Senin, 31 Maret 2014

ERICA



  
Dan ini adalah sebuah kota kecil, di mana telah kutinggalkan lama, tanpa tahu itu berapa waktu sudah berjalan dalam denting detiknya. Aku tersesat, mengembara dengan kelinglungan bodoh yang berdegup tanpa henti dalam sekat-sekat hati. Kebencian, dendam lalu teramu pula amarah, bergulat diam, memecah rasa cinta. Membuat sesuatu terganjal, mengiringi rohku yang terlunta-lunta.

“Maafkan aku..”

Itu adalah kalimat terakhir yang tertinggal dalam jejak kepergianku. Entah, apa mereka yang kutinggalkan dalam perih masih mengingatku atau tidak. Sungguh tak pantas aku berharap bisa hadir dalam kenangan, karena kehadiranku hanya memberi rasa kecewa yang teramat dalam.

Lalu, hari ini, perjalanan gontai yang kulalui kini berhenti pada sebuah rumah besar berwarna lembayung tua, dengan pohon akasia yang menjulang rindang. Itulah rumah kami, aku dan Mas Jun, juga Salwa. Di sanalah waktu bergulir dengan kejam menarik ulur takdir kami bertiga.

***

“Ini Salwa, gadis duapuluh tiga tahun, bekerja di panti anak yatim piatu An Nisa. Dia sangat ramah dengan siapapun, ulet, bertutur kata lembut. Sungguh Ibu akan bahagia sekali jika kau memilih dia sebagai penerus garis keturunan kita.”

Aku ingat sekali hari itu, di mana pertama kalinya kami mengenal sosok Salwa, walau hanya dari sebuah foto. Wajahnya ayu, terbesit kesan kesederhanaan yang anggun dalam jilbab hijau muda yang dikenakannya. Sungguh tak salah jika Ibu Mertua begitu jatuh hati pada gadis itu.

Mas Jun dan aku telah menikah hampir delapan tahun dan belum dikaruniai seorang anak. Karena itulah, keluarga mendesaknya untuk memperistri Salwa, gadis cantik anak dari salah satu sahabat kerabat. Mau tidak mau, setuju tidak setuju, akhirnya Salwa pun menjadi bagian dari keluarga kecil kami.

Pernikahannya sederhana, tetapi lebih sakral daripada pernikahan megahku bertahun-tahun lalu. Salwa hanya mengenakan kebaya putih yang teramat biasa, kerudung putih yang lebih teramat biasa lagi, dan untaian bunga melati yang juga hampir sama, sangat biasa. Tetapi binar wajah dan aura kecantikannya memancar memukau semua yang hadir.

Dia mempesona. Dan aku iri. Kecemburuan yang bertahun-tahun tidak pernah hadir dalam bingkai hatiku, saat itu berhasil mengetuk pintu, lalu mencabik-cabik dengan kejamnya, hanya dalam hitungan menit. Kemudian perasaan itu semakin membesar, saat Ibu Mertua menginginkan Salwa ikut berada dalam satu atap bersama kami.
Aku hanya bisa pasrah tidak menolak. Mengikuti alur cerita yang mereka buat untukku. Tanpa menampakan kesedihan atau melempar banyak tanya, hanya tersenyum dan melihat, akan dibawa kemana dua pernikahan ini kelak. Terserah mereka saja!

Lalu apa? Dalam satu rumah, dua istri, satu suami. Begitu menyakitkan melihat mereka bermesra-mesra sebagai pengantin baru. Tetapi apa kuasaku? Toh aku jugalah yang mengijinkan pernikahan ini. Demi kami, demi Mas Jun yang sudah mendamba momongan. Aku hanya bisa pasrah, belajar menerima kenyataan di depan mata. Karena apa? Karena aku wanita mandul, sungguh tak pantas meminta lebih dari ini.

Hanya saja, keimanan yang kubanggakan ternyata belum bisa menangkal benci yang semakin meluap ketika mendengar Salwa akhirnya hamil. Ah tidak, bukan karena itu sebenarnya. Jujur, aku ikut senang dengan kehamilan Salwa. Hanya saja, wajah bahagia dan tangis haru yang tidak pernah aku dapatkan dari Mas Jun saat mengetahui kabar tersebut, membuatku iri. Menyakitkan sekali. Rasanya seperti sebuah paku besar menancap dalam-dalam pada perasaanku.

Menangis, meradang, semakin menumpuk dan bertumpuk kebencian. Aku lupa siapa diriku. Apa tujuan pernikahan kami. Pun juga tentang komitmen yang tertoreh di dalamnya. Yang terdengar hanya bisikan setan. Semakin Salwa dan Mas Jun bahagia semakin aku marah pada mereka.

Hingga suatu hari, di mana laknat sudah menguasai hati dan pikiranku, sebuah rencana muncul begitu saja.

