Senin, 31 Maret 2014

KISAH SI KASIH



 

Wanita itu datang ke rumah, dengan wajah yang tersirat benar akan kesedihan. Ada guratan keputusasaan yang besar. Lalu dua buah mata yang sembab karena lelah menguras air mata.

Namanya Kasih, kalian cukup hanya kuijinkan tahu sebuah nama itu. Duduk tenang dalam senyum ceria yang dipaksakan, mengucap basa-basi tentang kabarku, lalu berkata penuh harap, “Bund, bolehkah aku bercerita sedikit?”

Kubalas senyumnya seraya berkata, “silahkan, siapa tahu saat aku memberi advice padamu nanti, aku juga bisa menampar diriku.”

Kasih membalas senyumku, seraya berkata perlahan, “aku sedang merasakan perasaan yang kita sebut dengan lelah, Bund.”

“Ada apa?”

Dia menghela nafasnya sepenggal. Senyum yang dipaksakan tadi raib. Beberapa detik kemudian dia bercerita panjang, tentang suaminya yang pemarah, bermulut kasar padanya, dan hampir senang bermain tangan.

Air mata mulai hilir mudik di pipi tembemnya. Mengiringi kalimat tiap kalimat. Aku terenyuh. Seperti sedang mereguk pahitnya tuah cinta pada kisahku sendiri. Iya, sebenarnya pun aku sedang gundah. Hati tidak bisa tenang beberapa hari ini. Semua hal negatif, lalu andai-andai yang dihubung-hubungkan, menggerogoti pikiranku. Baru saja aku dibentak oleh sepi. Dia menegurku, “Bunda, ayo sholat dhuha! Jangan banyak-banyak, dua rokha’at saja cukup asal kau rutin. Itu jauh lebih baik daripada kau bermuram lalu berandai hal yang belum pasti.”

Lalu sekarang, dalam hiruk pikuk kesedihan, Kasih datang membawa kisahnya. Seakan memberi terang pada hatiku.

“Bund, bagaimana jika seorang suami berkata, bahwa dia tidak bisa berbahagia dengan dirimu? Engkau adalah beban baginya. Sudah banyak hal yang dia korbankan untuk hidup bersamamu. Tetapi karena sudah kepalang basah, suamimu hanya berkata bertahan pada hal yang dia benci.”

Subhanalloh, sungguh malang hai engkau Kasih. Bisa-bisanya seorang suami menganggap istrinya adalah sebuah beban hidup. Tak henti-hentinya aku beristighfar dalam hati. Pantaslah jika kau terbenam sedih seperti saat ini.

“Pertama, kuatkan dahulu hatimu, Kasih. Lalu belajarlah menerima dengan ikhlas. Kemudian kau tanyakan, apa kemauan dia sebenarnya? Jika bertahan dalam kepedihan, bukankah itu akan semakin menambah lukanya, kamu dan bisa juga buah hatimu Iyan suatu saat kelak.”

“Sudah, Bund. Aku katakan agar kami berpisah saja, tetapi dia berkata berat melepaskan aku dan Iyan. Kutahu sekali, Bund, suami sudah sangat berkorban demi kami. Dia bekerja banting tulang, ke sana sini. Tetapi aku lelah dengan sikapnya, sebentar-sebentar mudah marah. Ngomong kasar, ngambek dan berkali-kali sudah bilang ingin bercerai. Bayangkan, Bund, sudah lebih duapuluh kali dia berucap cerai. Tapi setelah itu, dia kembali baik, terlihat amat mencintai kami. Selalu saja begitu. Terkadang aku merasa sebagai wanita paling jahat di dunia karena tidak bisa membahagiakan suami.”

 Kugelengkan kepalaku, sebagai ungkapan tidak setuju dengan ucapan Kasih yang merasa dirinya jahat. “Tidak Kasih, itu bukan kesalahanmu. Berhentilah memiliki pemikiran seperti itu.”

Iya, jika mencari nafkah untuk anak dan istri dianggap suatu beban dan pengorbanan yang dibesar-besarkan, maka, melayani suamipun bisa saja kami para istri menganggapnya juga sebagai beban, bukan kewajiban. Bukankah dalam suatu ikatan pernikahan pasti akan memunculkan berbagai kewajiban bagi suami dan istri. Masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab. Dalam perjalanannya, pasti ada sesuatu yang akan dikorbankan. Salah satunya adalah kebebasan.

Banyak kaum adam dan juga hawa, menganggap pernikahan itu sangat mengikat kebebasan mereka. Merasa tidak bisa lagi melakukan hal yang disukai semasa bujang dahulu. Misalnya, berkumpul dengan teman, nongkrong hingga malam pulang pagi, tidur seenaknya makan juga seenaknya. Kemana-mana tidak ada yang melarang. Tidak pulangpun tidak akan ada yang marah. Hidup itu menyenangkan.

Padahal, bukankah justru pernikahan itu membahagiakan? Di mana sisi yang dianggap sebagai suatu beban yang memberatkan? Sungguh aku tidak bisa paham dengan pemikiran suami Kasih.

“Perbanyaklah sholat tahajud. Berdoalah untuk suamimu agar Alloh membuka pintu hatinya. Susah jika kita harus memaksa seseorang untuk berubah, di saat orang itu tidak memiliki keinginan untuk berubah, Kasih. Hanya kekuatan doa istrilah yang mampu menyelamatkannya.”

Kasih menangis lagi. Terbenam dalam seguknya.

“Suamimu hanya merasa stres dan melimpahkannya padamu. Dia masih sangat labil dalam pemikirannya tentang arti sebuah pernikahan. Butuh seseorang yang menuntunnya. Tuntunlah dengan cinta. Gunakan kasih sayang untuk menyentuh lagi hati yang dulu pernah mencintaimu. Aku yakin, engkau pasti bisa.”

Ah, Kasih. Mendengar ceritamu membuat aku sadar. Bahwa permasalahan yang kuhadapi saat ini masih jauh lebih ringan dari apa yang engkau hadapi. Seharusnya aku bisa lebih menghadapi hal kecil seperti ini. Bukannya hanya bisa menumpuk perasaan ingin lari. Itu hanya pekerjaan para pecundang bukan? Dan aku bukanlah serendah itu!

Ingatlah Kasih, pun juga diriku, bahwa kita masih memiliki Tuhan yang selalu bersama hambanya yang mau bersujud meminta pertolongan padaNya.


Nda, 030114

Tidak ada komentar:

Posting Komentar