Kamis, 20 Maret 2014

JODOH UNTUK ABYL



 
“Pokoknya Abyl harus segera dinikahkan, Pa!” Mama ketus. Bahkan teramat ketus bagi Papaku yang berperangai pendiam.

“Halah Mama ini keburu amat sih.” Papa menjawab santai sambil mata tetap tertuju pada buku kerjanya. Otak Papa masih bercengkrama dengan angka-angka puluhan juta rupiah, sudah tdak ada ruang untuk memasukan keinginan sang istri di sana.

Mama cemberut. Bibirnya manyun hampir sepanjang tali sepatu Nike warna hitam bersemu ungu milikku. Cocok. Aku menyungging senyum melihat rajuk Mama.

“Abyl itu gadis matang, Pa. Sudah ranum, sudah waktunya dicarikan jodoh. Mama sudah rindu menimang cucu.”

“Iya deh, terserah Mama.”

Bagus! Mata Mama berbinar cerah. Berkelip-kelip bak lampu disko mini di rumah Helen, pacarku. Pasti dia sudah menyiapkan rencana besar buat jodoh Abyl si gadis manja itu. Hmm, ya ya, apa peduliku. Abyl memang kesayangan Mama sejak kehadirannya di rumah ini. Putus hubungan. Kalian benar mampu menarik kecemburuanku.

 ***

Pulang sekolah, kutemukan Mama asik di ruang tengah, sambil membolak balik lembaran foto. Apa lagi itu? Pasti tentang Abyl lagi.

“Apaan itu, Mam?” tanyaku sekenanya.

Ditanya begitu, Mama malah tersenyum bahagia. Sekali lagi, ba-ha-gi-a. Ah, tahu begini aku tidak bertanya padanya.

“Ini foto calon suami Abyl,” Mama nyengir lebar, menunjukan deretan gigi yang tidak lengkap di sisi kanan. Nah, benarkan dugaanku. “lihatlah, mereka ini bibit bobot bebetnya sudah teruji. Ganteng, berkelas dan gagah. Mereka keluarga kaya raya.”

Fyuuhh, iyalah. Anak kesayangan. “Lalu mana sekarang Abyl, Mam?”

“Tidur di kamarnya.”

Gadis pemalas benar kau Abyl. Di sini Mama sibuk pilih-pilih pasanganmu, eh kamunya malah keasikan molor. Apa kamu tidak punya pilihan sendiri? Inikan tentang masa depanmu, Byl. Eh, tapi, apa makhluk seperti dia itu juga punya rasa cinta ya? Bisanya makan tidur saja begitu, apa juga memikirkan masa depan ya? Entahlah, pusing amat mikirin Abyl.

***

Malam sudah menunjukan pukul delapan lebih, baru saja aku kembali dari menjemput Helen. Hari ini Mama akan mengadakan pertunangan Abyl dengan calonnya. Entah siapa namanya pun aku tidak paham benar. Belum pernah kami bertemu apalagi berkenalan.

“Roy, ajak Helen juga ya, kita adakan makan-makan sederhana buat pertunangan Abyl besok malam. Ingat, jangan lupa, sudah kusebar undangan ke tetangga kanan kiri sebagai saksi.” Kata Mama kemaren sore.

Sederhana apanya? Tetangga kanan kiri yang mana?

Bukankah itu tenda sebesar rumah berwarna biru dengan bunga hidup di sana sini? Lalu yang di situ, apakah aku tidak salah lihat? Deretan mobil dari berbagai sisi arah tetangga, ya utara, selatan, timur, bahkan barat pun ikut nampang rapi. Mama..Mama.. ya beginilah kalau seorang wanita kaya sedang terobsesi dengan derajatnya.

Aku menggeleng. Helen tertawa renyah.

***

Acara bubar. Hancur total. Dokter mengatakan kalau Abyl sedang hamil muda. Dua bulan usianya. Pantas saja, itulah alasannya mengapa akhir-akhir ini gadis manja itu lebih banyak bermalas-malasan.

Mama malu, menangis meraung. Sesenggukan dalam pelukan Papa. Katanya dia shock. Sudah tidak punya muka lagi di hadapan keluarga calon suami Abyl.

Sudah kesepakatan mereka, sebelum pertunangan dilanjutkan, Abyl harus diperiksa dokter keluarga dahulu. Begitulah adat kaum yang menjunjung tinggi nominasi bibit, bebet dan bobot. Harus bersertifikat jelas.

“Mama tidak rela, Pa. Mama tidak rela.” Katanya dalam tangis yang berhasil membuat gema di ruang keluarga kami.

Aku dan Helen saling memandang geli. Pun demikian dengan Papa, senyum-senyum sendiri.

“Sebenarnya Papa sudah tahu kalau Abyl itu sudah punya gandengan. Tiap malam dia dan kekasihnya itu memadu kasih di bawah pohon kamboja kita. Mama aja yang tidak tahu.”

“Mengapa dibiarkan sih, Pa? Kekasihnya itukan kucing kampung. Abyl keturunan asli kucing persia tercantik dari juara tahun lalu. Kok Papa tidak bilang sama Mama.”

“Ah, Mama ini, seperti tidak pernah muda saja.” sahut Papa. Kontan membuat aku dan Helen semakin tertawa lebar melihat cerita lucu di keluarga kecil dengan Mama yang sok-sokan punya kucing ningrat ini.

Lalu Abyl?

Tentu saja malam ini memadu kasih lagi dengan si kucing kampung di bawah pohon kamboja. Dia mah, mana peduli dengan embel-embel ningrat di jidatnya. Sekali cinta ya cinta. Tidak ada urusan dengan manusia yang sibuk mempertahankan gelar seperti majikannya. Ya ya ya, manusia itu lucu bukan? Terlalu memuja kayanya, keningratan, apa lagi gelar. Toh bukan itu yang dibawa mati nanti.

Ah, Mama ini, seperti tidak pernah belajar agama saja.





Des 15, 2013
7:15

Tidak ada komentar:

Posting Komentar