Iya, hari itu, Salwa kudorong dari tangga beranak duapuluh. Dia bergulingan jatuh ke lantai dasar. Kepala dan perutnya terbentur hebat. Merintih sebentar kemudian pingsan. Darah menggenang. Kakinya yang putih pucat menjadi merah karena teraliri darah yang muncrat deras dari selah keduanya. Aku puas menatap dari atas. Menyunging senyum kemenangan. Tetapi nikmat dosa itu hanya sekejab.

Janin Salwa mati.

Mas Jun teramat marah padaku. Memang tidak ada teriakan maki dari mulutnya. Hanya tatapan tajam dengan mata yang memerah, seraya berkata, “apa kamu puas dan bahagia dengan begini, Ma?” Singkat. Tetapi berhasil membunuh detak jantungku seketika.

Semua menjadi gelap. Murung. Pernikahanku mengering. Mas Jun sudah tidak memperdulikan keberadaanku. Kesedihan, penyesal, dan entah apa lagi yang tengah berkecamuk di perasaanku, ternyata jauh lebih menyakitkan daripada kebencian itu sendiri. Lebih menyesakan. Sangat!

Berbulan-bulan aku menjadi sesuatu yang ada hanya karena sebuah ikatan, itu saja. Tidak lebih. Hingga akhirnya, aku sudah tidak mampu menahan siksa malu yang mencekik leherku, dan juga menggerogoti tulang-tulangku hingga linu, memutus pergi meninggalkan segalanya.

***

“Mama?”

Seorang gadis kecil berkepang dua dengan rambut mungilnya menyapa, membuyarkan kenangan pedih yang baru saja terbesit dalam ingatanku. Dia melihatku? Bagaimana bisa? Tunggu, mengapa gadis ini memanggilku mama?

“Mama pulang? Rindu sama aku ya?” tanyanya lagi.

“Maaf nak, tante bukan mamamu.”

“Oh.” Wajahnya yang cerah tadi kini menjadi muram. Anak siapa ini? Salwakah? Dia masih kecil, mungkin sekitar tiga atau empat tahun, entahlah.

“Iya, tentu saja tante bukan Mama, dia sudah meninggal saat melahirkanku.” Mata beningnya mulai berkaca-kaca.

Aku menunduk, memegang kedua bahunya perlahan, dengan lembut sekali. “Siapa namamu sayang?”

“Namaku Erica,” aku tersentak penuh kejut. Hei, itu namaku! “Bunda memberikan nama Mama padaku, katanya biar aku, Bunda, dan Papa, tetap mengingat keberadaan Mama yang pernah menjadi bagian dari keluarga kecil kami.” lanjutnya kembali sambil terisak-isak.

“Siapa Bundamu nak?”

“Bunda Salwa.”

Sungguh aku kemudian terduduk lemas. Air mata yang seharusnya telah mengering itu berhasil jatuh berkeroyokan. Tidak kusangkah ternyata Mas Jun dan Salwa memaafkanku. Penyesalan yang terbawa serta dalam ketersesatanku, kini luntur perlahan, lega rasanya.  Mengalir bersama bulir-bulir bening air mata.

Kupeluk gadis kecil Erica. Dia anakku, anak yang dijanjikan Salwa akan diberikan dalam pelukanku, dulu sebelum dia menikah dengan Mas Jun.

“Terima kasih karena Mbak Rica sudah mengijinkan aku menikah dengan Mas Jun. Sungguh besar hati Mbak yang cantik itu. Kelak, saat anak pertama kami lahir, dia akan menjadi anakmu, Mbak. Asuh dan bimbinglah dia seperti anak sendiri. Aku ingin berbagi kebahagiaan bersamamu, sama seperti engkau berbagi kebahagiaan bersamaku saat ini.” Begitu janji Salwa. Sungguh aku teramat bodoh karena mudah sekali mendengarkan bisikan setan. Mengikuti keegoan hati, tega melukai mereka yang begitu memikirkan kebahagiaanku.

Tuhan, maafkan aku. Mungkin benar aku sudah tidak pantas mencicipi surgaMu yang abadi keindahannya, karena berani mendahului takdir kematianku yang Engkau gariskan. Tetapi ijinkanlah, setidaknya sekali untuk saat ini, doaku untuk mereka yang masih memberiku cinta dan memilih menyimpan kenangan yang baik di hati gadis kecil Erica.

Terima kasih Tuhan, sudah mempertemukanku dengan Erica. Kini, pengelanaanku yang kekalpun, bisa kujalani dengan senyuman. Sungguh, Engkaulah yang Maha Pemaaf atas semua dosa hamba-hambaMu yang hina seperti aku.



Nda, 301213

Tidak ada komentar:

Posting Komentar