatuh bersama air matamu yang tak
pernah mengering. Gigil menyentuh ragamu.
***
Malam kini
menjemputmu, Perempuan. Tetes terakhir lesap sudah ke dalam tanah. Kau masih
bergeming, menempatkan pantat basahmu di sana. Kuyup tubuhmu tak kau hirau. Kemudian,
lamat-lamat kau dengar derap yang mendekat. Kau buka pelupukmu. Keremangan
menyambut. Dari sela-sela kegelapan yang pekat, obor-obor itu pun menari.
Tatapanmu masih diam. Tak sedikit pun rona ketakutan muncul di sana. Kau
hanya bergeming, menunggu mereka yang kesetanan itu datang menghampirimu dengan
langkah yang membara.
“Itu dia! Perempuan laknat itu di sana!”
“Bakar dia!”
“Iya! Bakar dia. Biar dosa-dosa itu ikut mengabu bersamanya!”
“Biar kampung kita ini tak dilaknat oleh Tuhan karena kegenitannya!”
Suara-suara yang menggema itu lesat ke angkasa, memekakkan telinga rembulan
yang tengah mati suri. Kau masih memeluk kesunyian. Diam dan menanti.
“Tunggu!”
Kau melihatnya. Seorang wanita baya menghadang kerumunan.
“Hentikan, anakku tak bersalah. Dia hanya korban. Dia difitnah!” teriak
wanita itu mengiba. Suaranya parau dan terisak. Kau yakin sekali, wanita tua
yang dulu pernah kau sebut ibu itu, saat ini psati sedang menangis.
“Akh! Diam kau wanita tua!” teriak seorang pria jangkung. Tangan kurusnya
mendorong ibumu kuat-kuat. Membuat dia jatuh, hingga bibirnya mencium tanah.
“Hiraukan wanita itu! bakar saja anaknya!”
“Iya, cepat bakar! Sebelum ia lari kembali!”
Malam pikuk. Keramaian menanammu dalam kesendirian. Perlahan, kau belai
lembut perutmu yang makin membuntal. Perlahan, bibirmu yang kering dan berkecai
itu pun terbuka.
“Maafkan aku, Nak. Tak bisa membiarkanmu hidup di dunia ini,” ujarmu.
Kemudian matamu membuntang. Menatap penuh amarah pada mereka yang menyulutmu
dengan api-api yang berkobar. Darah merembes dari ujung-ujung penglihatanmu.
Kau pun mendecap laknat, lalu tertawa kesetanan, menggelegar membelah malam.
Nyali mereka menciut sekarang, Perempuan. Ketakutan yang besar menggagahi
jiwa-jiwa mereka saat melihat dirimu terselimuti kobaran api. Asap membumbung
ke langit. Di sudut gerombolan, seorang lelaki bersorban tersenyum bangga. Satu
lagi kebusukannya berhasil tertutupi. Hikayat tentang janin yang dia tanam pada
rahimmu, tentang kau yang meronta dalam kegelapan, juga tentang kedurjanaannya
memaksamu melayani renjananya, kini terkubur sudah bersama aroma daging yang
terpanggang.
Sidoarjo—2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar