Jumat, 09 Oktober 2015

NERAKA DI KAMAR IBU


Apa kalian tahu? Aku pernah bermimpi buruk. Seumur hidupku, itulah yang terburuk. Menakutkan!

Rasanya malam itu kegelapan melata pelan-pelan. Aku dibangunkan oleh suara-suara yang mendesis. Aroma kemarahan dan kebencian. Mata yang berat. Kukucak perlahan lalu bangkit dari ranjang. Karena rasa penasaran yang teramat, kuputuskan untuk meninggalkan tubuhku yang tengah direngkuh oleh lelap.

Bunyi yang mengusik itu terdengar dari kamar Ibu. Ada bunyi tertawa cekikikan. Namun tiba-tiba saja berganti oleh tangisan yang terisak-isak. Hatiku terenyuh. Bertanya-tanya, ada apakah gerangan dengan Ibu di kamar. Di mana Bapak? Mengapa tak ada suara darinya? Bahkan itu desah lenguh napasnya?

Tanpa banyak berpikir lagi, kuintip kamar Ibu dari lubang kunci. Aroma yang belum pernah kukenali, menyambutku pada detik pertama. Apa itu? Entah. Kosong. Tak ada Ibu maupun Bapak di atas ranjang mereka. Kukelilingi isi kamar semampu pandanganku. Sepi. Tiba-tiba, semua mata yang mendelik, dengan warna merah yang bagaikan darah, menantangku dari balik lubang yang sama.

Jantungku berdegup. Aku mundur beberapa langkah lalu terjatuh karena limbung oleh rasa ketakutan. Kulihat gagang pintu berdecit-decit. Pelan-pelan, daun pintu itu terbuka. Hatiku menciut. Pemandangan seperti neraka—merah membara—muncul di hadapanku.

Tanpa banyak bicara lagi, dengan tertatih-tatih, aku berlari kembali ke kamar. Memasuki tubuhku, dan berusaha terpejam.

Paginya, tak kujumpai Bapak lagi. Esok, lusa, lalu lusanya lagi. Entah Bapak lari karena ketakutan melihat wajah Ibu malam itu—seperti diriku, tapi sayangnya aku tak bisa lari—atau mungkin Bapak lenyap ditelan neraka milik Ibu. Namun yang kutahu, ada sebuah gundukan baru di halaman belakang rumah, yang di atasnya ditancapkan benih pohon nangka setinggi tubuhku.

Aku tak pernah bertanya.

 

 

Sidoarjo—2014

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar